CERPEN - Berikanlah Aku Payungmu

Detikan waktu tetap berputar sampai saat ini. Hari-hari masih berjalan sampai saat ini. Entah sampai kapan aku akan berhenti. Berhenti mengguyurkan hujan pada tubuhku sendiri. Sempat harapanku melayang untuk dapat menerima payung dari seorang pujaan hati, tapi aku memang payah untuk urusan ini. Aku selalu menolak payung-payung yang diberikan padaku, hanya untuk menunggu sebuah payung dari seorang lelaki kecil dimasa laluku.
"Sampai kapan kamu kayak gini, Tia?" Kata Kak Yuyun, Ia adalah seorang kakak kelas yang akrab denganku saat aku masih duduk di kelas sebelas.
"Aku nggak tahu, Kak." Kataku masih memegang stangan leherku.
"Bagaimana kalau kamu aku kenalkan dengan temanku?" Tawaran dari Kak Yuyun berhasil membuatku berdiam seribu bahasa, dan membuatku dilema untuk menolaknya.
Payung dari Sanjani telah kuterima karena desakan Kak Yuyun. Hingga akhirnya aku menghempaskan payung itu karena kudengar petir menyambar-nyambar hatiku. Aku merasa bersalah pada lelaki kecil di masa laluku. Betapa jahatnya aku! Apakah aku seorang monster? Aku telah menerbangkan seorang Sanjani dan melandaskannya pada lahan berduri. Sungguh, aku merasa bersalah.
"Maaf, Aku belum boleh ibuku untuk pacaran dulu." Kataku pada Sanjani, kata-kataku yang bohong itu menghiasi mulutku. Itu bagaikan setangkai mawar untuk menutupi durinya. Aku menutupi alasanku yang sebenarnya dengan sebuah alasan yang tidak menyakitinya. Dibolak-balik semua alasanku, ujung alasanku hanyalah untuk tetap mengguyurkan hujan itu padaku. Jika memang ada kompetisi orang terbodoh di dunia, akulah pemenangnya. Akulah orang bodoh yang jahat.
Silih berganti payung yang mendekatiku sekarang merasa bosan denganku, dan memilih pergi untuk meberikan payungnya pada perempuan lain. Sedingin itukah, aku menghadapi lelaki? Apakah mereka bosan karena mereka memang bukan cinta sejatiku? Dari awal hidupku sampai sekarang, aku merasa lelaki kecil dimasa lalukulah seseorang yang menjadi cinta sejatiku. Karena, sampai sekarang aku tak dapat melupakannya.
Aku selalu berusaha untuk melupakannya, tetapi apakah aku bisa? Jikalau aku sendiri tidak menginginkan untuk melupakannya. Bisakah semua berjalan baik-baik saja tanpa aku harus melupakannya? Bisakah aku menerima payung dari seseorang yang benar-benar cinta sejatiku? Akupun mulai meragukan pertanyaanku itu, karena aku hanyalah gadis yang payah dalam urusan ini.
"Mbak Arumbia...." Kata lelaki kecil di masa laluku. Kata-kata itu selalu mengiang-ngiang di telingaku hingga kini.
"Arumba jelek! Pergi sono!" Kataku ketus.
"Kalo aku beneran pergi, jangan kangen sama aku. Week" Katanya sembari menjulurkan lidah. Dan baru kusadari, kata-kata Arumba itu memang bener. Aku memang sulit mengakui aku jika aku meyukainya, aku sulit mengakui jika aku merindukannya sampai saat ini. Dan entah mengapa, kata-kata dari Arumba saat itu, telah membuat kami benar-benar fakum. Selalu ada masalah setelah kata-kata itu terucap.
"Eh, Jauhin Ritho! Elo tu cuma anak seorang penjual nasi. Lebih baik elo bantuin nyokab lo aja! Nggak usah belagak ndeketin Ritho! Ngerti?!" Kata Audy teman sekelasku, yang memang dia adalah anak orang kaya. Wajar saja dia suka menghina. Kata-kata itu membuatku diam seribu bahasa dan intropeksi diriku sendiri.
"Lagian, apa sih yang elo banggain? Sekolah di kelas immercy? Eh, sadar! Elo sekolah cuma di bayarin sama kepala sekolah!" Kata Lina, teman se-genk Audy. Sesaat aku memaksakan untuk tersenyum, agar tidak terlihat lemah di hadapan mereka dan teman-teman lain yang mulai mengerumuni kami. Termasuk Arumba, saat itu kedua matanya hanya menatap tanpa ekspresi ke arahku.
"Kalian fikir aku menyukainya?" Kataku sembari menatap Arumba. "Kalian tenang saja, aku tidak pernah menyukainya. Kalo kalian suka, ambil saja. Aku bukan tipe orang yang suka berebut hal yang nggak penting. Bye." Bau busuk dari mulutku telah keluar, kebohongan yang baunya sangat busuk.
Aku menjauhi Arumba bukan karena aku takut dengan Audy, tetapi saat itu aku memang belum dapat mengakui bahwa aku menyukai Arumba. Aku dulu memang benar-benar munafik. Kata-kataku itu telah membuat Arumba selalu melemparkan tatapan sedih kepadaku setiap kali berpapasan. Dan sejak saat itu dia tidak pernah mengejekku lagi.
"Arumbia....." Kata Arumba...
"Ih, kapan sih kamu nggak ngejek aku lagi? Sepet, tahu nggak!" Kataku sembari berjalan pergi. Dulu aku sangat benci jika dia memanggilku dengan sebutan itu tetapi setelah kejadian labrakan Audy, aku lebih benci jika dia tidak pernah memanggilku dengan sebutan 'Arumbia'.
Daun yang berguguran berterbangan tertiup angin, tampak indah karena telah menari-nari untuk menghiasi Sekolah Menengah Pertamaku sore itu. Saat itu aku tengah menyusuri koridor, kulihat adik-adik kelasku masih mengikuti pelajaran tambahan bilingual. Maksud dan tujuanku ke SMP-ku setelah pengumuman kelulusan berlalu, bukan hanya untuk mengambil ijazah belaka. Aku kesana juga untuk menemui Arumba, yang kini masih mengikuti pelajaran tambahan.
Sorak sorai dari keramaian menggema di depan kelas Arumba. Tampaknya, sekarang kelasnya sedang istirahat ke tiga. "Arumbia..." Panggil Arumba. Sepasang mata bolaku langsung tertuju padanya, tetapi aku melihat Ia tengah duduk dan bercanda dengan temannya. 'Ah, mungkin aku salah dengar.' Kemudian aku kembali melangkahkan kakiku untuk segera menuju ke Aula, karena pengambilan ijazah akan segera dimulai.
"Arumbia..." Panggilnya lagi. Kemudian aku segera menolehkan wajahku. Dia memang tidak menghadap kepadaku, tetapi kulihat Ia tengah melambaikan tangan pada kaca di hadapannya. Siluetnya terlihat tengah menghadap padaku. Seketika itu aku menyimpulkan senyum haru dan melambaikan tangan pada bayangannya di kaca.
Setelah jari-jariku menghiasi sebuah dokumen hasil jerih payahku selama sekolah tiga tahun terakhir ini, aku keluar dari aula bersama teman-temanku. Hiruk pikuk teriakan teman-teman menghiasi langkahku yang tertuju pada Arumba. Angin sore yang tertiup bak melodi yang menghiasi suasana itu. Kami melangkah perlahan dan saling mendekat.
"Tia..." Panggil salah seorang temanku Bobby sembari berdiri dihadapanku, sehingga menghalangi pandanganku kepada Arumba.
"Ciee, Bobby mau nembak Tia, ya?" Kata teman-temanku menggoda. Karena di kelas aku dan Bobby sering di jodoh-jodohin, cuma karena dulu aku sempet sahabatan sama Bobby. Tapi, temen-temen ngira kami pacaran. Akibat itulah, persahabatanku dan Bobby agak renggang.
"Ada apa, Bob?" Tanyaku.
"Besok kamu mau ngelanjutin kemana?" Tanya Bobby antusias.
Saat aku dan Bobby bercakap-cakap, aku tampak tidak terlalu care pada Bobby. Pandanganku selalu mencari sosok Arumba. Saat itu, hanya sepasang bola mata yang sayu dan sedih melewatiku, aku yang masih berbincang-bincang dengan sahabat lamaku hanya dapat melihat langkahnya menjauh. 'Rithoooo...... Don't leave me!' Sayangnya kata itu hanya dapat kuteriakkan dalam hatiku saja.
Mengingat masa lalu memang tidak ada habisnya, terutama mengingat seseorang yang tidak ingin kita lupakan. Jika aku terus mengingatnya, bagaimana aku dapat mengakhiri cerpen yang kubuat ini? Sedangkan. aku sendiri bingung untuk mengakhirinya, haruskah bahagia atau sedih. Karena cerpen ini memang seharusnya tidak untuk diakhiri selagi aku masih mencintai Arumba dan selagi Arumba belum datang padaku. Hujan yang mengguyurku masih belum juga reda untuk saat ini. Jika boleh berharap, aku harap agar Arumbalah yang mengulurkan payung untukku saat ini.
Aku masih memegang stangan leher kenanganku dengan Arumba. Dulu Arumba pernah mengambil stangan leherku tanpa izin, hingga akhirnya diberikan kepadaku lagi setelah stangan leher itu berbentuk bunga melati. Lelehan air mataku mengalir dan menganak sungai, lagi-lagi aku menangisinya. Ribuan kali air mataku terjatuh, bahkan saat berkomunikasi kepada Sang Pencipta Semesta aku meneteskan air kesedihan ini untuk Arumba. Jujur saja, aku terkadang malu untuk menangisinya, terutama dihadapan Sang Pencipta dan orang-orang disekitarku. Tetapi, aku tak terlalu perkasa untuk menahan itu semua selama lima tahun terakhir ini.
Kubalik-balik lagi diaryku, disaat aku ingin kembali mengharapkan Arumba. Aku membuka dihalaman saat dia menyakitiku, agar aku tidak bersikap bodoh untuk mengharapkan bulan dan matahari bersama-sama menerangi bumi.
Ini adalah sepenggal diaryku saat aku telah masuk Sekolah Menengah Kejuruan. Aku masih ingat saat itu aku masih duduk di bangku kelas sepuluh.
Rabu, 13 Juli 2011
Dear diary,...
Tadi aku sms Ritho ginià
Aku : Gimana kabarnya?
Ritho : Ini siapa?
Jlebb, saat itu nusuk-nusuk banget. Berarti dia udah hapus personal kontakku. Aaarggg.....
Aku : Aku tunangannya Justin Bieber, hehe...
Ritho : Oh, Arumbia?
Aku : Hehe, masih inget aja... Btw, guru bahasa Indonesia dan bahasa Inggrismu siapa?
Setelah itu dia nggak bales lagi. Kemudian aku memiliki ide untuk sms sahabatku, namanya Silvia. Tetapi nggak aku kirimkan ke silvia, tetapi aku kirimkan ke Ritho. Pura-puranya sms nyasar, untuk ngetes sekalian apakah dia care sama aku atau tidak.
Aku : Silvia, aku kangen banget sama Ritho. Aku tadi sms Ritho, tapi dia belum bales sampai sekarang. Dia tahu nggak sih, kalau aku menyukainya? Dan sekarang dia nggak perduli. Sakit tahu nggak sil, 2 tahun mendem perasaan.
Ritho : Guru Bhs. Indonesiaku Pak. Pratman, kalo guru Bhs. Inggrisku aku belum tahu.
What... jawabannya gitu doang? Argh... Rontok deh, harga diriku. Aku kemudian cari ide untuk sms Ritho, agar dia nggak percaya bahwa itu sms dariku.
Aku : Eh, sorry.. Tadi HP-ku dipinjem temenku yang naksir sama kamu. Tadi dia sms kamu ya? Tadi dia juga sms ke Silvia, tapi salah kirim ke kamu. Sekali lagi, Maaf... Tadi itu bukan aku.
Ritho : Siapa yang suka sama aku?
Aku : Ehm, Santika kayaknya.
Ritho : Dulu dia kelas berapa?
Aku : 9A
Ritho : Siapa, sih? Ciri-cirinya gimana?
Aku : Dia cantik kok. Rambutnya ikal. Yang biasanya suka ke kantin sama aku itu lhoo...
Ritho : Ohh...
Aku : Jadi, tadi yang sms nggak aku lhoo..
Ritho :Ohh
Setelah itu aku bisa menyimpulkan bahwa Ritho itu sekarang sudah nggak suka sama aku. Dia pura-pura bego karena mau menolak aku secara halus. Sekarang, jika difikir logika. Jelas-jelas, kelihatan banget kalau aku bohong tetapi dia pura-pura nggak curiga sama sekali.
Itulah sepenggal lembaran kisahku yang menjadi coretan tinta dalam sebuah buku. Jika membaca diary masih tidak mempan, aku selalu melihat music video group band Korea yang aku suka. Mereka adalah pelarian terampuh, karena suara yang indah dan ketampanannya aku sempat dibuat terbang keangkasa dan meninggalkan Arumba yang masih berada di bumi.
Daftar nama orang memenuhi layar HP-ku. Ada nama alay, nama asli, nama pamer alias nama orang yang disertai lulusan pendidikannya. Itulah nama-nama daftar orang yang on-line di facebookku. Tahu nggak, apa aktivitasku di facebook selama lima tahun terakhir yang nggak pernah terlewat? Aktivitasku adalah melihat daftar orang yang on-line, jika sebuah nama 'Rithoo Rithura' on-line aku langung melihat nama itu terus untuk menunggu inboxnya, hingga akhirnya Ia off-line. Aku yang bodoh, dengan aktifitas yang bodoh.
Gemingan orang bercakap-cakap memenuhi ruangan bus malam, yang aku tumpangi kali ini. Aku merasa waktu terhenti untukku disaat aku mengingat Arumba, dan aku tiba-tiba merasa sendirian dan sibuk dengan fantasiku dengan Arumba. Orang-orang yang disibukkan dengan aktivitasnya membuatku merasa benar-benar sendiri, ada seorang yang tidur, merokok, bercerita, main HP, membaca, dll. Jalan-jalan yang terlewati begitu cepat, secepat kenanganku dengan Arumba yang telah berlalu lima tahun yang lalu. Ya, aku menikmati momen antara aku dan fantasiku bersama Arumba ditemani dengan headset mungilku yang aku tancapkan pada HP-ku dengan lagu : OST my girl friend is gumiho. Aku lupa judulnya, liriknya yang sering memakai kata "dufirufiru raffa", lagu itu memiliki lirik seperti yang aku rasakan kalli ini.
Lintasa angkutan yang tersalip oleh bus yang aku tumpangi mengingatkanku pada Arumba. Dulu aku pernah menumpangi angkutan jurusan "H" dan Arumba menumpangi angkutan jurusan "A". Dikala angkutannya menyalip angkutanku, "Arumbia,. Weeek" Kata Arumba dari dalam angkot itu sembari menjulurkan lidah. Kemudian angkutanku menyalip angkutannya lagi, dan kini giliranku untuk mengejek dia. Hehehe.... Hingga pada pertigaan angkutan kami berpisah. Mengingat itu semua begitu indah, hingga membuatku menangis lagi, lagi, dan lagi...
Rintik hujan yang mengguyur jendela rumahku kian derasnya, seperti air mataku saat ini yang turun tanpa seizinku. Raung-raungan Espas Om Tris (Adik dari ibuku) mendekat perlahan makin terasa dekat, dan tiba-tiba suara itu berhenti.
"Tia, besok kamu kalau sudah lulus dari SMK mau melanjutkan kemana?" Tanya Om Tris setelah menikmati jamuan yang disediakan keluargaku.
"Ehm, saya pingin seperti Mas Nug." Kataku, sembari menunjuk kakak laki-lakiku itu.
"Kamu pingin ke Korea?" Tanya kakakku sembari tersentak kaget. Akupun mengangguk.
"Jujur saja, aku sebenarnya nggak ingin ke Korea. Mendingan kamu menggantikan aku saja. Hehe..." Kata kakakku sembari cekikikan.
"Kamu bener-bener pingin ke kursus dan bekerja ke Korea?" Tanya Om Tris meyakinkanku.
"Iya, Om. Disana, kotanya indah. Kulinernya juga patut untuk dicoba, hehe. Dan yang lebih aku suka adalah etos kerjanya yang selalu menghargai bawahan, pekerja keras, disiplin, dan ulet. Hehe."
Dan citcuwit, bla..., bla..., bla...
Aku yang tengah terguyur hujan, memang harus memayungi diriku sendiri. Tidak seharusnya aku menunggu payung dari laki-laki yang aku cintai, yang belum tentu akan mengulurkan payungnya untukku. Payung yang terbuat dari sebuah impian masa depan ini mungkin dapat melindungi diriku sendiri. Tak seharusnya aku menyiksa diriku sendiri, ada kalanya aku harus move on.
"Sekarang, udah agak ceria, nih.." Kata Mak'e (Nama sebenarnya Malinda, tapi entah mengapa dulu kok aku bisa memanggilnya Mak'e akupun sudah lupa)
"Hehe..., mungkin akan membaik, jika aku lebih mencintai diriku sendiri terlebih dahulu setelah mencintai Tuhan. Seharusnya cintaku, aku berika kepada orang yang tepat. Yaitu diriku sendiri terlebih dahulu." Cerocosku kepada Mak'e setelah kelas sepi.
"Hehe, baguslah... Tapi, jangan menjadi lesby setelah ini ya?" Kata Mak'e agak sedikit mengejek.
"Ih, amit-amit. Audzubilah..." Kataku sembari menepok-nepok perut.
"Oiya, jangan terlalu mencintai diri sendiri juga. Takutnya, nanti kamu jadi orang yang egois." Tambah Mak'e,
"Sip...." Sahutku dengan penuh keceriaan.
Fiuh... Inilah kisah cintaku yang nggak tahu akan kemana kelak berakhirnya. Bahagia atau menyedihkan. Seorang laki-laki yang bernama Ritho Rithura memang sebuah sihir yang menggelapkan mataku, yang mungkin sampai saat ini aku masih mencintainya dan Ia adalah salah seorang yang tidak ingin aku lupakan. Dan kini, ingin kubuka payungku sendiri dengan sebuah impian ke Korea, agar aku tidak selalu tersakiti karena hujan yang lima tahun terakhir ini tengah mengguyurku.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CERPEN - Berikanlah Aku Payungmu"

Posting Komentar