NOVEL - Ukiran di Atas Air
Ukiran di Atas Air
Lantunan alarm menyibakkan kedua mataku yang sayup-sayup untuk ku buka. Aku meraih HP ku, untuk memastikan bahwa aku benar-benar bangun tepat pukul 04.30 Waktu Indonesia Surakarta, eh Barat. Gemericik air aku alirkan ke bagian tubuhku untuk bersuci, kemudian dua raka’at untuk sholat. Setelah sholat aku mengerjakan kegiatan yang tidak pernah aku kerjakan sebelumnyam yaitu “MENCUCI”.... Arrrggh.... Jika boleh jujur, sebenarnya tidak hanya mencuci, hehe... Menanak nasi meski pakai megicom, saja tidak pernah apa lagi masak, terlebih mencuci piring, boro-boro ngepel, menyapu lantai saja selalu masih ada yang tertinggal, Etdah, emang kenangan. Terserah mau menyebut aku calon menantu biadap, kek, calon menantu terbuang kek terserah. Namun sebut saja aku Eci.
Aku sempat tak percaya memijakkan di tempat kerja pada hari pertamaku, dan sempat bergeming “Gilaaa, aku di Solo.” Yup, meski aku tidak asli orang Surakarta, namun aku sangat mengagumi segala hal yang ada di kota ini. Selain kota dengan tingkat kenyamanan untuk di tinggali nomor satu dari seluruh kota di Indonesia, kota ini terkenal dengan masyarakatnya yang sopan dan friendly banget. Itu semua terbukti sedetik setelah aku memijakkan kaki pertama di kota ini, meski hanya di terminal. Kesan pertama orang Solo ramah-ramah sudah terlihat dari terminal wkwk... Ups sorry jika aku agak up normal dari wanita sewajarnya yang lemah lembut. Aku sebenarnya lemah lembut kok, walau cuma di awal aja, hehe...
Aku berjalan menyusuri barista dalam kantorku, aku meraih gelas kosong dan mengisinya dengan air dingin. Mataku stereo berusaha untuk beradaptasi dengan tempat baru. “Glogok” Kata seorang lelaki tambun yang menginterviewku kemarin. Aku berusaha untuk memahami bahasa baru, ehm kalau di daerahku itu artinya minum tanpa menempelkan gelas ke mulut.
“Aku nggak glogok kok mas. Aku nyucup.” Jawabku dengan wajah tak berdosa. Diiringi tawa seantero orang yang ada di sana.
“Ehm... hehe... Maksudnya kamu minumnya agak kesana Eci... Aku mau main billiards. Aku tadi nyodoknya nggak pas, karena kamu disitu.” Jawab orang bertubuh tambun, yang biasa di panggil Jek. Aku yang masih bingung, dengan suasana mengapa mereka tertawa, aku kemudian pergi dan berlalu.
Teman-teman yang satu devisi denganku sudah masuk ruang kerja sedari tadi ternyata. Mereka terlihat serius, diam tanpa suara, dan fokus pada pekerjaan mereka masing-masing. Aku mencoba menyenggol lengan teman yang mejanya nya di sebelahku.
“Mbaak...” Sapaku terpenggal sembari melirik name tag di atas mejanya.
“Mbak Bella, emang glogok itu apa?” Tanyaku membuatnya yang tadinya fokus, kemudian jadi tersentak.
“Haaah, memang siapa yang mengumpat sama kamu?” Tanyanya balik.
“Emang glogok itu umpatan khas Solo?” Tanyaku mendekatkan wajah ke arah Bella.
“Aduh, gimana ya... ya semacam itu..” Jawabnya agak sungkan.
“Pantes tadi di ketawain sama Pak Jek dan kawan-kawan.” Sahutku sembari menghela nafas.
“Hahaha.... Nanti cus ceritain ya, ada mas Jek tuh, ketahuan kita ngobrol di surat merah nanti.” Ajaknya untuk fokus bekerja.
“Siap-siap. Emang dia itu disini HRD kah?” Sahutku.
“Bukan, dia itu SPV khusus bagian CSCC[1] kita.”
“Eci, untuk tiga hari kedepan kamu akan bekerja ditemani oleh Bagus dulu ya.” Tugas Pak Jek, sembari mendekat ke mejaku bersama lelaki kurus, wajahnya tipe-tipe cuwek ngemong gitu.
“Siap, Pak.” Jawabku.
“Eeet.... Satu lagi,jangan panggil aku pak. Hehe, kesannya tua banget. Panggil aja.”
“Om.” Sahut Bella sembari cengingisan.
“Ya, mas laah... kalau panggil aku Om, kasihan Bellanya nanti dipanggil apa? Eyang?” Jawab mas Jek.
“Wah... Perasaan umur cuma beda sebulan juga.” Gerutu Bella.
“Tapi tuaan siapa?” Tanya Mas Jek.
“Ak.. Aku sih..” Jawab Bella yang mulai kejepit. “Tapi, jangan Eyang juga dong.” Jawabmya.
“Bu dhe[2]?” Sahut Bagus sembari menahan tawa.
“Ah terserah...” Sambil cemberut, Bella kembali fokus ke kerjaan.
“Nggak-nggak... Anak pinter kok ngambek.” Ucap Mas Jek menenangkan, namun masih menahan tawa.
“Oke, Eci aku tinggal sama Bagus ya..” Lanjut mas Jek, kemudian berlalu.
Hari pertama aku dibimbing mas Bagus awalnya agak sebel, soalnya dia ternyata orangnya cuwek. Kalau aku nggak tanya, sumpah bener deh, nggak bakal diajarin. Aku sesekali melihat teman seangkatan yang juga masuk pertama sepertiku, dia diemong banget sama pendampingnya, bahkan istirahat bareng, bisa curhat. Sedangkan aku? Andai pendampingku itu “Cewek”.
Langkah kakiku aku ayunkanseirama dengan musik di headsetku. Karena orang Solo baik-baik, sehingga setiap rumah yang ada emak-emak dan anaknya lagi main pasti aku senyumin. Entah kenapa, emak-emak disini pada demen banget ngumpul sambil main gaget di depan SD, dan anak-anak mereka bada bermain disekitarnya. Setibanya di kos, aku membuka gerbang kos dengan agak pelan. Karena ada Nenek kos, takutnya kalau bunyi keras-keras tiba-tiba si Nenek dijemput Izroil kan, nggak asik. Nggak bakal ada yang menemaniku saat seisi rumah pada pergi. Ohya, sebelumnya aku ceritakan silsilah keluarga bahagia ini:
Ibu Kos: Orangnya baik banget super dah... Hari pertama aku di kasih makan, tanpa aku minta, dan sangat ngerti banget, disaat bener-bener aku nggak tahu aku harus beli makanan dimana. Tapi, kalau ngomong supeer kenceng banget... Hehe... Irit tuh kalau pidato, nggak usah pakek sound system. Eh.. Maaf ya Bu. Becanda hehe..
Pak Kos: Orangnya baik, tapi galak. Nggak tahu kenapa kalau sama aku baik, tapi sama keluarganya galak.
Anak Pertama, Kedua: Udah menikah di Jakarta kalau nggak salah.
Anak Terakhir: Namanya Fitri, ya seperti anak seusianya yang baru menginjak kelas 2 SMA. Masih perlu diperhatikan, namun tidak suka dikekang. So Far, selama aku disini aku mengerti banget suasana hatinya.
Nenek: Yap yang satu ini, kebetulan kamarnya di belakang kamarku pas. Jadi kalau ada bunyi tak kasat mata saat tengah malem, aku selalu berpositif thinking jika suara itu dari si Nenek. Hehe... Karena aku sering sendirian di kos. Meski beliau adalah kompetitor terberatku untuk memperoleh singgah sana penuh bintang dan ter-Jring saat dibutuhkan. Kalaianm jangan fikir aneh-aneh. Maksudnya singgah sana itu, ehm... TOILET. Hehe... Iya selalu pada jam-jam yang tepat aku membutuhkan, pasti ada si nenek yang mendahului dan lamaaaaa. Dengan berat hati, aku harus menenggelamkan sang adik dan dipending dulu untuk lepas landas.
Pada hari ketiga di Solo, aku berjumpa dengan teman kosku yang baru saja pulang dari shift siangnya di Hotel Alili Mawar Melati Semua Indah. Kesan pertama bertemu dia, ehm friendly dan mau menyapa duluan, dan emh terlalu vulgar dan ekstrim untuk kesan pertama atau gimana, yaitu ehm... “Mbak boleh minta diketokin?” Tanya Eni sembari menyumbulkan wajahnya saja di depann pintu kamarku. Aku sedikit kaget, speechles, dan ya begitulah...
“Ehm... Iya...Bo.. Boleh..” Jawabku agak ragu tapi ya mau gimana lagi. Fyuh. Kemudian dia duduk di lantai dan segera memberikan minyak telon beserta koin kepadaku dengan cengiran lebar, girang, dan tanpa dosa.
“Nama kamu siapa?”Tanyaku membuka percakapan sembari melumuri lehernya dengan minyak telon.
“Namaku Eni. Kalau namamu siapa?” Tanyanya balik.
“Eci. Ohya, kata Bukos, kamu asal Madiun ya?” Tanyaku.
“Iya, hehe... Ngomongin aku sama ibu kos ya?” Godanya.
“Iya, hehe.. Kebetulan aku juga asal Madiun.” Jawabku.
“Wah, Madiunnya mana?” Tanyanya.
“Dari pada tanya, mending kalau pulang sekalian naik bus bareng.” Jawabku.
“Emang nggak bawa motor?” Tanyanya.
“Nggak boleh nyokab.” Jawabku singkat.
“Wah susah kalau idup disini tanpa motor.” Sahutnya.
“Itu yang aku carii...” Jawabku cengingisan.
“Haha.. Kebetulan besok minggu aku mau pulang. Ambil Ijazah di SMA Padamu Negeri Aku Berbakti.” Sahut Eni.
“What? Kamu alumni sana?” Tanyaku kaget.
“Iya. Baru lulus tahun ini.” Sahutnya.
“Ehm, kalau aku lulus 3 tahun yang lalu sih... Hehe.” Jawabku agak malu.
“Wah, kenal sama mas Azhar, nggak?” Tanya Eni sembari menoleh kearahku antusias.
“Kebetulan, dia Pradana waktu aku jadi Dewan Ambalan dulu.” Sahutku. Dan semenjak dari perckapan ini, singkat cerita kami dekat dan sering sharre makanan, masker wajah, dan apapun itu termasuk Azhar. Dari durasi dia berbicara 98% topik yang ia bicarakan adalah “Azhar”, selalu Azhar, kemana-mana selalu Azhar, saat aku tanya “Kamu suka sama Azhar, ya?” dan selalu jawabannya “Nggak, kok.”, kadang sampai capek dengerinnya, tapi sebagai sosok kakak yang selalu ngemong *Asek*, jadi aku tetap menghargai ceritanya meskipun tentang AZHAR.
Pada masa-masa yang penuh kepolosan anak SMA jaman dulu, tanpa dipengaruhi micin tentunya. Aku akuin aku adalah salah satu pengagum Azhar. Dia laki-laki baik, saking baiknya semua cewek di baikin. Sehingga perempuan mana yang nggak baper saat diberi perhatian lebih. Itu masa lalu. Sekarang, aku menganggap Azhar sih temen yang kocak sih.Aku masih berhubungan baik dengan Azhar, begitupun dia. Aku memang sedikit baper dengan Azhar sewaktu SMA, namun jujur dalam hatiku aku masih mengharapkan cinta pertamaku, yaitu sahabatku semenjak SD dulu, namun entah dimana dia berada. Semenjak aku menginjakkan kaki pada bangku SMA, sahabat yang masih sering kontak aku hanyalah Peppy dan Angga. Sedangkan Tian? Tian yang merupakan cinta pertamaku hilang kabar semenjak aku beranjak SMA.
Kring... Kring... “Selamat pagi, dengan PT. Serbuk Bunga Kaktus ada yang bisa Eci bantu...” Semenjak saat itu terjadi begitu saja, aku melakukan kesalahan yang membuat customer marah-marah. Yaitu menginput data pembelian customer, keliru. Saat itu, ada mas Bagus, sebagai teamku yang sama-sama memegang produk pakaian.
Argh, dia sibuk, dan dia nggak bantu atau arahin aku. Sehingga semua terjadi begitu saja, kebetulan teamku yang lain pada perjalanan dinas ke kantor cabang, sehingga hanya ada mas Bagus pada saat itu. Mas Bagus hannya santai dengan pekerjaannya tanpa memperdulikan aku. Apalagi telfon kantor memang dipasang semacam micro chip, dan dapat merekam suara, dan Argh... Si Customer yang super galak itu telfon ke mas Jek. Yap, seperti yang diduga mas Jek mendatangiku. Aku mencoba tenang seperti mas Bagus yang sedari tadi malah mainan kabel telfon di atas mejaku.
“Eci...” Tanya mas Jek.
“Iya, mas?” Sahutku tenang, meskipun dalam hati bergemuruh.
“Kamu menginpun pesanan underware wanita tipe 33?” Tanyanya.
“Itu yang nginput aku mas.” Sahut Mas Bagus tiba-tiba. “Eci aku ajarinngarsip nota tadi.” Jawabnya bohong.
“Sesuai di email, atasnama parjonolakiperkasa@gmail.com dia pesen underware seperti biasa untuk pasangannya, kalau Mas Jek simpulin bener nggak nginputku?” Tanyanya.
“Ya, aku tahu ID customer ini memang milik yang sang suami. Tapi, salahnya kamu itu nggak tanya detil. Karena ID ini customer ini kadang yang makek itu istrinya.” Kata Mas Jek geleng-geleng kepala.
“Coba nanti aku bujuk si istrinya biar tetep mau terima paketnya.” Ujar Mas Bagus Menenangkan.
“Ya.. Aku nggak mau ini terulang lagi. Dipastikan dia harus mau terima.” Sahut Mas Jek kemudian berlalu.
Aku sedari tadi syok dan ingin kulemparkan sejuta pertanyaan kepada mas Bagus. Dia tahu ID customerku dari mana? Dan semua alur ceritanya. Dia sedari tadi sibuk otak atik komputer.
“Mas, nggak tahu kenapa. Em, makasih ya.” Ucapku yang kayaknya kelepasan.
“Iya. Tenang aja.” Jawab mas Bagus santai.
“Tapi, customernya gimana?” Tanyaku memastikan.
“Ini barusan aku email, kalau produk dikirim karena error di bagian scan saat packing. Sehingga alat packing otomatisnya keliru. Dan untuk uang yang telah di transfer, tidak dapat kembali. Karena barang sudah di pakai bapaknya kan.” Jelas mas bagus. “Dan syukurnya, dia mau terima.” Tambah mas Bagus.
“Tapi itukan bohong?” Tanyaku.
“Namun lebih baik begini kan? Lain kali kalau ada pemesanan. Pastikan dulu yang kirim email itu dia sendiri atau orang lain.” Jelasnya.
“Iya, Mas.” Sahutku sembari menundukkan kepala.
“Oh ya. Pasang chip ini kedalam situ lagi dong.” Perintah mas Bagus.
“Ini apa mas?” Tanyaku.
“Itu chip, kayak memori perekam suara di telfon gitu. Cara masangnya nih di buku panduan ada. Sekali-kali ajaran biar pinter kek.” Ejeknya.
“Iya. Tapi, kenapa tadi benda ini dilepas tadi?” Tanyaku.
“Tadi ada perkataanmu di dalam telfon yang fatal banget untuk di sebutkan dan diinfokan ke customer. Untungnya tadi customer dalam kondisi marah sehingga nggak ‘ngeh’ sama perkataanmu.” Jelas mas Bagus.
“Pasti nyebutin nama PT. Ya mas? Maaf tadi aku kelupaan.” Jawabku.
“Iya, lain kali sebut nama produk kita aja ya.” Sahutnya.
“File rekamannya sekarang ada di komputer. Mau dengerin?” Tanya mas Bagus lagi.
“Boleh.” Sahutku.
CS : “Selamat pagi, dengan PT. Serbuk Bunga Kaktus ada yang bisa Eci bantu?”
Parjono: “Mbak... Bagaimana sih. Bisa kerja nggak?”
CS: “Boleh di sharre ke Eci, kak? Keluahnnya apa?”
Parjono: “Ini lho... Aku mau ngasih paket sekaligus surprise ke suamiku underware seperti biasa kok dapetnya set Brah dan CD. Mana di pakek pula sama suami. Setelah dia dapet, selama setengah hari kerja, dia pakai Brah.Gila. Mikir dong mbak. Apalagi aku ngasih note: Dipakai ya sayang, kesannya aku seperti ngerjain dia. Sebenernya bisa kerja nggak sih mbak? Mbak nya sengaja mau ngerjain atau gimana ini?”
CS: “Mohon maaf, kak atas ketidaknyamanannya. Coba nanti Eci sampaikan ke management dulu untuk konfirmasi titik kesalahannya dibagian apa.”
Parjono: “Pakek masih tanya lagi, kalau kayak gitu mending aku langsung telfon ke Jek. Aku bisa tanya sendiri ke bos kamu. Dasar nggak berguna, nggak bisa kerja. Fungsi kamu itu apa disana? Tanya sama kamu nggak mutu. Nggak menyelesaikan masalah.” Tuuut..
Setelah mendengarkan rekaman itu, kemudian kami menghapusnya. Aku nggak tahu harus berfikir seperti apa. Namun penilaianku terhadap mas Bagus ternyata salah. Ternyata membimbing itu nggak sekedar teori dan terlalu didampingi. Agar saat dilepas dia nggak akan bergantung. Kini aku sadar, ternyata mas Bagus dari awal seolah membuat aku merasa dilepas, sehingga aku merasakan pengalaman berharga kali ini. Bukan hanya teori namun pemecahan masalah.
Setidaknya aku lebih beruntung dari temanku seangkatan yang harus ganti rugi karena juga salah input pengiriman produk, karena customernya nggak mau menerima, dan pendamping yang dulu sering diajak istirahat bareng malah balik nyalahin dia. Nggak seperti mas Bagus, yang malah em, aku nggak tahu harus bilang apa. Intinya, dia ngebantu banget.
Perjalanan waktu menuntunku untuk lebih mengenal kota Solo. Memang benar, dan aku tegaskan sekali lagi orang Solo itu ramah-ramah. Kemarin saat aku pulang kerja aku bertemu dengan seoran wanita paruh baya. Aku selalu bertemu dia pada tempat yang sama dan pada waktu yang sama. Setiap pukul 7.55 aku selalu berpapasan dengan wanita yang memiliki sedikit kerutan diwajahnya. Dengan geraian rambut putih karena uban yang tertiup angin mengiringi senyum ibu itu untuk mendorongku agar segera mmenyapanya terlebih dahulu.
“Mari ibu...” Sabaku ke-tujuh kalinya selama delapan hari aku di Solo.
“Mari...” Jawab ibu itu ramah.”Nama kamu siapa?” Tanya ibu itu yang membuatku sedikit speechles.
“Nama saya Eci, Bu.” Jawabku yang masih menebar senyum.
“Rumahnya dimana?” Tanya ibu itu kemudian.
“Saya kebetulan ngekos.” Sahutku singkat.
“Ngekos dimana?” Tanya ibu itu sembari menata sayur mayur dalam genggamannya.
“Di sebelah SD Satu Dua Tiga Sayang Semuanya.” Kataku kemudian.
“Oh, kosnya Bu Sugeng?” Tanya ibu itu.
“Eh... Anu... Hehe...” Jawabku sembari garuk-garuk kepala dan berfikir keras ‘ kenapa selama seminggu ini aku nggak pernah kenalan sama ibu kos ya?’ batinku nggak habis fikir.
“Hehe... pokoknya yang situ. Hehe...” Cengirku menutupi ketidaktahuanku.
“Walah... Adek ini...” Kata ibu itu terjeda sesaat aku melirik jam tanganku yang menunjukkan hampir pukul 08.00.
“Yasudah... nanti terlambat. Ibu duluan ya.” Sahut ibu itu serayaberlalu.
“Iya bu.” Sahutku merasa bersalah karena telah melirik jam saat beliau tengah berbicara. Abisnya juga takut telat juga.
Hari Sabtu sore nan sunyi ini membuatku hanyut dalam dentuman musik dalam headset yang aku sumpal pada kedua telingku. Aku sengaja menutup pintu kamar kos untukmenikmati kesendirianku. Saatnya Me time dengan coba-coba main aplikasi chatt room yang bernama MeetMyParent. Kebetulan Eni pulang ke Madiun, sedangkan aku Stay in Paris, eh maksudnya Stay in Solo. Kebetulan hari ini malam Sabtu, dan errr... Aku sepertinya akan di kos sendirian lagi, hanya berteman dengan si Nenek. Aku melirik jam pada gagetku yang telah menunjkkan pukul 17.55. Aku sempat mendengarkan lantunan adzan yang tinggal penggalan terakhir, dengan kusambut untuk segera mengambil air wudhu. Aku sibakkan sajadah ke lantai, dan Allahuakbar.
“Mbak Dinaaa.... Ini udah saatnya bayar kos. Kosnya kok Cuma dibayar setengah?” Tanya ibu kos menggelegar, kayak sepeker mushola.
“Dulu katanya ibu, kalau saya lagi libur semester cuma bayar setengah.” Jawab seorang wanita yang suaranya serak-serak becek.
“Samiallah huliman hamidah” Aku harus fokus. Fokuus....
“Namanya dikasih diskon ya nggak bisa terus dong, mbak. Ya maapnya.” Sahut ibu kos kayak ngajak ribut.
“Jujur kalau saat ini saya nggak ada uang bu. Dulu bilangnya kalau saya libur semester bayar setengah, ibu sendiri kan nggak ngasih tahu, kalau itu cuma diskon. Kalau misal saya disuruh pergi, saya pergi sekarang nggak papa bu.” Jawab perempuan itu nantang.
“Assalamu’alaikum warohmatullah...” Setelah mengakhiri sholat yang aku rasa kurang khusuk itu, aku segera menghela nafas... “Astagfirullah... Gini bener, dah....” Helaku heran. Kapan sih aku disambut temen kos dengan yang normal-nomal aja? Kemarin si Eni dengan minta dikerokin, sekarang yang ini dengan drama. Fyuh. Setelah beres-beres aku buka pintu kamar kosku. Tak lama perempuan itu melalui kamarku untuk ke kamar mandi.
“Mari mbak...” Sapanya melalui kamarku yang memakai handuk hijau setelah pintu kamarku terbuka sedikit.
“Iya.. Mari...” Jawabku diiringi langkahnya untuk masuk ke kamar mandi. Tak lama setelah mandi, wanita muda yang berparas seperti keturunan cina-jawa itu kembali menyapaku. Awal yang manis untuk menutupi drama semalam dengan seribu sapaan, secara setiap mau apa-apa dia selalu menyapaku. Hehe.. Singkat cerita dia bernama Dina, yang kemudian memberiku apel pada pagi harinya. Aku rasa dia memang anak kuliah yang super sibuk. Karena, dia kuliah sambil kerja jaga gerai ice blend, kata Eni.
Saat senja mulai menyambut kembali, terlihat kamar Dina yang terbuka. “Wah, ada tanda-tannda kehidupan.” Gemingku. aku membuka kamar dan segera menuju dapur untuk memasak. Yah, iseng-iseng carmuk alias cari muka, namanya juga pingin kenalan. Kebetulan depan kamar Dina tepat menghadap ke dapur.
“Hai, Din.” Sapaku sembari mengintip Dina yang pintunya sedikit terbuka.
“Masak mbak Eci?” Tanyanya sembari mengaduk tehnya dan segera keluar dari kamar.
“Iya nih...” Jawabku seraya meletakkan kalau nggak salah namanya baskom atau panci, apaan sih yang buat masak air itu? Ya pokoknya yang bulet kecil, biasanya dibuat untuk masak air.
“Widih... Masak apa nih?” Tanya Dina sembari menyeruput tehnya.
“Aer.” Jawabku yang membuatnya tersentak.
“Yaelah... kirain masak apa.. Haha.” Sahutnya.
“Aer kan juga perlu dimasak dulu kalau mau di angetin.” Gerutuku.
“Btw, disini kerja apa kuliah mbak?” Tanyanya.
“Kerja..” Jawabku sembari menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah aku isi dengan serbuk susu coklat.
“Dimana mbak?” Tanyanya sembari masuk ke kamar, kemudian keluar lagi dari kamarnya dengan mebawa bantal.
“Sonoh tuh, diujung gang. Jalan kaki bisa kok.” Jawabku.
“Itu tempat apa sih mbak? Setahuku itukan kos-kosan elit.” Jawabnya sembari menerawang.
“Cuma online shopp.” Sahutku yang mendampingi duduk disebelahnya sembari membuka pesan dalam gagetku.
“Eh, btw itu aplikasi apa mbak? Kok ungu gitu warna iconnya.” Tannya Dina.
“MeetMyParent” Jawabku. “Semacam sosmed antar negara gitu lhhoo.. Jadi kita bisa langsung chatt sama orang luar negeri, sehingga kita bisa melatih kosakata inggris kita. Hehe..” Jawabku.
“Yang bener?” Dina mulai kepo.
“Itu niatku waktu jaman SMA sih... Hehe...” Celutukku.
“Maksudnya.” Tanya Dina nggak ngerti candaanku.
“Dulu aku sering buat obrolan dengan orang luar negeri, dari aplikasi ini untuk belajar bahasa inggris. Kalau sekarang.... Beda.. hehe...” Jawabku.
“Emang sekarang niatnya apa mbak?” Tanya Dina polos.
“Cari jodoh.” Sembari ku sunggingkan cengiran kuda lebar.
“Gubrak... Yaelah...” Sahut Dina.
“Yaelah, dek Dina cantik...... Allah memang telah menakdirkan kita berpasangan. Tapi, dengan cara; membuka diri dan usaha. Bismillahi tawakaltu alallah..” Ceramahku.
“Btw, tuh ada yang chatt kamu, mbak. Nggak kamu bales segini banyaknya?” Tannya Dina yang mulai memainkan HPku.
“Dek Dina, dalam mencari jodoh itu kita harus cari berdasar bibit, bebet, bobot.” Ujarku.
“Etdah... Tapi, ini ada dua orang yang mbak kasih nomor HP.” Godanya yang telah menemukan chattku dengan calon kandidat untuk jadi kekasihku.
“Hehe... niatnya mah tiga.. yang satu lagi belom dapet..” Jawabku.
“Tigaa?? What mau dibuat simpenan semua?” Tanyanya.
“Nggak dong, untuk aku seleksi hehe...” Jawabku. “Main aplikasi ini yuk...” Ajakku kemudian.
“Emang bisa dimainin?” Tanya Dina dengan mengedipkan kedua matanya dengan polos.
“Bisa dong. Ini kalau digeser kiri artinya kita nolak orang itu. Tapi kalau digeser kanan artinya kita nerima orang itu untuk jadi teman kita, dan otomatis jika telah kita geser kanan, dalam room percakapan; kita akan chatt “hi” ke dia duluan. Jadi, sebisa mungkin, jangan geser kanan yah...” Jelasku.
“Memang kenapa kalau ngechatt (hi) duluan?” Tanya Dina.
“Pamorku turun ntar... Seumur idupku aku belum pernah chatt laki-laki duluan.” Sahutku.
“Pantes aja ikut aplikasi beginian.” Geming Dina lirih.
“Apa maksudmu?” Tanyaku dengan mata menyeringai.
“Eh... hehe... nggak papa.. Yuk main..” Ajaknya.
“Yang ini menurutmu gimana? Ganteng nggak?” Tanyaku.
“Eh, jelek. Gantengan yang tadi.” Timpalnya.
“Etdah, yang tadi aja idungnya mbegar tau... dibilang ganteng. Geser ke kiri aah...” Sahutku.
“Eehh... ada yang ganteengg...” Teriak Dina sembari menyumbulkan kepalanya untuk mendekati tanganku yang memegahi HP, sehingga kepalanya menutupi pandangannku. “Yah, udah kelewat.” Sahut Dina kemudian.
“Yaaahhh.... Astagfirullah... Dosa apa aku ini? Kyaaaa....” Sahutku dengan sedikit histerir.
“Tuh, kan apa aku bilang. Yang tadi ganteng.” Helanya tidak mengerti penyebab aku histeris.
“Ganteng-ganteng, gundulmu. Bukan karena yang tadi ganteng dan terlewat, tapi karena tadi aku ikutan panik. Aku nggak sengaja geser ke kanan. Aaarrgghh.... ada error command di otakku. Aku kira ini Galeri. Arrggh... biasanya kan kalaudi galeri digeser ke kanan akan kembali ke foto laki-laki yang kamu maksud tadi.” Jelasku sedikit snewen.
“Hahaha...Nge (hi) laki-laki duluan...Siapa tahu jodohmu. Coba lihat profil orang yang nggak sengaja kamu geser ke kanan fotonya, mbak.” Candanya seraya meraih Hpku untuk dibuka profil lelaki itu.
“Ciaaa.... Masih BOCAH... Bahahaha...” Tawaku setelah melihat foto lelaki yang nggak sengaja aku sapa di medsos itu.
“Ups.. So..sorry..” Kata Dina terbata lagi sembari meletakkan Hpku ke lantai.
“Why?” Jawabku sembari meraih HP ku lagi.
“Hehe, nggak sengaja kepencet tanda ini.” Kata Dina dengan cengiran.
“Kyaaaaaa...... Nge (hi) nya kok jadi dua kaliii... TIDAAAKKKK...”Rintilhku diiringi tepokan dari tangan Dina di pundakku.
“Terkadang hidup itu sulit nak.” Ucap Dina sok bijak dan menerawang. “Eh... Dia balesin tuh....” Kata Dina melirik Hpku.
“Nggak deh kayaknya.” Sahutku menutup chatt room aplikasi tersebut.
“Whyy....??” Tanya Dina. “Jodoh itu ha...” Kata Dina belum selesai dan terpenggal.
“Please, Din. Dia terlalu imyut buat akyuh. Aku cari yang sedikit stw. Understand?” Selaku pada Dina yang berniat menasehatiku..
“Apaan tu stw?” Tanya Dina.
“Setengah tuwa... Hehe... Jadi bisa ngemong. Kalau lelaki ini mah, yang ada aku ngemong.” Jawabku.
“Etdah.. Kan bisa buat kakak adek... Buat seneng-seneng aja...” Kata Dina.
“Yaelah, gini nih ciri-ciri cewek sering nge-friend zone nin anak orang. Haha...” Ejekku.
“Soalnya aku pernah pacaran 4 tahun mbak. Tapi kandas gitu aja.” Kata Dina diiringi bola matanya turun melihat ketanah. Seakan ada masa yang diingatnya terlalu sakit.
“Memang kandasnya bagaimana Din?” Tanyaku mulai meletakkan Hpku dan bersiap untuk menyimak.
“Assalamu’alaikum....” Sapa Eni dengan muka lelah lepas dari perjalanan dari Madiun. “Wah, lagi ngumpul nih...” Tambahnya.
“Wa’alaikum salam.” Jawab kami.
“Buruan mandi, beres-beres, nanti ikutan join kesini.” Sahutku yang masih mencium bau keringat pada tubuh Eni.
“Siap, bos ku..” Kata Eni sembari membuka kunci kamar kosnya. Tak lama Eni mandi dengan bungkus es teh kesukaannya, diapun ikut nimbrung.
“Lanjut, Din.” Pintaku pada Dina, setelah semua siap mendengarkan.
“Bahas apaan sih?” Tanya Eni.
“Cowok cyiiin...” Ucap Dina. “Hehe, biasa.... Anak muda cinta-cintaan.” Tambahnya.
“Yuk lanjut...” Tambah Eni sembari menyerutup es tehnya.
“Dulu, aku pernah pacaran empat tahun. Aku memang bener-bener sayang sama dia. Dia sangat perhatian sama aku, dan nggak ada cacatnya saat pacaran.” Cerita Dina menerawang.
“Terus, kok bisa putus?” Tanyaku. “Itu foto mantan kamu ya?” Tanyaku menambahi sembari menunjuk ke arah diding, pada kamar Dina yang sedari tadi terbuka.
“Iya, itu foto mantan aku. Jadi, suatu ketika, ayahku entah kenapa nggak merestui hubungan kami. Ayah menyuruh kami untuk berakhir. Dengan terpaksa, aku memutuskan dia, untuk ayah. Meskipun dia anak orang mampu, atitude nya bagus, bahkan dia juga udah freelance di perusahaan, meskipun saat ini dia masih kuliah. Dia tetap kurang dimata ayahku.” Jelas Dina.
“Alesan Ayah kamu melarang sama dia kenapa? Penampilannya dia nggak awut-awutan bukan? Toh, menurutku penampilannya rapih, ganteng lagi.” Tanya Eni memastikan kepada Dina sembari memandangi foto lelaki yang dipajang pada diding kamar Dina.
“Sampai sekarang aku belum tahu alasannya. Namun, terbukti ayahku benar. Setelah sehari putus sama dia. Dia sudah update punya pacar baru lagi. Jadi selama EMPAT TAHUN ini terkesan nggak ada artinya buat dia. Ya Allah... Baru sehari kami putus.” Ucapnya dengan mata sedikit berair.
“Bukan masalah masa nya, Din. Secara logika nggak mungkin ada orang PDKT dalam satu hari untuk anak kuliahan seperti dia. Pasti saat kalian pacaran, mereka memang udah deket dibelakang kamu.” Ucapku menganalisa. Maklum dulu di sebuah perusahaan leasing aku pernah jadi Analist Dept. Credit.
“Maksudnya selingkuh?” Tanya Dina.
“Bukan selingkuh, maksud aku jangan su’uzon. Kalau diprediksi aja, mereka itu sudah deket, dan nunggu waktu yang tepat aja. Terlebih laki-laki biasanya nggak hanya dekat dengan satu perempuan.” Jawabku.
“Maka dari itu, sekarang aku nge-friend zone semua cowok yang nembak aku, bahkan ada yang udah berkali-kali. Aku masih takut, dan aku masih mencintai dia. Sepertinya aku mau nunggu dia putus sama pacarnya deh.” Kata Dina.
“Wake Up Dna....” Ucapku yang tersentak mendengar pernyataan yang menyatakakan ‘masih mencintai mantannya’
“Iya mbak...” Tambah Eni.
“Dina, kamu cantik, rajin, mana pinter, kuliah dapet beasiswa terus. Ditambah lagi bentuk tubuh dan warna kulitmu idaman wanita banget. Ya Allah, Dina... Please move on. Kasihan laki baik-baik yang nungguin kamu, demi laki-laki yang udah seperti itu ke kamu? Ingat ayah kamu. Toh, nantinya ayah kamu juga nggak akann merestuin.” Ucapku yang berapi-api.
“Terus aku harus gimana?” Tanya Dina yang memainkan bantalnya.
“Jika dia memang mencintaimu, dia akan kembati tanpa harus kau tunggu, nak. Kamu move on dulu. Jangan stalking dulu, foto dia jangan di pasang di kamar, disimpan di lemari aja. Pelan-pelan kamu buka hati untuk yang lain, namun jangan lupa untuk tetap menyaring. Pilih yang bener-bener sayang sama kamu. Terkadang ada benernya kata orang yang berkata; ‘lebih baik dicintai daripada mencintai.’ Kalau nggak salah gitu.” Nasehaku pada Dina.
“Supeeeer sekali.... Jriiing...” Goda Eni sembari bertepuk tangan kecil dan mencolek daguku.
“Iya, sih mbak. Mungkin aku mulai untuk nggak stalking dulu.” Ucap Dina.
“Bay the way, udah jam satu malem guys...” Ucap Eni.
“Etdah... Nggak kerasa tidur yuukk... Besok jam delapan aku hars kerja lagi kyaaa.....” Ucapku sembari beberes lalu kembali ke habitat.
Senin, oh Senin... Kyaaa.... Senin kali ini sepertinya aku kurang tidur deh... Semoga saja hari-hariku be okay. Seperti biasa aku bergelut dengan pekerjaanku, tak jauh berbeda seperti kasus sebelumnya tugasku tetep aja ngadepin customer bermasalah.
“Eci, tumben sehari nggak ada telfon masuk.” Tanya Bella.
“Iya, nih... Kebanyakan pada komplain lewat email.” Jawabku dengan jemari yang asyik menari pada keyboard komputerku.
“Eit, kalau dilihat-lihat wajah Eci mirip sama Bagus yaa.” Kata Bella sembari ngajak temen-temen untuk menggodaku.
“Yaelah, mirip dari mana? Se-pabrik aja kagak.” Jawabku dengan mengibaskan tangan kiriku.
“Bukan... Jangan-jangan kalian jodoh.” Celetuk Ina menyembulkan kepalanya dan ikut nimbrung.
“Eh, ciee..” Goda Bella pada mas Bagus.
“Mending kalo jodoh, jangan-jangan sodara yang ketuker kali ya...” Candaku untuk mengurangi godaan mereka.
“Hahah....” Tiba-tiba tangan mas Bagus dibasuhkan ke mukaku dengan gemas.
“Jring... tumben, si Eci buka mulut.” Kata Ina terheran dengancandaanku.
“Nih adikmu Bell... Hasil didikanmu akhirnya sekarang udah bisa becanda juga.” Sahut mas Jek dari belakang yang ikut nimbrung.
“Kerja itu juga perlu bercanda. Mangap-mangap, kayak Eci dikit nggak papalah.” Ejek mas Jek.
“Ya Allah.... Dibilang mangap... Emang aku apaan bang...” Candaku ngambek dan semua malah tambah ngetawain aku.
Saat istirahat aku seperti biasa istirahat ke kos, terlebih selain bisa ngirit juga bisa tiduran di kasur, apalagi kos ku cuma berjarak lima rumah dari tempat kerja.
~Tungkling~
*MeetMyParent*
Cloudly à “Hi...” Terlihat chatt dari orang semalam yang aku bilang bocah dan nggak sengaja aku (hi) duluan.
“Wah ini anak ngechatt lagi, balesin nggak ya?” Gemingku sepinggiran jalan. Aku lihat history chatt dia semalam yang nggak aku baca, wah brondong.
Sun~22.00 WIB
Cie à “Hi.” (Perlu diingat ini hasil kecelakaan semalam, dan Cie adalah nama hitsku dalam aplikasi ini.)
Cie à “Hi.” (Kalau yang ini mah si Dina kepencet)
Cloudly à “Hai.”
Cloudly à “Salam kenal.”
Cloudly à “Tumben cewek cantik chatt duluan.”
Cloudly à “Lagi sibuk apa?”
Cloudly à “Kamu asli mana?”
Mon~12.15
Cloudly à “Hai.”
Cloudly à “Kok, nggak bales?”
Cie à “Hi.”
Cie à“Sorry lagi sibuk.”
Cloudly à “Akhirnya bales juga..”
Cloudly à “Lagi sibuk apa?”
Cie à “Kasih tahu nggak ya :p “
Cie à “Kamu asli mana?”
Cloudly à “Lihat profilku dong...”
Cloudly à “Tuh, di profil udah ada.”
Cie à “Solo? Kadang kan aplikasi beginian akunnya fake semua. Haha...”
Jujur aja setelah ini, aku agak nungguin pesan dari dia. Dia nggak balesin sampai aku pulang kerja. Karena bosan akhirnya aku buka IG. Ternyata, Allahuakbar... Dia Follow IG ku.. Gila... Tahu dari mana dia. Untung IG ku, aku privat. Dan apesnya saat ingin kepoin dia, IG si Cloudly di privat dengan jumlah pengikut 5895. Gila, bisa diajak buat perang tuh. Pengikutku aja mentok cuma bisa diajak sholat Jumat, dan nggak usah aku sebutin nominal pengikutku, daripada kebanting akunya. Toh, pengikutku khusus temen deketku dan keluargaku aja, jadi logis kalau pengikutku cuma bisa diajak sholat jumat, dan nggak bisa diajak buat perang.
Dengan lapang dada, aku mencoba untuk menerima kenyataan bahwa pengikutku memang nggak lebih banyak dari dia. Sebelum aku approve permintaannya untuk follow aku. Aku mencoba untuk buka aplikasi MeetMyParent, aku koreksi profilku ada pernyataan yang memberikan informasi tentang IG ku atau tidak. Selidik punya sedilik, eh typo. Ya pokoknya itu lah, Ternyata aku pernah upload foto ke aplikasi MeetMyParent, foto itu aku ambil pada hasil screen capture dari caption IG ku, dan bodohnya aku, aku nggakngeh untuk di blur dulu sebelun unggah.
Dari beribu fansku di MeetMyParent, hanya mata lelaki itu yang jeli melihat setiap sudut foto yang aku upload, padahal kecil banget dan samar gitu. Karena dampaknya cukup bahaya, akhirnya aku hapus foto caption dari IGku yang terpampang nyata di aplikasi MeetMyParent. Kemudian aku tetep nggak menerima permintaan mengikuti Cloudly kepadaku, namun aku giliran yang follow dia, tinggal nunggu permintaan untuk disetujui. Ternyata nggak perlu nunggu waktu lama. Si Cloudly yang bernama Yadira Dirga dalam IG, menerima permintaan followku. Sebelum aku terima dia, aku kepoin IG nya dulu aah. Kalu penilaianku, terlihat dari postingan si Yadi, kayaknya dia anak mamah yang manja gitu, sepertinya nggak masalah kali ya kalau aku approve permintaan follownya.
Singkat cerita kami, saling tukar nomor telfon dan berencana untuk nonton bareng. Tak begitu saja aku mempercayai laki-laki, aku meminta bantuan Eni dan Dina untuk menemaniku bertemu dengan si Yadi, tapi pada hari Minggu besok mereka pulang kampung. Akhirmya aku meminta tolong sahabatku sejak SD yang kebetulan kuliah di UNS.
“Guys, aku diajak ketemuan sama doi nih..” Kataku dalam telfon.
“Cie.....” Jawab seorang perempuan dari sebrang dengan nada yang berat.
“Ehm, anu... Maksudku, akhirnya... Cie....” Kata Peppy sahabat karibku dengan terbata.
“Kamu mau nggak ngikutin aku kayak psy gitu.” Ucapku kemudian nggak menggubris sikaptak wajarnya.
“Siap, itu mah keahlianku sejak SD. Emang kamu mau ketemuan dimana?” Tanya Peppy.
“Di Grandia Mall. Jam setengah satu siang.” Ucapku.
“Okay, nanti kamu lewat pintu belakang aja ya, nanti aku ngikutin kamu dari sana.” Papar Peppy.
“Siap, pep. Kamsia yah..” Ucapku.
“Okay santai aja.” Balas Peppy seraya kumatikan sambungan telfon kami.
Setapak demi setapak aku susuri arah pintu masuk Grandia Mall. Entah kenapa aku merasa yakin pada lelaki itu, namun terkadang aku ragu. Selama menyusuri mall, aku tak menemukan si jaket merah Yadi, dan tak luput aku untuk selalu mengabari Peppy. Setelah sampai depan gerai teh deket bioskop. Aku menemukan si jaket merah. Gila, sumpah jeleek baaaaanget. Dia mepet-mepet aku mulu sejak tadi. “Apa ini Yadi? Gila... Gue dikibulin. Nggak mirip di IG.” Gemingku lirih. Namun, si jaket merah itu lama-lama ingin dekat-dekat aku. Akhirnya aku sedikit mempercepat langkahku agar menjauh dari laki-laki itu. Langkah lelaki itu semakin cepat, dan sekarang mengejarku. Setelah sampai pertigaan dekat eskalator, tiba-tiba ~BRUK~ Aduuh, aku nggak sengaja nabrak adek-adek cute banget wajahnya. Dia segera membantuku berdiri.
“M.. Maaf, aku buru-buru.” Ucapku yang masih ketakutan akan si jaket merah yang tadi dengan sesekali melihat ke belakang.
“Tunggu kamu Eci?” Tanya adek-adek itu nggak sopan, karena nggak panggil aku kakak.
“I.. Iya.. Tapi aku buru-buru.” Ucapku sedikit panik.
“Kamu kenapa Eci? Hei..” Sapanyanya menyadarkanku, dan memegangi pundakku.
“Aku diikuti sama laki-laki jaket merah.” Ucapku sedikit calm down ketika si jaket merah itu berhenti di sebrang jalan, karena mengetahui aku dengan lelaki yang aku tabrak ini.
“Hai... Aku lelaki jaket merah. Aku Yadi.” Katanya meyakinkanku.
“Kalau kamu Yadi, dia siapa?” Tanyaku sembari menunjuk lelaki jaket merah yang tadi mengikutiku yang sekarang tertegun melihatku dari kejauhan.
“Memang kamu diapain? Sampai ketakutan gini?” Tanya Yadi.
“Nggak ketakutan kok, cuma sedikit panik aja. Sedari tadi dia ngikutin aku, tanpa nyapa atau gimana.” Jelasku.
“Apa perlu aku samperin dia?” Tanya Yadi .
“Ehm, nggak usah.” Jawabku yang sekarang sudah agak tenang.
“Yaudah beli tiket dulu yuk.. Ajak Yadi..” Ajaknya diikuti langkahku yang berayun girang. Pipiku yang tersipu memang nggak bisa aku sembunyikan.
“Kamu cantik.” Bisiknya saat kami mengantri membeli tiket. Aku hanya tersenyum dan tersipu malu.
Setelah membeli tiket. Kami menunggu film dimuai dengan benyusuri foodcourt. Kami sempet sharre masalah latar belakang kami masing-masing. Entah kenapa aku nyaman bersamanya, aku merasa dia nggak akan berniat jahat kepadaku. Dari seribu laki-laki yang mendekatiku, baru kali ini aku nggak cuwek kepadanya, biasanya kalau ada laki-laki aku bener-bener ingin nampar wajahnya, kayak laki-laki yang ngikuti aku tadi yang rasanya ingin nampol aja. Seumur hidupku, aku fikir baru Yadi yang bisa meluluhkan aku. Bahkan dari ketujuh laki-laki yang sempet aku terima lamarannya kemudian batal, aku pun nggak bisa senyaman seperti saat sama Yadi. Padahal aku baru ketemu Yadi hari ini, namun rasanya udah kenal seribu tahun yang lalu, nyaman banget.
Hiruk-pikuk Grandia Mall yang dipenuhi orang-orang berweekend, membuat aku dan Yadi susah untuk mencari kursi kosong dalam foodcourt. Tiba-tiba tangan Yadi menyentuh punggung tanganku, entah kenapa aku segera pura-pura membenahi kerudungku, agar menjauhi tangannya untuk menggenggam tanganku.
“Oh, ya.. Lanjut percakapan di chatt kemarin.Kamu mau nerima aku nggak?” Tanyanya menegaskan ungkapannya kemarin saat di chatt yang memintaku jadi kekasihnya.
“Nerima?” Aku pura-pura bego aja.
“Ya Ampun, kemarin aku nembak kamu udah tiga kali. Katanya mau ngasih jawaban saat ketemu.” Jawabnnya.
“Jawab, kan? Nggak nerima juga termasuk jawaban, bukan?” Godaku sembari menutup mulutku untuk menahan senyum.
“Ya Ampun... Pinginnya sih diterima.” Ucapnya sambil tetap menyusuri padatnya foodcourt.
“Abisnya cara nembaknya nggak romantis, kayak di film-film Korea, dong.” Gertuku sambil memonyongkan bibir. Tiba-tiba Yadi membungkukkan badannya kemudian jongkok.
“Eitt...Tapi... Nggak gini juga Yadi. Ini banyak orang.” Ucapku sedikit panik melihatnya tiba-tiba jongkok dihadapanku.
“Hah? Kenapa?” Tanyanya bingung sembari membenarkan ikat sepatunya.
“Hehe... Tadi kamu salah denger. Aku nggak bilang apa-apa tadi.” Ucapku lirih dan sedikit panik, sembari garuk-garuk kepala. Aduh, bego banget sih aku. Kenapa tadi aku asal kepedean, untung dia nggak terlalu denger.
“Aku denger kok.” Katanya sembari bangun dari jongkoknya. “Aku, memang nggak bisa romantis. Tapi, aku memang bener-bener ingin jadi pacar kamu.” Ucap Yadi.
“Kenapa kamu pingin jadi pacar aku?” Tanyaku reflek untuk mengetes kesungguhannya.
“Nggak tahu, pingin aja.” Ucapnya. “Oke, aku ulangi lagi. Aku pingin jadi pacar kamu, Eci. Kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku hitungin sampai sepuluh. Kalau kamu nggak jawab, berarti kamu nolak aku.” Paparnya sedikit maksa deh.
“Tuwagapat...” Hitungnya cepet banget.
“Iyaa...” Sahutku gesit. Kyaaaa.... Hacur sudah harga diriku. Pamorku turun gara-gara ini. Ya Allah, kesannya aku jawab semangat banget. Seumur hidupku aku nggak pernah pamorku seturun ini.
“Yes.” Ucapnya, kemudian aku cubit perutnya. “Aduuuh... Napa sih?” Tanyanya menahan sakit setelah aku cubit.
“Biasanya kamu kalo ngitung pas di telfon pelan, tadi kok cepet banget?” Protesku tidak terima.
“Iya biar kamu cepet jadi pacar aku.” Godanya sembari tertawa puas.
“Pamorku rasanya turun.” Ucapku cemberut.
“Ih, cuma gitu. Seharusnya kamu bangga tahu. Dari puluhan mantanku, cuma kamu yang aku tembak.” Ucapnya.
“Hah?” Ucapku kaget.
“Memang ada ya? Cewek nembak duluan?” Tanyaku nggak percaya.
“Ada kok...” Dia menjawab sembari memandang wajahku lekat-lekat.
“Iyaa... Abisnya, kamu cantik banget.” Ucapnya setelah memandangiku lama kemudian duduk pada foodcourt yang kosong. “Aku pesenin makanan dulu ya, kamu duduk sini saja.” Pintanya kemudian berlalu.
“Iyap.” Kataku diiringi kepergiannya. Aku segera menghubungi Peppy sahabatku.
“Tuuut..” Terdengar suara masih menyambungkan.
“Pep...” Sapaku.
“Hallo, Eci?” Tanya Peppy
“Pep, udah berangkat belum?” Tanyaku.
“Ini masih lunch di kos. Paling satu jam lagi.” Kata Peppy.
“Ehm.. Kayaknya aku nggak perlu kamu ikutin, deh Pep...” Kataku memelankan volume suara.
“Kenapa? Kamu bukannya udah ketemu sama dia?” Tanyanya.
“Udah, Pep.” Kataku.
“Terus?” Tanya Peppy.
“Aduh, aku nggak bisa jelasin sekarang. Nggak usah ngikutin aku nggak papa kok. Hehe... Makasih ya Pep..” Ucapku dan segera mematikan telfon mengetahui Yadi mendekat.
Setelah seharian cinta-cintaan bersama pacar baruku, aku segera menelfon Peppy sembari beres-beres kos. Aku cerita dari A sampai Z. Entah kenapa, aku merasa berbunga-bunga gini. Setelah beres-beres kos, aku mengintip kamar Dina terbuka. Samperin aah...
“Dina...” Panggiku sembari membawa mie rebus untuk ku masak di dapur yang nangkring di depan kamar Dina.
“Kok, nggak jawab. Apa lagi sholat ya?” Gemingku lirih.
“Dinaa...” Panggilku sembari ku buka kamarnya pelan. Terlihat sosok kekar berambut panjang hanya memakai handuk putih.
“Kyaaaa... Kamu siapa? Kenapa dikamar Dina?” Tanyaku sembari menyodorkan telur ayam sebagai senjata.
“Haaa... Kamu juga siapa? Membuka pintu kamar Dina dan kamarku sembarangan? Assalamu’alaikum, kek.” Cerocos gadis itu.
“Ke-Kamu Wanita? Eh, Sorry, maksudku... Jadi, ini kamar kamu juga?” Tanyaku.
“Iya. Aku satu kamar dengan Dina.” Jawabnya masih mematung di depanku.
“Sorry, aku anak kos baru. Kamarku ujung deket kamar mandi.” Sahutku. “Ehm, nama kamu siapa?” Tanyaku.
“Namaku Geng.” Jawabnya sembari menglurkan tangan padaku yang kemudian aku sambut dengan manis.
“Sorry, ya... Kesan pertama kita kayaknya agak nggak beres, hehe...” Jelasku yang mundur perlahan untuk keluar dari kamar Geng dan Dina, agar Geng melannjutkan aktivitasnya untuk berganti pakaian..
“Hehe, tenang aja.” Sahutnya setelah aku berlalu.
“Nama kamu siapa?” Tanya Geng sembari mendekati aku yang telah memasak mie di dapur.
“Namaku Eci.”Jawabku sembari mengaduk mie dalam baskom atau panci atau wajan, terserah dinamain apa benda ini.
“Wah, kayaknya udah akrab sama Dina yah...” Tanya Geng yang masih nangkring disebelahku tanpa beraktivitas.
“Hehe,, juga baru kenal kok.” Jawabku kemudian aku angkat si emi dan telur untu aku tiriskan. “Kamu juga libur semester seperti Dina ya? Kok baru kelihatan.” Tanyaku kemudian setelah hidangan hasil karyaku jadi.
“Iya, mbak. Bulan ini udah mulai aktif lagi kok.” Katanya mengikutiku duduk pada ruang tamu alias tempat tongkrongan kami saat ronda, eh maksudnya ngerumpi.
“Alhamdulillah, akhirnya nggak tidur sendirian malem ini.” Ucapku tersenyum penuh harap.
“Dina, dan Eni memang pada kemana?” Tanya Geng.
“Mereka pada pulang kampung, Geng.” Jawabku sembari menyeruput emiku.
Mulai detik ini lengkaplah sudah aku mengenal semua temen kos ku. Jadi, tinggal nentuin kapan launching album girlband kami. Etdah, ngimpi kali ye. Malem ini aku diajak Geng untuk menemui lelaki yang bernama Uda. Uda adalah lelaki semester empat belas,yang telah memiliki tunangan. Namun, akhir-akhir ini Uda sering ngajak Geng ketemu. Kebetulan malam ini aku diminta Geng untuk menemaninya. Aku sering menasehati Geng untuk jangan baper terhadap perhatian Uda, terlebih Uda sering chatt memakai panggilan sayang kepada Geng.
“Kamu nggak takut, geng?” Tanyaku sembari menyerutup minuman favoritku yaknicoklat panas pada caffe tempat ketemuan Geng tadi.
“Takut kenapa?” Tanya Geng.
“Gila, tadi sepanjang kita jalan sama Uda, dia ngenalin kamu ke semua temen-temennya yang juga temen tunangannya.” Jawabkuterheran. “Kamu nggak takut ketahuan tunangan Uda?” Lanjutku lagi.
“Jujur sih, takut.” Jawabnya sembari pandangannya menurun. “Sebenernya aku kayak gini, agar nggak disorakin sama Aga lagi.” Ucapnya.
“Aga itu siapa?” Tanyaku mulai menyimak.
“Agata itu temen satu kelasku, mbak. Biasa dipanggil Aga. Dia baik hati pada semua cewek. Dan memberiku perhatian lebih. Apalagi kemana-mana kami selalu berdua.” Jelasnya.
“Kalian sahabatan?” Tanyaku.
“Ya dia menganggap seperti itu. Namun, dulu aku nggak menganggap begitu. Karena tatapannya lain terhadapku, mbak. Terlebih dia diem aja kalau di goda temen-temen kelas saat aku dengannya” Jelasnya kemudian meminum jusnya.
“Terus?” Tanyaku.
“Hingga suatu waktu, aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta pada Aga.” Ucap Geng.
“What... Berarti bener apa kata Yadi.” Sontak aku menyahut kaget, ternyata anak jaman sekarang meski cewek berani nembak duluan.
“Siapa tuh Yadi, emang kenal sama aku?” Tanya Geng bingung.
“Nggak papa, lupain aja. Kamu nggak kenal kok.” Gelagapku. “Lanjut.” Ajakku.
“Setelah aku menyatakan cinta kepada Aga, dia ternyata memang menganggapku hanya sebagai sahabat, mbak. Dia malah curhat kepadaku kalau dia naksir sama cewek alim di kelas kami. Nama nya Evi.” Jelas Geng.
“Cantik?” Tanyaku.
“Iya, mbak.” Rengeknya. “Dia meminta nasehatku cara mendapatkan hati si Evi, yang super kalem dan pendiam. Sedangkan Aga aja orangnya nggak bisa diem, di IGnya suka pasang foto bareng cewek-cewek yang di PHP in sama Aga.” Jelas Geng.
“Kamu nasehatin Aga-nya gimana?” Tanyaku.
“Aku minta dia untuk menghapus foto-foto IGnya bersama cewek, termasuk denganku. Karena jodoh kan cerminan dari kita. Jadi aku meminta dia untuk memperbaiki diri. Dekati tuhannya dulu, baru kemudian Evi.” Jelas Geng.
“MasyaAllah super sekali...” Pujiku menirukan om Mario.
“Kok diledekin sih, mbak.” Gerutu Geng.
“Siapa yang ngeledekin? Kamu itu bisa aja nggak mentingin perasaan kamu demi Aga mendapatkan si Evi. Itu menurutku suatu hal yang bahkan aku sendiripun, belum bisa melakukannya.” Jelasku kemudian hening, yang ada hanya suara penyanyi caffe yang melantun membuai telinga.
“Jadi, itu alasanmu mempertahankan Uda? Biar rasa canggung antara temen-temen kelas saat godain Evi dan Aga sirna saat ada kamu?” Tanyaku memecah keheningan.
“Iya, mbak. Kayaknya aku nggak akan baper kok.” Jelas Geng sembari meminum jus Alpukatnya.
“Aku harap begitu, tapi... Apa kamu nggak ingin hubungan yang sewajarnya?” Tanyaku.
“Maksudku, cari laki-laki lain. Menjalin hubungan yang normal, yang tujuannya memang untuk ke jenjang yang serius.” Jelasku.
“Pingin sih mbak. Tapi, kenyataannya belum ada yang seperti mas Uda. Cara dia mendekati aku unik mbak.” Jelas Geng.
“Ya Allah... Nasehatku, jangan baper deh... Aku khawatir.”Jawabku sembari beres-beres tas untuk cabut dan balik ke kos.
“Mbak, besok dek Eni dan Dina udah balik ke Solo, bukan?” Tanya Geng sembari pasang starter Vario nya.
“Udah, kok. Kenapa?” Tanyaku sembari membonceg di belakang Geng.
“Karaoke yuk... Sekali-kali, kita ngumpu berempat.” Ajak Geng.
“Boleh-boleh...” Jawabku kemudian mengajak Dina lewat Wa.
Eci à “ Din, besok Senin malem karaoke yuk, berempat. Bareng, Geng dan dek Eni juga.” Ajakku lewat WA.
Dinaà “Wah, kebetulan banget... Aku baru dapet promo karaoke 2 jam cuma gocap.”
Ecià “Wah, yang bener? Really? Cuma lima puluh ribu?” Tanyaku memastikan.
Dinaà “Itu belum include snack dan baverage sih..” Tambahnya.
Ecià “ Cus, aja deh kalo gitu. Jangan lupa ajak dek Eni ya..” Pintaku kemudian aku masukkan Hp ke dalam tasku.
Hembusan angin yang sepoi-sepoi di malam yang indah ini membelai kerudung keempat personil girlband, etdah typo... Maksudku keempat gadis yang InsyaAllah menjdaibidadari syurga kelak. Aseek... Lankah kami berayun menuju resepsionis tempat karaoke itu, berhubung, tempatnya penuh kami diminta untuk menunggu selama kurang lebih tiga puluh menit. Pada meja tunggu yang seperti barista dalam club penyusnannya, terlihat lelaki bertopi hitam, dan memakai t-shirt hitam beserta celana jeans panjang hitam. “Gila, mau takziah ini orang.” Batinku. Aku melihat ketiga temanku pada ngiler terpesona oleh lekaki serba hitam itu. Saat aku melihatnya, jujur aja dia agak charming. Aku sempet nggak sengaja bertatapan dengannya, dan itu sempat membuatku freezze sesaat, meskipun aku sudah punya Yadi yang lebih cute dari dia, namun pesona lelaki serba hitam itu ‘eerrr’ sekali. Terlihat sebelahku ada kursi kosong yang nganggur, lelaki itupun duduk disebelahku. Aku sedikit melirik kearah lelaki itu, aku perhatiin kayaknya nggak asing, deh.
“Mbak Eci, pindah tempat boleh?” Tanya Eni yang tanggap situasi seperti ini. “Panas nih, kalau tempat mbak Eci kan deket Ac.” Sahut Eni beralasan agar dekat dengan lelaki itu.
“Boleh..” Ucapku beranjak menjauh dari lelaki itu dan duduk pada tempat duduk Eni. Aku mencoba pura-pura mengambil Hp, yang kemudian aku arahkan Hp ke wajah lelaki itu. “Kenapa lelaki itu melihat aku terus ya? Anehh.” Batinku setelah melihat bayangan lelaki itu yang hanya melihatiku dari keempat gadis yang ada di ruang tunggu karaoke ini.
Dalam perjalanan pulang, kami memesan Go-Car. Sejenak hening, mungkin mereka kecapean, abis tereak-tereak. Soalnya.... Ehm... Nggak tanggung-tanggung, tadi kami abis nyanyi lagunya Avanged 7X.
“Mbak, kamu kenal sama lelaki yang ganteng tadi ya?” Tanya Dina membuka keheningan.
“Iya, sedari tadi yang diperhatiin mbak Eci mulu. Padahal udah aku bela-belain dudk disebelahnya.” Gerutu Eni.
“Etdah, ini bocah..” Celutuk Dina pada Eni.
“Tapi, tadi beneran memperhatikan kamu terus mbak. Siapa sih mbak? Itu Yadi pacar baru mbak Eci ya?” Tanya Geng juga ikut penasaran.
“Nggak mungkin aku nyuwekin Yadi.” Ucapku sembari mengingat-ingat wajah itu.
“Ehm, kayak nggak asing sih...” Gemingku kemudian.
“Iya siapa?” Tanya keempat orang itu kompak. Kalau keempat, berarti pak sopir Go-Carnya ikut nyimak. Etdah...
“Mungkin temen kerjaku kali.” Ucapku asal dan sesuai logika. Secara kalau dinalar, kegiatanku di Solo cuma kerja, kalau nggak ya masak di kos. Kalau aku nggak merasa asing dengan wajah itu, kemungkinan besar, ya berarti temen kerjaku. Nggak mungkin temen masakku saat di kos. Hehe..
“Kenalin doooong...” Rengek Eni melipir ke pundakku yang nyempil ditengah-tengah antara badan pak supir Go-Car dan tubuhku.
“Ya Allah... Eni, aku kalau di kantor cuwek sama cowok. Akrab sama satu devisiku aja baru satu laki-laki. Apa lagi sama devisi lain.” Ujarku mengingat awal sebelum akrab dengan mas Bagus, yang memang sangat sebel sama mas Bagus.
“Emang, mas-mas yang tadi di tempat karaoke Devisi apa?” Tanya Dina.
“Mungkin accounting. Soalnya kebanyakan yang banyak anak laki-lakinya itu bagian accounting.” Jawabku asal dan kembali lagi sesuai logika.
“Dari tadi kayaknya Mbak Eci jawabnya ngarang deh..” Sahut Geng.
“Iya tuuh... Punya temen ganteng aja, disembunyiin.” Goda Eni yang masih nyempil di tengah-tengah.
“Iya tuh, padahal udah punya laki’ juga.” Tambah Dina. Sepertinya mereka niat banget nyudututin aku.
“Haha, aku jawab nggak ngarang. Itu sesuai logika kok. Dan aku bener-bener nggak tahu informasi dari lelaki itu.” Jelasku. “Tapi, cowok yang tadi ganteng juga ya..” Celutukku jujur.
“Yaelaah...” Kata mereka kompak sembari menepok jidat mereka masing-masing.
“Emang kenapa?” Tanyaku.
“Kirain, diantara kami cuma kamu yang nggak tertarik sama itu laki’. Ternyataa... Hadeeh...” Jelas Geng.
“Ya Allah... Aku juga wanita normal. Ada lelaki bening, kapan lagi bisa cuci mata. Hehe..” Celutukku.
“Tapi, kenapa tadi kamu cuwek banget?” Tanya Dina.
“Karena lebih bening pacarku, hehe...” Jawabku ada jujurnya juga sih, plus sombong dikit. “Terlebih kalau aku deket lelaki asing, entah ganteng, atau jelek pasti aku cuwek.” Jawabku menambahi.
“Dan itu nggak berlaku sama Yadi, pacarmu?” Tanya Dina memastikan, akupun mengangguk. Karena setelah aku jadian sama Yadi, aku langsung cerita ke Geng, Dina dan Eni juga. Hehee, maklum... Namanya aja mulut wanita.
“Iya, sih... Awal pertama saat bertemu Yadi aku nggak secuwek saat bertemu lelaki itu. Tapi, alasan lain, aku memang sengaja cuwek karena aku menghargai pacarku. Jujur aja, misal aku tadi jomblo, saat dia mandang aku, aku pasti berani pandang dia balik. Karena aku menghargai Yadi, aku berusaha untuk pura-pura nggak tahu.” Jelasku menerawang yang entah kenapa aku merasa begitu merindukan Yadi.
“Cieee... Umu-umu... Setianya...” Goda Dina sembari membayar abang Go-Car, kemudian turun dari mobil.
“Tapi, Yadi beruntung dapet kamu, mbak.” Ucap Geng yang ikut turun. “Mana cantik, baik, setia pula.” Puji Geng menambahi yang membuatku tersipu saat berjalan menuju kamar kosku.
Waktu berayun-ayun membuai indah setiap ceritaku di Solo. Aku termasuk wanita yang sangat beruntung. Karir yang bagus, rekan kerja yang baik, temen kos yang perhatian, sahabat yang setia, pacar yang mengerti aku, keluarga yang kaya, alamak keceplosan, maksudku keluarga yang perhatian dan selalu mencukupi kebutuhanku. Jujur aja, gaya hidupku terkadang hedonis banget, yang membuat gaji bulananku bisa habis setelah seminggu berlalu, jadi aku masih bertahan di Solo karena sokongan dari beberapa bisnis keluargaku yang kebetulan aku pegang.
Selama dua bulan di Solo, awalnya aku mau resign, tapi karena ada Yadi aku bertahan di sini. Waktu bisnisku hapir collapse aku bener-bener nggak bisa bagi waktu, aku bener-bener pingin pulang. Tapi, si Yadi ngambek. Aduh sumpah... Meski dia sama aku, tuaan dia satu tahun. Tapi entah kenapa, dia mulu yang sering minta dimanja. Apa mungkin pengaruh pergaulan anak kuliahan seperti itu? Jika Yadi nggak pindah Universitas mungkin saat ini dia udah wisuda kayak aku. Berhubung dia selama 2 tahun, kuliah di Depok, kemudian pindah ke universitas di Solo yang terkenal dengan universitas golongan orang elit, yang membuatnya harus mengulang semester.
Meski aku agak jengkel sama Yadi, aku tetep memperjuangkan dia. Entah kenapa, baru kali ini aku merasa bener-bener serius dengan laki-laki. Kata temenku, seseorang yang mencintai, pasti nggak akan menyakiti satu sama lain. Dan itu terjadi padaku, aku nggak mungkin menyakiti lelaki yang aku cintai, Yadi. Hawanya, kalau sama dia udah nggak tegaan. Tapi sampai saat ini, aku masih mengaku pada Yadi kalau aku anak orang miskin. Jujur aja, selain ingin mengetes ketulusan laki-laki, aku juga nggak ingin diporotin. Mungkin, nanti kalau dia udah melamar aku, aku baru mau ngaku.
Lamat-lamat aku tersenyum memandangi wajah bayangan Yadi yang super cute, aku lihat dia mendekatiku. Tiba-tiba menjitak kepalaku.
“Aaau... Mas Bagus? Kok kamu?” Pekikku.
“Kerja yang bener.” Kata mas Bagus.
“Hahaha, pasti Eci mandangin mas Bagus keinget blue film. Hahaha.” Celutuk Bella yang masih sembari mengetik untuk membalasi email customer.
“Idih...” Gemingku kemudianmembereskan meja dan bersiap untuk istirahat.
“Mau istirahat kemana, Ci?” Tanya Bella kemudian merapikan mejanya.
“Biasa, ke Kos.” Jawabku datar.
“Temenin aku cari dress yuk.” Ajaknya.
“Sekalian cari makan, kan?” Tanyaku memastikan. Takutnya namanya cewek kalau udah milih pakaian pasti setahun mah nggak ada apa-apa nya.
“Ya iyalahh.. Nanti makan dulu.” Jelasnya.
“Hehe, kamu ngerti kan, penyakit magh ku nggak bisa ditolerir.” Jelasku dengan cengiran kuda.
“Idih, ngeles. Kalau yang berlaku pada Eci mah bukan penyakit magh, tapi doyan. Haha..” Ejek Bella yang berjalan dalam koridor.
“Yaudah, yuk.. Cuss...” Ajakku sembari menenteng tas dan berjalan beriringan dengan Bella ke halaman kantor. Terlihat beberapa karyawan berenang, sebagian main billiards, dari beberapa laki-laki ada satu sesosok kekar yang menggodaku bola mataku untuk meliriknya.
“Bell, itu laki-laki yang pakai topi siapa?” Bisikku yang membuatnya terhenti sejenak. Kami memandanginya dari kejauhan, yang sekitar berjarak lima meter jarak antara mobil Bella dengan halaman kantor.
“Oh.. Itu mas Alan. Dia SPV anak accounting.” Jelas Bella sembari mencari kontak mobilnya dalam tas.
“Masak? Udah lama dong disini?” Tanyaku yang masih memandanginya.
“Ya, iya lah... Secara SPV. Aneh kamu ya, masih nanyak.” Kata Bella saat aku masih terbengong. Apa bener mas Alan yang pernah bertemu denganku saat di tempat karaoke dua bulan yang lalu? Wajahnya kalau aku lihat hampir mirip, tapi gantengan waktu ditempat karaoke daripada sekarang.
“Woy.. Kok malah bengong. Kenapa? Kamu naksir mas Alan?” Tanya Bella dengan mata menyelidik..
“Nggak kok... Kayak nggak asing aja.” Jelasku sembari masuk kedalam mobil Bella.
“Mas Alan itu, gosipnnya... Dia lagi ngejar-ngejar istri orang. Entah deh itu fikirannya lagi kesambet atau gimana. Seakan-akan tergila-gila gitu. Padahal di dunia ini kan banyak cewek singel yang cantik. Contohnya? Yaaa, Aku.” Kata Bella panjang kali lebar.
“Dia ngejar-ngejar istri orang?” Tanyaku memastikan.
“Iya, dulu gosipnya, dia pernah sengaja nabrak cewek yang dia cintai itu. Dan hingga sekarang aku nggak update gosipnya lagi.” Jelas Bela berapi-api.
“Kok, jahat... Namanya orang mencintai nggak mungkin menyakiti kayak gitu. Apa lagi sampai ditabrak.” Ucapku.
“Ya, itulah mencintai apa yang jelas-jelas nggak bisa kita miliki terkadang membuat kita lelah dan hilang kontrol.” Jelas Bella.
“Jangan-jangan si cewek ngasih harepan palsu kali ke Mas Alan. Sampe segitu tergila-gilanya.” Tanyaku menyimpulkan.
“Nggak kok... Gosipnya, Mas Alan-nya aja yang terobsesi. Dulu mas Jek pernah main ke kamas mas Alan. Kata mas Jek, semua isi kamarnya mas Alan adalah foto cewek itu yang diambil secara sembunyi-sembunyi.” Jelas Bella.
“Ih, serem ya... Ceweknya kayak apa ya... Penasaran.” Celutukku yang diiringi stater mobil Bella untuk berlalu.
“Aduuuhhhh... Sumpah gimana ini?” Tanyaku dalam mobil tersentak yang membat Bella ikutan kaget.
“Kenapa?” Tanyan Bella.
“Hari ini pacarku ulang tahun... Kyaa... Aku harus gimana? Belikan apa ya? Mana mamti aku ada janji sama dia. Waktunya nggak keburu deh kalau ngasih surprise.” Rengekku panik.
“Beli cake aja, nanti kasihin.” Saran Bella asal namun jujur agak membantu.
“Nanti anterin beli cake ya?” Pintaku.
“Ini beli cake aja dulu baru makan.” Ucapnya.
“Okay, thank’s Bell.” Ucapku agak tenang.
“Iyap..” Jawabnya sembari fokus mengendara.
Sayup-sayup terdengar bunyi bell pada gerbang kos ku. “Itu pasti Yudi.” Gemingku. Kebetulan semua temen kosku pada keluar. Eni sedang shift malam di hotel, Dina lagi part time jaga ice blend, Geng sibuk ngelatih karate muridnya, si nenek, ibu kos, bapak kos sekeluarga mereka ngumpet, karena mereka saking baiknya sama aku. Alhamdulillah, mereka pengertian sekali. Semua lampu aku matikan, aku meminta Yadi untuk langsung masuk ke ruang tamu dalam kos.
“Hai...” Sapaku dalam kegerapan.
“Gelap-gelapan, gini, yang?” Tanyanya.
“Iya, nih listriknya aku buat nanak nasi dan nyetrika nggak kuat. Akhirnya mati.” Sahutku bohong.
“Salurannya sebelah mana?” Tanyanya.
“Sebelah sana, tapi aku nggak bisa nyalain. Takut kesetrum.” Jawabku cengingisan dalam gelap.
“Yaelah, cewek.” Sahutnya.
“Yaudah aku ambil penerangan dulu.” Kataku meninggalkannya di ruang tamu sendirian, dengan semangat ’45 segera aku nyalakan lilin diatas cake. Aku berjalan ditengah kegelapan untuk menghampiri Yadi.
“Happy birthday...” Ucap ku lembut dan sok imut diiringi Yadi yang menoleh kebelakang, kearahku.
“Ya Ampun...” Katanya sembari mendekat dengan penuh senyuman.
“Cuma kamu yang ngucapin.” Katanya, kemudian Yadi mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Thank you.” Bisiknya lembut sembari meraih tangan kamanku, sedangkan tangan kiriku masih membawa cake itu.
“Tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga...” Nyanyiku dengan girang diiringi dia yang bersiap meniup lilin. Bukan lilin yang ditiup, tapi bibirnya mengecup tangan kananku dengan lembut. Sejenak pipiku memerah bagaikan udang dikalduin. “Ya Allah ampunilah dosa hamba.” Batinku. Karena seumur hidup aku belum pernah ngerasain sedekat ini dengan laki-laki.
Tak ingin berlama-lama maksiat, hehe... Akhirnya lampunya aku hidupkan lagi. Kami berdua sebelum memakan kue, kami membagi kue untuk dibagikan ke temen kosku dan ibu kos ku.Tadi aku sempat cerita ke Yadi; kalau sebelum Yadi masuk kedalam kos, aku sempet izin dulu sama ibu kos, dan ternyata malah disambut antusias, serta bantu nata ruang tamu kos bersamaku. Setelah makan cake aku jalan-jalan ke taman Manahan, yang terkenal sama air mancurnya.
“Air mancurnya indah ya...” Ucapku kemdian aku menoleh kearah Yadi. Terlihat tatapan menerawang dari Yadi, tatapan yang aku tidak tahu maksudnya.
Sayup-sayup angin menerpa kerdungku, menarikku untuk melihat pemandangan pohon yang melambai menyapaku. Diatap rumah ini, selain berfungsi sebagai tempat jemur pakaian, juga bisa membuat relaksaasi. Aku nggak tahu kenapa, saat bersama Yadi aku merasa hatiku teriris-iris. Disisi lain aku mencintai Yadi, namun disisi lain aku sakit hati, aku nggak tahu apa yang terjadi denganku. Kata Peppy, sepertinya hubunganku dengan Yadi nggak akan lama, Peppy selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu mencintai Yadi.
“Dooor..” Bentak Eni tiba-tibadari balik tangga.
“Nggak kaget. Kasian deh..” Ucapku tanpa menoleh kebelakang.
“Lagi, galau ya buk?” Tanyanya.
“Nggak, kok. Biasa aja. Tumben jam sebelas udah pulang?” Tanyaku.
“Wah, nggak seneng ya, adek termanisnya pulang cepet.” Sahut Eni manja.
“Nggak, siapa tahu ada kejadian apa yang membuat kamu pulang duluan, aku kan nggak tahu.” Jawabku sesuai penalaran aja.
“Kok tahu sih buk?” Jawabnya sembari duduk di atap, mendampingi aku.
“Memang ada kejadian apa di hotel?” Tanyaku.
“Masa triningku akan habis di Hotel Alili Mawar Melati. Mulai minggu depan, aku diterima di salah satu hotel bintang empat di Semarang.” Jelasnya.
“What?” Sentakku kaget. “Terus, khursusmu di ISP?” Tanyaku.
“Setelah Trining di Hotel Alili Mawar Melati, aku wisuda. Lebih baik kerja dulu di Semarang. Masalah wisuda nanti bisa ambil cuti.” Sahut Eni.
“Bukankah, masa Triningmu kurang dua minggu lagi, tapi minggu depan kamu udah kerja. Memang boleh?” Tanyaku.
“Alhamdulillah HRD nya baik, meski seminggu aku nggak datang trining, aku tetap akan mendapat nilai.” Jelas Eni.
“Nanti tinggal tiga orang dong, calon bidadari syurganya.” Kataku lesu.
“Santailah, nanti tetep kontak aja.” Kata Eni menenangkan. “Yaudah yuk turun. Nggak takut apa, malem-malem diatas sendirian?” Ajak Eni kemudian beranjak dan menuruni tangga.
“Dikit.” Sahutku kemudian membuntut dibelakang Eni untuk turun.
Terdengar gemuruhan orang tertawa terbahak-bahak di teras kos. Aku mencoba mengintip dari balik jendela. Ada seorang wanita bersama lelaki yang kemungkinan besar adalah pacarnya tengah mengobrol denagan ibu kos. Ehm... Kayaknya penghuni baru deh. Setelah seminggu kepergian Eni, kamar kos sebelahku, diisi oleh seorang wanita berjubah. Entah kenapa dia nggak pernah negur aku, Geng, maupun Dina. Apa karena kami terlihat kayak cabe-cabean ya? Hehe abisnya sih tinggal tiga personilnya. Hehe, tiga kan identik dengan itu julukan.
“Mbak, Sinta?” Sapaku mencoba dekat. Jangan tanya aku tahu namanya dari mana. Tentunya dari ibu kos lah. Ibu kos kan selalu baik padaku, selain sering diajak pengajian bareng, aku sering diajak gosip bareng. Eh.
“Iya mba” Sahut mbak Sinta.
“Masak bareng yuk.” Ajakku.
“Duluan aja, mbak Eci. Kebetulan hari ini aku mau ngelesin anak.” Jawabnya.
“Wah udah kerja, ya mbak.” Sahutku antusias.
“Masih kuliah juga mbak. Semester sepuluh.” Jawabnya malu-malu. “Lanjut nanti ya, mbak. Aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Sapanya kemudian berlalu.
“Wa’alaikum salam.” Jawabku krik-krik, terbengong.
“Mbak, Eci...” Sapa Geng dingin dari dalam kamar yang masih tertutup.
“Haha,,,, kasihan deh, dikacangin.” Ledek Geng.
“Biarin, diakan tadi lagi sibuk.” Elakku sembari membuka kamarnya. Apa yang aku temukan? Kamar yang tadi ada suara Geng kosong.Segera aku tutup kembali kamar Geng, dan bergegas kembali ke kamarku. Setelah mengunci rapat-rapat kamarku, aku baru tersadar sesuatu. “Kalau Geng, nggak ada dikamar. Nggak mungkin kamarnya tadi nggak di kunci.” Gemingku. Serasa dikerjain anak balita deh... Iihh... Akhirnya aku menelfon Geng, namun tidak diankat sebelum terbunyi tut. Tuh, kan apa aku bilang. Aku dikerjain.
“Gengg....” Teriakku kemudian aku segera membuka pintu kamarnya lagi.
“Aaaaaaaahhh.....” Terlihat sosok mengerikan menyeringai tepat didepan mukaku.
Sayup-sayup terlihat seorangseorang bayi perempuan menagis. Aku mendekati bayi itu dalam cahaya yang menyilaukan. “Cepat pulang” Kata bayi yang masih kekitar berumur 6 bulan. Aku terperanjat kaget melihat kejadian itu, tak lama bayi ilu lenyap. Segera aku berlari mengejar bayi itu pada jalan panjang yang tak berujung. Cahaya yang semakin terang menyilaukanku. Tiba-tiba terlihat ibu kos tengah membawa minyak kayu putih, sedangkan Yadi menyangga kepalaku. Aku mencoba bangun dan mengingat semuanya.
“Yadi, kamu kok ada disini?” Tanyaku pada ibu kos.
“Tadi ibu menemukanmu teriak, saat ibu dekati kamu sudah nggak sadarkan diri.” Jelas ibu kos. “Nak Yadi, kebetulan tadi diluar, ibu minta bantuan untuk masuk aja.” Tambah ibu kos. Aku tidak ingin menceritakan apa yang aku lihat tadi, aku takut semua tidak mempercayaiku, dan aku takut ibu kos merasa terhina dengan ceritaku. Dengan sigap Yadi membelai pipiku. “Aku masih hidup...” Kataku lirih dengan tatapan kosong seraya melepaskan tangan Yadi dari pipiku perlahan.
“Aku yakin kamu masih belum bersedia untuk cerita, sekarang. Namun, aku siap mendengarkan jika kamu telah siap untuk menjelaskan ini.” Ucap Yadi mengusap punggungku dengan senyuman lembut.
“Ini diminum dulu.” Kata ibu kos sembari mengulurkan segelas air putih. Aku segera meminum segelas air putih itu.
“Terimakasih, bu.” Ucapku.
“Sama-sama.” Kata ibu kos. “Sebenarnya apa yangtadi terjadi?” Tanya ibu kos yang masih penasaran.
“Nggak papa kok. Mungkin tadi Eci cuma kelelahan aja.” Sahutku sok tegar, padahal kenyataannya aku masih menggigil ketakutan.
“Kenapa tadi teriak? Pasti ada apa-apa.” Sahut ibu kos yang mulai curiga.
“Nggak papa, kok bu. Tadi Eci main gamenya kalah, jadi Eci teriak.” Jelasku bohong.
“Eci, kondisimu seperti ini, kamu jadi main denganku?” Tanya Yadi.
“Jadi...” Jawabku gesit, karena nggak mau di kos sendirian.
“Yadah kalau begitu ibu balik ya... Hati-hati...” Kata ibu kos kemudian berlalu.
“Iya, bu.” Jawabku.
“Tapi, aku mandi dulu ya.”Pintaku pada Yadi.
“Yaudah, aku tunggu pintu gerbang ya.” Ucap Yadi.
“Jangan.” Ungkapku gesit dan masih gemetaran.
“Tunggu diruang tamu aja.” Pintaku menambahi.
“Oke, aku tunggu penjelasanmu yang sebenarnya nanti.” Geming Yadi lirih dan duduk menungguku.
Tak lama aku segera beres-beres untuk jalan sama Yadi. Aku buka pintu kos, dan segera menuju ke ruang tamu menemui Yadi. “Sayang...” Sapaku. Terlihat sosok mengerikan itu datang lagi, kini mulai mendekat, segera aku mengambil pisau untuka aku acungkan kepada sosok itu.
“Pergiiii....” Kataku berteriak.
“Eci, ini aku Yadi...” Ucap makhluk itu.
“Aku nggak percaya.... Pergii.” Bentakku, yang membuat ibu kos datang menghampiriku.
“Astagfirullah Eci.... Lepaskan pisaunya...”Teriak ibu kos.
“Tapi.. Tapi...” Kataku tiba-tiba makhluk itu pergi dan berubah menjadi Yadi.
“Yadi?” Tanyaku sembari menjatuhkan pisau dengan tangan gemetar.
“Maaf...” Kataku dengan suara gemetar.
“Yaudah, ayo kita pergi.” Ajak Yadi dengan wajah menyelidik. “Bu, kami pergi dulu ya.” Pinta Yadi beranjak dan menggandenku sedikit paksa. Saat dalam perjalanan hanya hening yang menghiasi perjalanan kami.
Setelah sampai di tempat makan, Yadi memang telah memesankanku makanan. Namun, entah kenapa hatiku rasanya sakit. Seperti ada yang aneh dalam diriku. Apa ini ada kaitannya dengan jin, yang menggangguku tadi ya.
“Ayo, dimakan, dong sayang. Jangan ngelamun terus.” Pinta Yadi sembari menyantap makanannya. Tiba-tiba sosok itu datang lagi, seperti tengah memakan daging mentah dalam tubuh Yadi. Aku melihatnya pingin muntah.
“Kamu pasti melihatnya lagi.” Geming Yadi.
“Kalau kamu melihatnya aku mohon tutup matamu, dan bilang padaku.” Perintah Yadi.
Aku segera menutup mataku, seperti apa yang diperintahkan Yadi. “Sayang, aku melihatnya masuk ketubuh kamu tadi.” Ucapku sembatri menutup mulut menahan mual.
“Sudah jangan takut. Apapun yang terjadi kamu jangan teriak ya.” Pinta Yadi. “Kalau kamu takut tinggal tutup mata kamu aja.” Tambah Yadi. Aku yang masih menutup mata mendengar suara monster berteriak, aku buka mataku perlahan. Kali ini benar-benar aku nggak nafsu makan, dan ingin mengeluarkan isi perutku. Didepan mataku terlihat sosok bertubuh isi organ tubuh manusia penuh belatung. Segera aku berlari menuju toilet untuk memuntahkan semua isi perutku. Tak lama seseorang mengetuk pintu toiletku.
“Sayang, dia udah pergi.” Kata Yadi dari balik pintu. Kubuka pintu toilet perlahan, kuintip dari ujung, terlihat Yadi berdiri di depan toilet.
“Aku takut...” Ucapku lirih menahan tangis, yang masih mengintip dali balik pintu toilet.
“Aku tahu, semuanya. Ini pasti wanita yang hanya bertubuh organ manusia itu adalah jin kiriman dari temanmu sendiri. Dia nggak senang dengan hubungan kita.” Sahut Yadi.
“Kamu percaya padaku? Disaat aku belum menceritakannya padamu?” Tanyaku terheran kemudian memberanikan keluar dari tolitet perlahan.
“Aku melihatnya.” Jawab Yadi seraya menggandengku untuk kembali pada tempat makan kami sebelumnya.
“Kamu punya indera keenam?” Tanyaku.
“Nggak tahu, cuma tahu aja.” Jawabnya. Setelah makhluk itu pergi, kami mulai bercerita serius tentang hubungan kami. Dia sempat menceritakan keluarganya dan meyakinkan aku untuk tetap mendampinginya. Entah kenapa, aku nggak semakin senang. Semakin serius dengan Yadi, aku semakin sakit hati. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa perasaanku yang sakit hati ini, juga ulah teman yang nggak menyukai hubunganku dengan Yadi. Lalu siapa?
Aku menerawang pandanganku pada air mancur yang menjulang menyembur ke atas. Aku menyandarkan kepalaku pada bahu Yadi. Pemandangan yang menggoyahkan hatiku kembali terulang. Yadi terdiam menerawang, entah tatapan yang aku sendiri tidak tahu arti tatapan itu.
“Aku mohon, jangan mencurigai teman-temanmu.” Geming Yadi.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Apapun itu, niat mereka baik.” Jawabnya.
“Memang, kedekatanku dengam kamu suatu yang nggak baik?” Tanyaku terkejut dengan pernyataannya.
“Bukan begitu, maksudku aku terlalu menahanmu disini. Mereka merindukanmu pulang.” Jawab Yadi dengan bola mata sayu dan masih menatap air mancur.
“Tiap dua minggu sekali, aku kan pulang.” Sahutku memiringkan wajah dan mulai meyelidik.
“Pulang dalam arti sepenuhnya.” Gemingnya lirih dengan bola mata yang turun melihat ke tanah.
“Aku mohon, jangan kamu ulangi perkataan itu. Aku sudah jelaskan kepadamu berkali-kali. Aku akan tetap disampingmu, apapun itu yang terjadi. Meski harus menunggu kamu wisuda, meski apalah itu, aku akan selalu disamping kam....” Ucapku belum selesai tiba-tiba Yadi menempelkam bibirnya pada keningku. Segera aku menarik tubuhku, nggak tahu kenapa aku merasa belum waktunya untuk ini. Meski umurku telah dua pulu empat tahun. Argh, entah kenapa aku belum siap.
“Ini pertama kalinya bagimu ya?” Tanya Yadi sembari menahan tertawa meledekku.
“Ih, Yadi....” Mukaku yang mulai memerah kututupi dengan jemariku. Mengetahui aku malu setengah idup, Yadi segera memelukku dan menyembunyikan mukaku pada bahunya yang bidang.
“Sampai kapan aku menyembunyikanmu?” Geming Yadi lirih yang masih memelukku.
Kejadian dua minggu yang lalu memang sempat membuatku takut berinteraksi dengan Geng. Namun, akhirnya Geng selalu meyakinkanku seperti Yadi. Kata Geng, jika makhluk itu datang lagi, aku disuruh memejamkan mata dan bilang aja terus terang. Tapi, anehnya...Makhluk itu muncul hanya saat aku bersama Yadi.
“Geng, entah kenapa Yadi akhir-akhir ini sikapnya berbeda kepadaku.” Ujarku memandangi Geng yang tengah memasak mie goreng.
“Berbeda kenapa?” Tanya geng sembari mengaduk adonan mie gorengnya.
“Entah, aku ngerasa dia ngode aku untuk mutusin dia.” Jelasku.
“Cuma perasaan mbak Eci aja kali.” Kata Geng. Kemudian duduk dan memulai menyantap adonannya.
“Semoga.” Ucapku lirih sembari menyeduh tehku.
“Entah kenapa Uda semakin dekat denganku mbak. Dulu Uda nggak ngizinin aku untuk mengikuti akun IG yang Uda privasikan. Sekarang sudah di Approve mbak.” Jelasnya.
“Terus tunangannnya apa kabar?” Tanyaku mulai menyimak.
“Baru aja kemarin tunangannya menghadiri acara pernikahan kakaknya di Tegal. Sedangkan Uda masih di Solo denganku.” Jelasnya. “Aduh... Aku ngerasa gimana gitu.” Tambah Geng.
“Bersalah?” Tanyaku.
“Nggak tahu mbak....” Jawabnya bingung.
“Yang penting, aku wanti-wanti aja... Jangan sampai baper.” Nasehatku berulang kali.
“Kayaknya kalau yang ini sih dah hampir mbak.” Jelas Geng.
“Haissh... Degil....” Kataku sebal.
“Apaan tuh bugil? Hish, mbaknya ngeres.” Celutuk Geng.
“Ih, degil itu bandel....” Ujarku gemas sembari mencubit hidung Geng.
“Kyaaa.... Nggak bisa napas aku.. Belum nelen emi nih... Keselek tau..” Celoteh Geng kelabakan.
“Sukurin.” Ujarku melepaskan seranganku. “ Bay the way, Dina udah dua minggu nggak kelihatan?” Tanyaku.
“Dina terpilih jadi pelatih anak penyadang difabilitas, mbak Eci. Dari beratus orang, Dina kepilih, mbak. Sekarang dia tidurnya di hotel mbak, sampai turnamen dimulai. Jring, surga dunia.” Ujarnya menerawang.
“Alhamdulillah...” Sahutku yang entah kenapa ikut senang, misal aku punya anak aku inginnya mencontoh Dina. Mana cantik, putih, seksi, pandai, berprestasi, nurut ortu, mau kerja keras jaga gerai ice blend, ranjin sholat juga.
“Kenapa kamu kalah sama Dina? Kalian kan satu kelas, satu kamar. Harusnya belajar bareng. Contoh yang baik-baik.” Nasehatku pada Geng berapi-api.
“Yaelah, please deh mbak. Pabrik nya aja beda keles.” Celutuk Geng ngeles.
“Haha... Dasar, jadi kapan turnamennya dimualai?” Tanyaku.
“Masih tahun depan. Jadi bulan ini Dina mau cabut dari kos-kosan ini, dan pindah ke hotel.” Jawabnya.
“Yah... Bakal dikamar sendirian dong kamu.” Gemingku sembari berfikir sejenak.
“Memangnya kenapa mbak?” Tanya Geng.
“Hehe, nggak papa.” Balasku.
“Assalamu’alaikum.” Sapa mbak Sinta yang berjalan menuju kamar nya.
“Wa’alaikum salam.” Jawab aku dan Geng kompak.
“Wah baru pulang ngelesin mbak?” Tanyaku.
“Nggak, mbak. Aku baru pulang dari kontrakan.” Jawabnya.
“Ngontrak tapi ngekos mbak?” Tanyaku sedikit bingung yang diiringi tawa mbak Sinta dan Geng.
“Kontraannya suamiku, mbak.” Jawab mbak Sinta lagi.
“Suami?” Teriak aku dan Geng kaget, hampir saja aku menyemburkan tehku, dan Geng menelan eminya. Nah, kan... Yaiyalah, pastinya ditelen.
“Ya Allah, suami mbak?” Tanyaku memastikan.
“Iya, suamiku.” Jawab mbak sinta menyunggingkan senyum. Singkat cerita, seperti biasa kami ronda sampai jam dua pagi, hanya untuk sharre dan tukar cerita aja. Wush buset... PEYEMPUAN...
Kukuruyuk....Kukuruyuk....Sahut-sahutan ayam jago berkokok pada pukul setengah lima pagi, diiringi dengan merdunya lantunan adzan di mushola depan kos. Aku bengun sembari menggosok mataku yang masih berat, rasanya baru aja aku tidur. Ngantuk banget, Fyuh. Kegiatan pagiku aku laksanakan dengan lesu dan mata panda. Teman tongkronganku semalam, masih pada molor.Hadeeh... Tahu gini, nggak lagi-lagi deh. Untung ini nggak hari Senin.
“Woy... Sahur... Sahur...”Gebrak mas Bagus dimejaku.
“Arrgh..” Teriakku kaget tergagap sembari mengusap bibirku,takut kalau ada iler tersisa.
“Cia elah,,, tidur dikantor, pantesan tadi banjir.” Ejek mas Bagus dengan tawa berderai.
“Ya Allah, nggak sampe banjir kali.” Ucapku sembari mengumpulkan nyawa.
“Masih jam sepuluh nih, kalau ketahuan mas Jek, bahaya.. Cuci muka sama.” Suruh mas Bagus padaku.
“Iya, iya....” Jawabku sembari merenggangkan tulang-tulangku.
“Ya Allah... Umbar terus tuh aurotmu.” Kata mas Bagus menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya Allah, paling-paling yang lihat ya cuma mas Bagus. Haha... Mas Bagus mah kalau melihat aku menggeliyat nggak terangsang. Tenang aja.. Hahaha..” Ejekku nggak jelas sembari beranjak meninggalkan mas Bagus.
Sumpeh deh... Ini jalan rasanya blur semua. Ayo kekuatan penuh.... Aku mencoba mengumpulkan cakra agar mata ini tetap stay. Aku terdiam didekat barista sembari memegangi meja billiards. “Aku harus kuat...” Gemingku lirih.Ya Allah cobaan apa ini? Ngantuk berat. Tiba-tiba ada seorang lelaki menyeka jidatku.
“Kamu nggak papa?” Tanya lelaki itu. Aku yang tertegun bangkit mendongakkan wajahku kepada lelaki itu. Ku sunggingkan cengiran kudaku untuk menutupi rasa takutku kepadanya, bahkan aku menelan ludahpun rasanya seperti dia telah mendengarnya.
“E.ee.. A.. Aku nggak papa, Mas.” Ucapku tergagap, kemudian beranjak menjauhi lelaki itu sesegera mungkin. Entah mengapa aku takut sekali pada mas Alan. Mungkin karena cerita dari Bella kali ya.
Gemericik air di washtuffle segera kusambut dengan kedua tanganku. Segarmya air yang mengalir, membuat dunia terlihat kembali terang.
“Ehem...” Terlihat mas Alan berdehem dan mengikutiku sampai washtuffle. Aku pura-pura bego’ ah. Lebih baik begini, pura-pura nggak sadar. Sesigap mungkin aku segera berlalu.
~Bruk~
“Yaelah, Eci lagi, Eci lagi...” Sahut Bella.
“Beb.. Bebeb... Bella...” Kataku tergagap.
“Hei, mata kamu kenapa?” Tanya Bela dengan tawa ringan.
“Kurang tidur.” Jawabku jutek.
“Yaelah, abis jatah pacar ya?” Celetuk Bella asal mangap.
“Your mouth....” Ucapku melotot bercanda.
“Yaelah mata pandamu tambah kelihatan kalau kamu pelototin gitu.” Ejek Bella. “Sana, minum kopi.” Saran Bella, kemudian Bella membasuh tangannya berdampingan dengan mas Alan.
Deretan kaca tempat berbagai macam bubuk minuman berjajar rapi dalam barista. Kacanya bening ada yang berbentuk sapi, kucing, dan babi.
“Cari kopi ya?” Tanya mas Saras.
“Eh, mas Saras.” Sapaku agak terkejut melihat lelaki kurusyang bertampang manis ala arab berdiri di belakangku.
“Iya, mas. Yang mana ya? Toples sapi dan babi warnanya sama-sama item.” Sahutku.
“Yang sapi itu kopi toraja, kalau yang babi itu kopi luwak.” Sahut mas Saras.
“Oh, gitu. Itu include gula?” Tanyaku.
“Iya, Eci. Makanya disini nggak disediakan gula.” Jawab mas Saras.
“Wah, siap-siap. Makasih, mas.” Ucapku sembari menuangkan air kedalam adonan kopiku.
“Kamu anak CSCC adikknya Bagus ya?” Tanya mas Saras sedari tadi memperhatikanku membuat kopi.
“Iya, mas. Baru tahu ya?” Godaku sembari menyerutup kopi panasku.
“Nggak, abisnya dari sekian banyak anak CS cuma kamu yang nggak pernah main ke ruang accounting.” Kata mas Saras.
“Masak sih mas? Hehe...” Kataku sempet nggak peraya seraya melempar cengiran kuda.
“Makanya main, lah... Cowok-cowok accounting pada kepo-in kamu tuh.” Kata mas Saras yang membuat jasku sesak karena dadaku yang agak membusung.
“Alah, pakai lempar ke temen-temen. Ngomong aja mas Aras yang kepo.” Ledek Bella tiba-tiba menyembulkan kepala dari balik punggung mas Saras.
“Ya Ampun, Bella... Aku kan setia nya sama kamu.” Goda mas Saras.
“Aku ladenin beneran, tahu rasa. Haha...” Goda Bella sembari memegangi pipi mas Saras. Mas Saras segera menepis, tangan Bella dan berlalu sambil bilang. “Ampun... “ Geming mas Saras sembari lari terbiri-birit.
“Hahaa...” Tawaku dan Bella kompak mengisi ruangan barista itu.
Belaian lembut angin sepoi-sepoi menyapa setiap langkahku menuju ke kos. Aroma bekas hujan semerbak menyibakkan bau yang khas. Aku sangat menyukai moment setelah hujan, sejuknya khas. Terlihat seorang pria misterius memandangiku. Berhubung situasi komplek rumah di sini sepi, aku segera mempercepat langkah kakiku. Benar saja, lelaki itu mengejarku. Dia mengulurkan sebungkus hadiah dengan pita pink.
“Mbak... Ini dari temen saya.” Kata lelaki itu menyerahkan paksa hadiah itu kepadaku, kemudian berlalu dengan motor Beatnya.
“Pasti dari Yadi. Tadi Yadi bilang mau ngasih aku surprise.” Gemingku dengan sunggingan senyum gembira. Setibanya di kamar, segera aku foto hadiah itu dan aku kirimkan ke Yadi.
Ecià “Terimakasih sayang. Kamu kok tahu, aku suka warna pink?” Ungkapku dalam WA.
Yadià “Itu apa?”
Ecià “ Aku nggak berani buka. Aku kira dari kamu.”
Yadià “Ya, buka lah. Aku nggak kirim apa-apa.”
Eci à “Soalnya aku tadi dikasih sama orang yang nggak aku kenal. Katanya dari temennya.” Jelasku dan kutunggu balasannya sampai lima belas menit. Kemudian aku telfon si Yadi.
Yadià “Jangan telfon dulu. Aku lagi main game.”
Yaudah aku buka hadiah dari seseorang yang nggak aku kenal itu, ternyata isinya sebuah cangkir, ada sepucuk kartu kecil yang bertuliskan. “Aku ingin kenal kamu lebih. (A)” Karena aku menghargai Yadi, meskipun Yadi telah berubah. Aku kedepan gerbang untuk membuang cangkir itu.
“Eeeeiiitt.... Kenapa kamu buang itu cangkir.” Kata Uda didepan gerbang yang mungkin menunggu Geng pulang.
“Kenapa? Apa urusan kamu?” Jawabku dingin dan agak merasa aneh pada Uda.
“Itu gelas dari aku.” Jawab Uda.
“Mana ada dari kamu. Orang Inisial pengirimnya aja bukan ‘U’.” Jelasku nggak percaya.
“Namaku Ahuda.” Jelas Uda.
“Ya Allah.. Ternyata temenmu tadi salah kirim. Dikira aku Geng kali ya.” Jelasku ketawa sembari geleng-geleng kepala. “Yaudah, nanti aku sampaikan ke Geng ya.” Sahutku lagi.
“Bukan, itu buat kamu.” Ucap Uda.
“What the....” Batinku. “Astagfirullah... Hapir aja aku mengumpat.” Gemingku yang mungkin nggak didengar Uda.
“Sayang, temenin cari makan yuk.” Sapa Yadi tiba-tiba bersamaan suara motornya dari belakang Uda. Entah reflek atau gimana, tiba-tiba cankir dari Uda aku letakkan ke dekat tempat sampah, kemudian aku segera membonceng dibelakang Yadi. Tak lama Geng datang tadi belakang Yadi.
“Eh, mbak Eci... Cia... Yang mau jalan.” Goda Geng.
“Aku duluan ya..” Ucapku pada Geng, seraya berlalu.
“Cowok tadi siapa, yang?” Tanya Yadi dalam perjalanan.
“Cowoknya temen kosku.” Jawabku pada Yadi dari belakang punggungnya.
“Tadi gelasnya kenapa kamu buang?” Tanya Yadi lagi.
“Oh, itu nggak penting juga sih.” Jelasku datar.
“Kok gitu?” Tanya Yadi.
“Udah lah... Lupain aja.” Kataku malas membahas si Uda tadi.
“Jelasin lah...” Bujuk Yadi.
“Cowok yang tadi, cowoknya temenku, dia yang ngasih aku gelas tadi.” Jelasku agak malas.
“Ih, ngeri ya... Jaman sekarang banyak tikungan.” Celetuk Yadi. “Untung calon istriku setia.” Gemingnya menebarkan senyum.
Sepulang dari makan sore bersama Yadi, aku kembali ke kos dengan mood yang terpenuhi kembali. Aku melihat sandal mbak Sinta.Samperin aah...
“Assalamu’alaikum.” Sapaku ceria pada mbak desinta.
“Wa’alaikum salam.” Jawabnya.
“Mbak Eci dari mana?” Tanya Mbak Sinta yang sedang merapikan kamarnya.
“Cari makan, mbak.” Jawabku malu-malu.
“Sendiri?” Tanya mbak Sinta lagi.
“Hehe... Pacar mbak.” Jelasku menunduk tersipu.
“Wah, enak ya. Yang masih pacaran.” Sahutnya kemudian mendekatiku diruang tamu.
“Bukannya enak kalau udah menikah ya mbak? Udah jelas-jelas diseriusin.” Jelasku gamblang.
“Ya Allah.... Jika aku disuruh milih. Aku milih kembali pacaran mbak.” Jawabnya sembari tersenyum lebar.
“Lha kok?”Tanyaku ternganga.
“Ya kalau pergi kemana-mana malu aja kalau ditanya orang soal status. Kadang aku bilang ke temen kuliahku aku masih single.” Jelasnya sembari duduk di sebelahku.
“Kok gitu sih mbak. Bayangin perasaannya suami kalau nggak diakuin gitu.” Jelasku.
“Hehe, iya sih mbak. Tapi kan, malu.” Jelasnya lagi.
“Mbak Sinta nggak boleh kayak gitu.” Sahutku spontan uhuy, eh.
“Iya deh...” Jawab mbak Sinta yang ngemong banget.
“Apalagi mbak Sinta punya suami rajin sholat, anak pengajian, udah punya usaha sablon, kan idaman cewek banget.” Kataku memuji suami mba Sinta.
“Ya Allah mbak, suamiku itu kadang omongannya kasar. Itu yang kadang bikin aku jengkel. Beda banget kayak pacaran dulu. Kalau orang pacarankan sayang-sayang. Setelah nikah mah... Beeee, boro-boro... Yang dipikirin hanya uang mbak.” Jelas mbak Sinta.
“Masak sih gitu mbak?”Tanyaku heran.
“Jadi, ceritanya... Kami pacaran cuma tiga bulan dari KKN, langsung nikah.” Kata mbak Sinta. “Itupun kondisi aku masih jadi pacar orang lain.” Tambah mbak Sinta membuatku semakin ternganga.
“What... Mbak Sinta selingkuh?” Tanyaku terkejut.
“Iya.” Jawab mbak Sinta sembari membenahi jubahnya. “Jadi, awalnya gini....” Jelas mbak Sinta terlalu panjang, jadi aku bantu jelaskan aja.
Seorang gadis bunga kampus sebut saja mbak Sinta. Dengan pesona kecantikannya, mbak Sinta selalu meraih hati pujaan hatinya. Tak tanggung, lelaki kaya raya anak UMS dengan lamborgini yang selalu menemaninya, sebut saja Jaya. Jaya adala kekasih mbak Sinta, namun tak lama bertahan, hanya tiga bulan usia pacaran mereka. Selanjutnya dengan Romi, seorang lelaki tampan, memiliki usaha sendiri, namun hanya lulusan SMP. Kisah asmara mbak Sinta dengan Romi berjalan hampir satu tahun, dan kandas dengan adanya Bibit. Bibit adalah lelaki teman satu kampusnya, namun dia asli Pati. Mau, nggak mau, saat Bibit pulang ke Pati harus LDR. Hingga saat KKN mbak Sinta bertemu dengan mas Hasan. Mas Hasan adalah ketua tim KKNnya. Saat KKN ada peraturan “Tidak boleh ada yang cinlok saat KKN.” Peraturan yang dibuat mereka sendiri, akhirnya dilanggar sendiri.Hadeh -_-
Lambat-laun pra-KKN telah usai, namum cinta mbak Sinta kepada mas Hasan semakin berkembang. Akhirnya mereka memutuskan untuk pacaran dibelakang teman KKN mereka. Dan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Akhirnya mereka ketahuan kalau mereka pacaran. Selama lima belas hari terakhir saat KKN, mbak Sinta bener-bener dimusuhi oleh teman-teman tim KKN nya. Hal ini berimbas pada penilaian KKN yang sebagian ada kolom penilaian dari rekan se-tim, sehingga mbak Sinta dan mas Hasan mendapat B, sedangkan yang lain mendapat nilai A.
Seiring berjalannya waktu mbak Sinta dididik mas Hasan untuk dekat dengan sang Khalik. Bahkan sering diajak kedalam pengajiannya. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Baru setelah menikah mbak Sinta memutuskan kekasihnya Bibit yang berasal dari Pati itu. Mengetahui semua ini, mas Hasan membanting HP mbak Sinta sampai berkeping-keping. Mungkin karena sumpah serapah Bibit, yang membuat mbak Sinta sering terjadi konflik rumah tangga. Mulai dari ekonomi, hingga masalah kurangnya saling pengertian.
“Ya Allah, bahkan kemarin pernah mbak. Aku sehari itu cuma bawa uang lima belas ribu. Aku sempet bingung. Jika aku pakai beli bensin, besok pagi aku nggak makan dan nggak bisa beli pulsa untuk kontak suami, jika untuk beli pulsa aku nggak bisa pulang dan nggak bisa makan. Hari itu bener-bener yang aku bing,,” Isak mbak Sinta meluapkan tangisnya.
“Sabar mbak. Bukankah suami juga jatah buat mbak Sinta?” Tanyaku polos.
“Kebetulan, hari itu sablonnya baru sepi mbak.” Jelas mbak Sinta terisak-isak.
“Terus, akhirnya gimana mbak?” Tanyaku menaruh empati kepadanya.
“Akhirnya aku beli bensin untuk pulang ke rumah orang tua mbak. Aku beralasan mas Hasan sedang ada event di Bandung. Sehingga aku meminta uang ayah lima puluh ribu.” Jelas mbak Sinta dengan air mata yang sudah membasahi pipi, seraya aku menelan ludah. “Ternyata menikah itu mudah, namun kehidupan setelah menikah itu yang perlu difikirkan lagi.” Batinku sembari mengelus-elus pundak mbak Sinta.
Bagaikan tuan putri, aku berjalan disambut oleh kedua pembantuku. Segala barang bawaanku dibawa oleh kedua bibiku. Mereka menyiapkan air hangat dalam bedtub, handuk dan pakaian, tak lupa sajian deasert tersaji dalam meja kamarku beserta minuman yang wajib tersedia yaitu coklat hangat.
“Ya Allah... Bibi... Aku bisa ambil sendiri.” Ucapku sungkan.
“Nggak papa, sesekali mumpung Eci dirumah.” Kata bibiku yang bertubuh tambun kemudian beranjak, sebut saja bi Ari.
“Eci...” Panggil bibi yang bertubuh kurus, sebut saja bi Ami.
“Ya?” Sahutku yang masih memakai handuk untuk segera masuk ke bedtub.
“Ada telfon dari Peppy.” Sahut bibi badan kurusikut masuk kedalam kamar mandi dalam kamarku kemudian mengulurkan Hpku.
“Makasih, bi.” Sahutku seraya bibi berbadan kurus beranjak.
“Eci, apa kabar?” Tanya Peppy pada telfon.
“Baik, nih aku baru aja sampai di Madiun.” Jelasku sembari memainkan gelembung.
“Kebetulan aku juga lagi di Madiun.” Kata Peppy.
“Really?” Sahutku girang.
“Yeah... Aku mau ngenalin kamu sama seorang cowok, udah mapan.” Jelasnya gamblang.
“Aku kan udah punya pacar, Pep.” Sahutku sedikit kecewa.
“Yaelah. Pacaran mulu kapan diseriusin? Kalau temenku ini pasti akan seriusin kamu.” Jelasnya.
“Siapa sih?” Tanyaku penasaran.
“Kamu kenal kok.” Jelas Peppy. “Yadah, gini aja nanti aku akan main bersama dia, dan Tian.” Katanya.
“Kok, cuma Tian aja yang diajak? Angga nggak ikut main sekalian?” Tanyaku, namun sudah dimatikan oleh Peppy. Kemudian aku letakkan ganggang telfonku ku, seraya beranjak dari bedtub dengan sehelai handukku.
“Bibi...” Panggilku.
“Ya?” Sahut bibiku mendekat.
“Bibi, mama kemana?” Tanyaku.
“Mama katanya tadi ada meeting ke Malaysia. Kemungkinan tiga hari lagi baru pulang.” Jelas bi Ami .
“Yesss...” Sahutku lirih sembari mengambil pakaianku untuk ganti baju.
“Abis ini langsung makan. Jangan main-main dulu, sayangin badannya. Obat, entah vitaminnya udah bibi taruh meja.” Kata bi Ami seraya berlalu.
“Ya, bi.” Sahutku patuh.
“Eci... Temen-temenmu pada main nih.” Panggil bibi sembari mengetuk pintu kamarku setelah aku menyelesaikan serangkaian kegiatanku di kamar.
“Bentar, bi...”Sahutku seraya membuka pintu kamarku dan keluar, aku menuruni setiap anak tangga dengan tak sabar akan rindu kepada Peppy dan Tian, sahabatku semenjak SD.
“Hai, sis...” Sapaku pada Peppy yang tampak cantik dengan dress coklatnya.
“Hai, Tian, Angga...”Sapaku kemudian kepada kedua lelaki itu. “Mari duduk.” Ajakku mempersilahkan.
“Hai, dedek... Ih, Tian udah punya anak ternyata.” Sapaku pada gadis kecil yang berusia satu tahun itu. Terlihat mata Tian berkaca-kaca mungkin karena haru akan anak gadis yang semanis itu.
“Namanya siapa?” Tanyaku pada Tian.
“Nama saya Naura, tant...” Ucap Tian tertahan menahan air matanya.
“Ya Allah... Tian saking terharunya, punya gadis kecil secantik ini.” Kataku gemas.
“Silahkan diminum.” Sahut bi Ari datang membawa jus jeruk dan beberapa cemilan.
“Makasih..” Sahut Peppy, Angga, dan Tian kompak.
“Katanya tadi Cuma Tian dan Peppy yang main, eh ternyata Angga juga ikut.” Tanyaku heran dengan senyuman.
“Sebenernya aku kesini mau jodohin Angga sama kamu, Eci.”Kata Peppy membuat aku hampir saja memuntahkan jus yang aku minum.
“No.” Sahutku spontan setelah menelan jus itu dengan seksama. “Ehm, anu. Maksudku, Angga kan udah aku anggep sebagai kakak sendiri. Ya, kan Angga?” Tanyaku pada Angga mencari pembelaan.
“Maksud aku, nggak ada salahnya kalau kita deket kan Eci?” Tambah Angga malah memojokkan aku.
“Ehm... Anu... Tapi... Aku kan sudah punya pacar.”Sahutku yang seketika tiba-tiba Naura menangis rewel.
“Aduh, aku nenangin Naura dulu, ya...” Ucap Tian meminta diri untuk keluar.
“Tunggu, aku aja yang nenangin.” Kataku seraya menggendong Naura ke luar rumah. Padahal niat hati melarikan diri dari Angga.
“Cup, cup... Naura takut sama om Angga ya? Serem?” Tanyaku lirih pada gadis berusia satu tahun itu dengan cengingisan. “Iya, tante...” Sahutku sendiri menghibur diri sekalian menghibur Naura. Entah kenapa si Naura mala ketawa. Wah, bener nih anak sehati sama akuh.. Wahahaha... Tak lama Angga ikut keluar dan meminta diri untuk beranjak bersama Tian. Kini hanya tinggal Peppy dan aku. Terakhir Peppy berpesan “Tolong fikirkan baik-baik.” Ucapnya kemudian beranjak meninggalkan aku. Seandainya kamu tahu Peppy, meski aku telah memiliki kekasih, aku masih mencintai Tian. Seandainya Tian masih singel. Peppy bahkan nggak tahu, aku masih mengharapkan Tian, betapa hancur hatiku mengetahui Tian telah memiliki Naura. Seandainya yang dijodohkan denganku adalah Tian, bukan Angga. Tiba-tiba kepalaku pusing. Seperti biasa ketika kepalaku pusing, biasanya nggak pernah sepusing ini kepalaku. Aneh, padahal baru saja aku meminum vitamin yang diberikan bi Ami, tapi entah kenapa tiba-tiba kepalaku bagai diantam batu dan berputar.
Beralun-alun suara penyiar pemberitahuan dalam terminal. Aku melihat sayup-sayup wajah kekasihku melambaikan tangan. Aku melangkah berayun segera menghampiri kekasihku. Entah, kenapa rasa ini pada Yadi berkurang setelah aku pulang ke Madiun, kemarin. Aku memandang kekasihku dengan tatapan lain.
“Kamu kenapa?” Tanya Yadi. “Lagi dapet, ya?” Tanyanya lagi.
“Nggak papa, mungkin cuma capek aja.” Sahutku.
“Yaudah, yuk langsung balik aja ke kos kamu.” Ucap Yadi sepertinya juga lagi bete, kemudian membantuku menenteng tas.
“Kamu sebebenernya tadi kenapa sih?” Tanyaku setibanya di depan kosku.
“Seharusnya aku yang tanya ke kamu. Kamu tuh kenapa?” Tanya Yadi balik meletakkan tasku pada tanah.
“Dari pada kita ribut, aku masuk aja kali ya.” Pintaku dengan wajah bete untuk segera beranjak.
“Nanti malam aku ingin ketemu. Yaudah, kamu istirahat aja dulu.” Kata Yadi sedikit berteriak seraya beranjak setelah aku masuk.
Lantunan musik mengiringi tarian air mancur yang menggeliat gemulai, aku memandangi dengan tatapan hampa. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku pergi ke Solo sebenarnya selain untuk melupakan Tian, aku juga ingin hidup mandiri. Entah kenapa perasaanku kembali sakit, terlebih saat bersama Yadi. Aku merasa hatiku begitu sakit. Terlebih Angga selalu WA aku setiap detik.
“Jika kamu belum siap cerita, nggak papa kok.” Kata Yadi menerawang ke arah air mancur.
“Aku dijodohin dengan sahabat SD ku dulu.”Jelasku dataryang juga memandangi air mancur dengan tatapan kosong.
“Ya Ampun... Kapan sih, aku mencintai kamu tanpa rasa cemburu. Padahal kamu juga nggak cantik-cantik amat.” Kata Yadi dengan kasar, jujur jleg. Aku sungguh sakit hati dengan perkataan Yadi, padahal dulu Yadi nggak pernah seperti itu.
“Mana inspeksi Hp.” Pinta Yadi padaku seraya kuberikan Hp ku pada Yadi.
“Tuh, kan.. Yang kegatelan Angga. Bahkan aku udah bilang ke Angga kalau aku udah punya pacar.” Jelasku agak snewen. Sebenarnya aku hatiku begitu sakit, bukan sakit hati karena perjodohan, namun karena perasaanku yang begitu bingung. Aku benar-benar sakit untuk mencintai Yadi. Haruskah aku melepaskan seseorang yang aku cintai?
“Kamu disuruh untuk cepat-cepat nikah?” Tanya Yadi setelah hening sesaat memandangi chattnya Angga yang tidak pernah aku balas sama sekali.
“Aku bahkan belum siap.” Jawabku dengan menerawang. “Jikapun aku harus menuggumu dua tahun. Aku lebih memilih kamu. Aku sungguh mencintaim...” Kataku dengan tatapan sayu yang tak sampai terucap dengan kecupan bibir Yadi perlahan pada pipi kananku. Bahkan saat Yadi menciumku, aku selalu ingin menarik tubuhku untuk menjauh.
“Aku juga mencintaimu.” Ucap Yadi setelah menciumku, seraya mendekapku dalam dadanya.
“Kamu kelak akan menjadi milikku.” Kata Yadi menenangkanku. “Aku benar-benar tidak akan melepaskanmu.” Tambahnya yang membuat hatiku semakin bergemuruh. Antara jatuh cinta atau patah hati. Hingga aku menyimpulkan dengan logika dasar aritmatika, mungkin ini yang dinamakan cinta?
Bermunculan pernak-pernik lope lope dikepalaku. Email-email dari customer yang marah-marah berubah mendaji notasi balok yang menghiasi monitorku, alunan melodi cinta nan bahagia mengalun membelai memanjakan telingaku. “Aku juga mencintaimu.” Perkataan Yadi semalam sungguh membuaiku hingga ke alam tujuh tingkatan. Telfon dari customer yang marah-marah bagaikan lantunan melodi nan merdu.Wajahku tak henti-hentinya menebarkan senyuman serasa mau terbang ke awan. Seakan wajah Yudi mendekatiku dan akan mencium pipiku lagi. “Woyyy...” Bentak mas Bagus memegangi tanganku sedari tadi, entah kenapa tanganku sudah memegangi wajah mas Bagus. Seketika hal ini menyibakkan hayalanku.
“Kyaaa...” Teriakku kaget, seketika aku basuhkan tanganku menutupi wajah mas Bagus.
“Eh buseh... Durhaka kamu ya... Ngubek-ubek wajah orang tua.” Kata mas Bagus menjauh.
“Haha... Baru sadar kalau dah tua.” Celetuk Ina.
“Dari tadi Eci cengar-cengir aja.” Goda Bella sembari mengunyah snack yang ada di meaja kerja.
“Kasmaran cieee...” Sahut Ina sembari ikut-ikutan menggodaku. “Sama mas Bagus... Kyaaa... Hahaha...” Celetuk Ina.
“Ya Allah... Nggak sama mas Bagus juga kali. Amit-amit...” Sahutku dengan memonyongkan bibirku.
“Ya elah... Diamit-amitin... Dasar adek durhaka.” Sahut mas Bagus nggak terima.
“Memang semalam abis jatah pacar ya? Sampe segitunya sampai mas Bagus jadi sasaran Hahaha..” Goda Bella.
“Nggak, ah. Ngaco.” Sahutku.
“Kamu tuh yang ngaco. Wajah ganteng gini, kamu obok-obok.” Sahut mas Bagus menggerutu.
“Ulu-ulu... Ngambek...” Godaku.
“Eci...” Panggil seorang lelaki berbahu bidang yang good looking.
“Ya?” Sahutku sepontan menoleh kearah suara itu. Terlihat lelaki itu mengayunkan jari telunjuknya yang memintaku untuk mendekat. Aku seraya mendekati lelaki itu.
“Ada yang bisa aku bantu mas Alan?” Tayaku kepada lelaki itu yang menyandarkan tangannya pada meja billiyards. Seketika mas Alan menyandarkan tubuhku pada tembok. Aku mengernyitkan dahi saat mencium aroma alkohol dari diri mas Alan.
“Mas Alan, mabuk?” Tanyaku mencoba melepaskan genggaman jemari mas Alan pada pundakku.
“Aku sudah berusaha memisahkankamu dengan dia, kenapa kamu dengan yang lain.” Bentak mas Alan yang mulai ngaco. Segera aku menampar mas Alan.
“Sadar... Aku Eci mas...” Kataku.
“Iya, aku tahu kamu Eci. Aku tahu segalanya tentang kamu.” Ucap mas Alan.
“Apa maksud kamu?” Aku mulai mencurigai perkataan mas Alan.
“Ett... Ini kayaknya si Alan mulai ngaco.” Sahut mas Jek seraya menutupi mulut mas Alan dan membopongnya pergi.
Aku berdiri tertegun dengan apa yang diucapkan mas Alan. Aku mencoba mengingat, kenapa aku bekerja disini. Bukankah aku masih karyawan di sebuah leasing sebagai Credit Analysis. Aku berdiri mematung dan menerawang jauh. Seingatku, aku menerima email jika aku diterima di PT. Serbuk Bunga Kaktus, Solo. Karena ingin mandiri, sehingga aku mendatangi PT ini untuk menjalani hari-hari baruku di Solo. Lalu, kenapa aku resign dari perusahaan leasing yang udah terjamin karirku disana? Aku mencoba mengingat semua, tiba-tiba kepalaku pusing. Segera aku mengambil vitaminku di dalam tas. Tak sengaja aku menendang Hp mas Alan, yang tergeletak bawah meja billiards. Terlihat foto seorang wanita tengah menggendong Bayi sebagai wallpapernya.
“Ini kan aku?” Pekikku terkejut sembari meraih Hp itu pada kolong meja billiards.
“Nggak mungkin. Wanita ini mirip banget denganku. Bahkan ini baju yang baru aku kenakan kemarin.” Gemingku semakim membuat kepalaku pusing. Segera aku menelan vitamin dari Mama dan meminum air putih untuk menenangkan diri. Sesaat nafasku tersenggal-senggal.
“Kresek-kresek... Di diagnosis... kresek.. kresek... Akan amnesia pada dua tahun terakhir. Kresek...Tapi nggak mungkin... kresek... Lalu gimana dengan pekerjaannya dia telah bekerja lebih dari lima tahun? Kresek kresek... ceritakan saja dia menganggap telah resign. Kresek.. kresek... Bapak? Kenapa bapak nggak masuk untuk menjenguk? Kresek.”Terdengar recorderdari dalam file pada Hp mas Alan.
“Aku kayak nggak asing dengan suara ini.” Gemingku lirih sembari duduk pada sofa kantor.
“Woy, adik tiri.” Sapa mas Bagus dengan gaya slengekan. Segera aku menyembunyikan Hp mas Alan dalam sakuku.
“Woy..” Sapaku dengan cengiran kuda ter konyol
“Ngapain lu...” Tanya mas Bagus tambah konyol.
“E’ek.” Jawabku asal. “Minumlah...” Tambahku lagi seraya mengambil bekas gelasku tadi dan sesekali meminumnya di depan mas Bagus.
“Mas, aku masuk duluan ya.” Ucapku meninggalkan mas Bagus yang sedang membuat teh.
“Yaelah, baru aja ditemenin. Malah ditinggal.” Gerutu mas Bagus.
“Mas Alan, aku menemukan Hp mu dibawah meja billiyards saat kamu mabuk tadi. Aku akan mengembalikannya padamu. Enaknya aku taruh dimana?”
Ketemu saja @ Kimchi Resto, 20.00
Ok
Seperti mengerti kodeku dalam email, mas Alan sepertinya mengetahui bahwa aku akan menuntut sebuah penjelasan dalam pertemuan ini. Semenjak saat ini aku juga menjaga jarak dengan Yadi. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Intinya aku nggak ingin terlalu jatuh cinta pada Yadi, jaga-jaga untuk suatu kesimpulan yang terburuk.
Lampu warna-warni yang berderai di sisi kolam ikan malam ini, sungguh gemerlap mengikuti denyut nadiku. Aku melihat mas Alan seperti biasa, dia tetap mempesona. Dia memesan makanan untuk kami berdua, seraya duduk dihadapanku.
“Kamu cantik.” Puji mas Alan yang kusambut dengan hening. Jujur saja bahkan, aku nggak bisa berkata apa-apa. Aku nggak tahu harus memulai pertanyaan dari mana. Karena saat di kos, aku melihat seluruh foto galeri mas Alan yang ada hanya fotoku bersama bayi yang diambil secara curi-curi.
“Sepertinya kamu telah melangkah lebih dekat.” Kata mas Alan dengan senyuman penuh arti.
“Apa maksud kamu?” Tanyaku seraya meletakkan Hp mas Alan diatas meja perlahan.
“Aku yakin kamu telah mendengar recording itu.” Geming mas Alan melirik Hpnya yang telah kuletakkan diatas meja. Sempat sesaat aku teersentak akan ucapannya.
“Ecizy Kanza....” Panggilnya lirih seraya menggenggam tanganku.
“Kamu itu amnesia, ingatanmu dua tahun teakhir itu lenyap. Ingatan disaat kita menikah.” Katanya lembut. Semua ini semakin membekukam lidah dan mulutku yang membuat sesaat hening. Aku speechless namun aku juga nggak yakin.
“Mana anak kita?” Tanya ku menyingkirkan tangan ku menjauh dari genggamannya. Tersentak dengan pertanyaanku mas Alan mengusap jidatnya sesaat.
“Eci, semua itu bohong.” Kata Peppy, seraya menarik tanganku dan beranjak meninggalkan mas Alan sendiri pada meja makan salah satu restoran khas Korea itu. Peppy segera memasukkanku dalam mobilionya.
“Apa maksud semua ini Peppy? Aku yakin kamu pasti tahu.” Teriakku dalam mobil. Peppy hanya termenung sembari mengendarai mobilnya.
“Kamu tega. Kamu, Mama, semua tahu. Kecuali AKU.” Teriakku yang kini mulai parau untuk menahan air mata dan amarah.
“Ya?” Sahut bibiku mendekat.
“Bibi, mama kemana?” Tanyaku.
“Mama katanya tadi ada meeting ke Malaysia. Kemungkinan tiga hari lagi baru pulang.” Jelas bi Ami .
“Yesss...” Sahutku lirih sembari mengambil pakaianku untuk ganti baju.
“Abis ini langsung makan. Jangan main-main dulu, sayangin badannya. Obat, entah vitaminnya udah bibi taruh meja.” Kata bi Ami seraya berlalu.
“Ya, bi.” Sahutku patuh.
“Eci... Temen-temenmu pada main nih.” Panggil bibi sembari mengetuk pintu kamarku setelah aku menyelesaikan serangkaian kegiatanku di kamar.
“Bentar, bi...”Sahutku seraya membuka pintu kamarku dan keluar, aku menuruni setiap anak tangga dengan tak sabar akan rindu kepada Peppy dan Tian, sahabatku semenjak SD.
“Hai, sis...” Sapaku pada Peppy yang tampak cantik dengan dress coklatnya.
“Hai, Tian, Angga...”Sapaku kemudian kepada kedua lelaki itu. “Mari duduk.” Ajakku mempersilahkan.
“Hai, dedek... Ih, Tian udah punya anak ternyata.” Sapaku pada gadis kecil yang berusia satu tahun itu. Terlihat mata Tian berkaca-kaca mungkin karena haru akan anak gadis yang semanis itu.
“Namanya siapa?” Tanyaku pada Tian.
“Nama saya Naura, tant...” Ucap Tian tertahan menahan air matanya.
“Ya Allah... Tian saking terharunya, punya gadis kecil secantik ini.” Kataku gemas.
“Silahkan diminum.” Sahut bi Ari datang membawa jus jeruk dan beberapa cemilan.
“Makasih..” Sahut Peppy, Angga, dan Tian kompak.
“Katanya tadi Cuma Tian dan Peppy yang main, eh ternyata Angga juga ikut.” Tanyaku heran dengan senyuman.
“Sebenernya aku kesini mau jodohin Angga sama kamu, Eci.”Kata Peppy membuat aku hampir saja memuntahkan jus yang aku minum.
“No.” Sahutku spontan setelah menelan jus itu dengan seksama. “Ehm, anu. Maksudku, Angga kan udah aku anggep sebagai kakak sendiri. Ya, kan Angga?” Tanyaku pada Angga mencari pembelaan.
“Maksud aku, nggak ada salahnya kalau kita deket kan Eci?” Tambah Angga malah memojokkan aku.
“Ehm... Anu... Tapi... Aku kan sudah punya pacar.”Sahutku yang seketika tiba-tiba Naura menangis rewel.
“Aduh, aku nenangin Naura dulu, ya...” Ucap Tian meminta diri untuk keluar.
“Tunggu, aku aja yang nenangin.” Kataku seraya menggendong Naura ke luar rumah. Padahal niat hati melarikan diri dari Angga.
“Cup, cup... Naura takut sama om Angga ya? Serem?” Tanyaku lirih pada gadis berusia satu tahun itu dengan cengingisan. “Iya, tante...” Sahutku sendiri menghibur diri sekalian menghibur Naura. Entah kenapa si Naura mala ketawa. Wah, bener nih anak sehati sama akuh.. Wahahaha... Tak lama Angga ikut keluar dan meminta diri untuk beranjak bersama Tian. Kini hanya tinggal Peppy dan aku. Terakhir Peppy berpesan “Tolong fikirkan baik-baik.” Ucapnya kemudian beranjak meninggalkan aku. Seandainya kamu tahu Peppy, meski aku telah memiliki kekasih, aku masih mencintai Tian. Seandainya Tian masih singel. Peppy bahkan nggak tahu, aku masih mengharapkan Tian, betapa hancur hatiku mengetahui Tian telah memiliki Naura. Seandainya yang dijodohkan denganku adalah Tian, bukan Angga. Tiba-tiba kepalaku pusing. Seperti biasa ketika kepalaku pusing, biasanya nggak pernah sepusing ini kepalaku. Aneh, padahal baru saja aku meminum vitamin yang diberikan bi Ami, tapi entah kenapa tiba-tiba kepalaku bagai diantam batu dan berputar.
Beralun-alun suara penyiar pemberitahuan dalam terminal. Aku melihat sayup-sayup wajah kekasihku melambaikan tangan. Aku melangkah berayun segera menghampiri kekasihku. Entah, kenapa rasa ini pada Yadi berkurang setelah aku pulang ke Madiun, kemarin. Aku memandang kekasihku dengan tatapan lain.
“Kamu kenapa?” Tanya Yadi. “Lagi dapet, ya?” Tanyanya lagi.
“Nggak papa, mungkin cuma capek aja.” Sahutku.
“Yaudah, yuk langsung balik aja ke kos kamu.” Ucap Yadi sepertinya juga lagi bete, kemudian membantuku menenteng tas.
“Kamu sebebenernya tadi kenapa sih?” Tanyaku setibanya di depan kosku.
“Seharusnya aku yang tanya ke kamu. Kamu tuh kenapa?” Tanya Yadi balik meletakkan tasku pada tanah.
“Dari pada kita ribut, aku masuk aja kali ya.” Pintaku dengan wajah bete untuk segera beranjak.
“Nanti malam aku ingin ketemu. Yaudah, kamu istirahat aja dulu.” Kata Yadi sedikit berteriak seraya beranjak setelah aku masuk.
Lantunan musik mengiringi tarian air mancur yang menggeliat gemulai, aku memandangi dengan tatapan hampa. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku pergi ke Solo sebenarnya selain untuk melupakan Tian, aku juga ingin hidup mandiri. Entah kenapa perasaanku kembali sakit, terlebih saat bersama Yadi. Aku merasa hatiku begitu sakit. Terlebih Angga selalu WA aku setiap detik.
“Jika kamu belum siap cerita, nggak papa kok.” Kata Yadi menerawang ke arah air mancur.
“Aku dijodohin dengan sahabat SD ku dulu.”Jelasku dataryang juga memandangi air mancur dengan tatapan kosong.
“Ya Ampun... Kapan sih, aku mencintai kamu tanpa rasa cemburu. Padahal kamu juga nggak cantik-cantik amat.” Kata Yadi dengan kasar, jujur jleg. Aku sungguh sakit hati dengan perkataan Yadi, padahal dulu Yadi nggak pernah seperti itu.
“Mana inspeksi Hp.” Pinta Yadi padaku seraya kuberikan Hp ku pada Yadi.
“Tuh, kan.. Yang kegatelan Angga. Bahkan aku udah bilang ke Angga kalau aku udah punya pacar.” Jelasku agak snewen. Sebenarnya aku hatiku begitu sakit, bukan sakit hati karena perjodohan, namun karena perasaanku yang begitu bingung. Aku benar-benar sakit untuk mencintai Yadi. Haruskah aku melepaskan seseorang yang aku cintai?
“Kamu disuruh untuk cepat-cepat nikah?” Tanya Yadi setelah hening sesaat memandangi chattnya Angga yang tidak pernah aku balas sama sekali.
“Aku bahkan belum siap.” Jawabku dengan menerawang. “Jikapun aku harus menuggumu dua tahun. Aku lebih memilih kamu. Aku sungguh mencintaim...” Kataku dengan tatapan sayu yang tak sampai terucap dengan kecupan bibir Yadi perlahan pada pipi kananku. Bahkan saat Yadi menciumku, aku selalu ingin menarik tubuhku untuk menjauh.
“Aku juga mencintaimu.” Ucap Yadi setelah menciumku, seraya mendekapku dalam dadanya.
“Kamu kelak akan menjadi milikku.” Kata Yadi menenangkanku. “Aku benar-benar tidak akan melepaskanmu.” Tambahnya yang membuat hatiku semakin bergemuruh. Antara jatuh cinta atau patah hati. Hingga aku menyimpulkan dengan logika dasar aritmatika, mungkin ini yang dinamakan cinta?
Bermunculan pernak-pernik lope lope dikepalaku. Email-email dari customer yang marah-marah berubah mendaji notasi balok yang menghiasi monitorku, alunan melodi cinta nan bahagia mengalun membelai memanjakan telingaku. “Aku juga mencintaimu.” Perkataan Yadi semalam sungguh membuaiku hingga ke alam tujuh tingkatan. Telfon dari customer yang marah-marah bagaikan lantunan melodi nan merdu.Wajahku tak henti-hentinya menebarkan senyuman serasa mau terbang ke awan. Seakan wajah Yudi mendekatiku dan akan mencium pipiku lagi. “Woyyy...” Bentak mas Bagus memegangi tanganku sedari tadi, entah kenapa tanganku sudah memegangi wajah mas Bagus. Seketika hal ini menyibakkan hayalanku.
“Kyaaa...” Teriakku kaget, seketika aku basuhkan tanganku menutupi wajah mas Bagus.
“Eh buseh... Durhaka kamu ya... Ngubek-ubek wajah orang tua.” Kata mas Bagus menjauh.
“Haha... Baru sadar kalau dah tua.” Celetuk Ina.
“Dari tadi Eci cengar-cengir aja.” Goda Bella sembari mengunyah snack yang ada di meaja kerja.
“Kasmaran cieee...” Sahut Ina sembari ikut-ikutan menggodaku. “Sama mas Bagus... Kyaaa... Hahaha...” Celetuk Ina.
“Ya Allah... Nggak sama mas Bagus juga kali. Amit-amit...” Sahutku dengan memonyongkan bibirku.
“Ya elah... Diamit-amitin... Dasar adek durhaka.” Sahut mas Bagus nggak terima.
“Memang semalam abis jatah pacar ya? Sampe segitunya sampai mas Bagus jadi sasaran Hahaha..” Goda Bella.
“Nggak, ah. Ngaco.” Sahutku.
“Kamu tuh yang ngaco. Wajah ganteng gini, kamu obok-obok.” Sahut mas Bagus menggerutu.
“Ulu-ulu... Ngambek...” Godaku.
“Eci...” Panggil seorang lelaki berbahu bidang yang good looking.
“Ya?” Sahutku sepontan menoleh kearah suara itu. Terlihat lelaki itu mengayunkan jari telunjuknya yang memintaku untuk mendekat. Aku seraya mendekati lelaki itu.
“Ada yang bisa aku bantu mas Alan?” Tayaku kepada lelaki itu yang menyandarkan tangannya pada meja billiyards. Seketika mas Alan menyandarkan tubuhku pada tembok. Aku mengernyitkan dahi saat mencium aroma alkohol dari diri mas Alan.
“Mas Alan, mabuk?” Tanyaku mencoba melepaskan genggaman jemari mas Alan pada pundakku.
“Aku sudah berusaha memisahkankamu dengan dia, kenapa kamu dengan yang lain.” Bentak mas Alan yang mulai ngaco. Segera aku menampar mas Alan.
“Sadar... Aku Eci mas...” Kataku.
“Iya, aku tahu kamu Eci. Aku tahu segalanya tentang kamu.” Ucap mas Alan.
“Apa maksud kamu?” Aku mulai mencurigai perkataan mas Alan.
“Ett... Ini kayaknya si Alan mulai ngaco.” Sahut mas Jek seraya menutupi mulut mas Alan dan membopongnya pergi.
Aku berdiri tertegun dengan apa yang diucapkan mas Alan. Aku mencoba mengingat, kenapa aku bekerja disini. Bukankah aku masih karyawan di sebuah leasing sebagai Credit Analysis. Aku berdiri mematung dan menerawang jauh. Seingatku, aku menerima email jika aku diterima di PT. Serbuk Bunga Kaktus, Solo. Karena ingin mandiri, sehingga aku mendatangi PT ini untuk menjalani hari-hari baruku di Solo. Lalu, kenapa aku resign dari perusahaan leasing yang udah terjamin karirku disana? Aku mencoba mengingat semua, tiba-tiba kepalaku pusing. Segera aku mengambil vitaminku di dalam tas. Tak sengaja aku menendang Hp mas Alan, yang tergeletak bawah meja billiards. Terlihat foto seorang wanita tengah menggendong Bayi sebagai wallpapernya.
“Ini kan aku?” Pekikku terkejut sembari meraih Hp itu pada kolong meja billiards.
“Nggak mungkin. Wanita ini mirip banget denganku. Bahkan ini baju yang baru aku kenakan kemarin.” Gemingku semakim membuat kepalaku pusing. Segera aku menelan vitamin dari Mama dan meminum air putih untuk menenangkan diri. Sesaat nafasku tersenggal-senggal.
“Kresek-kresek... Di diagnosis... kresek.. kresek... Akan amnesia pada dua tahun terakhir. Kresek...Tapi nggak mungkin... kresek... Lalu gimana dengan pekerjaannya dia telah bekerja lebih dari lima tahun? Kresek kresek... ceritakan saja dia menganggap telah resign. Kresek.. kresek... Bapak? Kenapa bapak nggak masuk untuk menjenguk? Kresek.”Terdengar recorderdari dalam file pada Hp mas Alan.
“Aku kayak nggak asing dengan suara ini.” Gemingku lirih sembari duduk pada sofa kantor.
“Woy, adik tiri.” Sapa mas Bagus dengan gaya slengekan. Segera aku menyembunyikan Hp mas Alan dalam sakuku.
“Woy..” Sapaku dengan cengiran kuda ter konyol
“Ngapain lu...” Tanya mas Bagus tambah konyol.
“E’ek.” Jawabku asal. “Minumlah...” Tambahku lagi seraya mengambil bekas gelasku tadi dan sesekali meminumnya di depan mas Bagus.
“Mas, aku masuk duluan ya.” Ucapku meninggalkan mas Bagus yang sedang membuat teh.
“Yaelah, baru aja ditemenin. Malah ditinggal.” Gerutu mas Bagus.
“Mas Alan, aku menemukan Hp mu dibawah meja billiyards saat kamu mabuk tadi. Aku akan mengembalikannya padamu. Enaknya aku taruh dimana?”
Ketemu saja @ Kimchi Resto, 20.00
Ok
Seperti mengerti kodeku dalam email, mas Alan sepertinya mengetahui bahwa aku akan menuntut sebuah penjelasan dalam pertemuan ini. Semenjak saat ini aku juga menjaga jarak dengan Yadi. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Intinya aku nggak ingin terlalu jatuh cinta pada Yadi, jaga-jaga untuk suatu kesimpulan yang terburuk.
Lampu warna-warni yang berderai di sisi kolam ikan malam ini, sungguh gemerlap mengikuti denyut nadiku. Aku melihat mas Alan seperti biasa, dia tetap mempesona. Dia memesan makanan untuk kami berdua, seraya duduk dihadapanku.
“Kamu cantik.” Puji mas Alan yang kusambut dengan hening. Jujur saja bahkan, aku nggak bisa berkata apa-apa. Aku nggak tahu harus memulai pertanyaan dari mana. Karena saat di kos, aku melihat seluruh foto galeri mas Alan yang ada hanya fotoku bersama bayi yang diambil secara curi-curi.
“Sepertinya kamu telah melangkah lebih dekat.” Kata mas Alan dengan senyuman penuh arti.
“Apa maksud kamu?” Tanyaku seraya meletakkan Hp mas Alan diatas meja perlahan.
“Aku yakin kamu telah mendengar recording itu.” Geming mas Alan melirik Hpnya yang telah kuletakkan diatas meja. Sempat sesaat aku teersentak akan ucapannya.
“Ecizy Kanza....” Panggilnya lirih seraya menggenggam tanganku.
“Kamu itu amnesia, ingatanmu dua tahun teakhir itu lenyap. Ingatan disaat kita menikah.” Katanya lembut. Semua ini semakin membekukam lidah dan mulutku yang membuat sesaat hening. Aku speechless namun aku juga nggak yakin.
“Mana anak kita?” Tanya ku menyingkirkan tangan ku menjauh dari genggamannya. Tersentak dengan pertanyaanku mas Alan mengusap jidatnya sesaat.
“Eci, semua itu bohong.” Kata Peppy, seraya menarik tanganku dan beranjak meninggalkan mas Alan sendiri pada meja makan salah satu restoran khas Korea itu. Peppy segera memasukkanku dalam mobilionya.
“Apa maksud semua ini Peppy? Aku yakin kamu pasti tahu.” Teriakku dalam mobil. Peppy hanya termenung sembari mengendarai mobilnya.
“Kamu tega. Kamu, Mama, semua tahu. Kecuali AKU.” Teriakku yang kini mulai parau untuk menahan air mata dan amarah.
“Kalau kamu mengingat semua sekaligus. Kamu pasti collapse, ECI. Kami kayak gini karena kami sayang sama kamu.” Bentak Peppy membuatku tertegun.
“Menurutmu, selama ini buat apa aku ngikutin kamu? Kamu bahkan nggak tahu, aku selalu mengikuti kamu, itu semua permintaan Mama. Bagaimanapun itu aku harus memastikan kamu nggak mengingat dua tahun teakhir sekaligus.” Jelas Peppy hampir tak bernafas.
“Maafkan aku Peppy.” Ucapku lirih dan bingung akan berkata apa.
“Lelaki itu, itu bukan suami kamu. Aku mohon percaya sama aku. Satu lagi, lupakan kejadian ini. Anggap saja pernyataan dari lelaki itu tidak pernah kamu dengar. Hilangkan rasa penasaranmu.” Jelas Peppy. “Aku mohon.” Pintanya lirih sembari menatap kosong jalan raya untuk Ia lalui dengan mobilionya.
“Tap.. Tapi..” Kataku terbata.
“Hush... Aku nggak ingin pusingmu kambuh-kambuh lagi. Itu membuat ingatanmu akan semakin lama untuk kembali. Diminum terus obat dari Mama, jangan sampai telat.” Nasehat Peppy padaku, seraya aku memandangi sebotol kapsul yang selalu aku bawa dalam tasku. “Kata mama ini vitamin.” Gemingku merasa sakit dibohongi. Setibanya pada kosku, aku sudah mulai agak tenang.Aku memandang wajah perempuan itu, sosok sahabat sejatiku semenjak aku SD.
“Terimakasih.” Ucapku dengan tulus kepada Peppy.
“Aku juga ingin kamu cepat semb...buh. Maafkan aku.” Isak Peppy tiba-tiba seakan ada kisah dua tahun lalu yang ingin dia ungkapkan kepadaku. “Tapi tidak dengan cara seperti tadi, kamu bisa saja sewaktu-waktu collapse jika kamu paksakan.” Jelasnya.
“Nggak papa, pep. Aku nggak akan memaksa untuk mengingat semua.” Kataku seraya memeluk perempuan itu.
“Mungkin kamu perlu mengetahui ini.” Ungkap Peppy seraya melepaskan pelukanku dan menyodorkan Hpnya.
“Mas Jek?” Tanyaku sembari menatap perempuan itu yang masih terisak.
“Sebenarnya dia adalah suamiku.” Ungkap Peppy dengan parau. “Kami menikah satu tahun yang lalu. Aku sengaja menyuruhnya untuk email kepadamu untuk bekerja di PT. Serbuk Bunga Kaktus itu. Kebetulan Mas Jek SPV di sana, sehingga dengan mudah kami bisa melobikan kamu di sana.” Jelas Peppy.
“Lalu pekerjaanku yang di leasing?” Tanyaku.
“Aku membuatkanmu cuti tahunan pada perusahaan itu. Dan mengatakan kepadamu jika kamu telah resign. Untuk kamu memiliki kedua bibi yang terkadang meng-handle kelima bisnis caffe dan butikmu.” Jelas Peppy kemudian.
“Aku bahkan tidak menyangka kamu bertemu dengan lelaki tadi.” Tambah Peppy kemudian.
“Mas Alan?” Tanyaku.
“Kata suamiku, dia sangat tergila-gila sama kamu, entah sejak kapan kalian bertemu, hingga dia seperti itu.” Jelas Peppy.
“Lalu, bayi yang aku gendong dalam fotonya mas Alan?” Tanyaku lagi.
“Itu anaknya Tian. Kamu tahukan orang seperti mas Alan akan mencuri foto tanpa kamu sadari dengan apapun aktivitas kamu.” Jelas Peppy seraya turun dari mobil dan masuk ke kos ku.
“Walaah... Kirain....” Helaku lega sembari membuatkannya teh hangat.
“Pep, soal Angga.” Kataku lagi sembari mengulurkan teh pada Peppy di ruang tamu.
“Kenapa?” Tanya Pepy sembari menyerutup teh nya.
“Aku nggak srek sama dia.” Ungkapku. “Jujur....” Tambahku tertahan.
“Jujur kenapa?” Tanyanya.
“Akuuu....” Kataku perlahan.
“Aku masih mencintai Tian.” Kataku perlahan dan sangat berhati-hati. “Aku tahu ini gila. Aku mencintai suami orang. Tapi itu yang aku rasakan, Pep. Hampir tiap malam aku menangisi kenyataan jika Tian sudah beristri.” Selaku cepat tanpa spasi.
“Tapi, untung ada Yadi. Dia selalu ada untukku Pep. Semenjak malam itu, aku bisa move on dari Tian.” Jelasku menerawang.
“Malam itu? Kapan? Kamu ngapain aja sama Yadi?” Tanya Peppy khawatir.
“Pipiku dicium.” Kataku lirih dengan bola mata turun.
“Arrgh... Eciiiiiii..... Kok bisa?” Tanya Peppy kecewa.
“Aku fikir, aku nyaman bersamanya.” Jelasku dengan sedikit berfikir.
“Eci, fikir deh... Itu hanya perasaan pelampiasan.” Kata Peppy sempat membuatku tersentak dan down seketika.
“Aku mohon... Putuskan Yadi.” Ucap Peppy sedikit kecewa seraya meninggalkanku dalam kos sendirian.
Lama sudah ku bersama menemani Yadi, berbagi cinta dan berbagi indahnya rasa berdua. Setelah beberapa kami melangkah bersama, kami terbuai dalam kelam. Semakin,terlihat jauh berbeda diantara kami. Berangsur-angsur aku mengingat dua tahun silam yang pernah hilang. Semakin aku menyadari saat aku bersama Yadi, aku merasa bukan diriku. Aku merasa Yadi juga jenuh terhadapku, sesekali dia memberi kode kepadaku agar aku memutuskannya. Namun, aku bukan tipe orang yang mudah mengatakan putus, terlebih untuk orang yang pernah membuat aku mencintainya. Selagi masih ada rasa cinta, aku rasa masih bisa dipertahankan. Aku meraih HP ku, aku membaca history chatt kami yang semakin lama-semakin remuk.
Eci à “Pagi.”
“Kamu kok gitu banget ya..”
“Lama-lama nggak chatt aku sekalian selamanya.”
Yadià “Pagi.”
“Kamu mah gitu?”
“Hem.”
Ecià “Abisnya aku ingin kamu perhatiin juga.”
“Aku juga wanita.”
“Aku juga punya perasaan.”
Yadià “Aku nggak punya.”
Ecià “Aku juga pingin kayak temen-temenku sama pacarnya.”
Yadià”Terus gimana?” (Aku sebenernya tahu, dia memang selalu memberiku kode untuk mengakhiri hubungan kami. Nggak cuma kali ini.)
Ecià “Aku ingin kamu perhatian kayak dulu.”
Yadià “Berisik.”
“Berisik.”
“Banyak hal yang lebih penting dari pacaran.”
“Chatt nggak penting, dll.”
Ecià “Kamu ada yang lain ya?”
Motor
Legenda
|
“Yang lain itu.”
“Ama tugas kuliah.”
Ecià “Meski ada ML dan tugas kuliah, kamu masih sayang sama aku?” (Aku berusaha meyakinkan diri untuk tidak memutuskannya.)
Yadià “Masih.”
Ecià “Tadi kamu bilang: Banyak yang lebih penting dari pacaran. Lalu kenapa kamu dulu menbak aku. Kamu khilaf? xD”
Yadi à “Biar punya pacar.”
Ecià “Biar bisa kamu sia-siain ya? ;D”
Yadià “Aku lagi agak stres nih, jangan mancing ya.”
Ecià “Iya sayang. Ini kamu lagi kuliah apa lagi ngerjain tugas?”
Yadià “Ini lagi istirahat.”
Ecià “Jangan lupa makan. Biar nggak stress.”
Yadià “Iya siap. Kamu juga.”
Ecià “Kamu lagi banyak fikiran, ya. Nanti misal nggak ketemu dulu nggak papa kok.”
Yadià”Yaa liat aja nanti.”
Ecià “Nggak usah ketemu dulu nggak papa. Kok.”
Yadià “Kamu dah pulang?”
Ecià “Belum.” (Kataku bohong karena aku benar-benar nggak inggin ketemu)
Yadià “Yaudah besok aja kalau gitu.”
Ecià “Besok aku udah ke Madiun.”
Yadià “Yaudah.”
Ecià “Kapan-kapan aja.”
Yadià “Yaudah pulang kerja buat tidur aja.”
Ecià “Iya aku juga otw tidur.” (Selang satu setengah jam berlalu)
Ecià “Kya aku rasanya tidur lama bener. Ternyata cuma satu setengah jam.”
Yadià “Tidur lagi dong.”
Ecià “E’ek.” (Sebenernya ingin aku bales seperti itu, tapi nggak jadi aku balesin.)
Aku memejamkan mataku untuk menguatkan diriku sendiri. Sebenarnya apa yang akan terjadi pada hubunganku dengannya. Aku melemparkan Hp ku ke kasur, kubuka almariku untuk membereskan pakaianku untuk ku bawa pulang ke Madiun esok hari. “Tunggu, apa aku ke Madiun sekarang aja?” Gemingku seraya bergegas merapikan tasku.
Gemericik akuarium dalam kamarku mendorongku untuk pergi hang out di kota Madiun, tanah kelahiranku tercinta. Jujur saja, aku masih lelah perjalanan Solo-Madiun barusan. Namu, entah kenapa aku ingin pergi jalan-jalan aja. Segera aku mengambil kontak mobilku dan beranjak meninggalkan rumah.
“Mau kemana Eci, jam sebelas malem begini?” Tanya Mama yang tengah membereskan sofa.
“Mau ke toko buku, Ma.” Sahutku datar sembari mencari kontak mobilku.
“Memang masih buka?” Tanya Mama heran.
“Entah, pingin aja keluar. Bentar kok, Ma. Cari angin.” Kataku seraya berlalu setelah mencium pipi wanita paruh baya itu.
Setibanya aku ditoko buku yang aku tuju, benar saja kata Mama. Toko buku itu terlihat sepi dan akan segera tutup, dengan beberapa karyawan yang telah beberes tokonya. Aku keluar dari mobil, kemudian berjalan lunglai menyusuri ruko-ruko yang berjajar yang akan segera tutup juga.
“Argh...” Pekikku terkejut lirih dengan cincin yang menggelinding ke arahku dan tidak sengaja aku injak. Aku menelusuri sumber dari arah cicin ini berlari. Terlihat sesosok gadis mungil berjalan imut dengan penuh tawa. Diikuti sang ayah yang tengah mengejarnya.
“Hai, Naura...” Sapaku setelah mengambil cincin yang aku injak tadi.
“Naura abis beli apa?” Tanyaku kemudian menggendongnya.
“Habis beli buku tante dan beli belanjaan sebulan” Sahut lelaki yang pasti adalah ayah Naura, dengan nafas tersenggal-senggal karena telah mengejar buah hatinya.
“Sini aku bantu.” Kataku seraya menyahut kresek yang dibawa Tian dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku masih menggendong Naura.
“Aku kesini jalan kaki. Kebetulan rumahku deket dari sini. Yakin kuat nggendong Naura dengan membawa belanjaan itu.” Goda Tian seraya berjalan mendampingiku.Aku sejenak tersipu, tak percaya bisa mengalunkan kaki berdampingan dengan seseorang yang aku cintai. Seandainya akulah istrimu Tian, itu yang aku ucapka beribu kali dalam benakku.
“Kuat.” Kataku yang membuatnya terkejut, setelah hening sesaat. “Bay the way, bukannya rumah kamu jauh dari sini?” Tanyaku pada Tian.
“Setelah menikah, aku membeli sepetak rumah di area sini. Yang dekat dengan usahaku juga dan dekat dengan kantor istriku.” Jelasnya membuat bola mataku berayun redup. Hampir saja aku lupa jika Tian sudah beristri.
“Istrimu tahukan kalau aku sahabatmu? Jadi dia nggak akan cemburu saat aku mengantarkanmu dan Naura.” Tanyaku sembari melihat Naura yang tiba-tiba sudah pulas dalam gendonganku.
“Dia tahu kalau kita sahabatan.” Ucap Tian yang sejenak matanya terlihat berair dan tertahan tanpa Ia kehendaki untuk menetes. “Apalagi, dulu kamu dan Peppy sering pinjam Naura kemana-mana untuk kalian ajak main.” Jelas Tian, memandang ke arah lain. Aku tersentak untuk mengingatkanku pada foto dalam galeri mas Alan. Berarti benar apa kata Peppy, mas Alan bohong.
“Nah sudah sampai...” Ucapku pada Tian seraya meletakkan belanjaan pada teras rumah.
“Duduk dulu, aku buatkan coklat hangat.” Kata Tian meraih Naura dalam pelukanku dan mengambil belanjaannya untuk dibawa masuk kedalam.
“Ini aku buatkan coklat hangat. Istriku sangat suka dengan minuman itu.” Jelas Tian tak lama setelah masuk kedalam rumah beberapa saat, kemudian duduk disebelahku.
“Terimakasih. Istrimu memiliki selera yang sama denganku.” Ucapku yang memang kebetulan aku juga suka coklat hangat.
“Oh, iya.. Aku menemukan cincin ini menggelinding ke arahku tadi.” Ucapku seraya meletakkan cincin itu diatas meja. Terlihat lelaki berparas oriental khas Jepang, itu seperti akan tercekik untuk menahan air matanya sedari tadi, tepat dihadapanku.
“Kenapa setiap bertemu denganku kamu menangis?” Tanyaku lirih takut terdengar oleh istrinya. Sepatah katapun lelaki itu tidak menjawabku. Entah merasa tidak enak hati atau gimana, aku ikut iba melihatnya. Aku merasakan hatiku juga terisis, ini mungkin efek keseringan nonton drama Korea yang membuatku serba ikut tebawa suasana.
“Istriku mirip denganmu.” Ucapnya susah payah dengan lirih yang masih menahan air matanya untuk keluar.
“Ehm...” Aku bergeming tertegun.
“Istriku....” Rintihnya bercampur sedih sembari menahan tangisnya, dia seperti kesal, dan marah namun dia seakan tidak bisa berbuat apa-apa.
“Istri Tian kenapa?” Tanyaku sembari megusap pundaknya untuk menguatkan.
“Istrimu...Emh, meninggalkanmu?” Tanyaku disambut dengan gelengan kepalanya.
“Sakit?” Tanyaku lagi, Tian pun menganggukkan kepalanya perlahan seperti tidak yakin. “Yaudah, aku jenguk ke dalam boleh?” Tanyaku meminta izin.
“Dia tidak didalam.” Katanya membuatku bingung. “Semua yang terjadi, aku yakin kamu nggak akan mengerti.” Jelas Tian menelungkupkan wajahnya dalam kedua jemarinya. Tian membasuh mukanya beberapa kali untuk mengatkan dirinya agar tidak menangis.
“Aku mengerti” Kataku lirih kemudian menatapnya dengan rasa empati. “Istrimu sakit yang membuatmu tidak dapat menemuinya.” Kataku perlahan berdasarkan analisis. Diiringi dia tersentak terkejut.
“Kamu hanya bisa memandanginya dari kejauhan.” Ucapku yang kini mataku mulai berair karena merasakan betapa pedihnya rasa sabar akan penantian yang ditanggung Tian.
“Kamu pasti kuat. Istrimu pasti sembuh Tian.” Ucapku seraya memeluk seseorang yang aku cintai tersebut. Entah mengapa, meski aku mencintainya, aku berharap istrinya segera kembali kepadanya, aku nggak bisa melihat Tian sedih seperti ini. Dalam pelukan Tian, aku juga menguatkan diriku sendiri. “Aku harus merelakan perasaanku demi orang yang aku cintai bahagia.” Batinku untuk menguatkan diriku sendiri seraya aku melepaskan pelukannya.
“Aku pulang dulu ya...” Ucapku beranjak.
“Tunggu...” Panggil Tian setelah aku berlalu, yang membuat aku terhenti tanpa menoleh. Terdengar suara langkah kaki Tian mendampingiku.
“Aku antar, ya.” Tawar Tian sembari mengacungkan kontak nissan GT-R nya.
“Ehm, makasih. Kebetulan aku tadi juga bawa mobil, tadi aku parkir sebelah toko buku.” Jelasku.
“Perempuan jalan sendirian tengah malam, kamu yakin? Aku antar sampai toko buku kalau begitu, jalan berdua denganku kan lebih savety.” Pintanya.
“Boleh, ayuk... Haha... Malah jadi bolak-balik kamunya.” Tawaku setelah menyadari Tian sudah agak mendingan.
“Santai aja.” Ucapnya sembari menyunggingkan senyum dan melangkahkan kaki bersamaku.
Lantunan suara burung berkicau membangunkanku. Secerca sinar mentari mengintip dari ufuk timur, gemerisik dedaunan pohon mengetuk-ketuk pintu kaca dalam balkon kamarku. Aku masih menggeliat malas untuk beranjak dari ranjangku. Entah mengapa, hatiku serasa agak lebih lega, meskipun nyatanya Tian bukanlan untukku. Aku menyibakkan selimut untuk menuruni ranjangku. Riang penuh bunga aku melangkah sembari menarik tirai-tirai jendela, kemudian membuka pintu kaca balkonku, agar aroma udara pagi memenuhi kamarku dengan suasana fress dan positif.
“Hari ini aku mampir ke caffe dan butikku ah..” Gemingku sembari mengambil handuk untuk mandi.
“Eci...” Panggi Mama tiba-tiba memasuki kamarku.
“Ya, Ma?” Sahutku heran.
“Tadi malam kamu kemana aja? Jam satu malam baru sampai rumah.” Kata Mama snewen tanpa spasi.
“Semalam Eci nggak sengaja ketemu Naura, Ma.” Sahutku. “Mama kenal Naura kan?” Tambahku yang seketika membuat wanita paruh baya itu berubah mimik muka menjadi khawatir.
“Kamu nggak papa, kan?” Tanya mama malah nggak nyambung.
“Yaelah, nggak papa lah, Ma. Lagian Naura dan ayahnya nggak mungkin jahatin Eci. Apa lagi Tian kan sahabat Eci sejak SD.” Sahutku terheran.
“Bener? Haha...” Ucap mama semakin aneh dengan tawanya yang membuatku sedikit takut akan kesehatan jiwanya yang mungkin sudah bertambah umur.
“Yaudah, Eci mau mandi. Mau nengok butik dan caffe Eci.” Sahutku kemudian berlalu.
Deruman inovaku mengaum seiring laju perjalananku dengan kecepatan 120km/jam. Jujur aja, aku kalau mengemudi terbiasa ngebut. Entah kenapa, mungkin sewaktu kecil aku suka main bomm bomm car kali ya. Setiap celah-celah bayangan pohon yang aku lalui, seakan mendorongku untuk menyimpulkan aku ingin resign dari PT. Serbuk Bunga Kaktus, dan kembali ke perusahaan leasing. Meskipun masih banyak ilmu dari perusahaan leasing itu yang aku lupa, terkhusus dua tahun silam. Dulu aku bertahan di PT. Serbuk Bunga Kaktus, karena aku mempertahankan Yadi, mengenal ‘Solo’,dan ingin hidup mandiri. Kini apa yang bisa aku pertahankan dari Yadi? Diapun kini sudah berubah.. Kini aku juga telah mengenal Solo, dengan kemandirian yang telah aku pelajari. Sayangnya, kata Mama aku nggak boleh ke perusahaan leasing itu dulu, takut sewaktu-waktu aku collapse.
“Tiano Niverda.” Ucapku lirih seraya memarkirkan mobilku pada caffe sekaligus toko roti milikkuitu.
“Selamat pagi, Nyonya Muda.” Sapa setiap karyawanku membungkuk berjajar rapi.
“Nyonya... Dikira aku udah emak-emak kali ya...” Batinku agak sebel. Seperti yang kulakukan di butikku, pada caffe Tiano Niverda ini aku melakukan pengawasan pembuatan, pengawasan SOP, pengawasan pelayanan pelanggan, dan terakhir cash opname. Setelah selesai, aku segera meninggalkan caffe itu yang terlihat janggal.
“Tiano Niverda?” Gemingku lirih. “Atas dasar apa mama menamai caffe ini dengan nama panjang si Tian, sahabat SD ku.” Kataku lirih kemudian melajukan mobilku, sebenernya mobil mama sih, hehe kebetulan nggak di pakai, jadi aku bawa.
“Hallo...” Sapaku dalam ponsel kepada lelaki diseberang. Aku masih mengemudikan mobilku menyusuri sepanjang senja.
“Eci kamu dimana?” Tanya lelaki yang aku asing dengan suaranya.
“Maaf, siapa ya? Ada yang bisa dibantu?” Tanyaku kepada lelaki itu.
“Aku Alan.” Sahut lelaki itu. “Tu.. Tunggu, jangan dimatikan dulu.” Cegah mas Alan kepadaku seakan tahu apa yang aku lakukan.
“Kamu lagi mengemudi?” Tanyanya.
“Iya” Sahutku datar dan sinis.
“Aku minta menepi dulu.” Pintanya lembut.
“Sudah.” Ucapku beberapa saat setelah aku tepikan mobilku.
“Aku minta maaf.” Katanya lirih seakan menyesal dengan lirih.
“Soal kemarin?” Tanyaku janggal.
“Semuanya. Semua aku lakukan karena aku terlalu mengagumimu.” Sahutnya yang terdengar seperti juga dalam perjalanan.
“Semua?” Tanyaku curiga.
“Aku ingin kita bertemu, aku nggak ingin menjelaskan seperti ini. Jika perlu ajak seseorang yang kamu percaya untuk menemanimu saat menemuiku.” Jelasnya.
“Aku percaya padamu. Aku akan segera menemuimu. Kamu dimana?” Tanyakudatar dan gegabah.
“Aku mohon, aku ingin kamu sembuh. Jangan sendirian.” Sahutnya sedikit berteriak karena bising lalu lintas.
“Bukankah ada kamu?” Tanyaku terheran.
“Kamu bukan milikku.” Sahutnya diiringi telfon yang dimatikan dulu oleh mas Alan.
Alanà “Aku tunggu di taman manahan. Jam 8 malam.” Pesan mas Alan dalam chatt.
Ecià “Ok.”
Kepalang tanggung jika aku pulang dulu kerumah pada Minggu senja ini. Setelah menerima pesan dari mas Alan aku segera ke Solo dengan Avansaku, meski biasanya aku selalu naik bus untuk ke Solo. Setelah sampai di taman manahan, aku segera memarkirkan mobilku. Kakiku melangkah untuk menuju ke patung Cut Nyak Dien, yang aku rasa sepi dan pas untuk digunakan obrolan serius. Tidak kusangka, lelaki tinggi bertubuh kekar itu telah berdiri mematung dibawah patung itu, meski ini masih jam 7 malam.
“Kamu sudah disini?” Tanyaku.
“Aku memang suka main kesini, aku juga sering melihatmu disini.” Godanya dengan seringai senyum. Gila, kayaknya, dia pernah ngintip aku saat bersama Yadi yang pernah pacaran disini.
“Kali ini aku nggak bermaksud memojokkanmu lagi.” Kata mas Alan. “Kamu sudah membawa obatmu?” Tanya mas Alan sedikit khawatir.
“Sudah.” Kataku datar masih fokus dan siaga terhadapnya. Tak lama mas Alan menarik tanganku untuk duduk disebelahnya, tepat dibawah patung pahlawan wanita Indonesia itu.
“Aku minta maaf.” Ucapnya menerawang memandang cahaya lampu yang terang yang berada pada belakang patung Cut Nyak Dien.
“Minta maaf untuk?” Tanyaku kemudian.
“Aku yang telah sengaja menabrakmu waktu itu.” Kata Alan membuatku tercekat tiba-tiba. Aku mendadak tak bisa bicara, ingin marah. Namun, Ia telah berkata jujur. Aku menyeka kepalaku untuk menahan diri.
“Aku minta maaf.” Katanya lirih berulang-ulang dengan tatapan yang menatapke tanah dengan rasa putus asa.
“Kenapa kamu melakukan itu?” Tanyaku setelah terdiam sesaat karena menenangkan diri.
“Karena kamu bukan milikku.” Kata mas Alan dengan wajah masih menerawang.
“Mengetahui kamu amnesia, aku fikir aku bisa menarik hatimu. Namun, apapun itu nggak akan terjadi. Memilikimu itu suatu yang mustahil.” Gemingnya menyerah.
“Sebenarnya, apa yang dikatakan teman-teman, gosip yang beredar dari teman-teman. Aku menggilai seseorang perempuan yang telah bersuami, itu benar.” Papar mas Alan seraya menoleh kewajahku yang tepat menatapnya. “Yaitu, kamu.” Katanya membuatku mmenarik sedikit mundur dari wajahnya. Aku berusaha mendengarkan mas Alan tanpa mengingat apapun yang terjadi.
“Aku ingin membuatmu sembuh.” Kata mas Alan seraya memenahan kedua bahuku. “Aku ingin kamu kembali kepada pemilik hatimu” Kata mas Alan tertahan, kemudian berbisik; “Suamimu.” Kata mas Alan lirih seakan memiliki arti tak langsung untuk memintaku agar memutuskan Yadi. Aku terdiam sembari menepis kedua tangannya pada bahuku dengan hat-hati dan perlahan, sesaah sempat hening diantara kami.
“Mas Alan...” Kataku seraya dia menolehkan wajahnya kearahku lagi.
“Kamu jahat...” Kataku yang sedikit parau dengan menatapnya menahan tangis haru.
“Tapi, Te.. Terimakasih.” Ucapku seraya beranjak menuju ke parkiran, meninggalkan mas Alan terduduk sendiri. Setapak demi setapak jalan pada taman manahan aku lewati dengan berlari kecil. Aku ambil ganggang pintu mobilku, tak menunggu waktu lama, aku segera meraih Hp untuk menghubungi Yadi.
Yadià “Tidur tadi aku.”
“Main apa sih?” (Chatt kemarin malam)
Ecià “Hai..”
Yadià “Masih hidup?”
Ecià “Udah 40 hari, kamu sih nggak ikut ngelawat.”
Yadià “Ok.”
Ecià “Ok.” (Aku mohon putusin aku, aku mohon putusin aku, aku mohooon)
Yadià “Aku bosen sama kamu.”
“Kamu juga sama kan?”
Ecià “Aku sebenernya nggak jenuh.”
“Cuma, aku nggak ingin baper aja.”
“Sifatmu yang kayak gitu, buat aku ngasih batasan sama kamu.”
“Termasuk batasan untuk rasa suka dan semacamnya itu.”
Yadià “Yaudah.”
“Aku nggak tertarik sama kamu yang kayak gini.”
“Nggak asik.”
“Aku bebasin deh kam dari aku.”
“Nggak perlu terikat lagi.”
Ecià “Yadi. Sebenernya aku masih sayang sama kamu. Cuma, akhir-akhir ini kamu berubah, nggak kayak kemarin. Kamu sekarang cuwek banget.”
“Terus enaknya gimana buat hubungan kita?”
“Biar sama-sama enak. J “
Yadià “Yaudah, temenan aja lah.”
“Aku salah.”
“Dah kecepetan ngajak pacaran.”
Ecià “Hmmm... Okee kalau kamu maunya gitu, nggak papa. J Mungkin emang lebih baikseperti ini, buat kita semuanya.”
Yadià “Aku juga sayang, tapi kalau sampai cinta aku nggak cinta. Kalau cinta, aku prioritaskan kamu banget, tapi ini enggak.”
“Aku lebih banyak prioritaskanhal lain.”
“Kayaknya aku bukan manusia deh.”
“Aku sama sekali nggak tertaris sama manusia.”
Ecià “Yaudah nggak papa. J Hahaha... Ya mungkin kamu perlu berobat. ;D ;D”
Yadià “Iyaa.”
Ecià ”Haha... Yaudah yang penting kita masih temenan. J “
Yadià “ Okeey.”
“Fyuuuh... Akhirnya... Last Farewell...” Gemingku menyunggingkan senyum penuh kelegaan. Jujur aja, sempet hatiku rasanya seperti tercubit sedikit sakit. Namun, ini yang terbaik untuk semuanya. Kini tugasku selain untuk sembuh, aku harus mencari suamiku.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku kepada penghuni kos.
“Wa’alaikum salam.” Sapa mbak Sinta dan Geng yang ternyata sedari tadi telah ngerumpi di ruang tamu.
“Cie... Yang lagi ngerumpi.” Sahutku sembari membuka kamar kosku kemudian, tetep... Ikut ngerummpi.
“Geng, mbak Sinta.” Kayaku kemudian setelah mereka usai bercerita ngalor-ngidul.
“Aku minta maaf jika selama aku disini menyakiti hati kalian.” Ucapku.
“Lhoh... Memangnya kenapa, Eci?” Tanya mba Sinta berubah mimik muka terheran.
“InsyaAllah minggu depan aku last day disini. Tadi aku juga udah izin sama ibu kos juga.” Jelasku.
“Ya Allah, kenapa mbak? Kos disini kurang nyaman?” Tanya Geng.
“Bukan begitu Geng. Aku mau di Madiun aja, resign dari pekerjaanku yang disini.” Jelasku.
“Kenapa?” Tanya mbak Sinta.
“Mau nikah, mbak?” Tanya Geng.
“Ada urusan keluarga aja.” Sahutku masih ingin belum terbuka soal statusku. Ternyata benar apa kata mbak Sinta dulu dengan alasan kenapa dia menyembunyikan status kepada teman kuliahnya, yaitu sungkan, bukan malu. Status telah menikah itu nggak gampang untuk mengungkapkan kepada orang lain.
“Geng, dari ceritamu tadi. Kamu dekat lagi dengan Aga?” Tanyaku untuk mengalihkan perhatian.
“Iya, mbak. Tapi aku nggak ingin baper dulu.” Jelasnya.
“Good.” Sahutku. “Aku mohon tiggalkan Uda, Geng. Dia pria nggak baik.” Ucapku mengingat dulu Uda pernah menggodaku.
“Aku nggak bisa mbak. Apa lagi dia katanya ingin serius denganku.” Jelas Geng.
“Aku mohon, Geng. Terlebih dia masih punya tunangan. Itu nggak menjamin. Lelaki itu nggak bisa dipegang omongannya.” Jelasku.
“Kenapa mbak?” Tanya Geng masih ngeyel.
“Kamu masih ingat, saat Yadi main ke kos. Sebelum Yadi main, Uda memberiku cangkir dan menggodaku untuk PDKT dengannya Geng.” Jelasku membuat mimik muka Geng tersentak.
“Aku mohon fikirkan nasehatku lagi.” Ucapku seraya meninggalkan Geng dan mbak Sinta, kemudian ke kamar kosku untuk istirahat dan mengirimkan email ke PT. Serbuk Bunga Kaktus, tentu saja email untuk pengajuan resign.
Hallo Monday, hallo last day. Kayaknya itu tema yang pas untuk mengiringiku hari ini. Hari ini pertama dan terakhir kalinya aku berangkat kerja menggendarai mobil, padahal jarak kos dengan kantorku hanya sekitar lima ratus meter.
“Ci...” Panggil mas bagus sembari melemparkan bola kertas ke arahku.
“Woy... Apaan?” Sahutku snewen.
“Denger-denger mau resign ya?” Tanya mas Bagus.
“Gosip.” Kataku jutek yang masih menghadap ke monitor membalas email customer yang complain.
“Syukur deh...” Geming mas Bagus yang membuatku menyunggingkan senyum dibalik punggng mas Bagus yang membelakangiku. Tak terasa setahun aku disini, aku memiliki keluarga kecil yang lucu-lucu seperti mas Bagus, Bella, dan Ina. Pada penghujung waktu kerja, aku barulah mengungkapkan jika hari ini adalah last dayku.
“Untuk Eci, sini...” Pinta mas Jek saat meeting akhir bulan di penghujung kerja, akupun mendekat dan duduk di dekat mas Jek.
“Teman-teman, hari ini adalah last day nya Eci. Untuk Eci, makasih atas kerjasamanya selama hampir setahun ini.” Ucap mas Jek kepadaku.
“Terimakasih mas Jek, dan teman-teman, atas bimbingan dan kerjasamanya.” Kataku dengan penuh haru terlihat Bella mengeluarkan air matanya.
“Aku minta maaf jika aku pernah punya salah.” Ucapku kemudian.
“Sama-sama Eci.” Kata mereka seraya satu persatu memelukku erat sembari memberiku kata-kata motivasi kepadaku, ada yang sesenggukan juga ternyata yang tak lain adalah teman hitsku Bella, Ina dan mas Bagus.
“Kamu melakukannya dengna baik. Aku harap kamu segera sembuh.” Kata mas Alan setelah tidak ada orang dalam kantor.
“Terimakasih.” Ucapku dengan senyum. “Nanti malam teman-teman menyewa Avistatatata Karaoke dalem Solo Sekuaria. Aku harap, kamu mau ikut di last farewell partyku.” Ajakku.
“With pleasure.” Ucapnya sembari membungkuk sedikit dan memegangi dada kirinya dengan tangan kanan.
“Nanti malam jam 8 ya.” Ucapku kemudian melambaikan tanganku dan meninggalkan mas Alan dengan riang.
Deruman musik seiring suara teman-teman yang melengking semakin memarakkan kemeriahan last farewell partyku. Terlihat Peppy bersama mas Jek ikut menari menggeliat bagai cacing untuk mengikuti irama.
“Ci... Denger-denger elu mau nikah ya?” Tanya Ina ditengah bisingnya ruangan karaoke itu.
“Tahu dari mana?” Tanyaku sedikit mendekatkan bibir pada telinganya.
“Sekantor tadi gosipin gitu.” Sahut Bella ikutan nimbrung.
“Hahaha.... Lalalala...” Jawabku pura-pura jadi alien mabuk.
“Ih, dasar ini anak. Last day pun tetep nyebelin.” Sahut Bella mencubit perutku.
“Arrh....” Pekikku kesakitan diiringi tawa Bella dengan puas.
“Pokoknya kalau resepsi, undang-undang.” Pinta Ina.
Terlihat mas Alan mematung pojok pintu karaoke. Aku menghampiri mas Alan seiring nada yang berderum lantang.“Aku harus kehilanganmu lagi.” Bisiknya dalam bisingnya ruangan itu.
“Aku mengingatmu.” Gemingku yang sedari tadi mematung tepat dihadapannya, air mata terjatuh perlahan dari kelopak mataku, sesaat akuterdiam seakan merasakan lintas waktu. Aku melihat dua orang kekasih berlarian mengelilingi pantai. Saat itu aku belum memakai hijab. Aku berlari seiring memainkan selendangku, kemudian seorang laki-laki menangkapku dari belakang.
“Aaa...” Teriakku pada lintas waktu itu memekakan telinga diiringi suara tawa seorang lelaki itu. Aku membalikkan tubuhku pada lelaki itu, dan lelaki itu mengangkat tubuhku tinggi. Gemuruh ombak pantai ikut bersorak-sorai akan tawakami waktu itu.
“Sampai kapan kita bersembunyi dengan hubungan ini?” Kata lelaki itu seiring deruman ombak setelah menurunkanku dari gendongannya. “Seminggu lagi kamu akan menikah dengan lelaki lain.” Kata lelaki itu seiring menyibakkan rambutku dengan lembut. Aku memelukknya erat dan tidak menjawab pertanyaannya.
“Kita akhiri sampai sini ya.” Ucapku lirih kepada mas Alan dibalik bisingnya musik dalam ruangan karaoke itu, yang tersadar dari lintas waktu sesaat, halini cukup membuat kepalaku seakan ingin meledak.
“Keyakinan kita berbeda. Cukup sampai di sini, ya.” Kataku kemudian mengingat sebelum menikah, aku sempat berpacaran dibelakang keluarga kami dengan mas Alan. Aku memegangi kepalaku menahan pusing, disambut dengan kedua tangan mas Alan untuk membantuku tetap berdiri.
“Akhirnya kamu mengingatnya.” Kata mas Alan lirih. “Tapi, kamu tidak apa-apa?” Tanya mas Alan sedikit khawatir.
“Maafkan aku. Tapi, terimakasih.” Kataku kepada mas Alan, dan menepis tangannya. Aku berjalan sempoyongan mendekati teman-teman untuk pamit pulang lebih awal dari acara last farewell ku, karena kepalaku terasa begitu berat. Aku mengemudikan mobilku dengan berlinang air mata tanpa suara. Merasa tidak terbayang, sakit hati yang diterima mas Alan bertahun-tahun hingga sekarang akhirnya bisa merelakan aku.
Pekikan tangis mengiris hatiku sesaat aku memasuki kamar kos. Terlihat mbak Sinta menangis tanpa henti. Aku segera melepaskan sepatuku untuk memasuki ruang tamu dan menghapus bekas air mataku, aku berhambur pada mbak Sinta.
“Mbak Sinta kenapa?” Tanyaku yang masih memegangi pundaknya.
“Tadi aku bertengkar dengan suamiku.” Jelasnya.
“Mbak Sinta nggak keberatan untuk cerita ke Eci?” Tanyaku berhati-hati.
“Apakah aku salah jika aku ke depan untuk membuang sampah tanpa hijab?” Tanya mbak Sinta, karena selama ini mbak Sinta terkenal paling alim dengan jubah nya yang tak pernah tanggal dari tubuhnya.
“Asal nggak ada lawan jenis yang bukan mahram, nggak papa sih.” Jawabku garuk-garuk kepala, karena seharusnya ilmu agama mbak Sinta yang lebih Jring ketimbang aku.
“Awalnya aku mengingatkan suamiku untuk segera memberikan hasil sablon yang dipesan oleh kepala sekolahku. Karena kepala sekolahku sudah menanyakan kepadaku.” Papar mbak Sinta. “Tapi, dia malah menyentakku. ‘Sablon ini salah. Nggak usah ikut campur.’ Padahal aku cuma mengingatkannya. Kemudian aku berlalu untuk membuang sampah tanpa hijab. Dia malah marah-marah. Kemudian aku pergi kesini, Eci.” Jelas mbak Sinta dengan sesenggukan.
“Aku fikir aku ingin pulang ke orang tuaku aja, Eci. Terlebih aku sudah tidak diberi nafkah oleh suamiku. Sampai saat ini pun aku nggak pegang uang sama sekali.”
“Ya Allah, mbak. Menurutku, lebih baik mbak Sinta ke kontrakan suami mbak Sinta lagi. Kita yang mengalah, mengalah kan nggak berarti kita salah. Menurutku cuma kurang saling pengertian.” Jelasku. “Pasti mbak sinta menyesal telah buka hijab.” Tambahku lirih.
“Mending kita cari makan yuk. Jangan lupa bungkuskan untuk suami, siapa tahu suami bisa luluh lagi.” Nasehatku pada mbak Sinta. “Karena ini adalah terakhir aku disini. Aku mohon, biarkan aku yang traktir ya.” Pintaku perlahan, kemudian di’iya’ kan oleh mbak Sinta.
Setelah kenyang memuaskan lidah dan perut, mobilku aku lajukan ke kontrakan suami mbak Sinta.“Ayo, Ci masuk.” Ajak mbak Sinta yang mengetahui aku masih mematung didepan pintu. Langkah kakiku bersambut dengan pemandangan yang memang jujur saja kurang sedap. Terlihat mbak Sinta mengucapkan salam kepada suaminya dan memberikan makanan didekat suaminya berdiri. Namun apa yang aku dapati? Lelaki itu hanya terdiam dan berlalu membiarkan mbak Sinta mematung.
“Yaudah, yuk kembali ke kos.” Pinta mbak Sinta dengan senyuman pahit yang aku sambut dengan anggukkan bersalah. Langkah kaki kami menuju mobilku, dan aku kemudikan mobilku untuk kembali ke kos.
“Eci, pulangmu masih besok kan?” Tanya mbak Sinta dalam perjalanan.
“Iya, mbak. Kalau malem-malem balikke Madiun, aku agak takut juga mbak.” Jelasku.
“Besok mau antarkan aku ngomong ke ibu kos ya. Aku mau berhenti kos dan kembali ke orang tuaku.” Papar mbak sinta yang kini telah berlinang air mata (lagi). Aku terdiam sembari mengusap punggung mbak Sinta. Aku takut untuk mengiyakan, maupun menolak. Setalah sampai kos, mbak sinta langsung masuk kamar. Aku yang sedikit khawatir kepada mbak Sinta, akhitnya aku mencoba membuka pintu kamar kos mbak Sinta dan mendekatinya.
“Mbak Sinta packing?” tanyaku tak percaya apa yang dia lakukan malam ini. Aku saja yang sudah fix untuk pulang besok malah belum aku kemasi pakaianku.
“Iya, besok aku mau pulang aja.” Jelasnya dengan parau.
“Astagfirullah....” Helaku. “Mbak fikirkan lagi. Terlebih hari ini mbak Sinta lagi datang bulan. Takutnya hanya emosi sesaat.” Jelasku.
“Tapi, tadi Eci tahu sendiri kan? Sikap suamiku begitu dingin.” Jelasnya meminta pembelaan. “Kalau aku tetap disini aku mau bayar kos pakai apa, Eci.” Jelasnya lagi.
“Ditarik dari sisi suami dulu mbak. Mungkin suami sungkan karena mbak Sinta membawa aku kedalam kontrakan suami mbak Sinta.” Jelasku.
“Tapiii, Ecii...” Sahutnya seraya ingin meledak.
“Mbak fikirkan lagi. Kalau mbak Sinta sampai pulang kerumah pasti orang tua mbak Sinta bertanya kepada mbak Sinta perihal suami. Pasti mereka curiga, terlebih orang tua mana yang ingin anak mereka susah. Jika mbak Sinta sudah kembali ke rumah orang tua. Sewaktu-waktu jika mbak Sinta dengan suami untuk kembali, akan lebih susah dengan adanya halangan dari orang tua. Setelah mbak Sinta pulang kerumah, besar kemungkinan orang tua mbak Sinta akan membenci suami mbak Sinta.” Jelasku yang entah kenapa menjadi mendadak bijak. “Lebih baik kita tidur yuk?” Pintaku mencoba menenangkannya. “Siapa tahu setelah tidur, mbak Sinta menjadi lebih tenang.” Kataku lagi.
Keesokan pagi yang cerah menyapa kami dengan nyanyian burung dengan indahnya. Aku buka mataku perlahan, kemudian menggosoknya. Tarlihat mbak sinta yang juga ikut terbangun, ternyata semalam kami tidur sekasur berdua. Ih, umu-umu gimana gitu ya..
“Gimana perasaan mbak Sinta?” Tanyaku sembari merenggangkan tulangku.
“Sedikit tenang, Eci.” Jelasnya yang telah terbangung sedari tadi.
“Aku akan pulang Eci, cuma untuk meminta uang aja. Mungkin ini cobaan rumah tanggaku. InsyaAllah aku akan menghadapinya, aku masih ingin disisi suamiku, Eci.” Jelas mbak Sinta.
“Nah, gitu dong.” Ucapku dengan senyum lebar. ‘Ya Allah karuniakanlah sakinah, mawadah, wa rahmah dalam rumah tangga mbak Sinta’ Batinku. Dengan nyawa yang belum terkumpul, aku dibantu mbak Sinta mengemasi barang-barangku. Tak membutuhkan waktu lama, setelah packing aku mandi dan berpamitan kepada mbak Sinta.
“Mbak Sinta aku pamit dulu, ya..” Ucapku seraya memeluknya erat. Terlihat wanita itu mengeluarkan air matanya (lagi).
“Kenapa kamu pergi disaat aku baru dekat denganmu?” Tanyanya dalam pelukan.
“Aku akan sering main ke sini.” Kataku lirih menenangkan mbak Sinta seraya melepaskan pelukanku.
“Mbak aku titip ini, ya.” Ucapku memberikan selembar kertas.
“Inikan kumpulan bekas tiket bioskop?” Tanyanya menyeka air matanya.
“Itu diaryku saat bersama Yadi. Disitu tertulis perasaanku sebenarnya kepada Yadi.” Kataku yang kini merasakan aliran lembut nan hangat dari kelopak mataku.
“Jika dia mencariku kesini. Tolong berikan kertas ini padanya, katakan padanya jangan pernah mencariku lagi.” Pintaku dengan pipi yang telah rembes.
“Eci sudah putus dengan Yadi?” Tanya mbak Sinta diiringi anggukan kepalaku sembari aku menutup mulutku untuk menahan tangis, tangan mbak Sinta seraya mengelap punggungk lembut.
“Ak... Aku... Telah.... Maksudku, aku akan menikah.” Sahutku seraya memeluk mbak Sinta untuk terakhir kalinya, kemudian segera masuk kedalam mobilku. Tak lama mobilku melaju meninggalkan ‘Solo’, kota yang sungguh ku kagumi budaya dan kulinernya.
Aku sempat melalui taman manahan yang menyimpan secuil kisahku disana, tertinggal untuk kubu-kubu yang pernah menoreh kisah. Kini saatnya aku kubur selamanya sema kisah dari kubu-kubu yang pudar itu. Aku berharap lelaki yang pernah melukis tinta ceritaku akan segera bahagia dengan wanita pilihannya, dan merelakanku kembali pada suamiku.
Mengetahui perkembanganku dari tuturan ceritaku pada Mama, bersambut senyum haru dari wanita paruh baya itu. Dari rajutan ceritaku, wanita paruh baya itu mengajakku ke dokter terakhir yang mendiaknosisku sebagai penderita amnesia lakunar[3]. Pandangan dokter itu seperti sayu. Aku melihat Mama secercah harapan dimatanya sirna, yang membuat Mama termenung sepanjang perjalanan.
“Mama, hasil tes dari dokter tadi bagaimana?” Tanyaku polos meski aku yakin pasti ada kabar buruk dibalik ekspresi mama yang seperti itu.
“Mama mohon, jangan mengingat lagi ya.” Sahut Mama menatapku dengan tatapan hampa. Aku memeluk wanita yang tengah mengendarai mobil itu dengan lembut.
“Jika mama tahu perasaanku, aku sungguh merindukan suamiku. Meskipun aku tidak mengetahui siapa dia, dan dimana.” Kataku membujuk lirih.
“Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, aku tidak bisa menjelaskannya. Namun, aku sangat merindukannya.” Kataku diluar logika untuk menjelaskan ini semua kepada mama.
“Kenapa aku tidak boleh mengingatnya.” Tanyaku yang kini menitikkan sebutir air mata dalam diam. Mama melepaskan pelukku dan memandangiku dengan perasaan iba.
“Jangan pernah bertemu dengan suamimu ya. Jangan pernah mengingatnya. Dan jangan bekerja di perusahaan leasing itu lagi. Itu lebih aman bagimu.” Kata mama semakin membuatku teriris.
“Mama, sepertinya Eci ingin sendiri dulu. Eci pinjam mobilnya boleh?” Tanyaku setelah mobil baru saja sampai di depan rumah.
“Kamu mau kemana?” Tanya mama sembari melepaskan sabuk pengaman dari kursi kemudinya.
“Cari angin aja kok. Intinya sendiri.” Kataku diiringi mama yang membiarkan kontak mobil masil didalam dan berlalu dengan tatapan kosong, yang pertanda aku diizinkan untuk sendiri.
“Aaarrrggghhh.....” Teriakku dalam perjalanan sembari mengemudikan mobilku dengan kalap. Sesekali aku memukul kepalaku dengan amarah. Bahkan beribu air mataku tidak bisa menebus untuk mengungkapkan betapa sakit hatiku saat ini. Ini diluar logikaku untuk menjelaskannya. Bahkan setetes air mataku rasanya berat untuk kuizinkan keluar, aku sangat mmarah dengan diriku sendiri. Kenapa aku bisa menderita gangguan ini?
“Haloo...” Sahutku setelah mengangkat telfon dari nomor yang tidak pernah aku simpan sebelumnya.
“Eci... Suamimu memintaku untuk menyampaikan jatuh talaknya kepadaku.” Kata wanita dalam telfon yang tersambung padaku dengan isak tangis.
“Mama... “Sahutku lirih. “Maafkan mama.” Jelasnya tak sanggup kemudian mematikan sambungannya.
“Aaaaarrrggghhhh.................” Teriakku dalam mobil kalap sembari membanting HP ku.
Telah aku susuri kota Madiun tanpa tahu arah yang aku tuju. Akhirnya aku menuju ruko dekat rumah Tian. Aku memasuki toko buku untuk memilih buku disini, entah mengapa aku senang kesini. Setelah menemukan sebuah buku untuk ku beli, aku mampir ke caffe sebelah untuk membeli sebungkus kopi yang akan aku nikmati pada taman kota sekitar ruko. Mataku yang sembab mulai bersiap untuk membaca novel yang aku beli tadi, belaian angin meiup kopiku yang aku minum perlahan.
“Tian...” Sapaku melihat Tian melihatku namun malah berjalan menjauh. Aku segera menghampiri lelaki itu.
“Tiaann...” Panggilku lagi yang membuat langkahnya terhenti tanpa berbalik.
“Eci, aku sudah beristri. Aku mohon kurangi interaksi kita. Jauhi aku.” Ucapnya semakin menambah remuk hatiku.
“Aku cuma ingin curhat.” Kataku lirih, namun Tian tetap tidak berbalik padaku.
“Aku yakin kamu pasti mengetahui aku telah bersuami. Aku yakin, kamu mengerti perasaanku, terlebih kamu juga telah beristri. Aku ditalak sua..” Ucapku tertahan parau.
“Aku ditalak suamiku yang aku tidak tahu siapa dia. Namun, hatiku rasanya sakit. Kamu sebagai sahabatku nggak seharusnya seperti ini. Kamu jahat. Kamu sebenernya tahu kalau aku amnesia kan? Kenapa kamu malah menghindar?” Lanjutku lagi dengan terbata-bata yang tak terasa aku menangisi laki-laki yang aku sendiri tidak tahu orangnya.
“Aku sangat mengerti...” Ucapnya lirih. Tian masih diam tanpa menoleh kearahku.
“Istriku juga sama sepertimu, dia bahkan tidak mengenali aku dan Naura. Aku sangat mengerti.” Tambahnya. “Namun, aku hanya ingin menghargai istriku untuk tidak berinteraksi denganmu.” Ucapnya kemudian berjalan menjauhi aku yang mematung dengan air mata yang telah menganak sungai.
“Kenapa gangguan ini begitu menyiksaku.” Gemingku yang masih berdiri mematung. “Bahkan aku tidak diizinkan untuk mengingatnya sedetikpun.” Isakku lirih. “Sakit.” Pekikku menahan dadaku yang rasanya tertusuk.
Sebulan telah berlalu, aku sering menjalani terapi-terapi entah dari psikiater, terapi tradisional, hingga terapi hipnotis dari psikiater yang dipercayai mama. Semua aku lakukan, demi membuatku melupakan dua tahun terakhir untuk selamanya. Sempat aku tidak rela untuk mengikuti terapi ini, karena aku masih ingin mengingat suamiku. Namun kata dokter, terapi ini dilakukan untuk mencegah collapse yang akan timbul dariku. Selamat tinggal suamiku, saatnya aku menemukan kehidupan baru. Setelah hampir sebulan, aku melakukan terapi, kini sekeras apapun aku mengingatnya, mustahil bagiku untuk kembali di masa itu.
Hembusan angin berbisik lembut pada telingaku, bersiul-siul merdu menghiasi indahnya sore di taman kota. Terihat Tian membawa seberkas surat perjanjian kerja sama untuk membuat caffe baru, yang akan kami beri brand Tiano Niverda II. Berhubung Tiano Niverda caffeku sebelumnya telah dikenal masyarakat, sehingga kami membuat brand yang sama, meski varian menu pada caffe Tiano Niverda II berbeda. Tanganku menari-nari diatas kertas perjanjian, diiringi irama burung yang berkicau di senja hari. Matahari meredupkan sinarnya berayun untuk menyembunyikan diri.
“Naura nggak kamu ajak?” Tanyaku pada Tian diiringi hembusan angin senja.
“Naura main ke rumah neneknya.” Sahut Tian dengan senyum simpul.
“Naura sekarang sudah bisa apa?” Tanyaku penasaran.
“Sudah bisa bilang mama.” Jawabnya.
“Istrimu pasti bangga.” Sahutku. “Bay the way istrimu sudah sembuh?” Tanyaku.
“Kata mertuaku, aku telah benar-benar berpisah dengan istriku. Namun, aku belum menginginkan itu terjadi. Pasti ada cara lain untuk mendekatinya lagi.” Kata Tian mengelanakan fikirannya.
“Maaf sudah mengingatkanmu.” Kataku berhati-hati.
“Nggak papa kok. Lagi pula aku masih bisa berteman dengan istriku.” Jelasnya seraya aku balas dengan senyum bangga kepadanya.
“Suamimu bagaimana?” Tanya Tian.
“Dia belum ada kabar. Kata mama dia telah menalakku. Terkadang, aku mengharapkan kata rujuk dari suamiku. Tapi, sudah terlanjur. Aku sudah tidak bisa mengingatnya lagi.” Jelasku menerawang hampa.
“Meskipun tidak mengingatnya, pasti masih ada rasa cinta dalam hatimu kepadanya.” Kata Tian juga ikut menerawang.
“Terlebih, kamu mendengar informasi telah ditalak suamimu dari mamamu. Belum tentu suamimu telah menalakmu. Kamu tidak dengar langsung dari dia. Jadi tidak ada talak bagimu.” Papar Tian berapi-api.
“Malam ini ada acara?” Tanya Tian setelah kami hening sesaat.
“Ehmm... Enggak sih...” Ucapku sembari mengingat jadwalku hari ini.
“Dinner denganku mau?” Tanya Tian berhati-hati.
“Boleh.” Ucapku dengan senyum lebar.
“Kamu naik apa?” Tanyanya kikuk.
“Tadi aku dianter mama.” Jawabku jujur.
“Bareng aku ya.” Ucapnya seraya melirik kearah sepedanya.
“Boleh.” Ucapku girang. Meski pakaian ku bener-bener salah kostum untuk naik sepeda bersamanya. Tian yang mengenakan T-Shirt dan celana pendek dengan sepedanya. Sedangkan, aku mengenakan gamis biru polos dengan jas hitam. Aku membonceng didepan, sepeda segera dikayuh oleh Tian untuk menyusuri taman. Canda tawaku perihal salah kostum melantun indah menggemakan taman kota itu dibalik redupnya senja.
Sungguh penuh perjuangan bisnisku bersama Tian yang kali ini aku geluti. Aku yang benar-benar terjun langsung menlayani pelanggan, hanya dibantu dengan satu crew lelaki yang menjadi tukang masakku. Sedangkan Tian menjadi kasir di caffe kami. Entah mengapa, peraturan macam apa ini. Bodohnya aku, kenapa aku tidak membaca surat perjanjian dulu. Bener-bener ini aku dikerjai Tian. Sebenernya kami mampu untuk menyewa karyawan seperti caffeku sebelunya. Namun, dalam surat perjanjian selama satu bulan pertama hanya boleh memiliki satu crew yaitu crew dapur, dengan alasan untuk meningkatkan omzet. Kyaa... Bener-bener si Tian. Aku memandang lelaki itu dengan cemberut sembari mengelap meja.
“Tian, bantuin aku jadi pramusaji. Kasirnya tinggal dulu. Lagi ramai, nih.” Pintaku setelah mmengelap meja.
“Siap... Siap...” Kata Tian kemudian beranjak dari kasir. Terlihat caffe semakin terlihat padat yang membuat kami harus sigap. Terkadang aku juga harus membantu Luki di dapur. Sungguh, er sekali.
“Satu es capucino late, dua jus tropicana, satu ice lemon tea. Silahkan, selamat menikmati.” Kataku seraya beranjak dari meja itu. Namun, setangkai kaki mengenakan heals dengan sengaja menyandung kakiku. Hingga aku hampir terjatu. Untung saja Tian dengan sigap menarik lenganku, meski Tian masih membawa nampan yang penuh makanan. Jujur saja aku ingin sekali mengumpat pada wanita sok cantik itu yang tadi telah dengan sengaja menyandung kakiku.
“Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.” Ucapku pada wanita itu seraya berlalu. Terlihat dari kejauhan wanita itu menggoda Tian. Iuh... Lagian aku juga nggak ada apa-apa dengan Tian, kenapa dia sirik sampai menyandung kakiku. Dasar wanita mana jelek, sok dicantikin, kegatelan pula. Aku bener-bener yang... Eeerrhhgg...
“Jika aku jadi kamu, wanita itu sudah aku tonjok.” Bisik Tian menggodaku dengan senyuman meledek.
“Issh...” Gemingku semakin sebal sama Tian. Pasti Tian mau sombong sama aku karena dia punya pelanggan yang ngefans sama dia. Hidungku kembang kempis yang memang sedikit iri sama Tian. Setelah kerumumunan manusia di caffe kami berangsur habis, kami membereskan dan membersihkan seisi caffe bertiga, lalu menghitung uang untuk dijatahkan kepada pemasok bahan baku yang telah menjadi langganan kami.
“Aku pulang dulu, ibu, bapak.” Ucap Luki tukang masak kami yang berusia delapan belas tahun itu seraya berlalu.
“Alhamdulillah... Hari ini laris manis.” Ucapku dengan senyum simpul, entah mengapa aku dapat memetik makna tersirat dari sini. Denganaku terjun langsung di bisnisku, aku bisa menjadi lebih bersyukur.
“Alhamdulillah...” Kata Tian juga tersenyum yang berada dihadapanku. Sudah hampir seminggu bisnis kami berjalan, baru kali ini aku melihat Tian tersenyum yang membuat hatiku meleleh lagi.
“Papa...” Sahut Naura yang kini telah berusia dua tahu berlari keluar dari kamar mama untuk menghampiri Tian setelah kami pulang kerja yang baru saja sampai.
“Tian, sering-sering ajak Naura titipkan sama mama, saat kalian jaga caffe.” Pinta mama yang seakan merindukan seorang cucu.
“Boleh, kok Ma. Maksudku, tante.” Sahut Tian tergagap
“Mama....” Panggil Naura kepadaku yang membuatku terkejut, kemudian segera menggendong Naura.
“Mungkin wajahmu mirip dengan mantan istriku.” Sahut Tian kikuk.
“Panggil mama boleh kok.” Ucapku dengan menebar senyum termanis pada Naura disambut tangan Naura yang memainkan pipiku. Setelah menghilangkan penat sejenak, Tian meminta diri untuk beranjak.
“Naura bobok sini aja.” Rengek Naura. Alhasil Tian pulang sendiri, sedangkan aku bisa bermain bersama Naura semalaman kemudian menidurkannya.
Keesokan hari yang cerah aku disambut yang tak laing dengan rengekan Naura, bukan lagi lantunan burung-burung yang tengah bernyanyi. Aku menepuk-nepuk pantat Naura dengan lembut, seketika gadis kecil itu tertidur lagi. Begitu manisnya gadis itu, aku memandangi wajah Naura dengan senyum sampul. Aku usap dahi anak itu, dan ku kecup keningnya perlahan. Tak lama gadis itu terbangun dan memelukku erat.
“Naura sudah bangun.” Kataku dengan nada imut kepadanya. Naura hanya terdiam yang masih mengumpulkan nyawanya.
“Ikut, Mama yuk, buat sarapan.” Ajakku kemudian menitih gadis kecil itu untuk berjalan didepanku.
Sayup-sayup aku melihat lelaki bertubuh kekar tengah mengiris wortel sembari merebus air. Wajahnya lamat-lamat terlihat mempesona meski membelakangi sinar mentari pagi yang mengintip malu. Tangan kananku yang tidak sedang menggandeng Naura, segera mengambil celemek. Aku segera mendudukkan Naura pada kursi, kemudian aku memasangkan celemek kepada lelaki bertubuh kekar itu. Terlihat lelaki itu tersentak kaget dengan apa yang aku perbuat.
“Kalau masak jangan lupa pakai celemek.” Tuturku lembut.
“Biar nggak joyok.” Tambak Naura menyahut tiba-tiba. Lelaki itu terlihat diam tak berdaya saat aku menalikan celemek untuknya. Lelaki itu berbalik kearahku, dan memegangi kedua pundakku dengan senyuman yang aku balas dengan senyuman simpul termanisku. Kemudian lelaki itu melanjutkan aktivitasnya untuk memasak yang aku bantu disampingnya.
“Wah.. Wah... Romantisnya...” Goda mama dari ujung pintu. “Sampai sungkan untuk masuk.” Celetuk mama.
“Hehe... Cuma masak berdua kok, Ma.” Sahutku dengan muka seperti udang rebus.
“Naura ikut Eyang, yuk. Jalan-jalan lihat ikan.” Ajak mama kepada Naura, yang langsung bersambut dengan lompatan Naura dengan antusias.
“Kamu tadi kesini sejak jam berapa?” Tanyaku pada Tian.
“Subuh tadi. Jujur saja, aku khawatir dengan Naura dan kamu.” Celetuknya.
“Ya Allah... Memang bakal aku apain? Aku kan nggak tipe-tipe tante jahat.” Sahutku dan berusaha mengalihkan topik. “Hmm... Masih kecut, Tian mandi dulu ya. Aku siapin handuk dan air hangat di bedtub, nanti masuk aja di kamar tamu udah aku siapkan semua disana.” Sahutku berlalu meninggalkan Tian di dapur. Kebetulan dikamar tamu ada sisa-sisa jas mantan suamiku yang masih tertinggal, jadi aku siapkan saja untuk Tian.
“Terimakasih, Eci.” Sahut Tian setelah aku berlalu yang masih terdengar oleh telingaku.
Setelah semuanya rapi, langkah kakiku berdampingan dengan langkah Tian menyusuri halaman rumah. Tak lupa untuk pamit kepada Mama, namun entah kenapa Tian juga mengajak Naura untuk ikut ke caffe.
“Kita ajak Naura?” Tanyaku tidak yakin sembari memangku Naura dalam mobil.
“Iya.” Sahut Tian yang fokus mengemudi.
“Ke caffe?” Tanyaku lagi.
“Ke rumah orang tuaku, hehe... Untuk menitipkan Naura.” Jelasnya.
“Ya, Allah... Kan bisa dititipkan ke mama?” Tanyaku.
“Neneknya yang disana juga rindu, tau.” Ucapnya dengan senyuman menerawang.
Ayunan kaki mungil si Narura segera berhambur kepada Neneknya. Terlihat perempuan paruh baya menyambut kami didepan rumah.
“Assalamu’alaikum.” Sapa aku bersama Tian kompak.
“Wa’alaikum salam.” Sapa perempuan itu kemudian mendicum dahiku dengan lembut. “Bunda merindukanmu Nak, lama nggak mampir.” Kata perempuan itu membuatku terdiam sesaat. Terlihat Tian menggaruk-garuk kepala.
“Iya, jaman SD kita kan sering mampir kesini.” Sahut Tian kemudian. “Yaudah yuk, cabut.” Ajak Tian menyeretku paksa dan menyuruhku kedalam mobil terlebih dahulu, hedeh. Aku melihat Tian berbincang asik bersama ibunya dari dalam mobil. Tak sengaja aku menemukan sekotak berpita cantik yang mungil, seperti kotak cincin. Aku ambil kotak itu didekat kakiku, yang kemungkinan nggak sengaja dibuat mainan Naura dan terjatuh dari dasboard. Jemariku mencoba membuka perlahan. Terlihat secarik kertas berada terselip pada kotak itu yang telah tidak ada cincinnya. Terlihat Tian mendekati mobil, segera aku masukkan kotak itu dengan panik kedalam saku jasku.
“Eh, hai...” Kataku tergagap setelah Tian memasuki mobil.
“Sorry, ya tadi aku ada perbincangan penting kepada Bunda.” Kata Tian yang tidak menyadari tingkahku yang mencurigakan.
“Memangnya perbincangan apa?” Tanyaku penasaran.
“Adaaa dehhh...” Ucapnya seraya menyentil ujung hidungku. “Pulang dari caffe nanti ke Grojogan Sewu yuk.” Ajaknya yang mulai menghidupkan mobilnya.
“Yakin? Malem-malem gitu?” Tanyaku melihatnya yang fokus mengendara.
“Nanti kita berangkat setengah hari aja, ya.” Jelasnya.
“What? Peraturan dari mana? Di perjanjian kontrak kayaknya nggak ada peraturan hari Selasa buka setengah hari.” Ceramahku tanpa spasi.
“Dariku, week.” Sahut Taian sembari menjulurkan lidah kearahku. “Tenang aja. Sebagian karyawan dari caffeku, sementara aku pindah ke caffe kita. Jadi nanti masih tetep buka satu hari full.” Jelasnya yang kemudian serius.
“Nanti kita ke caffe cuma mampir kok.” Tambah Tian lagi yang kusambut dengan cengiran heran pada lelaki satu ini yang berubah-ubah pikirannya. Sesampainya di caffe, aku dilarang Tian untuk turun. Katanya dia cuma sebentar untuk memastikan, kemudian dia kembali untuk melanjutkan mobilnya untuk menuju Tawang Mangu.
Benturan air pada batu membuat gemurhnya suara gemericik yang menyambut kami pada pintu masuk Gojokan Sewu. Kedua langkah kami berayun seirama mengikuti tarian air-air yang mengalir.
“Ayo kejar aku...” Tantangku kepada lelaki bertubuh kekar itu seraya mengambil kunci mobil dari sakunya, kemudian berlari menuruni jembatan untuk masuk kedalam sungai. Lelaki itu merasa tertantang dengan senyum yang meremehkanku.
“Kalau nggak dapat, aku tinggal aaahh...” Ejekku sembarimengayun-ayunkan kunci mobilnya.
“Kyaa... Awas kamu ya kalau ketangkap.” Katanya sembari melingkap kemeja dan celana spannya. Melihat dia berlari kearahku, sepertinya mustahil aku akan terbebas. Dengan sigap aku mencipratkan air sungai kepadanya.
“Haha... Kyaaaa.....” Tawaku sembari teriak panik karena akan tertangkap olehnya.
“Kena kau. Hahah...” Kata Tian dengan ketawa jahat sembari memelukku dari belakang dan memutarkan tubuhku. “Haaa...” Teriakku dengan sedikit tawa. Lamat-lamat dalam pelukan Tian, aku mendengar kalau nggak salah Tian bergeming nggak terlalu jelas, yang aku tangkap hanya “u...juk..” maklum derasnya air terjun memekakan telingaku.
“Ampun.... Ini kuncinya...” Kataku menyerah yang kini talah basah kuyup oleh air.
“Haarrghhh... Aku buto ijo... Aku nggak butuh kunci. Aku butuh darah manusia.” Katanya dengan suara dibuat-buat sok besar, yang masih menerkam tubuhku dari belakang.
“Darah ku pahiiiit... ” Kataku memohon dengan sok imut. Kemudian Tian melepaskan pelukannya dariku, dan membalikkan tubuhku untuk menghadap kepadanya.
“Tidak, jangan minum darahku. Sakit...” Teriakku yang masih hanyut dalam cerita genre buto ijo itu.
“Aku punya cara yang tidak sakit. Aku rujuk kamu.” Kata Tian dengan tiba-tiba langsung mencium bibirku. Entah mengapa aku menikmati setiap kecupaannya, yang diiringi dengan suara gemuruh air terjun Gojokan Sewu yang menjadi saksi. Dengan perlahan Tian melepaskan ciumannya kepadaku.
“Maukah kau menjadi milikku?” Tanya Tian lirih.
“Nikahi aku.” Pintaku dengan mata redup mengingat aku hanya seorang janda yang belum habis masa iddah yang menurtku tidak tepat untuk pacaran.
“Sudah.” Bisiknya pada telingaku. Aku tersentak kaget mematung tang percaya.
“Sudah aku rencanakan” Lanjut Tian bersambut dengan pelukanku yang erat.
Grojogan Sewu menjadi saksi momen yang tidak pernah aku lupakan nanti bersama seorang yang benar-benar aku cintai semenjak SD, yang aku nanti sambutan cintanya bertahn-tahun lamanya ku menanti. Deraian sapaan air terjun mengiringi kepergian kami untuk beranjak dari Grojogan Sewu setelah berganti baju, lalu kami kembali ke Madiun. Aku turun dari mobil Tian dengan wajah takjub melihat halaman depan caffe ku bersama Tian yang penuh dengan nuansa hati dan merah jambu, warna kesukaanku.Tak lama mobil Tian diparkirkan depan caffe kamu. Terlihat puluhan karyawan menyambut kami yang berjajar rapi. Terasa Tian menggenggam tanganku lembut untuk berjalan beriring. Tangan kiriku tak hentinya menutup mulutku tak percaya. Kaki kami menyusuri karpet merah yang berjung pada meja dalam caffe yang hanya ada satu meja makan saja. MasyaAllah... Mataku berkaca-kaca, dengan gemerlap dekorasi yang sangat indah. Tian berdiri dibelakangku dan menarikkan kursi untuk kududuki, kemudian dia menarik kursi untuk duduk dihadapanku. Terdapat tiga pelayan dengan sigap menuangkan jus pada minuman kami, sedangkan yang lain menyalakan kompor untuk memasak bulgogi yang telah disiapkan. Tiba-tiba alunan piano clasik mengiringi seorag gadis yang bernyanyi ‘A Thousand Years”.
“Maukah kamu hidup bersamaku?” Tanya Tian seraya memperlihatkanku semangku deasert coklat yang berbentuk bola. Tak lama seorang pelayan menuangkan creamer kepada deaset itu yang membuat deasert itu meleleh. Kutemukan kalung berwarna emas putih dengan liontin mungil 3 dimensi yang berbentuk hati, kira-kira berukuran seperempat centi meter. Bener-bener mungil dan cute.
“Seperti yang aku katakan di air terjun tadi.” Kataku menjawabnya dengan tersipu malu-malu.
“Aku pasangkan ke lehermu ya.”Izinnya seraya aku sedikit mengangkat jilbabku.
“InsyaAllah besok malam aku akan kerumah mamah bersama orang tuaku. Mama sebenernya sudah tahu kok, aku dan mama sudah memesan event organizer.” Jelas Tian yang membuatku takjub bukan main dengan serentetan rencananya ini.
“Kamu yakin?” Kataku terkejut yang masih menutup mulutku.
“Buat apa aku menciummu tadi di air terjun, jika nggak yakin?” Kata Tian mengungkit kejadian tadi yang membuatku serasa direbus.
“Ssshh.... Jangan kenceng-kenceng.” Kataku lirih sembari memandangi puluhan karyawannya yang siaga untuk melayani aku dan Tian.
“Sikap pemalumu memang nggak berubah.” Kata Tian menerawang dengan senyuman.
Gemerlap lampu telah terpasang cantik sepanjang halaman rumahku. Keenam gadis telah membawa pakaian sewarna dengan tema kebaya modern. Yang tak lain adalah Peppy, mbak Sinta, (Etdah, kalau yang ini bukan gadis lagi.), selanjutnya Geng, Bella, Ina, terakhir mas Bagus. (Maksudku yang ini pria tentunya nggak pakai kebaya) Hehe. Saat make up di kamarku, si mas Bagus yang bener-bener seneng bukan main, yang membuatku haru.
Serentetan proses kami jalankan dengan khidmat. Mulai dari kedatangan keluarga calon mempelai pria, pembukaan acara lamaran, pengutaraan maksud keluarga pria, penyampaian jawaban oleh keluargaku, pemberian seserahan kepada keluargaku, pemasangan cincin keci di jari manisku, perkenalan keluarga, penutupan acara lamaran, makan bersama, yang terakhir kelargaku memberikan seserahan kepada keluarga Tian. Seminggu lagi adalah akhad pernikahanku dengan Tian. Aku menyadari yang sebentar lagi menjadi istrinya, aku teringat pada kotak yang belum sempat aku buka. Aku biarkan keluargaku bersendau-gurau dengan keluarga Tian, aku meraba kotak itu dalam saku kebaya hijauku. Terlihat Tian masih duduk dihadapanku dengan asyik berbincang dengan mas Jek. Aku memandangi Tian dengan tatapan kagum, haru, dan penuh cinta seraya kutebarkan senyum penuh syukur. Aku membuka kotak itu perlahan. Aku melihat kertas kecil yang bertuliskan tangan.
ü-Belanja bersama
ü-Memboncengkan istri dengan sepeda mengelilingi taman.
ü-Kerja dalam satu caffe
ü-Main batminton bersama
ü-Memasak bersama
ü-Lomba game PS
ü-Mengasuh Naura bersama
ü-Tamasya ke Grojogan Sewu
ü-Dinner romantis
|
Jadwal Kegiatan Tiano & Ecizy
|
Menyetujui :
Tiano
Ecizy
|
Tersentak aku tiba-tiba merasakan dengungan dalam telingaku, sungguh sangat memekakan hingga ke uluh hati. Sungguh perasaan apa ini? Hatiku berputar-putar seakan ribuan kereta melitas hingga memekakan telinga. Aku melihat seorang gadis, sungguh sangat mirip denganku. “Itu, aku.” Gemingku mengikuti gadis itu tertawa riuh diiringi Tian yang berlari menembusku dan menangkap gadis itu. “Aku yang itu terlihat lebih muda.” Kataku lirih sembari melihat sekeliling. Tian menggelitiki gadis itu dengan tawa berderai. Aku melihat foto pernikahan gadis itu bersama Tian dengan ukiran emas mungil bertulis; Tiano Niverda & Ecizy Kanza, pada bawah foto mereka.
“Ampuuun...” Kata gadis itu begitu imut meminta iba dari suaminya.
“Tidak akan ku lepaskan.” Kata Tian yang masih menggelitiki gadis itu.
“Oke-oke... Aku setuju denganmu.” Kata gadis itu menyerah diiringi Tian yang melepaskan gadis itu dari cengkeramannya.
“Mari kita buat list keinginan kita. Sebelum kita sibuk sendiri-sendiri.” Kata Tian sembari meraih pen dan kertas, sang istrinya pun segera duduk mendampingi Tian dengan senyum terpesona akan suaminya, sang istri menopang dagu yang tampak terlihat begitu mengagumi lelaki yang menjadi suaminya itu.
“Kamu pingin apa?” Tanya Tian kepada gadis itu.
“Ehmmm....” Geming gadis itu dengan senyuman menerawang.
“Boncengin aku pakai sepeda. Berani nggak?” Tantang gadis itu dengan seringai nakal, yang membuatku menutup mulut tak percaya. Baru saja hal ini aku lakukan bersama seseorang yang aku cintai, yang ternyata dia adalah suamiku sendiri.
“Siapa takut. Kalau aku ingin main PS dan batminton. Berani?” Giliran Tian menantang gadis itu. Aku sembari menyimak lagi dengan kesibukan sepasang kekasih itu..
“Siapa takut. Itu mah kecil.” Kata gadis itu sembari mengacungkan kelingkingnya.
“Lalu apa lagi?” Tanya Tian.
“Aku ingin dinner super romantis, ke grojogan sewu tapi cuma ada kita berdua aja, masak bersama, mengasuh Naura bersama, belanja bersama.” Sahut gadis itu kemdian.
“Kalau masak, jagain Naura, dan belanja itu mah memang kamu nya yang ingin dibantuin.” Gerutu Tian gemas sembari mencubit hidung gadis itu.
“Oke... Tapi aku ingin sesuati... Ehm, kita kerja di caffe bersama?” Kata Tian yang diiringi anggukan sang istri antusias.
“Sini tanda tangan dulu.” Sahut Tian dengan senyuman dan menyodorkan kertas dan pen kepada gadis itu.
“Siap bosku...” Sahut gadis itu bersemangat seraya menandatangani list itu.
“Apa yang harus kita lakukan dihari Minggu nan cerah ini?” Tanya gadis itu sangat-sangat antusias, dan nggak sabar untuk melakukannya.
“Kita bawa Naura untuk belanja bersama yuk?” Ajak Tian seraya memasukkan list itu pada kotak bekas cicin pernikahan mereka berdua. Aku baru sadar itu adalah bekas kotak cincin pernikahanku bersama suamiku.
“Yap, sekalian belanja bulanan.” Kata gadis itu kemudian menggendong Naura yang masih berusia 6 bulan. Sepasang suami istri itu segera menaruh Naura dalam jok belakang. Dan bersiap beranjak untuk ke supermarket bersama. Aku berjalan mengikuti mereka dengan perasaan cemas. Terlihat mas Alan mengambil foto gadis itu secara diam-diam, tak lama mobilio Tian melaju, honda brio mas Alan juga mengikti arah mobilio Tian.
“Tada... Kita sudah belanja bersama.” Kata gadis itu riang sembari menyahut belanjaan yang dibawa Tian sembari menggendong Naura.
“Yakin kuat?” Ejek Tian meragukan.
“Kuatlah... Aku kan super momi.” Kata gadis itu dengan imut kepada anak semata wayangnya itu.
“Uwahh... Masaaak...” Ledek Tian sembari menggelitiki perut istrinya sepanjang tempat parkir.
“Kyaa... Ih... Nanti jatoh Nauranya.” Rengek gadis itu mulai terganggu.
“Ulu-ulu... Katanya super momi?” Goda Tian dengan senyuman lebar.
“Tunggu...” Kata gadis itu tersentak. “Aduuh... Tasku ketinggalan diruang penitipan. Gimana mau masuk mobil? Kontaknya aja di dalam tasku.” Ucap gadis itu seketika menyerahkan Nauran dan belanjaannya kepada suaminya.
“Ya Allah, kumat deh pikunnya.” Sahut sang suami seraya menjitak kepala istrinya yang kini telah berlalu.
Selama gadis itu mengambil tas, aku masih mengamati Tian yang sibuk menata belanjaan dan mendudukkan Naura pada jok belakang. Tangan kekar itu kemudian mengambil kotak bekas tempat cincin pernikahannya, kemudian menyontrek check list yang baru saja mereka buat tadi, kemudian menyimpannya dalam saku celananya. Tak lama seorang gadis lain datang tiba-tiba menarik punggung Tian kemudian mencium pipi Tian. Terlihat dari kejauhan sang istri yang telah mengambil tasnya melihat kejadian ini tengan mematung.
“Kenapa kamu menikahi Ecizy? Kamu bahkan sadar kalau aku benar-benar mencintai kamu. Apakah kamu yakin dia mencintaimu. Dia memutuskan Alan, sehari sebelum kalian menikah.” Jelas Peppy kepada Tian, diiringi istri Tian yang mengendap di balik mobil orang lain yang terparkir untuk menyimak dan nguping.
“Aku mencintai Eci.” Kata Tian dengan wajah datar tanpa menatap Peppy sedikitpun. Untuk yang kedua kalinya Peppy mencium pipi Tian, namun Tian hanya bisa diam saja. Tak tinggal diam, gadis itu segera menghampiri kedua sahabatnya itu, dengan berapi-api. Mata istri Tian yang sedikit berair menatap Peppy dengan bringas. Kerahan tangan dengan penuh tenaga istri Tian menampar Peppy.
“Peppy... Aku nggak sangka kamu melakukan ini pada suami sahabatmu sendiri.” Teriak gadis itu sekencangnya untuk mempermalukan Peppy. Terlihat oran-orang segera mengerumuni pertengkaran publik itu. Peppy yang merasa malu, segera berlari meninggalkan kedua pasangan suami istri itu. Setelah Peppy pergi, dengan wajah penuh amarah gadis itu membuka pintu mobil pada kursei kemudi, yang diikuti suaminya untuk segera masuk kedalam mobil menghindari pengamatan publik.
“Aku yang nyetir.” Ucapgadis itu dingin pada suaminya. Sepanjang perjalanan, hening yang terasa.
“Jangan ngebut, sayang.” Pinta Tian mulai cemas.
“Kamu kenapa sih, Yang?” Tanya Tian dengan hati-hati kepada sang istri yang seakan masih belum padam api-api yang mengelilinginya.
“Kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, kamu pasti menepis ciuman dari Peppy.” Kata gadis itu lirih.
“Tapiii....” Kata Tian terpotong.
“Tapi apa?” Tanyagadis dengan intonasi meninggi yang melepaskan kemudinya.
~Brak~
Aku benar-benar melihat kecelakaan itu, aku mencoba membangunkan diriku sendiri pada kursi pengemudi, namun aku tidak bisa meraihnya, terlihat hanya Naura yang masih sadarkan diri. Bemper depan mobilio suami gadis itu remuk seketika. Aku melihat honda brio yang menabrak mobilio itu. “Mas Alan benar. Dia yang telah menabrakku.” Gemingku dengan melihat mas Alan juga tak sadarkan diri yang terpental dari mobilnya hingga tergeletak pada aspal jalan raya.
Deruman ambulans segera mengevakuasi kecelakaan yang terjadi untuk dibawa kerumah sakit. Langkah kaki harap-harap cemas ketiga keluarga itu menunggu di depan ruang IGD. Namun, hanya satu ibu yang memiliki mata sayu seakan tidak memiliki harapan. Wanita paruh baya itu melangkah ke depan ruang operasi mengikuti putrinya untuk mendapatkan penanganan serius. Sedangkan kedua lelaki itu telah siuman dari pingsannya setelah tiga bulan berlalu. Gadis itu yang masih koma selalu ditemani mamanya selama tiga bulan terakhir ini.
“Tian, Mama mohon... Jangan pernah mengaku jika kamu suami Eci.” Kata Mama pada lelaki yang penuh perban itu.
“Kenapa Ma?” Tanya Tian matanya mulai berair.
“Eci terkena Amnesia lakunar.” Kata Mama yang mulai memberudakkan tangisan yang Ia bendung. “itu jenis reaksi hilang ingatan mengenai suatu peristiwa namun dengan acak. Jenis ini tidak akan merusak peristiwa masalalu, namun akan benar-benar menghilangkan sebagian memori ingatan pada masa lalu atau masa yang baru saja terjadi. Biasanya terjadi karena kerusakan pada otak atau kekurangan oksigen pada otak.” Papar Mama dengan terisak.
“Tapi, Ma.”Kata Tian yang masih berharap ada cara lain. Namun mama hanya terdiam lemas dan menggeleng tak ber-asa, seraya memberikan kalung berwarna emas putih dengan liontin berbentuk hati mungil, dan cincin pernikahan gadis itu kepada Tian.Tiba-tiba Peppy datang kepada wanita paruh baya dan lelaki itu. Peppy berlutut kepada mereka menyesali perbuatannya tiga bulan silam. Peppy sempat mendapat tamparan dari mama.
“Saya janji akan menjaga Eci tante. Apapun yang tante minta. Demi menebus kesalahanku.” Ucap Peppy dengan tangis yang megalir dipipinya.
“Kemarin, saya baru saja dijodohkan dan menikah dengan seorang yang bekerja di Solo sebagai SPV. Siapa tahu Eci bisa sembuh selama pemulihan untuk tidak di Madiun dulu.” Jelas Peppy.
Sayup-sayup terdengar suara Naura memanggilku. Secercah lingkaran cahaya putih berada tepat dihadapanku. Kian lama lingkaran itu semakin membesar yang membuatku masuk kedalamnya. Cahaya matahari begitu terang menyilaukan pandanganku. Suara alat deteksi jantung tedengar berirama sesuai degupan nadiku. Aku rasakan oksigen masih terpasang dalam hidungku. Jariku yang berat aku gerakkan ternyata dibasang alat deteksi jantung. Aku menghela nafas panjang, aku baru menyadari jika aku dirumah sakit. Dan, tidak ada yang mengawasiku. Ya Allah.... Yang bener aja? Setelah beberapa saat, aku melihat seorang wanita paruh baya bersama dokter menghampiriku. Wanita itu memekikkan suara seakan tak percaya.
“Alhamdulillah... Anakku siuman.” Teriak mama haru seraya berhambur memelukku, diiringi dokter yang dengan sigap cek keadaanku saat ini. Setelah memeriksaku, dokter dibantu perawat melepaskan oksigen dan alat deteksi jantung yang menancap pada ujung jari telunjuk kananku.
“Luar biasa.” Puji dokter lelaki itu dengan bangga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik. Cepatlah pulih, ya.” Tambah dokter itu diiringi menyuntikkan cairan pada infus yang tertancap di nadiku.
“Seingatku aku baru saja lamaran yang kedua kalinya dengan Tian, ya ma?” Tanyaku memastikan
“Kedua kalinya.” Geming mamaberfikir sejenak.
“Kamu mengingatnya?” Tanya mama denan wajah girang kuiringi dengan anggukkan perlahan.
“Nggak papa, kah dok?” Tanya mama khawarir kepada dokter untuk memastikan.
“Ini malah progres yang baik.” Kata dokter dengan senyum simpul. “Besok kita tes rontgen, lagi ya.” Ucap dokter lembut seraya berlalu.
“Aku pingsan berapa hari, Ma?” Tanyaku santai kepada mama yang menyiapkan makanan untukku.
“Berapa hari katamu?” Tanya mama geleng-geleng kepala tak percaya.
“Kamu dulu collapse semenjak enam bulan yang lalu. Bahkan ulang tahun Naura yang kedua saja kami merayakannya dirumah sakit. Kata dokter nggak ada harapan lagi bagimu untuk sadar.” Kata mama lagi termenung.
“Naura mana, Ma?” Tanyaku begitu merindukan buah hatiku.
“Naura dirumah bersama Tian. Baru saja kami bergantian untuk menjagamu.” Jawab mama.
“Pingin cepet keluar dari rumah sakit.” Rengekku.
“Makanya cepet sembuh.” Kata mama yang kemudian menyuapiku makan.
“Peppy...” Pekikku hampir memuntahkan suapan dari mama, tiba-tiba teringat kenangan itu, yang jujur saja aku masih sakit hati.
“Aku mendapat chatt dari mama jika kamu telah siuman. Aku yakin, kamu pasti mengingat kejadian itu. Aku minta maaf.” Katanya tak berani menatapku.
“Mama, aku masih ingin bersama mama.” Sahutku diiringi mama memberikan kode kepada Peppy untuk pergi.
Kicauan dialog dari sinetron dalam TV kamar inapku memang semakim membuatku bosan. Aku beranjak untuk memindah channelnya. Aku melihat seisi ruangan hanya aku sendiri pada siang bolong yang membosankan ini. “Mama kemana sih.” Gemingku sembari beranjak dari pembaringanku dan mengambil remote TV itu. Pasti mama sedang mengambil hasil tes rontgenku tadi padi ke lab yang tak jauh dari kamar inap ku.
“Sayang...” Panggil lelaki yang membuka pintu kamar inapku. Aku pura-pura tak mendengar dan melanjutkan aktivitasku untuk memindah channel TV dan menonton Spongebob. Kedua lelaki itu saling berpandangan dan mendekati tubuhku. Entah kenapa, aku masih sebal pada Tian.
“Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu tidak membiarkan perempuan itu menciummu.” Kataku dingin yang masih terpaku pada acara TV dua dimensi itu. Tak lama, mama datang dan segera memberi kode kepada Tian untuk pergi. Kini hanya tinggal mas Alan dan mama.
“Eci....” Panggil mas Alan lembut.
“Kamu benar-benar mencintai suamimu?” Tanya mas Alan lembut sembari duduk sebelah pembaringanku. Akududuk pada pembaringanku dan menoleh sedikit menunduk menghadap mas Alan.
“Iya.” Sahutku lirih.
“Lalu kenapa dulu Eci membiarkan Yadi menciummu?” Tanya mas Alan membuatku tersentak.
“Karena aku tidak tahu.” Sahutku mengelak dan membela diri.
“Itu yang suamimu rasakan saat dicium oleh sahabatmu sendiri.” Kata mas Alan membuatku terdiam sejenak.
“Terlebih, Peppy sangat menyesali perbuatannya. Dia selalu mengikuti perkembanganmu selama di Solo. Bahkan, demi membuatmu kembali kepada Tian, Peppy mengirimkan Jin untuk membuatmu putus dengan Yadi.” Jelas mas Alan membuatku teringat kejadian janggal saat aku di Solo.
“Kamu masih ingat saat kamu dijodohkan dengan Angga oleh Peppy?” Tanya mas Alan seraya aku menganggu perlahan.
“Peppy sengaja tidak menjodohkanmu dengan Tian agar kamu tidak collapse. Namun, dia tetap berusaha untuk membuatmu putus dengan Yadi melalui perjodohanmu dengan Angga.” Jelas mas Alan.
“Lucu ya... Saat itu aku belum mengenal Peppy, aku mengenal Peppy setelah saat dia menarikmu dariku, yang saat itu aku berbohong jika aku adalah suamimu.” Kata mas Alan tertawa renyah.
“Saat itu, aku mencari tahu Peppy. Ternyata nasib Peppy nggak jauh berbeda denganku. Peppy saja bisa move on dengan mas Jek. Masak aku enggak? Semenjak saat itu aku menyesali perbuatanku, kemudian meminta maaf padamu.” Jelas mas Alan menerawang dengan senyum tipis.
“Lagi-lagi kamu berbuat baik demi hubunganku dengan Tian.” Tawaku lirih. “Terimakasih.” Ucapku tak berani menatapnya.
“Sebentar lagi dokter datang. Kamu sudah boleh rawat jalan di rumah.” Kata mas Alan dengan senyum termanisnya.
“Aku sudah boleh pulang?” Tanyaku dengan mata berbinar yang disambut dengan anggukan lembut dari mas Alan dan mama.
“Tunggu perawat melepaskan infusmu.” Sahut mama kemudian dengan bola mata yang kini bersinar kembali.
Langkah kakiku terhenti pada luar pintu kamar inapku yang ternyata seluruh keluargaku dan keluarga Tian menngguku di depan. MasyaAllah... Kayak mau sholat Jumat ajah.
“Aku minta maaf.” Kataku lembut sembari berjalan pada lorong rumah sakit untuk keluar ke tempat parkir. Degan segenap pasukan benteng takeshi, maksudku keluarga kami. Aku segera meraih tangan mantan suamiku itu. Aku masih ingat saat dia menjatuhkan talak satu kepadaku, yang kini memang telah terlewat masa iddahku, dan harus adanya pernikahan kembali diantara kami.
“Aku juga minta maaf.” Katanya lembut sembari melepaskan tanganku kemudian merangkul pundakku sembari berkalan.
“Peppy, aku juga minta maaf.” Ucapku setelah sampai di tempat parkir dengan menoleh ke belakang yang sedari tadi Peppy berjalan di belakangku.
“Aku yang seharusnya minta maaf.” Kata Peppy lirih dengan mengusap pundakku lembut seraya meninggalkanku untuk menaiki mobilionya. Kemudian aku menaiki nissan GT-R Tian. Setelah semuanya menaiki kendaraan pribadi masing-masing. Dalam mobil aku memandangi cincin pernikahanku yang dulu diberikan saat lamaran sebelum aku collapse. Cincin mungil itu masih terselip pada jari manisku.
“Aku bukan lagi istrimu.” Kataku lirih sembari mengusap lembut cicin yang melingkar di jariku.
“Sejujurnya aku tidak pernah menjatuhkan talak kepadamu.” Ucap Tian lirih. “Namu, mama mendesakku untuk mengiyakan permintaanya untuk membebaskanmu.” Jelas Tian kemudian.
“Aku mengerti perasaan mama saat itu sehingga aku mengiyakan.” Kata Tian sembari menutup mulutnya.
“Kamu masih ingat saat di Grojogan sewu?” Tanya Tian.
“Masih.” Jawabku polos dengan mengedipkan kedua mata.
“Saat aku menerkam kamu dari belakang, kamu tengah tertawa lepas. Saat itu aku berkata ‘aku rujuk kepadamu’” Jelas Tian yang aku sambut dengan cengiran lebar.
“Jujur saja saat itu aku nggak dengar. Hehe...” Kataku hati-hati.
“Namun, untuk menghindari zina. Nggak sebaiknya kita bangun nikah lagi aja?” Sahutku yang kali ini serius.
“Aku tahu, maka dari itu dulu aku melamarmu.” Jawab Tian. “Tapi.... Secara hukum kita masih suami istri.” Tatapnya dengan mata nakal.
“Issh...” Sahutku sebal sembari mencubit perutnya.
“Auu...” Pekiknya pura-pura kesakitan.
Aku memekik terkejut setelah sampai pada rumahku dan Tian.Terlihat dekorasi sederhana namun cantik. Aku menengok kedalam rumah yang telah ada Papaku yang baru saja pulang dari Jerman. Papa memang telah memiliki istri di Jerman setelah berceraidengan Mama. Namun, kali ini beliau berkenan datang menyambutku. Aku berhambur kepelukan ayah dengan pelkan yang begitu erat.
“I miss you...” Kataku dalam pelukannya.
“I miss you too, dear.” Ucapnya dengan mata berair saat melepaskan pelukanku.
“Meski kurang persiapan, ehm...” Kata Tian menyela. “Aku ingin saat ini juga kita menikah.” Ucap Tian lagi sembari memandangiku yang masih menggenggam tangan Papa.
“Iya, mumpung ada Papa dan keluarga disini.” Sahut papa mendukung dengan tebaran harapan. Aku menoleh kearah mama, yang mengangguk lembut.
“Aku bersedia.” Kataku pada Tian sembari menapat Tian dan kedua orang tuanya dengan tatapan mataku bersinar penuh harapan. Tak lama kami seisi rumah duduk dengan khidmad. Pernikahan keduaku ini memang tak semeriah lamaran kemarin, tak semewah pernikahanku yang pertama juga. Dengan mahar uang lima ratus ribu yang ada dalam dompet Tian saat itu, akan berniat menge-sah kan aku untu menjadi istrinya lagi. Meski begitu sederhana dan kurang persiapan, semoga rumah tangga yang kali ini aku ulang akan lebih baik dari sebelumnya.
“Kalian masih suami istri.” Penggal seorang lelaki dari keluarga Tian yang tak lain adalah sepupunya yang bernama Wisnu, kebetulan dia libur semester dari pondok pesantrennya.
“Ha?” Geming orang-orang terpenggal seraya berfikir dan berbisiksatu sama lain.
“Enam bulan lalu saat mas Tian dan kak Eci bertunangan aku sempat diceritain mas Tian, jika mas Tian pernah mengucapkan kata ‘aku rujuk’ sebulan setelah mas Tiyan men-talak kak Eci. Sedangkan saat itu kak Eci masih dalam masa iddah.” Kata Wisnu kemudian menarik nafas.
“Masa iddah perempuan yang di talak satu yang telah pernah digauli dan tidak dalam kondisi hamil adalah tiga kali masa haidnya kak Eci. Kurang lebih tiga bulan. Sedangkan mas Tian sudah berkata ‘aku rujuk’. Saat itu juga mbak Eci sudah menjadi istri mas Tian lagi.” Jelas Wisnu panjang kali lebar.
“Tapi, saat itu kakak nggak begitu jelas perkataan permintaan rujk dari mas Tian. Dan tidak mendengar apa yang mas Tian katakan.” Sahutku kepada Wisnu meragukan..
“Wahbah az-zuhaily dalam kitabnya al-fiqh al-islam wa adillatuh merincikan secara sistematis apa saja yang tidak disyaratkan dalam proses pelaksanaan rujuk, yaitu; satu adalah persetujuan istri. Para ulama sepakat bahwa tidak disyaratkan persetujuan istri dalam proses rujuk, ini didasarkan pada firman Allah subhnahu wata’ala dalam surat Al-Baqarah ayatb 228, yang artinya; dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa penantian itu, jika mereka (para suami) menghendaki istilah rujuk. Ayat ini menjelaskan bahwa hak rujuk ada pada suami. Dan tidak diberikan pilihan kepada bagi sitri (untuk menerima atau menolak). Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam firmannya:”فأمسكوهن بمعروف“maka tahanlah mereka dengan cara yang baik”.Karena rujuk itu adalah menahan si istri dalam hubungan pernikahan, maka tidak perlu persetujuannya dalam rujuk dan juga tidak diperlukan wali dalam rujuk.” Jelas Wisnu kemudian memum secangkir air putih di depannya.
“kedua adalah memberitahukan keadaan rujuk kepada istri. Dianggap sah rujuk meskipun sang istri tidak mengetahui bahwa ia telah di rujuk suaminya, karena tidak disyaratkan untuk memberitahukan sang istri dan rujuk merupakan hak mutlak suami tanpa membutuhkan persetujuan istri sebagaimana juga talak. akan tetapi memberitahukan sang istri tentang keinginan rujuk adalah hal yang dianjurkan, agar sang istri tidak dinikahi oleh orang lain setelah habis masa iddahnya, dan juga agar tidak terjadi perselisihan pendapat antara suami-istri apabila telah ditetapkan kepastian rujuknya sang suami. Ketiga adalah Saksi dalam rujuk. Saksi dalam rujuk bukanlah merupakan syarat sahnya rujuk, ini menurut pendapat jumhur yang terdiri dari Hanafiyah dam Malikiyah yang tergolong dalam mazhab yang masyhur, kemudian diikuti oleh Syafi’iyah, Hanabillah dan Imamiyah. Akan tetapi mendatangkan saksi di anjurkan (sunnah) untuk menghindari pengingkaran istri setelah habis masa iddahnya, dan menghilangkan keraguan pelaksanaan rujuk. Menurut mazhab Zhahiriyah: wajib adanya saksi dalam rujuk, apabila tanpa saksi maka rujuk tersebut dinyatakan tidak sah, hal ini didasari oleh firman Allah SWT dalam surat at-Thalaq ayat 2:”فإذا بلغن اجلهن فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف و أشهدوا ذوي عدل منكم” Bentuk “amar” dalam ayat tersebut (menurut Zhahiriyah) menunjukkan wajib, maka ia menjadi syarat dalam proses rujuk. Namun menurut pendapat jumhur bentuk kata “amar” dalam ayat tersebut mengandung makna sunnah, karena adanya qarinahdari ayat-ayat yang lain seperti”:فأمسكوهن بمعروف dan و بعولتهن أحق بردهن “kemudian ditambah lagi dengan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yaitu: “أخبرنا يوسف ابن عيسى مروزي قال حدثنا الفضل بن موسى قال حدثنا حنظلة عن سالم عن ابن عمر انه طلق امرأته و هي حائض فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجعها”‘Telah memberitakan kepada kami Yusuf ibn ‘iysa Marwazi telah menceritakan kepada kami al-Fadl ibn Musa telah menceritakan kepada kami Hanzolah dari Salim dari ibn Umar, bahwasanya ibnu Umar telah mentalak istrinya dan dia (istrinya) dalam keadaan haid, maka Nabi SAW memerintahkan (Ibn Umar untuk merujuk istrinya) maka ia merujuknya.’ Dalam hadis ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk mengadakan saksi dalam pelaksanaan rujuknya tersebut, kalaulah saksi merupakan syarat rujuk, maka pastilah Nabi memerintahkannya. Dari qarain di atas maka jumhur berpendapat bahwa bentuk kata “amr” yang terdapat dalam ayat ‘wa asyhiduw’ bukan lah bermakna perintah wajib melainkan sunnah, dan inilah yang menjadi dalil bahwa saksi dalam rujuk tidak menjadi syarat menurut para jumhur.” Jelas Wisnu bagaikan yang bener-bener sepertipak ustadz, panjaaaaaaaang bener.
“Kalau syarat sahnya emang apa aja, Nu?” Tanya Tian kemudian.
“Syarat sah rujuk ialah: 1) Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari suami atau dari hakim. 2) Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka tidak ada rujuk. Demikian menurut kesepakatan ulama. 3)Masih dalam waktu iddah. Kalau sudah diluar waktu iddah (selesai iddah) masalahnya lain, harus diperhatikan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan dalam talak. contoh kalau talak bain kubra, tidak bisa dinikahi oleh bekas suaminya sebelum dinikahi oleh laki-laki lain dan berkumpul.” Sahut Wisnu lantang dan mantap.
“Alhamdulillah....” Kata Tian yang diikuti oleh keluarga besar kami bergeming haru.
“Kamu masih istriku.” Bisik Tian yang masih duduk disebelahku, yang hampiiir saja akan mengulang akad nikah. Aku mencium tangan suamiku setelah semua orang berkata “Itu mah masi SAH.”. Entah mengapa pipi ini terasa hangat oleh air mata. Aku merasa begitu menanti dan rindu masa-masa ini. Perasaan merindukan sosok suami yang entah aku tidak mengetahui orangnya, kini terbalas juga. Mataku yang basah menatap Tian dengan haru, dia ternyata juga meneteskan air mata haru, kemudian dia meraih Naura yang sedari tadi di gendong oleh Bunda, alias ibu mertuaku.
“Akhirnya mama kembali, Nak.” Kata Tian parau pada Naura.
Jadwal Kegiatan Tiano & Ecizy
|
ü-Belanja bersama
ü-Memboncengkan istri dengan sepeda mengelilingi taman.
ü-Kerja dalam satu caffe
ü-Main batminton bersama
ü-Memasak bersama
ü-Lomba game PS
ü-Mengasuh Naura bersama
ü-Tamasya ke Grojogan Sewu
ü-Dinner romantis
|
Menyetujui :
Tiano
Ecizy
|
Jemariku masih memegangi list yang dulu pernah kuukir bersama suamiku dengan penuh harapan. Kini list putih itu telah penuh, dengan contrengan dan coretan kami. Aku meletakkan kertas putih itu kedalam kotak bersejarah ini, kemudian aku raih beberapa kertas yang tadi baru saja aku ambil dari kotak surat depan rumah. Mataku berbinar membaca satu-satu dari undangan yang ada. Terlihat sepucuk amplop pink yang aku buka terdapat sesosok foto pre-wedding Geng besmama lelaki yang tidak aku kenal, kemudian aku membaca nama calon mempelai pria.
“Nagata Fahrezi.” Gemingku seraya berfikir dan mengingat jaman-jaman Geng sering curhat denganku. Aga? What? Aku terkejut namun ikut bahagia. Aku membuka undangan lain, yang ternyata undangan acara aqiqah anak lelaki mbak Sinta. Alhamdulillah...Akhirnya mbak Sinta nggak jadi berpisah dengan suaminya. Aku berhambur masuk kamar untuk melihat suamiku yang masih tertidur pulas sembari memeluk Naura.
“Ayah...” Sapaku membangunkan suamiku pada Minggu pagi nan cerah.
“Hmmm...” Geming suamiku sembari merenggangkan tulangnya dengan mata masih terpejam.
“Ayah... Bangun....” Sahutku lagi sembari menciumi pipi nya yang bau air liur. Tak lama suamiku bangun dan duduk disampingku. Matanya masih terpejam, namun tangannya menyentuh bibirnya, untuk memberiku isyarat.
“Mandi dulu... Ayuuu bangun...” Ajakku menariknya sekuat tenaga.
“Mama...” Rengek Naura yang ikut rewel seperti ayahnya, aku segera menggendong Naura dan menenangkannya, dari belakang aku merasakan suamiku memelukku.
“Ayah bau....” Kata Naura mencubit hidung suamiku saat aku gendong. “Ayah mandi sana.” Kata putriku dengan sok centil begitu imutnya.
“Siap princes yang cantik nomor dua setelah mama.” Goda suamiku sembari hormat kepada Naura.
“Aaa.... nomol catu...” Rengek Naura.
“Iya-iya... Naura nomor satu, mama nomor dua.” Kata Tian mencubit putri kami kemudian meraih handuk yang telah aku siapkan sedari tadi.
Pernak pernik lampu menghiasi gedung dalam sebuah mewahnya acara pernikahan yang diselenggarakan oleh Gangsaro Ratu Nisa alias yang biasa aku panggil Geng. Meski dia bertubuh seperti lelaki, kali ini dia terlihat cantik menawan dengan riasan khas adat Jogja. Mataku melihat ke sekitar, terlihat Eni tengah minum wine bersama seorang lelaki yang mngkin kekasihnya, begitupun dengan Dina yang akhirnya telah move on dari mantannya. Aku bersama mbak Sinta masih berdiri mematung memandangi pemandangan yang begitu mewah ini. Sedangkan suamiku dan Naura tengah bercakap-cakap dengan suami mbak Sinta yang tengah menggendong buah hatinya yang masih bayi banget.
Aku dan mbak Sinta melangkah mendekati Dina dan seorang lelaki itu, dengan wajah berbinar.
“Hai, Din.” Sapaku.
“Aaaa.... Mbak Eci.” Tariak Dina histeris.
“Cie... sama calonnya.” Goda mbak Sinta.
“Alhamdulillah...” Jawab Dina malu-malu. “Oh, ya... Kenalin namanya Deddy.” Kata Dina bersambung.
“Hai... Aku Eci...” Kataku sembari membalas uluran tangan Deddy untuk bersalaman.
“Hai... Aku Sinta...” Sapa mbak Sinta sembari membalas uluran tangan Deddy.
“InsyaAllah, tahun depan kami menyusul Geng. Doakan ya mbak.” Kata Dina dengan binaran wajah merona.
“Amiiin...” Sahut aku dan mbak Sinta girang.
“Etdah... Pada ngrumpi disini nggak ajak-ajak.” Sahut Eni berjalan mendekat.
“Ini dia si kecil, membawa calonnya dari Semarang.” Goda Dina.
“Hallo... Aku Eni.” Kata Eni seraya menyapa mbak Sinta, karena memang mereka tidak pernah bertemu.
“Hai... Aku Sinta.” Kata mbak Sinta dengan senyum simpul.
“Kenalin, calonku Azhar.” Kata Eni yang membuatku tersentak hampir menyemburkan minumanku. Ya Allah... Azhar cinta pada masa putih abu-abu?
“Azhar?” Tanyaku kepada lelaki itu.
“Kalau nggak salah, kamu Ecizy ya?” Tanya Azhar mengingatku.
“Kyaaa... Azhar sekarang kamu gendutan. Haha....” Kataku dengan tertawa gemas.
“Ih, dasar... Kamu juga gendutan.” Ejek Azhar kemudian.
“Wajar dong. Ibu-ibu berubah menjadi gendutan kan karena pasca melahirkan.” Sahutku ngeles.
“What? Sudah punya baby?” Tanya Azhar diiringi teman-teman semasa kos ku juga ikut tersentak kecuali mbak Sinta.
“Sudah bukan baby lagi, udah balita.” Ucapku sok imut.
“Gila... Kapan buatnya mbak?” Tanya Dina menghitung dan mengingat masa-masa saat aku di Solo yang masih mengaku single.
“Sebenernya saat aku di Solo, aku sudah bersuami dan memiliki baby. Tapi berhubung aku pasca kecelakaan, aku nggak ingat mereka berdua. Hingga aku keadaan pacaran dengan Yadipun, aku nggak tahu.” Jelasku kemudian membuka percakapan panjang diantara kami, setelah suamiku sembari menggendong Naura ikut bergabung, begitupun suami mbak Sinta. Tak lama Geng menyusul kami untuk merumpikan hal tidak penting dengan masih beriaskan khas adat jawa.
Awalnya aku memang tidak pernah mempercayai kekuatan cinta sejati. Bahkan arti kata cintapun yang hakiki, aku tidak pernah mengerti itu. Jika cinta adalah suatu rasa yang membuat hati kita bergetar? Omong kosong. Karena setiap aku dekat dengan mas Alan, Yadi, Azhar dan Tian jujur saja hatiku pernah bergetar. Cinta adalah suatu rasa nyaman? Itu juga omong kosong. Karena jika aku berada dengan orang yang aku percayai, aku pasti merasa nyaman. Jika aku tarik dari semua yang telah terjadi, kembali lagi pada Tuhan. Perasaan cinta adalah suatu rahmatnya untuk kita.
Cinta sejati adalah suatu hal yang diberikan Tuhan kepada kita. Tentunya, cinta sejati adalah serangkaian kemudahan bagi setiap pasangan untuk menghadapi segala tantangan hidup. Semua terasa dimudahkan oleh Tuhan baik untuk menghadapi tantangan bersama, maupun kemudahan dipersatukan lagi, kemudahan didekatkan dengan keluarga doi juga tentunya. Bagaimanapun, dan cara apapun untuk memisahkan, cinta sejati akan diberi serentetan jalan untuk bersama lagi, meskipunjalan itu sedikit berlubang.
Secercah pintu terbuka oleh rasa bersalah orang-orang yang berhati kelabu, tak lain ialah Alan dan Peppy yang merasa bersalah, kini membuat sepasang suami istri kembali bersatu dengan balutan cinta tertunda sepanjang dua tahun ini. Harapan yang pupus dengan ingatan yang seharusnya itu telah lenyap, serta ragaku yang telah diprediksi dokter tidak akan terbangun dalam koma untuk selamanya. Semua kemustahilan terpecahkan karena adanya cinta dan penantian sepasang suami istri dalam diam. Bagaikan diatas air kisah ku bersamaTian telah terukir abadi dalam dalam balutan rasa sabar.
Kilauan mentari mengintip pada balik tirai jendela kamarku. Kusibakkan selimutku perlahan dan menyandarkan diri pada tepi pembaringan. Aku menatap wajah suamiku tercinta dengan mata sedikit berkaca.
“Cute.” Gemingku lirih sembari mengusap pipi suamiku.
“Dari dulu...” Sahut Tian dengan suara berat khas orang bangun tidur yang nyawanya belum terkumpul. Segera aku cubit pipi lelaki berparas Jepang-Jawa itu.
“Arrhg...” Pekik Tian pura-pura kesakitan.
“Aku siapkan air hangat dan pakaian dulu. Ayah segera mandi ya.” Sahutku lembut seraya membelai rambut coklat lelaki itu.
“Aaamm...” Lelaki bermata sipit itu bergumam seraya mengernyitkan dahinya.
“Why.. Yeobo...” Kataku sok imut menirukan drama korea.
“Ada yang kurang... Uhm... Apa ya?” Katan lelaki itu sembari meraih pundakku dan bersiap berbisik.
“Kurang apa?” Kataku dengan suara berbisik. “Aha... Sarapan nanti kita makan roti saja ya..” Kataku lirih sembari melirik nakal pada suamiku. Terlihat suamiku malah menyeka dahinya.
“Oke deh... nanti bunda buatkan nasi goreng.” Sahutku melirik dengan tatapan menggoda. Tak menjawab sepatah katapun, lelaki itu semakin mendekatkan wajahnya padaku.
“Bunda yakin nggak lupa sesuatu?” Tanya Tian berbisik dengan wajah yang terlalu dekat. Aku menggeleng perlahan karena heran dengan tingkah suamiku itu. Luncuran kecupan lembut pada bibirku meluluhkan dinginnya pagi hari ini. Aku menarik ciuman suamiku perlahan sembari menahan tawa.
“Maaf, bunda melupakan ini.” Gemingku masih menahan tawaku yang nggak habis fikir suamiku ternyata nggak lupa dengan hal kecil yang berarti untuk mengawali setiap aktivitas, yaitu “Kissing.”
“I love you.” Kataku lirih kemudian mengecup pipi suamiku. Selesai melakukan tradisi di pagi hari yaitu alias Kissing, aku beranjak untuk menyalakan kran air hangat pada bedtub dan menyiapkan pakaian kerja suamiku. Langkah kakiku beralih pada ujung ruangan, yang terdapat pintu kamar bertuliskan Naura. Gemericik air tetesankolam ikan dekat kamar Naura mengiringi langkah kakiku untuk segera membiasakan Naura tradisi bangun pagi dan olah raga meskipun Naura masih berusia dua tahun.
Aku mengetuk pintu anak gadisku perlahan dan memanggil namanya, terdengar suara rengekan khas ala-ala Naura yang bangun tidur. Aku membuka kamar Naura perlahan dan berjalan mendekati pembaringanya. Aku duduk pada sisi pembaringan Naura, terlihat naura menahan rengekannya dengan mata berkaca. Aku membelai poni imutnya dengan melempar senyuman.
“It’s ok, my princes.” Ucapku lirih sembari mencium kening anak gadisku itu, tak lama bersambut tangan Naura yang minta di gendong.
“Bunda... Parfum ayah sebelah mana?” Panggil suamiku di kamar sebelah. Yang membuat Naura mengurungkan niat untuk digendong dan kemudian turun dari pembaringan.
“Bentar ayah...” Sahutku yang kemudian merapikan tempat tidur princes kecilku Naura, gemulai tangan kecil Naura juga ikut memungut boneka yang jatuh dari pembaringan untuk membantuku.
“Trimakasih Naura.” Sahutku lirih kemudian menggendong Naura untuk menghampiri ayahnya.
“Ya, Ayah?” Tanya Naura mendahuluiku yang kemudian minta diturnkan dari gendonganku.
“Tanyain ke bunda dong... Parfum ayah di taruh mana ya?” Kata suamiku yang masih berantakan dengan pakaian yang sudah aku siapkan tadi. Aku melangkah mendekati suamiku, aku raih kerah baju suamiku dan merapikannya dengan senyum.
“Sayang...” Bisikku manja pada telinga suamiku.
“Hemm..” Sahut suamiku memegangi tanganku yang masih merapikan bajunya.
“Jangan pakai minyak wangi ya...” Kataku perlahan.
“Kenapa?” Tanya suamiku terheran.
“Akhir-akhir ini aku mual mencium parfummu.” Batinku sembari berfikir mencari alasan lain. Kini tanganku beralih memegangi pipi suamiku itu.
“Aku tidak ingin bau badan suamiku menggoda hidung wanita lain.” Kataku setelah sekian lama berfikir.
“Jika itu membuat Tuhan Ridho terhadapku dan pekerjaanku, it’s ok bunda... Aku tidak akan memakai parfumku lagi.” Sahut suamiku yang kemudian menatapku dalam-dalam dan mencium tanganku yang sedari tadi digenggamnya. Telingaku seakan meleleh dengan ungkapannya yang begitu manis.
“Naura sini nak...” Ucapku diiringi langkah kecil Naura. Aku melepaskan genggaman tangan suamiku perlahan kemudian menggendong Naura. Aku mendekatkan bibir kepada telinga gadis kecilku.
“Bilang sama ayah, bunda sangat bersyukur berada disisi ayah dan Naura.” Bisikku pada Naura yang kemudian buah hatiku membisiki ayahnya yang tidak terdengar olehku. Tian memandangku lembut kemudian memelukku dan buah hatiku.
Seusai keluarga kecilku menyantap sarapan yang aku hidangkan pagi ini, aku mengiringi kepergian suamiku yang kini telah memacu Nissan Gtnya menjauh. Terlihat Naura masih disekitar kolam untuk memberi makan ikan koi kami. Sengaja aku tak mendekatinya untuk membiarkannya bermain, langkahku beralih pada meja makan untuk membereskan piring dan sisa makanan kami. Entah mengapa akhir-akhir ini kepalaku pusing dan merasa lemas. Apa ini efek amnesiakusetelah pulih ya? Tak menghiraukan apa yang aku rasa, aku tetap membereskan meja makan. Tiba-tiba aku merasa seperti diayun dalam timangan, yang membuatku tejatuh. Aku menguatkan diri untuk kembali bangkit yang diiringi hamburan Naura dengan wajah merengek.
“Bundaa...” Rengeknya sembari duduk di sebelahku.
“Bunda akit?” Tanya Naura lagi dengan khas logat anak kecil. Aku membelai pipi gadis kecilku itu.
“Sepertinya begitu, Naura mau antar bunda ke rumah sakit?” Tanyaku basa-basi yang jelas-jelas aku tahu jawaban dari putri kecilku.
“Ikuuutt...” Sahut Naura. Aku bangkit untuk membereskan pekerjaan rumah, bersama Naura aku segera ke rumah sakit tempat dokter specialis yang menangani terapi amnesiaku dulu.
“Dari hasil rontgen ini otaknya baik-baik saja. Mungkin ini gejala flue biasa, atau mungkin ehm... Ecizy sudah bersuami?” Telaah dokter itu berujung pada pertanyaan yang membuatku membusungkan dada. Gile.. Dikira aku masih gadis, padahal jelas-jelas aku membawa Naura yang asik dengan mainan spinernya dalam pangkuanku.
“Dokter Lidya ini ada-ada aja... Saya sudah punya princes satu, Dok. Ini yang saya pangku, namanya Naura.” Jelasku.
“Kirain adiknya. Karena dulu waktu dulu Ecizy terapi katanya masih single.” Jelas dokter Lidya.
“Ceritanya panjang dok. Hehe...” Jelasku malas untuk menjelaskan.
“Jadi, selain gejala flue, kemungkinan Naura akan punya adik.” Jelas dokter yang membuatku nggak habis fikir. Gila aku hamil? Sejak kapan? Bahkan Tian belum pernah menyentuhku semenjak kami benar-benar rujuk.
“Nggak mungkin hamil, dok.” Kataku dengan wajah pucat pasi.
“Bagaimana kalau sementara ini saya beri resep vitamin aja, karena takutnya kalau obat flue malah mengganggu janin Ecizy. Jika Ecizy mau, ada baiknya coba USG ke dokter kandungan.” Kata dokter sembari menulis resep untukku.
“Baik, terimakasih dok.” Ucapku sembari menerima resep dari dokter untuk aku tukarkan di apotek sebelah. Selama beberapa saat aku menerawang, mengingat-ingat apa yang akhir-akhir ini telah terjadi, demi Tuhan aku belum melakukan sesuatu yang membuatku hamil. Tapi kenapa ada dorongan untuk memeriksa rahimku.
“Aku yakin, aku nggak mungkin hamil. Buktikan saja, aku nggak takut untuk tes USG.” Gemingku pada diriku sendiri.
“Permisi, dokter Arini bagian kandungan ada piket hari ini nggak?” Tanyaku pada apoteker rumah sakit ini, kemudian membayar vitaminku.
“Hari ini dokter Arini ada piket, Mbak. Tapi, kemungkinan antrian hari ini penuh, mungkin mbak bisa janjian dulu.” Jelas apoteker berambut panjang itu. “Untuk nomor telfon dokter Arini ataupun mau mendaftar bisa langsung ke pusat informasi dan pendaftaran, mbak.” Tambah apoteker itu detil.
“Terimakasih.” Ucapku seraya menuju tempat pendaftaran untuk konsultasi besok.
Balutan rasa cemas menyelimutiku malam ini, hingga begitu sulit aku memejamkan mataku. Jutaan rasa tanya dan ketakutan menghujam bagai sembilu yang menusuk hati. “Bagaimana jika benar aku hamil?”, “Anak siapa?”, “Bagaimana dengan Tian yang belum pernah menyentuhku?”, “Atau ini surprise dari Tian yang melakukan itu saat aku terjaga?”, “Atau ini semua hanya mimpi?” Ya Allah.... Benar-benar lautan pertanyaan mengambang dalam fikiranku. Aku mendekap Tian yang tengah terlelap dalam tidurnya.
“I love you, jangan pernah tinggalkan aku ya.” Kataku lirih dalam dekapan Tian, yang tiba-tiba Tian membalas dekapanku.
“I love you too..” Bisik Tian lirih, aku mendongakkan wajah ke arah Tian.
“Kamu belum tidur?” Tanya Tian yang masih mendekapku.
“Nggak bisa tidur.” Jawabku dengan muka lelah.
“Cepat tidur...” Ucap Tian memper erat dekapannya sembari memejamkan matanya yang diiringi kelopak mataku yang aku paksa untuk terpejam.
“Sayang...” Kataku lirih dengan mata masih terpejam.
“Hemm...” Sahut Tian yang masih mendekapku.
“Semisal aku membuatmu kecewa, tapi aku dalam kondisi tidak mengetahui itu, akankah kamu meninggalkanku?” Tanyaku yang kemudian menatap wajah suamiku yang masih terpejam. Dengan malas, suamiku membuka matanya yang merah dan menatapku dalam. Tatapan mata itu selalu hangat yang membuatku meleleh dibuatnya. Tian perlahan mengulum bibirku cukup lama dan membuatku merasa dunia milik kami berdua.
“Itu yang akan aku lakukan.” Kata Tian setelah melepaskan bibirku.
“Why?” Tanyaku dengan pipi memerah karena panasnya cintaku yang mendidih.
“Untuk memastikan kamu masih mencintaiku atau tidak.” Jelasnya datar sembari membelai lembut bibirku dengan jemarinya.
“Memang bisa reaksi ciuman seseorang membuktikan apakah dia masih mencintai ataupun tidak?” Tanyaku menerawang. Aku melihat muka suamiku yang begitu lelah,kemudian aku diam dan segera memejamkan mata dan menyembunyikan wajahku dalam dekapannya. Terasa Tian mengangkat daguku lalu mengecup bibirku lagi saat mataku telah terpejam. “Entah bagaimana jadinya, jika aku kehilangan suami sesempurna dirimu.” Batinku dalam dekapannya.
Hiruk-pikuk antrian pada depan ruangan praktek dokter Arini sempat membuatku sedikit mual. Sengaja aku tidak membawa Naura yang aku titipkan kepada neneknya. Saat namaku dipanggil, aku segera memasuki ruangan untuk konsultasi. Sempat dokter Arini menyarankanku untuk USG sekalian. Aku sedikit ragu untuk mengiyakan.
Malam hari yang redup menyapaku dengan sejuta keraguan. Germuruh hati bergejolak didalam hati. Aku mencoba menghubungi mantan pacarku Yadi, untuk memastikan semua baik-baik saja. Aku pacu mobilku untuk putar balik ke Solo, tak lain untuk menemui Yadi.
“Yadi, kamu dimana?” Tanyaku dalam telfon dengan kalap dan terburu-buru.
“Eci, kamu kenapa? Aneh.. Sudah enam bulan kamu nggak ada kabar, aku pesan dan aku telfon nggak pernah ada respond. Giliran sekarang kamu tiba-tiba seperti ini.” Jelas Yadi yang bingung dalam telfon.
“Temui aku di taman manahan jam 20.00.” Kataku kemudian aku matikan sambungan telfon kami.
Secercah cahaya dari bangunan dekat patung taman manahan menuntunku untuk segera memarkirkan mobilku. Aku melangkah menuju patung pahlawan wanita itu. Aku melihat sosok yang telah lama aku tinggalkan demi keluargaku. Dengan kikuk kami duduk bersebelahan. Aku menjelaskan semua yang terjadi setelah kami putus, sempat terlihat bola mata yadi meredup.
“Tapi, kamu yakin tidak pernah membawaku ke club? Minum? Atau mendapatiku pingsan?” Tanyaku memastikan.
“Hello? Sejak kapan aku minum? Apalagi ke club. Apakah kamu masih ingat saat sama ibu kos waktu kamu pingsan?” Tanya Yadi memastikan.
“Aku ingat. Why?” Tanyaku dengan bola mata menyelidik.
“Dulu yang pertama kali menemukanmu saat pingsan kan ibu kos, bukan aku. Jadi tanya ibu kos lah.” Perintah Yadi lugu yang membuatku memasang wajah heran.
“Yadi....” Kataku yang masih nggak habis fikir sembari menyeka dahiku.
“Aku hamil.” Kataku membuatnya heran.
“Bagus dong, waw... Selamat. Jauh-jauh kamu menemuiku untuk hal ini.” Tanyanya masam.
“Tapi aku belum pernah disentuh oleh suamiku selama kami rujuk, sedangkan usia kandunganku sudah empat bulan.” Cerocosku yang menghentikan tawa Yadi tiba-tiba.
“Jangan bilang kamu mencurigaiku?” Kata Yadi mulai serius.
“Selama ini pacarku cuma kamu Yadi....” Jelasku.
“Nggak masuk akal. Ingat-ingat lagi.... Oh, Please... Aku nggak pernah nyentuh kamu.” Kata Yadi membuatku terdiam.
“Tunggu... Tadi kamu sempat berkata Alan?” Kata Yadi yang kusambut dengan hening. Aku berusaha mengingat mas Alan yang seingatku dialah yang sangat baik untuk membantuku kembali pada Tian.
“Nggak mungkin.” Desisku menerawang.
“Siapa yang tahu?” Geming Yadi yang benar-benar membatku terprofokasi.
“Memangnya kenapa dengan janin itu, gugurkan saja jika itu bisa merusak rumah tanggamu.” Tambah Yadi yang memecah keheningan.
“Kamu gugurkan, katamu?” Gemingku yang sedikit naik pitam. “Gila, aku nggak mungkin membunuh anakku sendiri. Gila kamu ya..” Teriakku yang kini mulai dialiri oleh air mata bercampur lautan gemuruh hati yang bingung.
“Apa yang bisa aku bantu untukku kalau kamu saja nggak mau menggugurkan janin itu. Jelas-jelas itu bukan ulahku, sekali lagi aku nggak pernah menyentuh kamu. Aku mohon jangan nangis...” Kata Yadi yang juga ikut bingung dan melempat tatapan iba kepadaku.
“Okay, gini saja. Kamu sembunyikan kehamilanmu, dan temui Alan untuk memastikan semuanya. Jika memang benar itu perbuatan Alan, saat bersalin jangan sampai suamimu mengetahuinya dan setelah bayi itu lahir mintalah Alan merawat hasil dari perbuatannya.” Jelas Yadi cukup membingungkan namun masuk akal juga.
“Bagaimana jika suamiku tahu?” Gemingku lirih menahan sisa air mata yang akan keluar lagi. “Aku tidak ingin berpisah dengansuamiku maupun Naura.” Kataku lirih.
“Aku bantu untuk mendekati Alan pelan-pelan sembari menyelidiki apakah benar Alan yang telah menanam bibit di rahimmu.” Kata Yadi menepuk pundakku.
“Kamu kirimkan saja info tentang Alan dan nomor telfonnya lewat whatsapp.” Kata Yadi sempat membuatku tenang. “Sudah jangan nangis.” Tambahnya lagi seraya mengangkat tubuhku untuk berdiri. Langkah kaki kami berjalan berayun bersama untuk menuju ke parkiran, kemudian kami berjalan ke haluan yang berbeda dan saling beranjak menjauh.
“Sayang kamu dari mana saja?” Tanya Tian setelah aku membuka pintu kamar. Aku hanya bisa terdiam dan mengganti pakaianku dengan piama. Melihat responku, Tian segera keluar dari kamar, dan tak lama kembali lagi dengan seangkir coklat hangat kesukaanku. Tian duduk pada tepi pembaringan yang kemudian menepuk pembaringan sebelahnya, isyarat memintaku duduk mendampinginya. Aku langkahkan kaki perlahan, keudian duduk di samping suamiku.
“Minum dulu... Bunda pasti lelah.” Kata suamiku seraya memngulurkan secangkir coklat hangat kepadaku. Aku perlahan meminum coklat itu yang kemudian aku letakkan pada meja dekat pembaringan.
“Seharusnya bunda yang menyiapkan ayah minum setelah pulang kerja.” Kataku lirih menatap matanya dalam.
“Bunda matanya sembab, bunda mau cerita ke ayah?” Tanya Tian perlahan. Aku mengalihkan pertanyaan Tian dengan memeluknya.
“Ayah, maafkan bunda.” Kataku yang kini mulai berlinang air mata.
“Iya, bunda kenapa?” Tanya Tian membelai kepalaku dalam pelukannya. Aku seraya melepaskan pelukanku. Belaian tangan Tian tampak menyeka air mataku.
“Ayah, berjanjilah...” Pintaku tiba-tiba dengan menatapnya dalam-dalam. “Jangan pernah tinggalin bunda ya.” Lanjutku.
“Ayah berjanji... Sudah tenanglah bidadariku.” Perkataan Tian semakin membuatku merasa bersalah. Tak lama Tian mendorong pundakku perlahan untuk merebahkan diri di pembaringan, diiringi bibir Tian yang mengulum bibirku dengan lembut, tangan Tian perlahan mematikan lampu kamar tidur kami hingga suasana gelap ini menjadi saksi betapa dalamnya cintaku pada Tian.
Kicauan burung dipagi hari membuka mataku, sang mentari megintip malu dari balik pepohonan. Aku melihat tubuhku yang masih berbalut selimut, sengaja tidak aku sibakkan selimut dan masih malas untuk beranjak dari tempat tidur.
“Ayah bangun...” Kataku lirih kemdian mencium pipinya sebagai tradisi yang wajib dilakukan setiap pagi.
“Nanti... Ini kan minggu...” Geming suamiku yang masih memejamkan matanya. Aku segera meraih piamaku dan turun dari membaringan. Langkah kakiku menyusuri setiap sudut rumah, mencari asal aroma nan lezat.
“Mama...” Sapaku terkejut mendapati mama dan Naura sudah asyik bermain di dapur.
“Semalam nenek dan Naura sudah tidur saat kamu pulang. Jadi, kami nggak mendengar suara aneh atau desahan kok, tenang aja. Nenek sudah tidur.” Kata Mama dengan semburat muka memerah yang sangat terlihat sekali Mama sedang berbohong. Aku memejamkan mata dalam-dalam menutupi rasa malu.
“E... hehe... Syukurlah..” Jawabku pura-pura percaya saja. “Bunda baru tahu Naura dan Nenek tidur disini. Bunda kira Naura semalam tidur di tempat Nenek.” Sahutku mengalihkan perhatian Mama.
Semakin waktu berayun, semakin tampak perutku membuncit. Aku nggak yakin bisa menyembunyikan ini sampai tiba saatnya aku bersalin. Terkadang Tian menanyakan pertanyaan yang membuatku tersudutkan. Aku bingung harus bagaimana lagi, Yadi entah kenapa bisa secepat itu berteman dan akrab dengan mas Alan, namun sampai saat ini Yadi belum menampakkan bukti bahwa mas Alan adalah ayah dari janinku.
“Mas Alan, aku ingin bertanya. Ehm mungkin agak aneh, tapi...” Kataku pada mas Alan dalam sebuah caffe di Solo.
“Tanya aja Eci, aku akan siap membantumu.” Jawab mas Alan terang-terangan sembari menyeruput kopinya.
“Maafkan aku sebelumnya mencurigaimu. Ehm... Tapi... Biar semuanya jelas.” Kataku sedikit terbata dan berat untuk menanyainnya.
“Iya, sebenarnya ada apa Eci?” Tanya mas Alan yang mulai heran.
“Mas, jangan tersinggung ya.” Kataku agak sedikit ragu.
“Iya, apa?” Tanyanya dengan bola mata yang sama sekali bukan bola mata orang mesum. Kenapa aku jadi meragukan mas Alan yang telah melakukan itu.
“Mas, apa aku pernah pingsan saat bersamamu? Atau pernahkan kita mabuk berdua?” Tanyaku sedikit berat.
“Sebentar aku ingat-ingat... Tujuh bulan yang lalu, kantor sering mengadakan event dan party, ehm jujur saja aku selalu minum wine di setiap acara itu.” Jelas mas Alan sembari mengingat-ingat.
“Tapi aku tidak menemukan kamu disana.” Tambah mas Alan membuatku resah.
“Mas Alan... kamu kenal dengan Yadi?” Tanyaku menerawang.
“Iya, itu temanku semenjak kami berinvestasi bersama.” Jawab mas Alan dengan bola mata polos.
“Ehm... Sebenarnya Yadi mendekatimu untuk membuktikan suatu hal kepadaku.” Kataku sedikit ragu akan merusak hubungan Yadi dan mas Alan.
“Hal apa?” Tanya mas Alan menyelidik.
“Ehm... Nggak papa... Lebih baik mas Alan ingat baik-baik apa yang sudah mas Alan lakukan aja.” Kataku belepotan. “Anu, maksudku nggak papa..” Tambahku memperbaiki situasi.
“Eci, asal kamu tahu meskipun aku berteman dengan Yadi, mantanmu. Aku tetap akan menyimpan rahasiaku dengan baik, terlebih Yadi orang baru disekitarku. Buat apa kamu menyuruh Yadi? Sedangkan aku lebih percaya dan terbuka kepadamu dibanding Yadi.” Jelas mas Alan panjang kali lebar yang membuatku tercengang.
“Eci ingat, aku selalu berada dipihakmu. Apapun yang terjadi.” Jelas mas Alan yang membuatku menyesal kenapa dulu aku menemui Yadi terlebih dahulu dari pada mas Alan.
“Mas Alan... sebenarnya aku.. Ak.. Aku hamil.” Kataku berat dan lirih. “Sudah lima bulan.” Tambahku yang membuat mas Alan menggerakkan jarinya seolah menghitung sesuatu.
“Usia kandunganmu.” Geming mas Alan berfikir dan mencoba untuk tetap tenang. “Aku yakin kamu pasti mencemaskan Tian?” Tanya mas Alan juga ikut cemas, sembari memegang tanganku.
“Keep calm Eci.” Kata mas Alan lirih melihat aku sedikit menggigil dengan kecamuk rasa cemas. Mataku yang mengantung dan memerah menatap mas Alan penuh kekosongan.
“Aku akan coba meretas cctv di tempat party yang pernah kita datangilima bulan yang lalu.” Kata mas Alan dengan tatapan mata tajam. “Kamu bawa laptop?” Tanya mas Alan yang memang sedikit tegang.
“Bawa mas, kamu akan meretas cctv sekarang?” Tanyaku diiringi anggukan kepala mas Alan. Aku segera mengeluarkan laptop dari tasku.
“Setidaknya jika memang benar-benar aku pelakunya, kamu bisa menghukumku sesukamu, dan kamu sedikit lebih tenang.” Jelas mas Alan dengan penuh keyakinan, tangan mas Alan menancapkan flashdisk yang dikeluarkan dari sakunya, tarian jemari mas Alan kini tengah berayun diatas tuts keyboard laptopku.
“Lima bulan yang lalu hanya sekali dan terakhir kalinya aku mendatangi party.” Kataku lirih dan mengingat-ingat dengan seksama.
“Last farewell partyku?” Kataku lagi membuat mata mas Alan terbelalak. “Why?” Tanyaku setelah melihat ekspresi mas Alan.
“Saat itu aku juga mabuk. Dan saat itu kamu pingsan dihadapanku saat kamu melangkah dihadapanku.” Jelas mas Alan mengingat-ingat.
“Yang aku ingat saat itu aku nggak pingsan deh mas.” Bantahku pada mas Alan. “Saat itu aku menghampirimu dan tiba-tiba, aku mengalami lintas waktu yang membuat kepalaku pusing, aku mengatakan padamu bahwa aku mengingat semua kisah kita, kemudian aku pulang.” Jelasku dengan tatapan mata meyakinkan.
“Bukannya saat itu, kamu pingsan?” Tanya mas Alan gagal mengingat.
“Dari pada kita berdebat, mas Alan coba deh segera meretas cctv di karaoke itu.” Pintaku untuk memastikan saja yang disambut jemari mas Alan yang mengenter sebuah kode.
“Lihat ini, ini satu jam sebelum kamu pingsan. Kamu masih bersama teman-teman.” Jelas mas Alan yang kini sudah berhasil meretas cctv tempat karaoke itu.
“Aneh kamu ya, semua teman-teman sudah nggak sadar kan diri karena mabuk, hanya kamu yang sehat wal afiat. Haha... Gadis baik-baik.” Tawa mas Alan sembari mengacak-acak kepalaku gemas. Kami kemudian kembali mengamati semua video cctv saat lima bulan itu. Hingga terekam vedeo yang membuat telingaku berdengi, hatiku berlebuh hancur.
“Mas Alan...” Teriakku memekik dengan linang air mata. “Kamu tega...” Jelasku parau.
“Ecizy, maafkan aku.” Kata mas Alan menunduk tak berani menatapku.
“Ini bisa menghancurkan rumah tanggaku, kamu gila....” Cerocosku parau dan histeris membuat pelanggan caffe di sebelah bangku kami melirik.
“Apa yang kamu mau?” Tanya mas Alan lirih dengan penuh berhati-hati. “Haruskah aku pindah agama dan menikahimu.” Tanya mas Alan yang masih menunduk.
“Bahkan aku nggak akan bahagia jika aku menikah denganmu sekalipun.” Bentakku pada mas Alan yang kemudian menatapku dan menahan rasa terluka dalam tatapan matanya.
“Lalu apa maumu?” Tanya mas Alan dengan mata berkaca-kaca.
“Rawat anak ini setelah aku melahirkannya.” Jawabku dingin sembari menyeka air mataku.
“Carikan aku kota untuk mengasingkan diri dari suamiku. Semakin lama, perutku semakin membesar.” Kataku lirih.
“Kenapa kamu nggak cerita yang sebenarnya dengan suamimu?” Kata mas Alan perlahan.
“Kamu ingin aku bercerai dengan suamiku?” Kataku menentang pendapatnya.
“Setidaknya laki-laki akan memaafkan jika kamu jujur dan mengatakannya segera.” Jelas mas Alan yang entah kenapa aku sudah tidak mood untuk mempercayainya lagi. Aku segera beranjak untuk pulang ke Madiun, sebelum matahari terbenam.
Lantunan suara televisi menyuarakan berita terkini, entah apa yang ku fikirkan saat ini dengan tatapan kosongku pada televisi yang tengah bersiar. Aku benar tidak bisa memikirkan apapu, fikiranku lelah namun aku harus berfikir.
“Oh, rumor detektif yang digosipkan terlibat dengan salah satu karaoke prostitusi?” Sahut Tian yang duduk menyergap sembari merebut snack yang akan meluncur ke mulutku.
“Oh... Iya?” Tanyaku balik dengna gelagapan kepada Tian yang sudah disisiku.
“Honey... Kamu pucat sekali. Bahkan kamu tidak tahu isi dari yang kamu tonton?” Goda Tian menghiburku, namun itu semua benar. Jemari suamiku mengambil sebuah koran terkini, dan menunjukkan halaman yang telah dibukanya padaku.
“Wajah detektif itu sekilas mirip dengan Alan.” Kata Tian menggodaku lagi dengan seringai. “Jangan-jangan....” Tebak Tian menyelidik dengan wajah serius.
“Aku nggak berfikiran mesum kok, yang. Sumpah.” Sahutku sembari menelan ludah.
“Apa, maksudmu? Jangan-jangan kamu masih memikirkan Alan ya?” Tanya suamiku yang memandangi perutku. “Apa maksudmu mesum? Kamu memikirkan mesum dengan Alan?” Tanya suamiku lagi yang kini menyudutkanku. Aku terdiam dengan wajah cemberut, tanda ngambek. Biasanya dengan jurus ini, Tian akan segera merayuku lagi.
“Ah, Honey... Jangan ngambek dong... Kan cuma bercanda.” Rayu Tian yang sesuai ekspektasiku.
“Kena kau.” Kataku sembari melempar senyuman nakal. Tanganku mulai menggelitiki perut Tian untuk menggodanya balik. Tangan Tian tiba-tiba juga membalas untuk menggelitikiku.
“Jangan...” Teriakku serius yang mengejutkan Tian. Kemudian segera berlari menjauh dari kejaran suamiku itu.
“Ah, curang awas kalau kena.” Teriak suamiku sembari mengejarku. Aku segera masuk kamar dan mengunci pintu.
“Sayang...” Panggil Tian dari balik pintu.
“Sorry ya, yang. Aku kali ini harus curang. Jangan sentuh perutku, tiba-tiba perutku sakit. Mungkin magh ku kambuh.” Jelasku dari balik pintu.
“Biarkan aku masuk, aku ambilkan obat.” Sahut suamiku dari balik pintu.
“Jangan...” Teriakku. “Aku cuma butuhistirahat, berjanjilah jangan menggelitikiku ya.” Pintaku dari balik pintu.
“Ya, sayang. Tapi bukakan dulu pintunya.” Sahut Tian menyerah.
“Okay....” Kataku seraya membuka pintu untuk Tian. Tiba-tiba Tian memelukku dengan sergapan yang membuat tubuhku didorong ke sofa.
“Kena kau...” Kata Tian dengan seringaian nakal.
“Ampun...” Teriakku meminta belas kasihan dengan memejamkan mata bersiap akan ketahuan oleh Tian.
“Aku akan menggelitikimu dengan cara lain.” Kata Tian sembari mengeluarkan DVD dari balik punggungnya.
“Kyaa... DVD kartun larva?” Pekikku girang.
“Tapi, kali ini ditonton filmnya, jangan malah filmnya yang nonton kamu.” Kata Tian menasehatiku.
“Aku nggak tipe emak-emak yang saat nonton film tidur ya, Yang...” Sahutku sombong.
“Tadi siapa ya yang nonton berita nggak tahu isi beritanya. Dudududu...” Kata Suamiku menyindir.
“Hish...” Sahutku sebal kemudian sebera menyalakan DVD karton larva pemberian suamiku di kamar kami. Aku melirik hpku yang bertuliskan 2 pesan dari mas Alan. Mataku segera melirik arah perginya suamiku, yang menuju ke kamar Naura.
Alan à “Aku sudah mencari tempat yang baik untukmu tinggal. Aku sudah menyewakan housetel di daerah Selayang, Malaysia. Aku juga sudah membuat janji temumu kepada dokter kandungan disana.”
Alan à “Sekarang tugasmu cari alasan supaya pergi ke Malaysia secepatnya, sampai kamu lepas bersalin.”
Eci à “Siap terimakasih. Aku tadi baru saja menghubungi Mamaku untuk menyerahkan data perusahaannya di Malaysia. Aku beruntung diizinkan untuk menghandel perusahaan itu. Sekarang tugasmu, cegah Tian jikalau dia ingin menyusulku ke Malaysia.”
Alan à “Oke, sip.”
“Sayang, aku sepertinya secepatnya harus ke Malaysia deh.” Kataku.
[1] CSCC: Customer Service Call Center
[2] Bu dhe: Kakak dari orang tua kita
[3] Amnesia lakunar adalah jenis reaksi hilang ingatan mengenai suatu peristiwa namun dengan acak. Jenis ini tidak akan merusak peristiwa masalalu, namun akan benar-benar menghilangkan sebagian memori ingatan pada masa lalu atau masa yang baru saja terjadi. Biasanya terjadi karena kerusakan pada otak atau kekurangan oksigen pada otak.
0 Response to "NOVEL - Ukiran di Atas Air"
Posting Komentar