NOVEL - CINTAKU DIUJUNG JARUM

CINTAKU DI UJUNG JARUM
Deringan mesin untuk membuat komponen alat elektronik telah menyapa pagi butaku yang bising ini. Sebelum mengais rezeky, aku sempatkan sholat subuh dua raka’at pada surau pabrik tempatku bekerja. Terlepas dari sholat kumulai banting tulang demi masa depanku, yaitu tabungan untuk kuliah. Dari pagi buta hingga maghrib kubekerja selama empat hari, dan dua hari aku merasakan libur untuk istirahat, kemudian bekerja lagi selama empat hari dari selepas asar hingga mentari pagi terbit, begitu seterusnya. Begitulah rutinitas seorang buruh pabrik sepertiku, perkenalkan namaku Fahiya, kata ibuku artinya langit.
Saat minggu-minggu awal aku masuk kerja dalam proses, minggi pertama aku masusk group 1, minggu ke dua ke group 2, danminggu ke tiga masuk ke group 3. Namun selama tiga minggu ini yang masih kami selaku budak baru menggunakan waktu tiga minggu ini untuk mempelajari pekerjaan dalam proses kami dan masih masuk pada shift pagi saja. Dari kesekian group, yang paling menyebalkan adalah group 3.
Saat aku belajar pada orang-orang di group 3, aku selalu disalahkan oleh Mak Nurul (Leader), hingga aku kefikiran terus dan jatuh sakit.
Rasa sakit yang melanda dari pagi hari, hingga kutahan sampai siang hari. Setelah tak tahan khirnya aku izin ke klinik selepas sholat dhuhur, namun tidak diperbolehkan karena klinik bukanya jam 4 sore. Kemudian aku meminta mbak Cimot untuk kerokin aku di kamar mandi.
Setelah dapat beberapa kerokan datanglah mak Ina, ketua dari leader-leader proses kami baik group satu, dua maupun tiga. Diuruskannya segala registrasi untuk dibukakan klinik oleh mak
Ina. (Makasih Mak Ina) Kemudian aku dibopong oleh emak-emak yang aku ingat wajahnya, namun aku belum tau namanya. Aku dikasih uang 10 ringgit, roti, dan diambilkan minum hangat. Pokoknya serasa anaknya sendiri. Uuuuhmmm, jadi kangen ibu. Kemudian aku tidur sampai jam 4 sore pada bilik sakit, hingga dokter datang dan aku diperiksa lalu dikasih obat. Esok harinya aku MC alias dikasih izin untuk libur.
Saat MC aku sempet sebel sama Rizka, masak sudah tahu kalau aku sakit, aku dipaksa piket bersih-bersih rumah. Aku yang tidak perduli langsung tidur, walau sempat dia mengumpat saat aku tidur. Lalu apa gunanya MC kalau disuruh piket? Semoga Rizka dapet hidayah.
Kicauan burung pagi ini menghiasi langkahku ke ruang meetinguntuk mengikuti tes hasil belajarku selama tiga minggu ini. Belum sempat aku memegang gagang pintu, tiba-tiba pintu terbuka. Kulihat sesosok lelaki rupawan bagaikan Yesung (Super Junior), akhirnya kupalingkan wajahku.
“Morning...” Sapanya, namun aku ngibrit karena takut kena semprot. Setelah bersembunyi pada bawah tangga, dan kupastikan manager itu sudah pergi, lalu kulangkahkan kaki untuk kembali pada ruang meeting dengan jalan memutar agar tidak bertemu dengan imitasinya Yesung. Namun bukannya terhinndar, malah membuatku berpapasan dengan imitasi Yesung ditengah lorong.
“Morning...” Sapanya sembari senyum, diiringi mataku melirik ke arah jam tanganku seraya pura-pura tidak tahu dan tidak dengar, hingga akhirnya aku masuk ke ruang meeting dengan selamat. Huft, Alhamdulillah.
Kenapa tadi ada manager di ruang meeting ya? Padahal kan ruang meetingnya dikhususkan untukku agar aku mengikuti tes tertulis dan wawancara setelah tiga bulan belajar. Kenapa tadi dia tiba-tiba keluar dari ruang meeting saat aku akan masuk? Mana seragamnya bukan seperti seragam manager kilang alias pabrik sini.
~~~~Diaryku saat pertama kali dapat gaji~~~~
Sabtu, 4 Oktober
Idul Adha Dapet Rezeky Gaji
Bismillahirrohmannirrohiim,,
Dear diary, hari ini aku gajian. Aku dapet 900RM. Setelah ngedate sama mbak Tuti, dan mbak Eka (Walau mbak Eka akhirnya membatalkan). Alhasil hanya aku, Ika, dan mbak Tuti yang shopping ke mall.
Mbak Tuti beli cardigan, sepatu, dan tas. Kalau Ika beli batu HP, dan aku beli Smartphone + charger untuk Feni yang aku patahkan.
Setelah itu kami liat-liat baju, pernak pernik, kemudian ke Maydin semacam swalayan serba makanan dan perabotan rumah tangga. Last dastiny ke Money Changer, churs uang untuk dikirim ke Indonesia. Aku kirim untuk ibu 300RM alias Rp. 1.035.000,-. Pertamakali aku memberi ibuku uang hasil keringatku sendiri, yang membuat hatiku seneng banget.
Aku seneng banget, soalnya bisa jalan sama mbak Tuti dan tambah akrab, karena dari awal aku mengagumi ketegasan dan profesionalismenya saat bekerja dan membimbingku selama aku pada group 1. Yang memang akhirnya aku dimasukkan pada group 1.
Setelah pulang aku tergesa-gesa untuk menjalankan sholat dhuhur. Ternyata aku menstruasi. Rasanya mak jleg dihati, merasa bersalah saja sama Allah. Jika memang mens nya sebelum dzuhur aku agak lega, kalau sesudah aku takut, dan semoga Allah mengampuni dosaku. Amiin.
Awalnya sudah puasa 10 Arafah ½ hari, tapi ya nggak apa apa lah... Allah maha melihat.
Tanggal 9( ) , tanggal 10 ( X ), tanggal 11 Idul Adha.
Denger takbir rasanya ayem banget, keinget masa-masa damai saat dirumah. Dulu saat masih dirumah, rasanya dekeeeeeeeeeeeeeeeeet banget sama Allah SWT dan Rosulullah SAW. Sekarang harapanku tetap sama, aku ingin damai seperti dirumah dulu. Dan senantiasa deket dengan Allah SWT dan Rosulullah SAW.
~~~~~~~~~ Thank you diary sudah menampung curahan hatiku di hari yang menyenangkan ini.~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku bekerja di pabrik ini terhitung baru tiga bulan, alias baru selesai trainning. Aku telah mendapatkan pengalaman yang beraneka macam, terlebih di negeri orang olehku mengais rezeky. Namun aku tak sendiri, aku memiliki seorang sahabat yang selalu mengutamakan kebahagiaanku, dialah Ika gadis jawa yang selalu ada untukku.
“Hiya, kamu kok sholat lama sih?” Tanya Ana, teman satu rumahku. Yang bertanya pada saat aku jalankan komputer untuk inspection komponen yang akan di export.
“Entahlah, kalau menurutku, sholat itu saat kita berkomunikasi dengan Tuhan secara langsung. Jadi, masak iya cepet-cepet, berarti nggak ada sopan-sopannya sama Allah. Padahal, sama manager aja kita sopan apalagi sama Allah?” Jawabku.
“Kamu kok bisa deket banget sama Ika? Dia dulu satu kelas sama kamu ya?” Tanya Ana bisik-bisik, yang saat itu ada Manager lewat.
“Nggak kok. Dulu kami satu sekolah, tapi nggak saling kenal. Kami kenalan saat perjalanan menuju ke hostel pertama kali.” Jelasku. Hostel kalau di Nusantara itu seperti appartemen. Dua belas orang dari kami diberi satu rumah yang terdiri dari tiga kamar, dan dihostel difasilitasi dua kolam renang, taman, kantin, dan minimarket, tampat parkir tiga lantai, lift khusus orang dan binatang peliharaan dari lantai bawah hingga lantai paling atas, yaitu lantai dua puluh dua, lift khusus angkut sampah, dan lift khusus para pekerja yang berseragam.
“Oh, gitu. Kamu kok sabar banget sih ngadepin si Ika? Dia kan masih kayak anak kecil. Gayanya yang kayak anak kecil seakan dibuat-buat. Itu suara cemprengnya memang beneran atau dibuat-buat sih? Heran deh...” Papar Ana yang mulai gosipin Ika.
“Entahlah, yang penting aku nggak pernah di usik Ika, maka aku nggak akan nyakitin Ika.” Jawabku datar dan tegas.
“Tapi kan...”
“Hhhhssssss.... Sudah, jangang ghibah orang. Nggak kamu aja yang dosa, akupun juga. Makanya diem. Tuh, dilihatin Emak!” Sahutku sebelum dia angkat bicara. Oh, iya disini kalau Emak tuh artinya Leader dari group yang dituakan. Kalau aku group 1, Emaknya namanya Mak Sina dan Kak Sita, Mereka asli dari negeri tuan rumah ini.
Sempet terfikir sih dengan omongannya Ana, dan hampir saja terpengaruh pada tawarannya untuk meninggalkan Ika dan berteman dengannya. Namun, entahlah... Semilir angin sore lebih pantas aku nikmati ketika aku berada dalam bus untuk perjalanan pulang ke hostel. Alhamdulillah jika pulang-pergi kerja selalu diantar bus khusus untuk pekerja pabrik macam diriku. Jadi semua yang berada dalam bus, nggak ada orang asing, hampir semuanya kenal, bahkan sampai hafal bapak sopir busnya.
“...... Pokoknya, Ibu itu nggak setuju jika kakak kamu itu menikah muda. Dia itu belum memiliki pekerjaan yang tetap, bagaimana dia akan menghidupi anak dan istrinya?” Potongan penjelasan ibuku melalui telefon.
“Ibu, Hiya tahu betul sifat mas Kiki. Dia orangnya nekat. Hiya takut, kalau mereka nggak segera menikah malah akan melakukan hal yang negatif. Lagian mas Kiki juga sudah punya kerja, cuman belum bergaji gede’ aja. Bu, nikahkanlah mereka. Nikah itu sunnah, jika memang segala sesuatunya terpenuhi dan tidak ada pihak yang dirugikan.” Jelasku lagi.
“Tapi, Ibu tetap nggak setuju!” Jawab ibu.
“Terus, kalau Ibu nggak setuju dengan ngeluh ke Hiya, lalu Hiya bisa buat apa?” Jawabku yang kehabisan ide untuk memberi solusi ibuku.
“Ya sudahlah, Ibu capek baru pulang kerja. Ibu mau tidur dulu. Kamu jaga diri baik-baik di negara orang, Ya.” Kata ibuku menutup percakapan.
“Iya, Bu. Assalamu’alaikum.” Jawabku.
“Wa’alaikumsalam...” Balas ibuku.
Kupalingkan wajahku dari jendela sembari mematikan call dari ibuku. Terlihat Ana telah berada di kamarku sedari tadi, kurasa dia sempat mendengar percakapanku dengan ibuku. Dia menyapaku, dan megalihkan pembicaraan kepada perihal keluargaku hingga berujung pernikahan kakak ku. Dia berfatwa bahwa kakakku menghamili pacarnya, sehingga mereka ingin segera menikah. Kemudian aku membantah Ana yang mulai kelewatan, lalu aku membaringkan tubuh di tempat tidurku untuk mengakhiri percakapan dengan Ana.
Sudah empat bulan aku berada di negeri Jiran ini, namun aku merasa jauh dengan Tuhan. Entah faktor apa yang membuatku seperti ini. Dulu aku sering menghafal Al Quran dan sholat sunnah. Namun sekarang susah, karena terbentur dengan waktu kerjaku yang dua belas jam dan hanya diberi istirahat sholat hanya lima belas menit.
Hingga aku memutuskan untuk penandatanganan kontrak ambil satu tahun kontrak bekerja (dipercepat). Sembari memikirkan matang-matang niatku itu, sembari kulipat mukenaku yang kukenakan tadi saat sholat subuh.
“Hiya, kamu mau ambil satu tahun?” Tanya Ika yang tengah memakai lotion pada tangannya.
“Iya, kira-kira boleh nggak, ya?” Tanyaku balik sembari memakai jilbabku.
“Kayaknya sih boleh, kemarin teman satu prosesku ada yang ambil satu tahun dipercepat. Coba deh kamu tanya-tanya sama dia.” Saran Ika yang telah menyelesaikan dandanannya.
“Namanya siapa?” Tanyaku.
“Mbak Zee. Tap...” Jawab Ika yang kemudian terputus. “Itu dia orangnya” Lanjut Ika sembari menunjuk ke tubuh mungil mbak Zee.
“Oke, thank you aa... Aku mau tanya sama dia dulu.” Izinku sembari beranjak dan segera menghampiri mbak Zee.
“Mbak Zee...” Panggilku berlari kecil mendekatinya yang sedang memakai bedak. Kulihat wajahnya yang bingung memandangiku.
“Mbak, aku Hiya temannya Ika. Kata Ika, mbak ambil kontrak satu tahun?” Tanyaku memastikan.
“Iya, benar. Kenapa ya?” Tanyanya balik.
“Caranya biar bisa kayak gitu gimana? Dan jika dipercepat didenda apa tidak?” Tanyaku.
“Oh, kamu tinggal datang ke HRD untuk bertemu dengan kak Lina, maka mintalah kepadanya untuk ambil kontrak satu tahun dipercepat. Nggak didenda kok.” Jelasnya.
“Oke deh. Makasih yaa” Jawabku seranya menyusul Ika yang telah keluar dari surau yang telah mulai memakai kasut alias sepatunya.
Saat rehat pertama pada jam sembilan, aku sengaja tidak kutandangkan langkah ke surau, namun kutandangkan langkah ini ke HRD untuk menemui kak Lina.
“Akak, saye nak minta balik awal.” Jelasku.
“Alasannya ape?” Tanya kak Lina.
“Nak jage ibu dekat rumah setelah abang kawin, karena dekat rumah ibu saye sendiri.” Jelasku berbohong, padahal ibuku saat ini masih bekerja di Kalimantan sebagai pekerja pabrik sepertiku.
“Memang umur berape ibu kamu?” Tanya kak Lina.
“Kelahiran 68.” Jelasku yang kemudian melirik kak Lina yangtengah mengetik pada komputernya dan menulis umur 68 tahun, bukan kelahiran 68. Hadeeeh... Ya kaga’ apa-apa deh, yang penting pulang.
“Nak balik bile?” Tanyanya menanyakaningin pulang kapan kepadaku.
“Nak balik bulan empat” Jawabku.
“Aaa, nak ambil satu tahun kontrak dipercepat ye?” Tanyanya.
“Ye.” Jawabku.
“Destiny mane?” Tanyanya menanyakan bandara mana yang aku pilih untuk pulang.
“Dekat semarang. Ahmad Yani Airport.” Jawabku.
“Okelah. Sudah akak save.” Jelasnya mengakhiri tugasnya.
“Terimakaseh, kak.” Sahutku sembari berlalu.
Setelah pulang dari HRD aku kembali ke proses untuk bekerja kembali. Aku segeramenghantarkan barang ke ruang pimpinan menggunakan troli, karena tergesa-gesa troliku menabrak troli manager berbaju hijau pada pertigaan lorong. Haduuh, aku takut banget sama yang namanya manager. Kata Emak, se-handsome apapun manager pasti galak.
“Sorry...” Kata manager asli orang Jepang itu. Tanpa kata-kata, aku langsung ngibriiit.
Saat aku kembali ke proses masih dengan troliku, aku bertemu dengan manager tadi, dia mencoba tersenyum padaku. Aku langsung menunduk, dan kabuuuuurrrrrrr. Namun, Apesnya lagi, saat sampai di pertigaan lagi, troliku berhadap-hadapan dengan trolinya dan terlihat bingung untuk mengambil janan. Di saat aku kekanan, dia ke kanan. Saat aku ke kiri, dia ke kiri. Hingga akhirnya dia diam sejenak untuk memberi laluan kepadaku.
Oh iya, hari ini aku mendapat kawan baru. Namanya, Ani, Asa, dan Eni. Mereka semuanya dari tanah Jawa, dan baru menjalalankan trining untuk tiga minggu kedepan dengan bimbinganku sebagai orang yang lebih lama untuk mengawasi kerja mereka.
Aku sering satu bagian dengan mereka saat mengerjakan produk. Saat ini, aku tengah memegang komputer bersama Asa dan Eni. Sedangkan Ani memegang microscop disebelah meja komputerku. Hingga time rehat para manager berdering, terlihat sekelompok Manager yang cukup terkenal ketampanannya. Mereka yaitu : Mr. Hiroyuki (Orang jepang dengan tatanan rambut diberi gel untuk berdiri, putih, tinggi, cool.), Mr. Rudolf (Orang inggris, tatanan rambut gel rapih seperti jambul, putih, tinggi, menly.), Mr Isao (Orang jepang dengan tatanan rambut cepak rapih tanpa gel, putih, pendek, memiliki lesung pipit, imut banget, namun wajahnya agak pucat.) Mr. Isao ini bisa bahasa Malelayu fasih bener, Mr. Cakradhar (Orang india dengan tatanan rambut biasa, hitam, tinggi, manis dilengkapi lesung pipit nya.)
“Hiya, lihat nooh... Pangeranku mau lalu...” Sahut Asa.
“Eh, gile lu, ndro. Yang kamu maksud Mr. Isao? Itu mah pacarnya Kak Hamnidah.” Jawabku.
“Yang bener? Kalo aku yang item manis ajah.” Sahut Eni.
“Aku nggak usah manager-manageran. office pun juga boleh. Tuh, Bang Nazril juga cakep.” Kata Ani yang memang sejak tiga hari yang lalu sudah jatuh hati dengan Bang Nazril.
“Emang kamu nggak ada yang nangkep di hati secuwil pun dari mereka?” Tanya Ani sembari melirik sekelompokmanager lewat, yang katanya terkenal ketampanannya.
“Nggak ah... Semua manager itu sama aja. Di depan kita aja baik. Tapi di belakang, dia orang menyuruh leader-leader untuk marahin kita. Yah, mereka baik cuma untuk pencitraan aja.” Jelasku yang memang sudah agak lama merasakan asam manis hidup disini.
“Ih, jangan terlalu negatif thinking dulu. Nant...” Jawab Asa yang tiba-tiba terputus karena tengah melihat seorang manager dengan mata tak berkedip. Sehingga,aku juga ikutan melihat manager itu, manager yang dulu pernah aku tabrak trolinya. Sejenak dunia di sekitarku hening, yang bergerak hanya langkah manager itu saja, seakan diiringi irama seriosa. Apakah ini yang namanya terpesona?
~Gubrak~
Anganku sontak pecah, kemudian menemui meja microscop Ani yang berantakan dengan produk yang berserakan. Tak lama, temanku Ika menghampiri dan menanyakan keadaan Ani.
“Kalian itu, gimana sih... Kalian berempat sekejap diam semua, seakan lupa daratan saat manager itu lewat. Ani juga jalan sambil ngelihatin itu manager, hingga produk ini nabrak meja dan berserakan. Untung manager itu sudah lewat, dan Emak lagi rehat. Lain kali hati-hati.” Jelas Ika kemudian kembali ke proses kerjanya. Kemudian, kami berempat pun saling beradu pandang satu sama lain. Tak lama selang itu, kami semua tertawa terbahak-bahak.
“Walah, saking terseponanya. Aku jalan bawa produk sampai nggak sadar hingga nabrak ini meja, huh..” Sambil memukul meja di depannya, kemudian melanjutkan merapihkan produknya lagi.
“Kata Ika, kami berempat tesepona sama ituh manager? Hahahahaha... Hiya termasuk doong?” Sahut Asa. “Beeeuuh,, katanaya mah kaga suka manager. Noh, sama manager gigi kelinci aja tersepona juga.” Tambah Asa.
“Ih, gitu-gitu kamu juga terpesona, Sa.” Celoteh Eni.
“Kalo aku kan wajar, kalo Hiya yang tersepona? Itu baru tidak wajar. Hahahaha.” Jawab Asa.
“Intinya, dia memang memiliki karisma.” Jawabku nggak munafik untuk menampik kata-kata Asa. Cukup singkat, padat, jelas dan berbobot.
“Bener juga tuh, Ya. Aku aja sampai aku nabrak meja. Padahal itu manager nggak cakep-cakep amat. Mana giginya kelinci pula. Cuma dapet tinggi, putih, dan karismanya aja.” Jelas Ani yang sependapat denganku.
“Sudah-sudah lanjut kerja.” Jawan Eni menengahi. Kemudian kami melanjutkan rutinitas kami kembali.
Pada suatu siang bell rehat kedua pada jam sebelas berbunyi untuk mendorong langkah kakiku ke suarau. Langkahkahku seketika berhenti saat mengetahui Febri tiba-tiba menghadang didepanku.
“Hiya, denger-denger kamu ambil kontrak satu tahun dipercepat ya?” Tanya Febri dengan kilau cahaya matanya yang riang.
“Iya.” Jawabku.
“Mau dong, mau.. Di denda nggak?” Tanyanya lagi.
“Kata temenku sih nggak didenda.” Jelasku.
“Tapi, kata temenku jika dipercepat itu didenda tau!” Sahutnya.
“Entahlah... Yang penting kata mbak Zee. Itu nggak didenda.” Jelasku.
“Beneran. Kata temenku didenda.” Kata Febri ngeyel.
“Coba deh tanya kak Lina ke HRD, jika kamu mau balik juga.” Jelasku seraya beranjak pergi karena keburu waktu rehatku habis.
“Sama kak Lina, ya?” Tanyanya memastikan.
“Iya..” Jelasku sembari menoleh kearahnya dan berlalu.
Hari-hari kulewati dengan memasak selama hari liburku dua hari yang sudah tiba in, yes akhir nya weekend juga. Hiasan sendau gurau dan tawaku dengan Ana sembari memasak siomai bersama menghiasi dapur rumah kami.
“Oiya, aku pernah lihat si Ika. Buat status di facebook. Katanya ‘Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi.’ Janga-jangan itu status buat kamu. Kamu kan mau ambil satu tahun kontrak kerja, mana di percepat lagi.” Jelas Ana.
“Masak, sih... Coba aku tengok di facebooknya, ya.” Jawabku yang mulai kecewa, karena hubungan persahabatanku dengan Ika sudah agak renggang semenjak ada Ana yang mendekatiku.
“Yee, nggak percaya. Sudah, tengok aja sonoh...” Celoteh Ana yang agak geram.
“Iya-iya... Aku percaya. Ya sudahlah.. Jika memang dia nggak menginginkan aku jadi kawannya, biar aku yang menjauh darinya. Toh, juga masih ada kamu yang mau jadi temenku.” Jawabku sembari tersenyum padanya. Kemudian Ana menepuk-nepuk pundakku seraya melampirkan senyum di bibirnya.
Hingga pada masa yang cukup lama. Entah kenapa Ana mulai menjauhiku, dan malah deket banget sama Ika. Kata Asa, dia sempat mendengar Ana menggosipin perihal aku dengan Ika. Sungguh tega... Aku sempat marah dengan Ana, namun menurut islam jika seseorang mendiamkan orang lain karena marah selama tiga hari, maka dia akan berdosa. Sehingga akhirnya aku berusaha menyesali perbuatanku yang telah meninggalkan Ika, dan mencoba mendekati mereka kembali.
Sehingga kami bertiga dekat lagi, namun aku sering nggak di anggap ketika merekaberbicara. Ketika masak, aku sering disuruh-suruh yang berat-berat oleh Ana, ketika piket Ana juga menyuruhku yang berat-berat. Dan Anehnya, Ika yang selama ini aku jauhi, dia tetap baik padaku, meski kadang dia nggak menganggap aku bicara, dan terkadang dia baik namun terkadang dia bersifat acuh.
“....... Hahaha,, Makanya pacar kamu tuh, sekali-kali di cuekin aja. Biar dia ngerasain kangen. Salah siapa kalo ada status sukanya sensi’an. GR amat kalo itu status buat dia. Kalo nggak gimana?” Potongan celoteh Ana ketika kami bertiga sedang kumpul di kamar Ika.
“Iya, tuh... Kayak. Hiya. Hiya juga seringnya sensi. Padahal kan statusku bukan buat kamu.” Kata Ika yang tanpa dosa berkata hal yang sempat sudah aku lupakan. Kemudian aku kembali berfikir. Jika Ika tahu kalau aku sempat kecewa dengan statusnya, padahal yang tahu soal itu kan hanya Ana. Ohh, ternyata Ana suka bermain api, ya... Terlihat Stereo mata Ana gelagapan dan mencoba santai. Namun terlihat sekali jika dia takut. Kemudian aku menatapnya dengan tatapan sabar penuh senyuman, walau sebenarnya di hati sangat sakit dan dongkol. Ternyata selama ini aku di adu domba dengan Ika.
“Iya, tuh.. Hiya padahal sudah aku ingatkan. ‘Mungkin itu bukan buat kamu, Ya.’ Tapi dia tetep nggak percaya.” Jawab Ana dengat mulut serigalanya. Padahal dulu Ana malah yang komporin aku untuk menjauhi Ika. Jujur, saat itu aku ingin menampar Ana. Namun, Katanya jika marah yang datang hanyalah setan-setan jahat, dan jika sabar yang datang adalah malaikat Allah. Aku segera meredam amarahku dengan senyum. Dan berusaha baik dengan mereka, namun tidak ingin ikut campur urusan mereka terlalu dalam. Biarlah Ika di ambil sana oleh Ana, aku ikhlas.
Bulan demi bulan ku lalui denga kesendirian, teman-teman yang sok akrab memang kumiliki banyak sekali, namun tak ada satupun dari mereka yang dekat dan tulus denganku. Semuanya memakai topeng. Aku tahu itu, semuanya hampir sama. Dari di gosipin kakak ku menghamili pacarnya, hingga di gosipin aku sendiri yang hamil, dan digosipin sifatku kayak anak kecil, semua ada padaku. Anehnya, dunia akhir zaman ini. Orang jujur di anggap pengkhianat, sebaliknya orang yang pengkhianat dianggap jujur. Mungkinkah ini tanda-tanda kiamat sudah dekat? Entahlah...
Hingga pada suatu masa, satu bulan menjelang kepulanganku. Aku bertandang ke HRD untuk menanyakan biaya dan akomodasi kepulanganku. Ternyata, jika pulang tidak satu tahun pas itu akan didenda, ternyata aku dikibulin mbak Zee, dan selama ini Febri yang aku acuhkan malah benar. Aku tidak di izinkan untuk pulang kontrak satu tahun dipercepat.
Akhirnya aku mengundur kepulanganku. Aku meninggalkan ruang HRD menuju ke loker bajuku untuk menelfon ibuku dan mengumumkan penundaan kepulanganku. Sungguh, aku merasa ingin cepat pulang. Aku nggak tahan dengan sikap Ana, Ika, dan Ani yang selalu menyindir aku dan idealisku yang selalu menjurus ke Al Qur’an. Aku nggak tahan dengan orang-orang yang sirik denganku yang dekat dengan leader, aku juga nggak tahan dengan mbak Ita yang selalu mengajakku berdebat dengan idealisnya.
Mbak Ita memang terkenal profesional dalam bekerja, dia dianggap seorang yang di pintarkan dalam bekerja. Namun, karena sifat baiknya itu, dia selalu menyalahkan aku dan idealisku. Semua yang ku lakukan dimatanya selalu salah. Bahkan kalam Al Qur’an pun disalahkannya dan mengajakku untuk memperdebatkan hal itu. mbak Ita dengan kepintarannya membuatnya lupa diriyang hanya sebagai makhluk Tuhan, yang malah dengan logika kesombongannya membantah Al Quran. Hingga aku terdiam saat di ajak dia berdebat dan memilih menghargai pendapatnya dan DIAM. Semoga mbak Ita mendapat kan hidayah. Amiiin...
Aku menelfon ibuku dengan desahan tangis, cucuran air mata yang meleleh membasahi suaraku yang parau. Tenggorokanku hingga sulit untuk berkata lagi. Ibuku hanya menyarankanku untuk bersabar. Padahal kakakku menikah disaat bulan yang ku janjikan, bulan saat aku pulang. Namun kepulanganku di undur masih lama lagi. Sehingga nggak mungkin untuk mengundur lagi, apalagi undangan sudah tersebar. Katanya, Allah bersamaorang-orang yang bersabar, yasudah aku mencoba sabar aja.
“Ibu, ma-maafkan, Hiya.” Jelasku dengan sesenggukan.
“Kamu kenapa, Nak?” Jawab ibuku dalam telfon.
“Ibu, ternyata jika pulangnya satu tahun dipercepan akan kena denda 4000 ringgit” Jelasku.
“Lalu, bagaimana kamu membayarnya?” Jawab ibuku yang mulai panik.
“Akhirnya Kak Leni orang HRD menyarankan untuk mengundur kepulanganku agar tepat saatu tahun.” Jelasku.
“Berarti kamu nggak bisa ikut seserahan saat pernikahan kakak kamu dong?” Tanya ibuku.
“Iya, Bu. Misal di undur lagi apakah mereka setuju?” Tanyaku memohon.
“Ya, kamu tahu sendiri, kan sudah terlanjur sebar undangan. Sudah nggak apa-apa, di betah-betahin dulu.” Jelas ibuku mengingatkan.
“Tapi Hiya nggak betah. Pokoknya Hiya pingin pulang, Bu.. Hiya pingin pulang sekarang.” Rengekku sambil menangis.
“Sabar, aja. Allah bersama orang-orang yang sabar, Hiya.” Jelas ibuku mengingatkan. Kemudian aku akhiri pembicaraan dan segera masuk ke proses sembari menyeka air mataku.
Sesampainya di proses tiba-tiba ada meeting, aku yang datang terlambat segera berhambur kesana. kak Sita selaku leader kami yang awalnya berwajah serius, melihat kedatanganku malah meetingsembari melawak.
“Sudah saye cakap, jika nak rehat tu gilir-gilir, ye! Jika satu proses rehat semua,saat shift malam tak pe. Lha ini shift pagi, manager pandang!” Jelas kak Sita dengan wajah garang, yang belum menyadari kehadiranku. Setelah aku datang dia memandaangku penuh tanda tanya.
“Hiya, lepas dari mane?” Tanya kak Sita.
“Lepas dipanggil kak Lina untuk ke HRD kak, saya tadi belum sempat rehat.” Jelasku.
“Yelah... Akak tahu, dan tak nak marah kamu.” Jelasnya sembari mengangkat celananya yang sebenearnya nggak melorot. Namun, sesekali dia menaik-naikkan celana saat melihatku. Hingga kami satu proses yang awalnya tegang, kini cair karena ulah kak Sita yang konyol. Akhirnya kami pun tertawa cekikikan. Setelah meeting usai, kak Sita mendekat padaku “Nah macem tu je, senyum! Oke.” Bisik kak Sita. Mataku yang awalnya nanar kini mulai bersinar kembali.
Minggu demi minggu kulalui dengan mendekati Tuhan terus, terus, dan teus. Hingga kudapatkan ketenangan dan khusyukan dalam hati. Semua masalah kini terasa mudah, semua yang terjadi selalu aku kaitkan dengan takdir Tuhan yang harus kusyukuri, maka nggak ada yang aku sesali selama ini.
Karunia Tuhan datang saat tempat kerjaku dipindah dan dekat dengan mbak yang baik, namanya mbak Yani. Dia terkenal denga kecomelannya alias wajah imutnya yang baby face. Kata emak Sita selaku leader tertua bilang gini “Sedapnyee,,, Dekat sini emak tengok anak dare yang satu lawak, yang satu comel.” Sembari geleng-geleng kepala memandang kami berdua. Oh iya, artinya “Senangnya, disini emak bisa melihat anak gadis yang satu cantik, dan yang satu imut.”
Aku dipindahkan ke proses yang memegang microscop bersama mbak Yani. Sehingga aku nggak terlalu memakan hati untuk menghadapi Ana, Ika, dan Ani.Yang kini Ika dan Ani sudah termakan mulut Ana untuk menjauhiku. Malah aku dekat dengan mbak Yani, seorang yang menjadi idola Ana. Ana sering mencoba mendekati mbak Yani untuk jalan dan shopping bersama Ana, namun sering ditolak oleh mbak Yani. Sungguh, bukan maksudku untuk memanas-manasi hati Ana disaat aku jalan bareng dengan mbak Yani. Namun, memang mbak Yani yang mengajakku sendiri, dan kebetulan aku memang lagi nggak ada acara.
Sempat aku berfikir nggak akan pernah menyukai atau jatuh cinta dengan orang selain tunanganku selama di Malayasia. Namun takdir mengatakan lain. Aku putus dengan tunanganku yang tengah bekerja di tanah air sebagai staff di sekolah mengengah. Memang sempat terjadi pertengkaran hebat antara kami. Izar namanya, si penkhianat yang selingkuh dengan sahabatku sendiri yaitu Dwi. Aku nggak akan marah dengan Dwi, karena aku yakin Dwi sahabatku di Indonesia yang nggak akan pernah neko-neko. Memang Izarnya aja yang kegatelan. Entahlah, aku nggak akan bahas mereka lagi.
~Tut... Tut... Tut...~
“Assalamu’alaikum.” Sapaku pada Izar dalam telfon.
“Wa’alaikum salam.” Jawabnya.
“Apa maksud dari foto pada FB Dwi yang ditandai ke dirimu, ha?” Tanyaku dengan nada tajam.
“Itu semua nggak seperti yang kamu anggap.” Jelasnya.
“Sekarang jika sebuah foto di air terjun hanya dua orang yang bukan mukhrim, aku harus beranggapan apa?” Tanyaku sinis dan lirih.
“Memang dua orang, namun kita nggak ngapa-ngapain.” Jelasnya.
“Sekarang kamu fikir baik-baik! Jika dua orang laki-laki dan perempuan bepergian jauh, di tempat air terjun, sepi maka meskipun kalian nggak ngapa-ngapain tapi pasti ada rasa nafsu dalam diri kalian meski secuil! Ya, kan! Lalu, saat kamu pergi dengan Dwi apakah kamumengingatku?” Jelasku.
“Tentu hanya kamu! Nggak ada yang lain.” Jelasnya.
“Jika kamu mengingatku, saat itu tentunya kamu nggak akan jalan dengan Dwi tanpa ada keperluan lain kecuali dating atau lebih! Aku nggak bego’, Zar.” Kataku.
“Lalu, kamu ingin apa?” Tanyanya.
“Aku mau kamu bebaskan aku dari khitbahmu! Aku nggak akan mendekat pada orang-orang kafir yang telah mendekati zina!” Desakku tajam.
“Oh, menurut kamu aku sudah kafir gitu? Oke kita sekarang kita nggak ada hubungan apa-apa!” Jelasnya.
~Tut.. Tut.. Tut..~ Tiba-tiba telfonku terputus. Menyadari aku telah kehilangan seseorang yang pernah mengisi hari-hariku yang kini telah berubah dan pergi. Ku sadari air mataku mulai meleleh, namun segera aku usap untuk melakukan hal lain yang lebih manfaat.
Dulu Izar nggak pernah berkata kasar, dia sosok yang alim lagi sholeh, dia nggak pernah menyentuhku meski dia telah resmi menjadi tunanganku. Dulu dia selalu melindungiku dari lelaki yang menggodaku, selalu lembut padaku, selalu berbuat baik dan sopan kepada siapa pun, tidak pernah pergi berduaan selain dengan mahramnya. Entah mengapa dia kini berubah seratus delapan puluh derajat hingga dia selingkuh dan kami memutuskan untuk berpisah.
Tiga bulan lagi, akhirnya aku pulang ketanah air. Disaat aku mulai betah hidup di negeri Jiran ini. Aku telah menemukan Asa yang juga sering baik padaku, dan mbak Yani yang selalu ada menemaniku. Serta Allah yang selalu dekat denganku, kini telah kutemukan kedamaian sejati meski berada di negeri orang. Alhamdulillah.
Deringan bel istirahat khusus buruh sepertiku berbuyi, kami yang merasa buruh berbondong-bondong pergi ke kantin. Untuk pergi ke kantin, aku dan Asa harus menapaki tangga sebanyak tiga lantai. Sembari bersendau gurau, saat di lantai dua, aku tersenyum karena lelucon Asa, kemudian aku menolehkan wajahku ke bawah lantai satu, tepat pada manager yang memiliki gigi kelinci yang ternyata tengah melihat kearahku, dia pun tersenyum kepadaku. Kemudian aku buang muka, dan segera menyusul Asa. Setibanya di kantin, Aku melihat ke cermin dekat washtuffel. Wajahku mirip kepiting rebus. Kenapa aku jadi begini? Ayooo laah, back to normal person again. Lalu aku di tarik Asa untuk segera ambil makanan di kanti.
“Kamu kenapa sih?” Tanya Asa setelah di meja makan kemudian menyantap hidangannya.
“Nggak kenapa-kenapa, kok.” Jawabku singkat dan kemudian menyantap makanan yang telah aku bayar dekat kasir tadi.
Shift pagi pun telah berlalu, dan berganti shift malam. Setelah ashar, aku menaiki bus pekerja bersama teman-teman. Kata saling sapa berlalu lalang di telingaku, sebersit senyum terlontar untuk membalas keramahan mereka yang menyapaku. Sesampainya di pabrik, aku membeli bakwan udang kesukaanku. Kemudian aku lahap pada bawah pohon yang rindang bersama Asa. Menganpa nggak bersama dengan mbak Yani, karena aku beda hostel dengannya.
Saat aku makan bakwan, deruman mobil klasik era 80-an yang di modivikasi menambah kecomelannya dan melalui kami. Kulihat didalam mobil itu singgahlah Manager gigi kelinci. “Oh, jadi itu mobilnya.” Batinku. Sembari menyunggingkan senyum, entah mengapa aku tersenyum.
Akhir-akhir ini banyak number Malay yang misscall, namun seringnya nggak aku angkat. Takutnya, kalau penipuan. Kalau sms sih masih aman. Kalau telfon kan bisa aja dihipnotis via call. Walau begitu, kasus macam itu di Indonesia pernah terjadi, lhoooh. Makanya aku hati-hati banget jika soal nomor asing call.
Namun kali ini aku mulai sadar salah satu yang sering misscall adalah Abang berkacamata itu, aku nggak tahu namanya siapa. Dia anak proses lain, tapi aku sering melihatnya selalu ada pada tempat aku berada dan sering mencuri pandang ke arahku, terutama saat di kantin ( -_- ) . Kata mbak Yani, aku cocok sama dia, soalnya dia pendiem dan cool mirip gayaku banget, memang iya sih. Tapi tapi tapi.... Lagi-lagi kata mbakYani dia cakep, tinggi, puti, mancung, wajah asia punya, tapi tapi tapi... Entahlah... Belum tertarik.
Malah aku dekatnya dengan bang Niki orang Office Expor, karena Emak sering menyuruhku ke ruangan bang Niki untuk menyerahkan produk yang siap ekspor. Dia orang Chinesse yang bermukim di Malaysia. Tinggi, putih, mancung, sipit, handsome, pakai kacamata sih, tapi dulu waktu pertama kali aku sempat ngefans dengan bang Niki. Eh, malah akhirnya sering ketemu.
Dulu aku sempat melakukan hal konyol, saat nggak menyadari keberadaannya di hadapanku. Dan anehnya, dia tetap stay cool. Suatu waktu, aku pernah menengok kanan kiri ruangan Expor. Kusadari disana nggak ada orang dan sepi, makanya aku membebahi BH ku yang talinya melorot. Saat sedang khusyuk membenahi BH, tiba-tiba bang Niki di depanku. Aduuuh... Malunya... Dengan sigap aku langsung menjauhkan tangan dari daerah pegununganku, dan pura-pura membeahi kerudung.
“Hehe, bang Niki belum pulang, ke?” Tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya.
“Oh, eh. Iya, belum lagi.” Jawabnya terbata.
“Ini, prodak tanggal besok, Bang. Urgent.” Tambahku yang mulai fokus kembali pada produkku.
“Oh, iya.” Jawabnya menunduk dan mulai membantuku memindahkan barang dari troli ke mejanya.
Jika keinget kejadian itu, sempet pingin nutupin muka, beneran deh... Oh iya, satu lagi, ketika aku menjatuhkan produkku dari troli sehingga berantakan karena tanjakan dekat meja bang Niki, bang Niki pura-pura nggak tahu saat itu. Untung aja dia pura-pura nggak tahu, soalnya jika dia membantuku, maka akan ketara sekali jika aku melakukan kesalahan, di saat ada manager. Dan pasti aku sudah kena semprot manager, jika sampai tahu. Untuk bang Niki nutup-nutupin dengan badannya dan ngajak manager itu berbicara terus hingga aku selesai merapihkan kembali produkku.
Sekonyol apapun diriku bang Niki tetap baik padaku, hehe... Sempat aku dimarahi Emak gara-gara mesin tetap menyala saat ku tinggal berbincang dengan bang Niki, sehingga yang keluar adalah produk yang salah. Lagi-lagi bang Niki pura-pura nggak tahu, saat aku melakukan kesalahan hingga dimarahin Emak pun dia pura-pura pergi. Sempat saat aku packing dia mencuri pandanganku, sehingga pandangan kami bertemu agak lama. Namun tidak ada perasaan aneh-aneh dalam benakku terhadap bang Niki. Meski dulu aku sempat ngefans sama dia.
Aku sering melihat bang Niki mencuri pandanganku, yaitu saat aku packing, saat aku di meja microscop dengan wajah mengantuk, saat aku usai dari HRD dia menatapku dari jauh, dengan tatapan dalam banget, saat aku masuk ke surau, dan masih banyak lagi.
Oiya, hari ini aku packing lagi. Aku melihat ada manager baru dari jepang. Meja kerjanya di depanku saat packing. Dia biasa aja, cungkring malah. Tiba-tiba manager gigi kelinci lewat di depanku sembari menguap lebar. Kutengok jam, yang mengayun hampir pukul sepuluh. Gile, itu manager telat.
Hari ini manager gigi kelinci sering melihat ke arahku, namun aku selalu menunduk. Jujur, dihati rasanya seperti ditaburi bunga, namun aku belum tahu kejelasan statusnya, apalagi kalung salip kinclongnya sangat cetar gede’ banget, yang membuatku ragu padanya.
Kini gantian aku yang melewati tempat manager gigi kelinci bekerja, namun tiba-tiba ~Jedeeer~ manager itu membanting laptopnya keras-keras di depanku. Karena aku merasa nggak salah, aku lewat aja dengan santai. Setelah produkku ku pindahke bagian pe labelan, aku kembali melewati meja kerjanya. Kini kulihat dia tengah marah-marah dengan seorang leader. “Kenapa determinannya tidak sama?” Tanyan manager itu pada seorang leader proses lain. Oooh, ternyata itu manager bisa bahasa Melayu.
Dering bel pulang pun berbunyi. Kemudian kami semua satu pabrik latihan pemadam kebakaran. Kulihat manager gigi kelinci itu melalui sekerumunan proses kami. Ternyata banyak teman-temanku yang tepesona. Memang bener, jika orang memiliki ‘kharisma’ sejelek apapun dia maka akan terlihat sedap dipandang.
Hari selanjutnya kau memegang microscop, aku sebelahnya mbak Yani lagi yeeey... Pasti seru abis deh, sayangnya ini shift siang dan ada manager sehingga nggak bisa seru-seruan bareng, karena memang nggak boleh gaduh. Namun pada pertengahan hari, tempatku dipindah pada meja sebelahnya kak Sharif, seorang keturunan Melayu tulen.
“Akak, manager yang barusan lewat tadi sape?” Tanyaku sembari melihat manager gigi kelinci.
“Sape, dik?” Tanya kak Sharif yang tidak memperhatikan orang yang aku lihat tadi.
“Manager yang hari-hari pakai kalung salip itu lhoh..” Jelasku.
“Oh, Yama?” Jawabnya.
“Orang jepun ya, Kak.” Tanyaku.
“Iyelah... Kenape?” Jawab Kak Sharif.
“Pantas je. Mukanya boros. Macem bapak-bapak.” Jelasku.
“Oh, melum nikah lagi lah tu..” Jelasnya.
“Dia orang masih singel lagi?” Tanyaku meyakinkan.
“Yelah... Kenape adik tanya macem tu? Aaa, pasti ada hubungan yee?” Desak kak Sharif.
“Mana ade! Tak lame putus dengan pakwe, masak iya sudah ganti baru. Waniii yoo...” Celetukku. Ohiya pakwe itu artinya pacar laki-laki.
“Oh, macam tu... Akak fikir, Hiya masih belum lagi. Kelihatan masa periode saje belum nampak. Hahaha.” Ejek kak Sharif. Periode itu masa puber alias menstruasi.
“Huh...” Jawabku sembari menyemberutkan mulutku dan kembali bekerja. Memang susah ya, kalo puca wajah baby face. Hihihi...
Belum lama percakapanku dengan kak Sharif berakhir, tiba-tiba seorang yang baru di gosipin kakinya nampak, dan akan melalui kami. Aku segera buang pandangan ke alat pemutar yang berlubang. Pada detik yang sama, Mr. Yama juga melihat lubang tempat aku membuang pandangan. Akirnya tatapan kami bertemu, sempat teasa seperti kesetrum dan susah untuk membuang pandangan lagi dari tatapannya yang tajam itu. Seluruh tubuhku gemetar hingga masuk kedalam degup jantungku yang juga ikutan gemetar. Hingga kak Sharif berdehem, barulah aku bisa mengendalikan mataku lagi yang seharusnya nggak ku arahkan padanya.
Seharusnya aku sadar, dia kaya sedangkan aku miskin. Dia manager sedangkan aku hanya operator, kiblatnya selatan sedangkan kiblatku ka’bah yang berlawanan dari kiblatnya. Sungguh, aku harus sadar diri. Mungkin dia hanya ingin ramah dengan bawahan saja saat dia menatapku.
Hari selanjutnya, aku ke ruang HRD untuk penandatanganan dan penyerahan passpor, karena dua bulan lagi aku terbang. Setelah dari HRD aku berjalan melauli lorong yang sepi, agar tidak ditanya teman-teman yang kepo. Namun di tengah-tengah perjalanan aku bertemu bang Niki tengah menatap ke arahku.
“Bang Niki?” Sapaku gemetar karena aku tahu, tatapannya dalam banget dan menyimpan rahasia beribu didalam hatinya.
“Eh, Hiya.” Jawabnya sembari melepas tatapannya.
“Abang, katanya abang minggu depan nak resign, ya?” Tanyaku lirih.
“Ehm, iye. Awak dah tahulah? Awak juga nak balik awal kan?” Jawabnya. Kemudian aku mengangguk, entah mengapa tak ada rasa senang sedikitpun terbesit dalam hati ketika kami sama-sama mengaku akan resign, walau pada waktu yang berbeda.Kemudian kami terpisah berlawanan arah dengan langkah yang gontai.
Saat aku bekerja, yang biasanya di sebelahku mbak Yani, kini dia nggak masuk karena sakit. Hingga pada pertengahan hari salah satu manager yang terkenal ketampanannya menyudikan diri untuk duduk di sebelahku.
“Can you speak english?” Tanya Mr. Hiroyuki mengejutkanku dan teman-teman kerjaku. Hingga teman-temanku menatapku iri. Karena Mr. Hiroyuki jarang berkomunikasi selain hanya dengan para atasan saja.
“Yes.” Jawabku tegas.
“Give me your produck. I wanna check it.” Pinta Mr. Hiroyuki.
“Sure.” Sembari meberikan produkku untuk dicek olehnya. Tugas yang seharusnya dilakukan mbak Yani digantikan oleh Mr. Hiroyuki. Kemudian kami pun berbincang-bincang diluar urusaan pekerjaan. Ternyata Mr. Hiroyuki ramah, dia bahkan mengajakku dinner berdua. Namun, aku menolak karena seramah apapun orang, aku harus tetap hati-hati. Teman-teman yang hanya memandang iri hanya membanting-banting produk agar mendapat perhatian Mr. Hiroyuki.
Pada saat rehat, aku meninggalkan Mr Hiroyuki sendiri dan meminta diri untuk rehat kemudian dia mengiyakan. Seperti hari-hari, jika istirahat pertama aku sering ke surau untuk sholat dhuha. Saat dalam perjalanan aku berpapasan dengan Mr. Yama. Namun, aku segera menunduk ke bawah. Kemudian aku ambil whudu di kamar mandi yang terpisah dengan surau, lalu kembali ke surau lagi. Saat kembal ke surau, aku berpapasan dengan Mr. Yama lagi. Mr. Yama yang awalnya berkata “Ada, ada...” Namun sontak diam, dan melihat diriku dari unjung kakiku hingga tatapan kami bertemu. Kemudian aku menunduk, namun baru kali ini aku merasakan membuat orang terpesona denganku.
Meski aku nggak pernah pakai make up, meski aku tertutup kerudung, meski nggak pernah pakai minyak wangi, entah mengapa banyak yang mengejar-ngejarku. Darimulai operator yaitu bang yang pakai kacamata, lalu office macam bang Niki, supervisor seperti bang Asraf, hingga manager seperti Mr. Hiroyuki yang mengajakku diner, dan manager baru dari Jepang yang sering mengedipkan mata padaku. Aneh ya? Padahal aku cuma gadis desa. Alhamdulillah, tak jarang sih, banyak orang yang memujiku lawak lah, comel lah, manis lah, mirip blasteran arab dan korea lah, entah lah... Yang ada dihatiku hanya rasa syukur karena dikaruniai paras yang sempurna, dan semoga akhlak serta iman ku juga ikut disempurnakan oleh Tuhan.
Selepas sholat, kutemui meja mbak Yani sudah kosong lagi. Nampaknya Mr. Hiroyuki sudah pergi. Kemudian aku melanjutkan pekerjaanku. Kulihat banyak orang yang rehat, dan Emak masih meeting. Tiba-tiba Mr. Yama sembari menelfon mendekatiku, kemudian kembali ke menjauh. Huh, dasar! Bikin deg-degan aja. Kemudian Mr. Yama kembali mendekat padaku lagi. Kini dia tepat dibelakangku sembari bertelfon ria dengan gagetnya. “Ehem.” Seraya kak Sharif melirikku, namun aku tetap diam dan stay cool. Lama kelamaan, aku nggak tahan berada di dekat Mr. Yama, sampai-sampai aku kebelet pipis. Akhir kata, aku meninggalkan Mr. Yama untuk ke tandas, alias toilet.
Setelah buang air, tiba-tiba HP ku berdering. Hah? Nomor Malay, nih. Siapa ya? Kok telfon disaat jam operator macam aku tengah kerja. Namun ini kan jam rehat manager. Masak iya, yang misscall manager? Sejenak Hp ku berhenti berdering, kemudian disusul sebuah sms à “Please, call me back.” Namun nggak aku call, takut kalau penipuan.
Saat aku kembali ke tempat kerjaku, kutemui Mr Yama duduk disebelah mejaku, yaitu tepat di meja mbak Yani. Kemudian Mr. Yama mengambil gagetnya dan menelfon seseorang dengan dengungan loudspeaker yang dinyalakan. Tiba-tiba HP disakuku bergetar, namun aku pura-pura tidak tahu dan melanjutkan bekerja. Ketika dengunan loadspeaker berhenti saat Mr. Yama mematikan telfonnya, tiba-tiba getaran HP kujuga ikut berhenti. Kemudian dia pergi menemui leaderku yang telah datang dari selesai meeting. Haduuuh, masak iya sih.. Tadi yang call dia. Huh... Panas dingin.
Lagi-lagi manager baru yang ternyata namanya adalah Akihiro. Lagi-lagi dia melaluiku dan menjatuhkan selembar kertas yang isi nya gambar love -_- . Hedeeh....
Hari ini adalah hari akhir masuk shif pagi, dan besok aku libur dua hari... yeeey... Namun, hari ini adalah hari perpisahan bang Niki L . Kulihat orang-orang di bagiannya berfoto ria dengan bang Niki.Sedangkan aku hanya melihatnya dari kejauhan. Sedih juga sih, jika ingat kebaikan bang Niki. Kemudian bang Niki ke tandas alias ke toilet, aku mencoba menyusul bang Niki untuk ke toilet. Segera aku menyusul bang Niki dan menunggunya di depan toilet pria. Ketika kutunggu, yang keluar malah manager gigi kelinci. Aaaa... ada Mr. Yama, kabuuur.
Ketika Mr. Yama menyadari aku dihadapannya, aku segera berpura-pura menata krudungku dan sok polos, dan pura-pura bingung. Aku bergeming lirih “ Oh, ternyata tandas laki-laki. Wah, saye keliru. Nah, yang ini tandas perempuan.” Lalu segera melarikan diri. Huf huf huf... Nafasku kembang kempis. Sungguh grogi banget. Aduuuh, kenapa bisa dia yang keluar, bukan bang Niki.
Setelah langkah Mr. Yama menjauh, aku segera keluar dari toilet dan kembali ke tempat proses, karena gagal untuk menemui bangNiki. Setelah berada di lorong perjalanan ke prose, tiba-tiba tanganku ditarik oleh tangan kekar dari arah belakangku.
“Ape bende?” Tanyakku marah. Karena berani-beraninya menyentuhku. Seumur-umur aku belum pernah disentuh oleh laki-laki.
“Uhm, sorry.” Jawab seorang lelaki yang kutemui saat itu adalah bang Niki.
“Oh, bang Niki? Ade masalah ape?” Tanyaku normal kembali.
“Awak tak nak berfoto dengan abang? Hari ini abang kan last kerje.” Jawabnya terbata dan agak gugup.
“Tentulah bang.” Jawabku sembari kusunggingkan senyum. Aji mumpung lah. Awalnya tadi yang mau ngajak foto kan aku, hingga ku kejar sampai depan toilet laki-laki. Eh, malah belum dimintai foto, bang Niki udah minta kepadaku sendiri. Hihihih... Kemudian kami berfoto ria. Walau bang Niki sedikit canggung, namun aku berusaha meluweskannya.
“Foto ekspresi konyol, jom.” Sahutku. Kemudian kami berselfi dengan mengeluarkan ekspresi jelek. Kemudian aku menjabatkan tanganku.
“Selamat, semoga sukses di luar sana.” Kataku, kemudian dia membalas jabatan tanganku.
“Terimakasih, Ya. Lepas ni abang nak lanjut study biar bisa jadi manager. Hehehe...” Jawabnya yang sudah nggak canggung lagi.
“Amiiin... Semoga diterima pada Univ yang abang nak. Oke.” Sahutku sembari mengedipkan mata dan meninggalkannya untuk segera kembali ke proses.
Akhirnya weekend juga... Hihi... Selama weekend aku mencoba rehat ajah, kemarin aku di ajak mbak Yani jalan, namun aku menolak karena capek banget. Denger kabar dari keluarga, bahwa istri mas Kiki yaitu mbak Shifa, akhirnya hamil juga setelah 5 bulan menikah. Awalnya mereka khawatir susah memiliki anak, karena tubuh mbak Shifa yang mungil dan memiliki pinggul yang kecil. Namun, karunia Allah memang luar biasa.
Walau aku nggak hadir dalam upacara pernikahannya, namun aku tetep seneng mereka menikah. Walau awalnya ibuku nggak suka dengan mbak Shifa, namun aku segera memberi masukan positif kepada ibu agar mau menerima pernikahan mereka. Dan akhirnya ibuku luluh juga. Setelah pernikahan berlangsung, barulah ibuku memberi tahuku bahwa dana untuk pernikahan kakakku adalah tabunganku selama bekerja disini. Ludes! Nggak ada yang tersisa. Walau sempat terjadi pertengkaran antara aku, ibu, dan kakakku, namun ya sudahlah.
Awalnya memang bertengkar hingga ber bulan-bulan. Akhirnya aku ikhlasin juga, dengan syarat, setelah pulang nanti menjanjikan biaya pendidikan ke Universitas. Kemudian mereka mengiyakan.
Hari kedua weekend ku, tiba-tiba aku di ajak Ika jalan-jalan. Akhirnya, aku iyakan aja. Itung-itung memperbaiki hubunganku dengan Ika lagi. Awal perjalanan, kami naik bus ke chowkit untuk makan mie ayam khas jawa, agar mengobati rasa kangen.
Selepas itu kami naik LRT, yaitu kereta yang relnya tinggi ngambang di atas jalan raya, seperti jalan tol tinggi relnya.Setelah itu kami ke KLCC hingga malam hari. Kami ber selfi ria. Dan saat sholat maghrib dan Isya datang, kami sholat pada lantai dasar KLCC. Setelah sholat, kami kembali ke water park untuk melihat pertunjukan air mancur yang di hiasi kilauan lampu warn-warni dan iringan musik.
Sesampainya dirumah tiba-tiba “Happy birthday, Fahiya Abidah.” Seru teman-temnku. Ya Allah... Astagfirullah, sesungguhnya aku takut dengan yang seperti ini. Aku nggak suka ulang tahunku dirayakan, aku takut menyamai kaum kafir, namun jika seperti ini? Jujur, jika aku tolak, sungguh dapat mengecewakan teman-temanku. Akhirnya, aku tetap berterimakasih dan menerima hadiah dan sambutan mereka, namun niat didalam hatiku hanya untuk menerima sodaqoh dari mereka bukan untuk merayakan ulang tahun. Sungguh aku takut kepada Allah. Dan terimakasih atas sodaqahnya Ika, Ana, Feni, dan Umi.
Selanjutnya aku masuk shift malam, lalu akan tiba shift siang pada minggu depan yang sudah mulai bulan Romadhon, yey...Seneng deh... Disaat aku hampir pulang, aku telah merasa betah disini. Adapun mbak Yani yang sempet menyarankan untuk melanjutkan kontrak dan membatalkan pulang. Namun aku menolak karena aku sudah janji kepada ibuku untuk pulang sebelum Syawal.
Selepas pulang dari shift malam kulihat jam tanganku yang sudah menunjuk pada pukul tujuh pagi. Aku segera mandi dan bersiap untuk tidur, belum sempat aku membaringkan tubuhku tiba-tiba Hpku berdering.
“Halo, ada apa, Bu? Hiya baru ingin tidur. Semalam tia shift malah.” Jelasku dengan merebahkan tubuhku sembari mengatupkan mataku yang tinggal lima watt.
“Eiiit, jangan tidur dulu. Ini, ada orang tua Ridho melamarmu.” Jelas Ibu. Bagaikan diguyur air satu ember, aku segera bangun dan mataku mulai cetar lagi.
“Apa?” Tanyaku memastikan. “Yang bener?” Lanjutku sembari merebahkan tubuhku lagi.
“Kasih Hiya waktu satu minggu untuk mengenal mas Ridho. Tolong nanti kirim nomor mas Ridho biar, nanti Hiya yang call.” Jelaskyang kemudian lupa daratan alias sudah molor.
Selama satu minggu aku berkenalan dengan mas Ridho, tak ada satu bersit pun rasa kepada mas Rido. Anehya, malah hatiku selalu terpaut paga sang pemilik kalung salib yang cetar itu alias Mr. Yama. Disaat bertelfona ndengan mas Ridho yang ada di dalam bayanganku saat itu malah Mr. Yama. Serba Mr. Yama, Yama, Yama dan Yama. Aku pun nggak tahu, apakah aku telah jatuh hati pada orang yang jelas-jelas kiblatnya berlawanan? Huft... Berkali-kali aku menyeka keningku. Sesekali aku menutup mukaku untuk berfikir dan menela’ah apa yang telah kurasakan ini.
“Mas, maaf ya. Mungkin ini pertanyaan terakhirku. Jika selepas menikah nanti, apakah Mas juga akan kembali ke Korea untu bekerja lagi.”Tanyaku dalam telefon.
“Nggak, Dik. Mas ingin hidup sederhana. Uang selepas dari Korea akan mas kumpulkan untuk membeli rumah dan sawah. Nah, nanti biar Mas yang bertani, dan adik dirumah jaga anak-anak.” Jelasnya.
“Oh, gitu.” Jawabku manggut-manggut untuk mempertimbangkan, namun meskipun aku terlahir dari keluarga sederhana, aku nggak perna yang namanya memegang pekerjaan sawah.
Meskipun mas Ridho menyuruhku untuk tidak membantunya dan hanya mengasuh anak-anak, nggak mungkinlah! Karena, aku orangnya nggak tahan jika ada orang bekerja sedangkan aku diam. Paling nggak, aku harus ikut bantu meski ringan. Sedangkan aku nggak penah kenal dengan yang namanya sawah, haduh apa lagi lumpur pada sawah yang banyak dengan hewan dan serangga menjijikkan.
“Ehm.... Mas, jika aku meminta mas untuk hafal Al Quran sebagai mahar. Mas sanggup, nggak?” Pintaku untuk memberatkkannya, agar dia membatalkan khitbahnya.
“Ehm, kalau itu.............. Maaf, dek. Baca Al Qur’an saja jarang. Terutama disini sedikit waktu rehatnya.” Jelas Ridho.
“Tapi, aku menginginkan itu sebagai maharku.” Jelasku.
“Baiklah, jika itu mau kamu. Maka mohon maaf, Mas nggak sanggup.” Jelasnya.
“”Oh, begitu. Baiklah, kini terserah Mas saja. Mau melanjutkan atau berhenti sampai disini.” Jelasku yang mengarah agar dia membatalkannya.
“Ya sudah. Dengan berat hati, sekali maafkan Mas. Mas maumebatalkan pertunangan kita.” Jelasnya.
“Baik, Mas. Nggak apa-apa. Hiya ikhlas.” Jawabku yang kini baru sadar, aku telah menolak seorang mukmin hanya untuk hubungan yang tidak jelas dengan orang musyrikin yang jelas-jelas berkeyakinan berbeda denganku.
Apakah aku mencintai Mr. Yama? Beribu tanda tanya berputar-putar di atas kepalaku. Aku takut jikalau ini bukan cinta. Jika ini hanya nafsu maka aku akan apa? Jika ini cinta maka aku akan apa? Jika ini cobaan apa yang harus aku lakukan?
Aku sudah terlanjur menolak mas Ridho demi Mr. Yama. Astagfirullah... Ya Allah berikanlah hamba petunjuk, yang bahkan hamba bingung akan berdoa apa. Haruskah berdoa untuk mempersatukanku dengan Mr. Yama atau sebaliknya.Aku bingung, aku bahkan tidak tahu harus meletakkan hatiku seperti apa? Haruskah membenci Mr. Yama atau sebaliknya. Bahkan jika benar-benar aku mengetahui bahwa aku mencintainya, aku harus apa? Harus bagaimana?
Daripada bingung lebih baik aku mencoba fokus pada kepulanganku yang tinggal menghitung minggu lagi. Lebih baik aku melupakannya, meskipun aku mengetahui bahwa aku mencintainya, lagipula banyak alasan untuk aku melupakannya. Dari perbedaan keyakinan, harta, tahta, keluarga, budaya, negara, dan jarak jika aku telah pulang nanti.
Karena aku sudah memastikan untuk positif pulang, aku segera menghubungi temanku, bernama Dwi yang kuliah di Unnes.
Aku menghubunginya via messenger :
Aku à “Dwi, di Unnes ada PMB yang tanggal TES nya 5 Juli keatas nggak?”
Dwi à “Ya, sekitar Juli, Hiya. Wah, Hiya mau daftar ni ya? Yuk, yuk Dwi tunggu disini ya.”
Dwi à “SPMU (Ujian Mandiri) sekitar juli Hiya.”
Aku à “Tadi aku juga sekalian browsing. Ternyata tesnya tanggal 2 Juli. Padahal tanggal 2 Juli aku belum sampai Indonesia. Kayaknya, udah pupus deh.”
Dwi à “Yah, Hiya. Coba browsing Univ lain.”
Saat aku masuk pada malam last shift malam, kami bersalam-salaman satu proses. Karena besok sudah mulai bulan Ramadhon agar kami memasuki romadhon dengan jiwa yang suci tanpa dendam. Hingga aku bertemu Ana, aku menatap matanya dan memantapkan hati untuk memaafkan dan ikhlas atas apa yang dia lakukan, kemudian kami bersalaman dan berpelukan erat, erat sekali.
Selamat pagi Romadhon? Pagi di Romadhon pada saat hari liburku, ku isi dengan mencuci, main HP, baca artikel, tidur, sholat, ngabuburit dengan belanja takjil ke bawah hostel, karena ada bazar bulan Romadhon. Kami bertiga, aku, Ika, dan Ana mencari menu buka bareng. Lalu kami menunggu waktu magrib sembari menonton drama chinesse yang bercerita rutinitas seorang dokter kandungan. Kemudian waktu buka menyapa dengan rasa riang, kami menyerbu hidangan dihadapan kami.
Hingga waktu shift pagi menyapaku lagi, huft aku harus menata hati dan fikiran agar dapat menahan nafsuku saat aku bertemu Mr. Yama atau yang lain yang menggodaku. Harus tahan. Apalagi ini adalah last shift pagiku, karena selepas ini adalah shift malam. Dan selepas shift malam aku sudah cuti lima hari untuk resign. Lepas cuti selama lima hari, aku sudah terbang ke Indonesia.
Alhamdulillah, aku belum melihat Mr. Yama menampakkan diri. Namun pada saat penghujung waktu kerjaku, dia malah nampak berjalan menuju ke arahku. Sempat tatapan kami bertemu, hingga bibirku bergetar. Astagfirullah, aku sedang puasa. Lalu aku segera memalingkan muka. MasyaAllah, sungguh, seumur hidup baru kali ini bibirku bergetar tanpa alasan yang pasti. Lalu, Mr. Yama hanya melaluiku begitu saja.
Setelah pulang kerja aku sholat maghrib kemudian membaca Al Quran seperti biasa. Namun, penanda bacaan yang telah aku baca sudah terselip sehingga aku lupa sampai mana aku membacanya. Akhirnya aku membaca asal dan acak, yaitu asal ku buka pas pada surat Al Baqarah ayat 221-286. Kemudian aku tercengang dan sontak menangis ketika aku membaca terjemahan ayat 221. “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan kamu jangan menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik , walaupun dia menaarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” QS. Al Baqarah : 221.
Aku menangis tanpa henti, sunguh aku memalukan dan menghinakan diriku sendiri. Mengapa aku menolak lamaran seorang mukmin bernama Ridho, hanya karena dia mengajakku bertani. Sedangkan, pada saat yang sama aku memilih bersenang-senang tak jelas dengan hatiku yang mencintai seorang yang musyrik yaitu Mr. Yama. Astagfirullah. Maafkan aku Mas Ridho, seharusnya aku memilih IMANnya bukan HARTAnya. Sungguh aku memang telah terpedaya. Astagfirullah. Demi Allah, Aku akan meninggalkan yang berbau Mr. Yama. Bahkan dari fikiranku, aku berjanji akan menghapusnya selama dia masih kafir. Untuk Allah,dan karena cintaku kepada Allah SWT.
Saat last kerja, aku dibebaskan Emak untuk nggak bekerja, namun malah disuruh bersalaman dan perpisahan kepada teman-teman semua proses. Dari satu proses aku ajakin salaman dan foto bersama, kemudian beranjak ke proses lain. Hingga akhirnya, aku menuju proses dimana dimanageri oleh Mr. Yama. Kebanyakan aku mengenal mereka.
“Dek, dapat salam dari Mr. Masato.” Kata mbak Mell.
“Hah?” Aku bingung. Soalnya aku asing dengan nama itu, kenal aja nggak.
“Siapa mbak?” Jawabku.
“Kamu tahu Mr. Yang pakai kalung salip gede’? Giginya kelinci? Rambutnya pirang di gel keatas?”
“Iya. Tapi, kata kak Sharif namanya Yama. Bukan Masato.” Kataku bingung.
“Ih, tipu-tipu lah tu kak Sharif. “ Jelas mbak Mell.
“Oh, katanya dia juga masih singel bukan?” Tanyaku lagi memastikan.
“Mana ada! Dia lho sudah beristri dan memiliki satu anak.” Jelas mbak Mell. Astagfirullah, aku langsung mengingat surat Al Baqarah 221, dan janjiku untuk Allah. Ditambah dia sudah punya istri dan anak! Astagfirullah, betapa hina nya aku. Seperti nggak ada lelaki lain saja. Astagfirullah, hampir saja aku merebut suami orang lain. Astagfirullah.
“Oh, baguslah.” Jawabku datar dan mencoba menenangkan diri.
“Kenapa? Ada hubungan apa hayo sama dia?” Tanyanya.
“Nggak ada, kok.” Jawabku sembari tersenyum.
“Lha kok, itu Mr. Minta disalamin ke kamu? Katanya, dia minta disalamin ke budak yang hari ini last.” Paparnya.
“Mbak, budak yang hari ini last kan nggak cuma aku aja. Bisa jadi, mbak salah orang. Nah, sekarang kenapa mbak beranggapan, jika salam itu ditujukan ke aku?” Tanyaku balik yang membuat mbak Mell sempat tercengang.
“Ehm, iya ya? Mungkin dari sekian orang yang pulang, yang paling comel kan kamu. Nggak mungkin dong Mr. Masa seleranya yang lebih rendah dari kamu. Makanya, fikiranku langsung menjurus ke kamu. Karena kamu yang paling comel di antara budak yang malam ini juga last.” Jelasnya.
“Hadeeeh,,, Ya bukan berarti yang kurang comel itu nggak dapat menarik hati itu Mr.” Jawabku sembari facepalm. Kemudian aku segera mengakhiri percakapan kami dan segera melupakan semua ini, segala hal tentang Mr. Yang ternyata namanya adalah Mr. Masato.
Akhirnya hari kepulanganku tiba, Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa melepas segala kesenangan yang memperdaya. Sungguh, kesederhanaan di desa lebih baik untukku. Aku berangkatke KLIA pada pagi buta jam dua. Namun hingga saat ini jam 1:30 am, Ika, Ana, dan Asa belum pulang-pulang. Padahal aku mau balik Indon. Kok pada tega sih, pergi sampai malem. Emang pada nggak mau kasih salam perpisahan atau apa? Huh, sebel.
Hingga akhirnya aku menuruni hostel, setelah sampai lift lantai dasar. Ana, Ika, dan Asa berada di depan lift lantai dasar. Mereka memberikan sambal terong, hasil masakan mereka sendiri untuk sahurku nanti. Dan beberapa kado untukku. MasyaAllah, Alhamdulillah. Nggak aku terima hadiahnya, namun langsung aku peluk mereka. Tak sadar air mata mengaliri pipi kami masing-masing.
“Hiya, maafin aku. Aku sering punya salah sama kamu.” Kata Ana dengan penuh air mata.
“Aku juga,Ya. Maafin aku.” Tambah Ika.
“Iya..” Jawabku mulai serak.
“Kalo sudah sampai Indon, jangan sombong. Jangan lupa kabar-kabar dekat sini, Ya.” Kata Asa.
“Iya.” Jawabku, kemudian mereka mengantarku sampai bawah hostel. Kemudian mobil van putih datang untuk mengantarku. Aku segera masuk dan melambaikan tangan pada teman-temanku dengan penuh air mata.
Sesampainya di Indonesia, aku di jemput dengan keluarga kecilku. Sempat kami berjalan-jalan di Matahari, untuk membeli tas baru keponakanku yang tengah libur panjang semester.
Sesampainya dirumah, aku segera membersihkan, merapikan, dan memodifikasi kamarku yang udah seperti gudang. Setelah dipoles sedikit, akhirnya jadi juga. Seakan nggak punya waktu istirahat aku harus menyiapkan dan browsing materi untuk tes pada UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, yang pada tanggal tesnya tanggal empat dan lima Agustus. Aku memang sudah di daftarkan oleh Silvi sahabat SD ku.
Tak lama dari hari kepulanganku, aku bertemu Silvi, kemudian Milka sahabat SMK, dan terakhir Dwi juga sahabat SMK ku. Aku sempat di ajak Dwi untuk buka bersama dengan satu kelasku dulu. Namun aku menolak.
“Hiya, akhirnya sekarang kamu mau daftar kemana?” Tanya Dwi saat mampir kerumahku.
“Akhirnya aku didaftarkan temanku ke Univ UIN SuKa Jogja. Awalnya bingung mau pilih di IAIN Walisongo Semarang,IAIN Kudus atau,UIN SuKa. Tapi karena tanggal tesnya tabrakkan semua. Akhirnya aku milih UIN SuKa aja yang jelas-jelas udah terlanjur daftar dan tahu tempatnya.” Jelsku pada Dwi.
“Seandainya Unnes bukaan PBM, pasti aku kasih info kok. Tapi, kalau kamu mau di UIN yasudah.” Katanya. Tapi aku nggak putus harapan ke Unnes, yaitu salah satu Univ impianku. Aku tetap menunggu info dari Dwi tentang Unnes.
Sempat aku main pada rumah Dwi untuk mengajariku matematika pada tanggal dua puluh dua Agustus. Sempat kami melalui perbincangan yang membuatku berfikir dua kali tentang kebaikannya.
“Hiya, ngomong-ngongong. Izar daftar ke Unnes, lho?” Kata Dwi yang mulai mengingatkanku pada pengkhianat itu lagi. Kemudian aku tersenyum lembut.
“Terus, jika aku tahu masalah itu, aku akan apa?” Jawabku.
“Ya,, ya Entah. Siapa tahu masiiiih...” Jawabnya menatapku dan nggak berani melanjutkan perkataannya lagi.
Aku berfikir, Izar daftar Unnes? Berarti dia udah tes pada tanggal dua Juli kemarin. Namun, pada tanggal dua Juli kemarin nggak ada tanda-tanda dari staus di BBM Izar yang menandakan sedang tes di Unnes. Jika memang ada daftaran di Unnes lagi pada gelombang akhir, kenapa Dwi nggak kasih tahu aku? Entah ah, positif thinking aja. Aku percaya sama Dwi. Nggak mungkin dia menyembunyikan sesuatu dariku.
Pada hari yang kutunggu-kutunggu datang juga, yaitu tes pada UIN SuKa Jogja. Aku berangkat pada tanggal 3 Agustus, menginap di kos Silvi yang berada di Solo. Kemudian berangkat pagi buta selepas shubuh untuk ke UIN SuKa.
Sampai di UIN SuKa Silvi sungguh ngomong banget, bagaikan kakakku sendiri. Segala yang kubutuhkan dibimbingnya, karena dia yang lebih pengalaman. Tak kusangka tesnya miriiiiiiiiiiiip buanget seperti yang kupelajari semalam. MasyaAllah.
Tes terakhir pada tanggal 5 Agustus, tes bahasa. Oh, noo! Ada bahasa Arab. Aku kan lulusan SMK aku tabu dengan bahasa arab. Dan hanya sedikit yang aku mengerti itupun arti perkata dari terjemahan Al Quran yang sering aku baca.
Hingga tanggal 10 Agustus pengumuman, namun pengumumannya di undur pada tanggal 11 Agustus. Saat browsing, tiba-tiba ada chat dari temanku SMP.
Sastika à “Hiya, Unnes, kabarnya udah pengumuman lho?”
Aku à “Masak sih? Bukannya tesnya tanggal 2 Juli ya? Kok pengumumannya lama bener. Sampai tanggal 10 Agustus. Satu bulan lebih dong?”
Sastika à “Nggak tahu, coba kamu browsing. Akupun mau tanya. Apakah kamu juga daftar Unnes apa nggak?”
Aku à “Nggak, san. Soalnya tesnya kan tanggal 2 Juli. Aku belum pulang Indon.”
Sastika à “Entahlah, coba deh. Kamu browsing sendiri. Oke. J
Aku à “Okelah. Thank you aa.”
Sastika à “Sip.”
Kemudian aku browsing ternyata di Unnes, tesnya tanggal 2 Agustus. Ternyata masihada gelombang akhir PMB Unnes yang seharusnya Juli masih buka, dan tesnya tanggal 2 Agustus, lalu pengumumannya hari ini yaitu tanggal 10 Agustus.
Jujur sempet kecewa dengan Dwi, Aku nggak tahu apakah Dwi sengaja atau nggak. Ataukah semua ini hanya salah faham. Aku nggak tahu! Aku kecewa, aku marah, tapi aku nggak tahu harus marah dengan siapa. Ini soal impian! Dan jika aku daftar Unnes, itu karena impianku! Bukan karena Izar yang juga mendaftar disana. Nggak perlu ditutupi! Sungguh, aku nggak berminat dengan Izar sedikitpun. Meskipun dia sempat memakai gelar sebagai tunanganku. Tapi tak sudi aku menawarkan hatiku kembali.
Pada tanggal 11 Aagustus aku dinner dengan Silvi untuk sama-sama browsing pengumuman di UIN SuKa. Sembari makan, aku share perihal Dwi-Unnes-Izar. Silvi mencoba mendinginkan fikiranku kembali, untuk positif thinking aja. Mungkin saja cuma salah faham, karena aku nggak pernah meminta Dwi untuk memberiku Info, jikalau ada PMB gelombaang akhir. Lagi pula semua juga udah berlalu.
Karena semalam overload, aku membuka website pengumuman PMB UIN SuKa pada esok harinya. Kulihat daftar listya, ternyata namaku NGGAK ADA. Sempat aku bersu’uzan, UIN SuKa hanya menerima siswa yang mampu membayar UKT 2 dan 3 saja. Namun aku segera membersihkan fikiranku, dengan aku nggak keterima memang karena ada yang lebih baik dariku.
Sehari setelah pengumuman aku mendaftar pada UT dekat rumahku, jurusannya juga nggak jauh beda, yaitu Managemen Pendidikan Agama Islam. Awalnya, setan-setan membisiki hatiku hingga selama empat hari aku menagis tanpa henti.
Dulu saat SMK aku selalu mendapat peringkat 5 besar, bisa-bisanya aku nggak keterima pada jalur paling akhir, dan pada Univ yang mendapat peringkat 50 dari Univ se Indonesia. Seberapa bodohnya aku Ya Allah? Hingga tidak diterima, padahal menurutku soalnya mudah. Ataukah seberapa kecilnya gaji orang tua ku sehingga mereka tidak ingin menyusahkan kami? Ya Allah.... Angkatlah rasa sakit hati ini. Tahu jika di Indonesia hanya bisa sekolah di UT, lebih baik aku sekolah UT di Malaysia saja yang berada di kedutaan Indonesia. Astagfirullah! Seharusnya aku bersyukur.
Entahlah, rasa sakit yang begitu dalam menyayat hatiku hingga menyalahkan ibuku. Dulu saat selepas lulus dengan nilai yang tinggi, aku BISA masuk pada Univ mana saja yang aku inginkan. Bahkan dengan SNPTN atau BidikMisi SBMPTN aku berani. Namun, karena tidak direstui ibuku. Aku nurut saja, sehingga aku bekerja di pabrik elektronik pada negeri Jiran.
Serta saat mau mendaftar Bidik Misi, keluargaku yang mendaftarkan pada sekolahku. Namun guru BK ku, yaitu Bu Puji dan Pak Rizka malah tidak menerima keluargaku dengan baik. Mereka melempar-lemparkan tugas mereka. Sehingga keluargaku nggak di hargai sama sekali. Dan aku yang menelfon Bu Puji, malah dibuat bahan gosip mereka. “ Itu lho... Hiya sudah menelfon aku sudah 1000 kali.” Katanya pada Adik kelasku yang kumintai tolong untuk meminta kode akses siswaku pada Bu Puji. Karena pada saat itu aku sedang berada di Malaysia. Namun, adik kelasku juga mendapat perlakuan yang sama seperti keluargaku.
Aku menyadari bahwa aku hanyalah anak yatim dari keluarga miskin, tapi nggak seharusnya para staff negara itu merendahkan keluargaku. Aku saja yang di rendahkan tak apa, tapi jangan keluargaku. Sungguh keterlaluan. Hingga kini pun, aku belum mendapatkan kode akses siswa ku untuk bea siswa bidik misi. Saat aku sms Bu Puji, dia nggak membalas smsku. Saat aku telfon nggak diangkat. Akhirnya yasudahlah, mungkin belum rezeki. Semoga dari perlakuan Bu Puji dan Pak Rizka terhadapku serta keluargaku akan mendapat hidayah dari Allah. Aku yakin Tuhan nggak tidur, dan maha melihat lagi mengetahui.
Astagfirullah.... Seharusnya aku bersabar dan bersyukur atas takdir Allah. Astagfirullah. Ya Allah lindungilah hati hamba Ya Allah. Teguhkanlah hati hamba dalam agama Islam, agama yang haq dari Engkau Ya Rabb. Cabutlah rasa sakit hati ini.
Entah mengapa, setelah aku meminta kepada Allah untuk mendapatkan sebuah hati yang tenang. Akhirnya do’a ku terjawab. Kini aku dapat lebih bersyukur, dan tidak menyalahkan orang lain lagi atas apa yang telah terjadi. Yakin aja, takdir Allah lebih indah dari yang kita sangkakan.
Aku yang akhirnya mendaftar di UT, memiliki inisiatif untuk kuliah sembari mencari pekerjaan. Alhamdulillah, aku memiliki tetangga yang pinya banyak usaha besar. Dan aku diminta untuk mendi sekretarisnya. Terlebih tetanggaku yang bernama mbak Lia itu baik. Alhamdulillah, dulu saat aku SMK jurusanku Administrasi Perkantoran. J
Tanggal 19 Agustus ini dikotaku diadakan karnaval, alhasil pekerjaanku libur setengah hari. Kebetulan, hari ini ibuku yang bekerja di Kalimantan pulang kampung. Maka aku berniat menjemputnya ke Bandara Adi Sucipto Jogja dengan motor mbak Lia. Maklum, karenaaku nggak punya motor, akhirnya aku dipinjami oleh atasanku.
Sekitar jam empat sore, aku sudah sampai pada Bandara Adi Sucipto. Kulihat banyak kerumunan orang membuatku pusing, karena memang sejak kecil aku nggak suka keramaian. Aku yang sempat berdesak-desakan dengan orang, yang akhirnya aku salah mendatangi tempat arrival yang seharusnya lokal, malah yang interlokal. Hadeh -_- , saking pusingnya. Tiba-tiba aku di tabrak oleh seseorang dari belakang, sepertinya dia sedang terburu-buru.
“Sorry, sorry...” Kata lelaki yang tengah terburu-buru itu, aku hanya memandangnya polos karena terkejut. Lalu lelaki itu segera beranjak. Aku masih diam membeku dan menormalkan fikiran lagi. Siapa, ya? Sepertinya kenal. Entah, ah. Seharusnya aku harus segera menemukan arrivalnya ibuku.
Tak lama selang aku mencari, pas disaat aku menemukan arrivalnya dan pas aku menemukan ibuku. Sontak, aku melambaikan tangan kemudian berpelukan melepas rasa ridu. Emat tahun terpisah jarak, maka kini terlepaslah sudah rasa rindunya. Kemudian aku memboncengkan ibuku pada motor matic nya mbak Lia, kemudian kami pulang.
Esok harinya setelah beberapa bulan selepas ibuku pulang. Tiba-tiba pada suatu malam, rumahku kedatangan tamu. Aku amati dengan seksama dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Yeeeey,,, itu kan pak ustadz yang sering nongol di tipi. Tapi, ngapain dia menyediakan diri untuk bertandang ke rumahku? Apa karena ingin maka di rumah makanku aja? Coba ah, aku tawarin menunya dulu. Maklum, untuk usaha tambahan. Kalau siang aku nyekretaris, kalau malam aku marung, kalau sabtu dan munggu aku nguliah. J
“Assalamu’alaikum, Bapak. Silahkan duduk. Silahkan dilihat menunya dulu, Pak.“ Tawarku sembari tersenyum.
“Wa’alaikumsalam. Sebenarnya, kedatangan saya ke sini untuk bertamu dan bersilahturahmi.” Jawabnya.
“Oh, kalau begitu mari masuk ke dalam rumah, Pak. Mohon Maaf ya, Pak. Saya tidak tahu jika Bapak berniat untuk bersilahturahmi dengan keluarga saya.” Jelasku berantakan karena grogi, dang bingung.
“Iya, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, orang tua Adek dimana?” Tanya pak ustadz itu.
“Oh, baik saya panggil kan dulu.” Jawabku. Kemudian aku panggilkan ibu dan mas Kiki beserta istrinya. Saat mereka tengah bercakap-cakap, sembari kubuatkan suguhan sekalian untuk pak Ustadz itu. Kemudian segera aku disuguhkan.
“Sebenarnya aku, mendapat permintaan dari seorang santri saya untuk melamar seorang gadis dari putri Ibu.”Jelas pak ustadz itu yang membuatku tercengang.
“Kalau masalah itu, saya serahkan pada anak saya. Pak. Bagaimana Hiya?” Tanya ibuku.
“Sebenarnya siapa orang yang melamar saya melalui Bapak? Apakah ada hubungan keluarga dengan Bapak? Apakah saya mengenalnya? Dan apakah Bapak tidak salah alamat?” Tanyaku yang sempat ragu.
“Tidak. Kata santri saya. Perempuan yang hendak dilamarnya beralamatkan tepat disini. Dan gadis itu bernama Fahiya Abidah. Benar, kan?” Balas pak ustadz itu.
“Benar.” Jawabku, kemudian aku hening untuk berfikir. Berati lelaki itu telah mengenalku. “Bapak, sebenarnya siapa laki-laki itu?” lanjutku.
“Dia tidak menginginkan Adik, mengetahuinya. Yang jelas, Dia berpesan, jika Adik bertanya hal itu, maka jawabannya adalah Dia seorang yang tidak punya apa-apa. Dia hanya membawa Allah dan Rosulnya untuk hidup. Dia baru mengenal dunia. Namun, jika Adik meminta mahar berapapun. InsyaAllah akan dia usahakan.” Jelas pak ustadz itu.
“Baik, saya terima lamaran orang itu.” Jawabku yang mengejutkan seluruh keluargaku. Sehingga mereka memelototiku untuk memberi kode agar ku tarik kembali kata-katakutadi. Namun entah angin dari mana, yang membuat aku yakin, meski data yang diberi bapak itu sungguh meragukan.
“Namun aku meminta mahar, hafal Al Qur’an. Baru aku mau dinikahinya.” Jawabku mantap. Aku yakin orang yang hafiz Qur’an pasti jauh dariperbuatan buruk, terlebih penipuan. Karena, seorang hafiz memiliki otak yangbersih dari fikiran jahat karena terlindungi oleh kalam-kalam Allah.
“Baik, akan saya sampaikan pesan adik.” Kemudian pak ustadz itu beranjak.
Setelah hampir setengah tahun, belum ada kabar dari bapak ustadz itu lagi. Sepat berfikir, jika pak ustadz itu salah alamat atau salah orang. Namun pendapatku selama ini salah. Kulihat bapak ustadz yang dulu menyampaikan lamaranitu bertandang kerumahku. Untuk kali ini, dia tidak sendiri.
Kulihat seorang lelaki berkharisma menatapku penuh rasa rindu, kemudian dia menundukkan kepalanya. Kulihat disertai oleh kedua orang tuanya dan seorang anak perempuan. Langkah mereka saat mendekat mengiringi degup jantungku yang gemetar. Ya Allah... Apakah benar ini mukjizatmu? Seorang yang dulu memakai kalung salib gede’ dan kinclong banget, kini berubah memakai baju kaos dan celana panjang sederhana.
Senyum haruku mengiringi mereka untuk menyambutnya hangat. Akhirnya semua kejelasan terkuak. Ternyata Abdullah Masato telah bercerai dengan istrinya yang tidak mau berpindah ke agama Islam setelah Abdullah Masato mendapat hidayah, terlepas dari maut dan sempat koma selama satu bulan. Karena sang istri yang masih meyakini agamanya, akhirnya mereka memutuskan bercerai. Ternyata orang yangdulu pernah menabrakku adalah Abdullah Masato yang terburu-buru untuk menghadiri janji temu dengan pak ustadz agar dapat belajar islam lebih dalam. Dan seorang anak perempuan itu adalah Akira anaknya yang berusia enam tahun, yang juga mu’alaf.
Kesepakatan acara pernikahanku pada tahun depan pun akan di selenggarakan dengan seorang mu’alaf yang telah hafiz Qur’an. Kami sengaja membuatnya tahun depan, agar aku menyelesaikan kuliahku dari UT.
Hari demi hariku terhias bunga yang bertaburan. Segala hal yang rumit, kini terasa Indah. Dari perpindahan kewarga negaraan Abdullah Masato dan Akira yang semula Warga Negara Jepang berpindah menjadi Warga Negara Malaysia, begitupun aku yang juga ikut ke berpindah kewarganegaraan menjadi Warga Negara Malaysia. Serta pembelian tanah dan rumah di malaysia untuk kami di daerah Kepong Baru, Malaysia.
Saat semua sudah clear, dan upacara pernikahanku akan diadakan tiga bulan lagi di rumah baru kami di Malysia. Tiba-tiba Abdullah Masato mengajakku bertemu di Bandara Adi Sucipto, untuk mengabarkan sesuatu yang penting.
“Hiya, sebelumnya Maafkan saya.” Kata Abdullah Masato dengan bibir gemetar. Entah perasaan apa, yang mendorongku untuk tiba-tiba menangis.
“Maafkan saya. Ta, tapi...” Kata Abdullah Masato yang terbata dan tak sanggup untuk meneruskan perkataannya lagi.
“Ka-katakan saja.” Jawabku pasrah dan lirih dengan air mata yang mulai membasahi bibir. Lalu dia menenangkan diri.
“Seminggu yang lalu, Akira kembali ke Jepang. Dan kamu tahu itu, kan?” Jelasnya, lalu aku menganggu.
“Dia kembali kepada mamanya, dan tidak menginginkan kami berpisah. Akira menginginkan suatu keluarga yang utuh. Maka dari itu Akira membujuk mamanya untuk memeluk Agama Islam.” Jelasnya.
“Jangan katakan, Abang mau rujuk?” Tanyaku tajam.
“Aku memilih anakku, Hiya. Bagaimanapun dia darah dagingku. Serta kini mantan istriku telah memeluk Agama Islam. Jadi, kenapa tidak?” Jelasnya.
“Kamu, jahat, bang!” Kataku dengan nada suara meninggi. “Kalau kamu fikir dapat membujuk mantan istrimu untuk memeluk Agama Islam, kenapa kamu melamarku?” Tanyaku.
“Aku juga nggak tahu kenapa! Namun, semua ini terjadi begitu saja! Kamu pun tahu perasaanku terhadapmu.” Jelasnya.
“Bahkan perasaanku lebih darimu, bang!”Sahutku.
“Aku tahu! Tapi, ini demi Akira dan masa depannya!” Jawabnya.
“Lalu bagaimana dengan masa depanku?” Jawabku lirih dan sinis. “Menurutmu merubah kewarga negaraan (lagi) itu hal yang semudah membalikkan telapak tangan?” Tambahku lirih.
“Maafkan abang. Namun abang harus segera ke jepang untuk rujuk dengan istri abang, demi Akira. Maafkan abang.” Jelasnya.
“Kini, aku membebaskanmu dari khitbahku.” Jelas Abdullah Masato yang kini mulai nampak air mata dari pelupuk matanya.
“Baiklah.” Jawabku lirih.
“Untuk persoalan perpindahan kewarga negaraan lagi, agar assistant pribadiku yang uruskan. Sekali lagi maafkan abang.” Jawabnya. “Jaga diri baik-baik. Semoga kamu segera mendapatkan seorang yang memang pantas memiliki bidadari syurga sepertimu.” Tambahnya. Kemudian kami saling berpaling dan melangkah berlawanan satu sama lain untuk berpisah.
Linangan air mata tak terbendung lagi dari pelupuk mata kami masing-masing. Ku segerakan diriku untuk menjauh dari Abdullah Masato. Dari berjalan gontai, berjalan cepat, hingga berlari untuk segera menemui mobilku dan segera mengendarainya pulang.
Panas terik matahari siang ini sungguh melelehkan air mataku berkali-kali, sakit hati, kecewa, dan amarah. Sungguh! Ya Allah cabutlah rasa sakit hati ini. Ya Allah! Astagfirullah.
Tiga bulan berlalu dari kejadian itu, kejadian yang telah merobek hatiku. Seharusnya pada tanggal ini adalah hari pernikahanku. Namun yang ada hanyalah hari-hari rutinitasku sebagai sekretaris mbak Lia, dan sebagai Dirut Restoran Abidah yang ku rintis beberapa bulan yang lau. Tak ada yang berubah, sama seperti dulu. Namun hanya kini ekonomiku sedikit maju pesat karena Restoranku berkembang seiring hari demi hari.
Hari ini aku meeting dengan client pada hotel Ina Garuda Jogja untuk membahas kerjasama periklanan komplek perumahan milik mbak Lia. Setelah meeting, langkah demi langkahku menyusuri dretan kamar untuk mengambil tas dan barang-barangku pada kamar yang telah aku booking untuk segera pulang.
Mobilku yang melewati Bandara Adi Sucipto, entah mengapa malah ku kemudikan untuk parkir pada area parkir bandara tersebut. Kakiku menapaki area bandara ini perlahan, sembari mengenang saat aku dan Mr. Masa pertama bertemu yang menabrakku dengan keadaan terburu-buru, serta tempat perpisahan kami tiga bulan yang lalu. “Seharusnya, saat ini aku tengah menjalankan upacara pernikahan. Namun, aku malah disini. Huft.” Kataku lirih. Astagfirullah, barulah aku sadar. Mengapa aku berada disini? Sedang aku tidak sedang mengantar atau menjemput orang. Setelah sadar, aku segera pergi meninggalkan tempat ini.
“Marry me, now! Fahiya Abidah!” Teriak salah seorang lelaki yang berada di belakangku. Segera kutolehkan wajahku kebelakang. Terlihat, Abdullah Masato dan kopernya bersama keluarga besarnya beserta seorang wanita dengan lelaki jepang asing belum pernah aku melihatnya. Mereka mendekati diriku yang penuh dengan wajah bingung.
“Kenalin, dia mantan istriku. Dan tetap mantan istriku, kalau yang ini adalahsuami mantan istriku. Dan kamu masih ingat gadis kecil nakal ini kan?” Tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum pada Akira.
“Sebenarnya kami semua akan mendatangi rumahmu, dan akan menjalankan pernikahan sekarang. Dan semoga kamu masih mau menikahiku.” Jelasnya.
“Nggak!” Jawabku.
“Tapi, aku kan masih hafal Al Qur’an. Dan aku juga sudah pindah warga negara Indonesia bukan Malaysia. Dan akira memilih tinggal dengan mama dan papa barunya di Jepang. Alhamdulillah, mereka semua telah memeluk Islam.” Bujuknya. “Ayo, ke KUA.” Tambahnya lagi.
“Nggak!” Jawabku lirih.
“Ke-kenapa? Kamu sudah memiliki seseorang yang baru ya?” Tanyanya kecewa.
“Nggak nolak.” Jawabku tersenyum. Diiringi oleh tepuk tangan dan sorakan keluarga besar Abdullah Masato ditambah mantan istri serta suami mantan istrinya yangjuga ikut menyoraki kami.
Upacara pernikahan akhirnya dilaksanakan keesokan harinya, Saat di KUA yang dihadiri oleh keluarga besarku, keluarga besarnya, serta pak ustadz yang dulu menyampaikan lamarannya. Saat Abdullah Masato dengan tegas melantunkan ijab qabulnya, jantungku berdesir lirih. Air mata haru melinang pada pipiku. Kata “Sah” dari para saksi menambah gaduhnya hatiku yang tak tahu rasa apa yang aku rasakan saat ini. Kemudian kucium tangan suamiku dengan lembut dan penuh air mata haru yang dihiasi senyum manisku.
Setelah pulang dari KUA, mobil pernikahan kami menuju sebuah rumah yang baru dibeli dari komplek perumahan milik mbak Lia yang berada di Bandung, meski jauh dari Yogyakarta kampung halamanku, tapi aku tetap bersyukur. Rumah baruku yang telah dihiasi dengan para tamu undangan beriringan tabuhan rebana menyambut meriah kedatangan mobil pernikahan kami.
Dari sini dapat kupetik hikmah, ternyata takdir Allah lebih indah dari yang aku sangkakan. Bahkan lebih lebih lebih Indah. Jika tidak ada perpisahan itu, mungkin aku akan menjadi warga negara Malaysia dan berpisah jarak dengan keluargaku, dan mungkin aku juga harus membiasakan diri dengan Akira. Alhamdulillah. Untung saja dulu sempat berpisah.
Kini meski suamiku jarang di rumah, tapi dia sering pulang selama seminggu sekali dari Malaysia ke rumah baru kami. Aku juga masih menjadi sekretaris mbak Lia dan masih menjadi dirut Restoran Abidahku bersama mas Kiki dan istrinya. Serta kini ibuku tidak merantau ke Kalimantan lagi. Karena anaknyalah yang seharusnya kini bekerja untuknya. Terimakasih ibu. J
Hari ini adalah malam resepsi pernikahan kami, malam yang meleburkan dua insan dalam balutan sakral nan haru telah membuka bungkaman hati yang tertahan. Rintangan yang menghalang, kecaman, ancaman, kini telah meleleh bagaikan api yang telah melelehkan lilin. Jeritan tawa dalam hiruk pikuk keramaian di resepsi pernikahan membuncah dalam kebahagiaanku malam ini.
“Kamu sudah capek?” Tanya bang Masa yang masih mendekapku saat berdansa.
“Aku belum capek. Apakah kamu sudah capek?” Tanyaku balik.
“Nggak juga sih, Je. Tapi, kita hemat energi aja. Hehe…” Kata sosok yang biasanya cool dan pendiam itu yang kini mulai menyeletukkan hal yang aku belum mengerti. Je adalah panggilan sayang antara kami berdua.
“Hehe, Je… Je… Memang menghemat energi untuk apa?” Tanyaku sembari melepaskan pelukannya dengan wajah heran. Nggak biasanya sosok yang terkenal manusia kutub ini nyeletuk. Sungguh beruntungnya aku, bisa menakhlukkan seorang Hafiz ini dalam pelukanku.
“Ya, nanti kamu tahu…” Lanjut bang Masa yang kemudian memberantakkan kerudungku dengan gemas. Kemudian kami kembali berdansa seiring nyanyian biola dalam hatiku yang berlantun ria.
Dalam balutan tengah malam yang dingin, terhampar taburan bungan yang pada pembaringan kamar pengantin. Aku melihat bang Masa telah bersandar pada pembaringan dengan piama birunya. Tangannya yang kekar menepuk-nepuk pembaringan disebelahnya, pertanda aku disuruhnya bersanding disebelahnya. Kulangkahkan kaki perlahan kemudian duduk disebelahnya dalam kegelapan. Deburan ombak dalam hatiku menyibak kesunyian malam itu diiringi denyutan jantungku yang berdegup secepat tangan Kevin yang kini telah membelai wajahku sembari mengecup keningku.
“Te-tu-tunggu! Je…” Kataku sembari memegangi tangan bang Masa yang masih memegangi pipiku.
“Kamu sudah capek ya, Je? Tadi bukannya sudah aku suruh untuk hemat energi dulu kan. Ya.. Begini, kalo kamu tadi nggak mematuhi suami.” Cerocos bang Masa yang biasanya pendiam malah membuatku tertawa cekikikan.
“Ih, kamu ya, Je… Lama-lama sama aku bisa ketularan bawel juga. Iya-iya... Ayo sekarang!” Balasku mulai membuka kancing piamaku.
Hihihi… Tapi, maaf ya, Je… Aku belum siap untuk itu. Yang aku maksud energi itu adalahenergi untuk besok, besok kita kan mengurus pindahan ke rumah baru kita.” Ucap bang Masa cengingisan.
“Oh, iya yaa… Ya sudah deeh… Honey Moon nya setelah kita barang-barang kita sudah rapih. Oke…” Kataku sembari mengancingkan piamaku kembali.
“Iya, tapi sun dulu dong…” Kata bang Masa sembari menyunggingkan senyum nakal.
Huuh, maunya.” Sembari kumanyunkan bibirku. lanjutkku. Kemudian kudekatkan bibirku pada pipinya.
“Tunggu!” Sembari menahan wajahku dengan telapak tangannya yang besarnya hampir memenuhi wajahku. “ Jangan disini, tapiii….” Jawab bang Masa semakin berlagak genit.
“Tapiiiiii….” Kini giliran kami yang sama-sama genit, sembari menunjuk bibir kami. Kemudian gelap malampun menyapu tingkah laku kita yang seperti anak SMP baru pacaran.
Waktu yang berdetak mengejar kami yang terburu-buru untuk segera menyelesaikan pindahan keluarga kecilku. Hingga pada saatnya sang waktu tidak mengejar lagi, dan usailah tugas kami menata rumah impian kami berdua. Suatu hunian yang tak hanya melindungi dari panas-dinginnya hamparan bumi ini, tapi juga menjadi rumah yang nyaman dan hangat untuk berkumpul bersama.
Setelah lulus dari UT aku melanjutkan pendidikan selama satu tahun sekolah keguruan. Suamiku melarangku untuk menjadi skretaris mbak Lia, karena menjdadi sekretaris sering menghadapi client laki-laki untuk membujuk menjadi mitra kerja dari perusahaan mbak Lia. Serta Restoran Abidah kini berubah kepemilikan menjadi milik mas Kiki dan istrinya, lagi-lagi karena tidak diperbolehkan suamiku untuk melayani pelanggan laki-laki. Maka dari itu, aku memilih menjadi guru SMK saja yang mayoritas guru dan muridnya perempuan.
Setelah pendidikan, aku segera mendaftar ke SMK daerah Bandung yang berlokasi dekat dengan hunianku. Alhamdulillah, aku diterima menjadi guru honorer disana. Walau begitu, tetap Alhamdulillah, karena mendapat pekerjaan sesuai dengan permintaan suamiku.
Dari ijab qabul hingga kini, belum sempat kami melakukan honey moon. Semua karena tertunda untuk mengurus kewarga negaran ku dan suamiku yang kini telah sah dalam hitam di atas putih. Serta kesibukan dalam pendidikan keguruan selama setahun. Hingga kini aku belum merasakan apa yang dinamakan senggama oleh suamiku sendiri. Ditambah saat suamiku pas pulang Indonesia, pasti pas aku ada acara, seperti saat aku izin untuk tes pengangkatan CPNS ke PNS.
Terkadang beribu rasa bersalah melantun dalam benakku. Istri macam apa aku ini? Sudah hampir tiga tahun kami menikah, belum pernah ada waktu untuk melayani suamiku dalam hal batin. Dan terkadangterlintas fikiran su’uzan kepada suamiku yang belum pernah mau memaksaku untuk melayaninya. Karena selama ini dia mencoba mengertikan kesibukanku disaat akhir pekannya. Kadang terlintas apakah dia selingkuh? Sehingga dia tidak mau memaksaku? Terlintas juga fikiran bahkan untuk bercerai.
Malam ini aku sudah persiapkan segala persiapan, dari ranjang yang bertabur bunga, candle light dinner, hingga memakai make up dan pakaian sexy. Namun sayang beribu sayang setelah Honey Moon didepan mata ada-ada saja penghalang. Tadi malem setelah pulang dari Malaysia, tiba-tiba mas Masa kelelahan dan tertidur pulas. Dan setelah matahari menyapa malah tiba-tiba aku mendapat panggilan agar segera ke sekolah untuk membimbing murid yang akan ikut lomba membuat cerpen. Batal, batal deeh, bubar, bubar….
Padahal kan ini hari minggu, hari libur, niatnya aku akan melayani suamiku lahir dan batin di pagi ini.
Huft.. Setelah meminta izin suamiku yang kucintai sekonyong-konyong keder, barulah aku berangkat dinas memberi bimbingan anak-anak lomba, sebelum berangkat ku sempatkan untuk mencium tangan suamiku untuk berpamitan.
Nyanyian biolaku kini semakin merdu bermelodi karena aku menemukan sisi cemburu bang Masa yang dulu waktu masa khitbah beeuuuuuhhh boro-boro cemburu, perhatian aja jarang.

Fahiya Abidah
“Bagi anak-anakku yang kusayangi, silahkan kalian mengakses hasil nilai ulangan kalian pada www.carolinabimantara.wordpress.com. Bagi yang remidi sudah Bu Lina siapkan soal pada web tersebut, Terimakasih.”
*Facebook*

Status

Fahiya Abidah
“Bagi anak-anakku yang mengikuti seleksi Lomba Membuat Cerpen, silahkan kalian mengakses hasil seleksi lomba pada www.carolinabimantara.wordpress.com. Bagi yang belum bisa mengikuti lomba, jangan putus asa untuk terus mencoba ya, Nak. Kegagalan adalah awal dari keberhasilan.
*Facebook*

Status
Bagaikan taburan bunga mengguyurku dengan penuh nyanyian suka cita, indahnya perasaan ini. Perasaan senang karena pasangan hidup kita cemburu dan melindungi kita dari lelaki lain. Ohh… Suamiku… Walaupun Honey Moon tertunda, tapi aku pastikan setelah pulang kerja nanti akan berlanjut dengan suasana yang lebih menyenangkan dan penuh cinta kasih, yang diiringi alunan biola kita.
Jam yang melekat erat pada pergelangan tanganku menunjukkan pukul 05.00 pm, yang membuatku untuk segera tancap gas pulang. Kulihat wajah nan rupawan itu dari ambang pintu rumah, sungguh beruntungnya aku yang telah menakhlukkan hatinya. Dan segera mendekati suamiku untuk melakukan rayuan-rayuan.
“Ehem… Cieelah, sibuk banget. Istrinya datang masih aja sibuk otak otik CPU.” Ujarku yang kemudian memijat pundaknya perlahan. Tangankupun diraihnya dan diciuminya.
“Eiits… Seharusnya aku yang mencium tangan kamu.” Sembari duduk di sebelahnya dan mencium tangannya kemudian bersandar pada bahunya yang bidang.
“Ada masalah apa, Je? Ada masalah pekerjaan, ya? Di facebook, katanya kamu membina anak-anak yang lomba.” Tanya bang Masa.
“Padahal lagi nggak pingin ngomongin pekerjaan, nih.” Kataku sembari cemberut.
“Iya, iya… Pasti mau ngomongin si siapa itu… Ehhmm… si Wafid Wafid itu ya? Dia ngganggu kamu lagi?” Kata bang Masa berlagak perkasa.
“Bukann… Itu malah lebih nggak penting… Kamu gimana siih..Yaudah deh aku mau mandi dulu, ya.” Kataku sembari mencium pipinya.
Badanku yang terbalut piama pink keluar dari kamar mandi untuk segera ganti baju dan capcus tidur karena lelah seharian. Kulihat bang Masaberada di balkon kamar, menikmati gelapnya suasana malam. Bang Masayang menyadariku selesai mandi, kini kian mendekatiku. Dia mulai memegangi kedua pundakku dan mencium keningku lalu ciuman itu turun perlahan.
Hingga gejolak deburan yang menghantam jantungku membuatku merinding karena merasakan hangatnya ciuman mas Masa pada bibirku, diiringi pergerakan tangannya yang menyibak separuh piamaku perlahan, hingga putihnya pundakku yang sebelah kanan terlihat oleh pandangannya. Kriiingg… Kriiing…. Hah… Ada telfon.. Hingga bang Masa melepaskan ciumannya.
Bang, nggak usah aku angkat, ya. Ayo kita teruskan aja.” Kataku kepada bang Masa, agar dia tidak kehilangan mood nya.
“Arrhhh…” Geram bang Masa sembari menutup piamaku kembali kemudian duduk dipembaringa. “Angkat dulu telfonnya, siapa tahu penting.” Lanjutbang Masa yang berlagak tegar, walaupun aku tahu didalam hatinya dia merasa terganggu.
“Oh, oke…” Kataku. “Ya… Hallo… Maaf ada apa, ya? Telfon kok malam-malam?” Kataku yang agak ketus, entah mengapa hingga aku tak sopan seperti itu.
Hiya..Ini ibu, Nak.” Jawab ibuku dari sebrang.
“O, emm.. I-i-ibu? Aduuuhh….” Jawabku terbata karena terkejut dan menyesal banget udah nggak sopan sama ibu. Dan kulirik pada suara cekikikan bang Masa yang tengah menertawaiku. Huh..
“Iya, ini ibu. Kamu itu gimana sih. Kok jarang hubungi ibu. Gitu ya sekarang, udah lupa sama ibu. Main kek, mampir kek, atau apa di rumah ibu dan kakakmu..” Kata ibu yang berlagak ngambek.
“Aduuh, ibu maaf… Hiya nggak sempet telfon ibu. Ibu tahu sendiri, kan Hiya sibuk.”
“Oh, gitu. Lalu, gimana Honey Moonnya?” Tanya Bunda yang mengingatku tentang tadi.
“Oh, boro-boro Honey Moon.. Ini aja baru prepare buat itu, ibu udah telfon.” Kataku dengan jujur.
“”Oh, jadi ibu ganggu niiih?” Kata ibu yang ngambek lagi.
“Nggak kok, Bu. Lagian ini bang Masa juga ingin ngobrol sama Bunda.” Kataku sembari memberikan telfonnya ke bang Masa.
Masa, gimana kabarnya?” Tanya ibu yang suaranya di loadspeaker.
“Baik, Bu. Lha ibu gimana niih kabarnya?” Tanya bang Masa.
“Uhmmm… Lagi kangen nimang cucu niih…” Jawab ibu menggoda kami.
“Wah, tenang aja, Bu. Energi Masa tuh top cer. Sekali timpuk, beuuuhh langsung dung. Hahaha…” Kata bang Masa yang diiringi gelak tawa ibu. Tungting… Kulihat HP bang Masa yang menyala.
Mr. FujiyamaàMasato, malam mini ada rapat untuk membahas produk yang tenggelam saat di ekspor ke Singapor, siang tadi. Harap segera ke KLIA sekarang. Kamu sudah kami tunggu.
Dengan agak berat hati, aku membalaskan sms dari rakan kerja suamiku, untuk mengiyakannya.
“Je, Mr. Fujiyama ngadain rapat dadakan tuh. Katanya produk pabrik tenggelam siang tadi. Sana gih, cepetan siap-siap. Biar aku aja yang ngobrol sama ibu.” Kataku dalam bisikanku kepada Kevin. Kemudian giliran aku yang berkicau kesana kemari dengan ibu, sedangkan suamiku pergi back to Malay again.
kudengar dedaunan di pagi hari yang mengetuk-ngetuk jendela kamarku malu-malu.Kuusap-usap mukaku dengan tarian jemariku dengan malas. Kemudian kulihat badanku yang sebelumnya memakai piama, kini hanya berbalut selimut.Ku tengok kanan-kiri, pasti ini kerjaannya bang Masa selagi aku telah terlelap.
“Ehem, ehem… Ada yang buka baju orang tanpa permisi, nih…” Kataku kepada bang Masa yang masih memakai pakaian bisnis nya.
“Apa maksud kamu, Je? Ayo buruan siapin air anget, aku pingin mandi niih… Baru pulang, capek.” Kata bang Masa yang sepertinya tidak berbohong. Lalu, siapa yang melucuti pakaianku? Gemingku dalam hati, Ta Tuhaan… Bisa-bisanya aku telah melayani lelaki lain, sebelum suamiku sendiri.
B-be-bang... Ka-Kamu baru pulang, beneran?” Tanyaku gemetaran hebat.
“Iya, Lhoh…” Kata bang Masa terkejut. “Ini alat kontrasepsi siapa? Kamu kok telanjang?” Tanya bang Masa yang sudah mulai meninggikan suaranya.
“Se-Su.. Sungguh, Bang. aku nggak tahu. Aku kira ini ulah kamu.” Kataku mulai panik dengan iringan mata yang mulai basah.
“Kamu, bohong. Semua pintu sudah aku kunci, dan nggak bakalan ada yang masuk selain kamu yang membukakannya.” Bentak bang Masa yang mulai menaikkan darah.
“Ya Allah… Aku muslim Bang, aku tahu siksa orang berzina itu apa. Aku nggak mungkin melakukan itu.” Jawabku sembari menangis.
“Aku nggak tahu apa-apa soal alat kontrasepsi atau masalah ini. Yang aku tahu, aku tidur-bangun-ada kamu-kita marah, udah itu aja.” Tambahku menjelaskan sejujurnya.
“Terserah!” Ujar bang Masa.Terasa biolaku sudah tak kudengar bernyanyi, yang ada hanyalah tangisan biola mengiringi fikiranku yang berputar keras untuk menyadari semua ini.
Hingga kutemukan sebuah cara untuk memasang kamera CCTV pada setiap sudur rumahku untuk antisipasi jikalau orang yang berniat menghancurkan rumah tanggaku datang lagi. Nggak tanggung-tanggung, kemarin aku lepas visum untuk membuktikan semua ini kepada suamiku, apakah aku seks aktif saat itu ataukah seks pasif alias pemerkosaan.
Step demi step telah kulakukan untuk memperlancar taktikku. Dari pemasangan kamera CCTV yang suamiku pun tidak mengetahuinya, dan mengajak suamiku untuk emngantarku tes visum untuk pembuktian kepadanya. Meskipun hanya 1% kemungkinan aku tak ditiduri alias dijebak saja, namun aku nggak putus asa dengan adanya CCTV untuk menjebak lawanku juga.
“Oke, besok kita udah bisa mengambil hasil visumku.” Kataku pada suamiku yang sudah seminggu pisah ranjang denganku.
“Tap..” Sela suamiku.
“Stop. Tunggu! Aku disini korban! Oke! Terserah kamu mau percaya atau enggak, yang pasti aku ingin kamu ngeshare ke facebook kek, twitter kek, BBm entah apapun tiu, pokoknya usahain semua orang tahu kalau kita udah akur, dan malem ini kamu dines keluar kota. Dan aku dirumah sendiri, dan usaha’in semua pintu terkunci, dan sama seperti keadaan saat kamu meninggalkanku dulu.” Jelasku.
“Oh, kamu dengan ide gilamu! Itu nggak mungkin.” Jawab bang Masa perlahan tapi nylekit dihati.
“Tapi, Please! Jangan buat suasana panas lagi. Aku hanya mau kamu nunggu pada tempat tersembunyi. Kalau aku terbukti berbohong, silahkan.. Kamu boleh talak aku.” Kataku juga sama-sama sinis.
Semua taktik terencana dan teratur, sekarang tinggal kurebahkan tubuhku yang hanya berbalut dengan pakaian tidur yang super ketat dan mini. Perlahan kurebahkan badanku dan tidur sungguhan, biar natural. Lagi pula masih ada bang Masa yang kusuruh untuk mengintai orang yang akan mencelakaiku, ditambah bukti penguat yaitu CCTV.
Tiba-tiba kuterbangun di tengah malam dalam keributan yang memekakan telingaku. Kulihat baju yang aku kenakan tadi sudah luput dari tubuhku. Tampaklah bang Masa sedang perang mulut dengan seorang wanita. Segera aku kenakan pakaian seadanya, dan kulerai kedua kakak beradik itu.
“Stop… bang Masa Stop. Jangan tampar dia. Dia itu adik kamu sendiri.” Kataku yang tak tahu asal-usul penyebabnya.
“Ternyata pelakunya selama ini bukan laki-laki! Ternyata adikku sendiri! Karena dia memiliki kunci rumah kita sehingga dia dapat sampai disini, dengan otaknya pula dia membuka seluruh pakaian kamu, Ya. Kemudian dia meninggalkan alat kontrasepsi itu.” Bentak bang Masa dengan bahasa Jepang (yang sudah ku translate) sembari memegangi kerah baju adik perempuannya.
“Apa bener kata kakak kamu, Key?” Tanyaku juga dengan bahasa Jepang (yang sudah ku translate) untuk memastikan.
“Denger ya, Kak. Semenjak Ryu aku kenalkan ke kak Fahiya, dia itu putusin aku, Kak! Pasti kakak menggoda Ryu kan?” Tuduh Kara dengan bahasa Jepangnya. Intinya kami semuamemakai bahasa Jepang, namun sudah aku translate kan. Karena keluarga besar bang Masa buta bahasa Melayu maupun Indonesia. Hanya bang Masa saja yang pandai bahasa nusantara ini.
“Nggak sama sekali, kamu juga ada disana saat kakak bertemu dengan Roy. Lagi pula kakak nggak berpengalaman menggoda laki-laki. Misal kakak bisa, pasti kakak udah goda’in kakak kamu dari kakak masih bekerja menjadi buruh di Malay.” Jelasku panjang lebar.
“Kara benci sama kak Hiya sok polos! Padahal busuk.” Bentak Kara terhadapku. Kemudian terdengar suara’plaak’, ternyata satu tamparan telah meluncur pada pipi Kara.
“Kamu itu yang busuk, Key! Berani-beraninya kamu mencoba menghancurkan rumah tangga kakak dengan cara fitnah yang bahkan kami belum sempat melakukan hal itu.” Bentak bang Masa yang telah melayangkan tangan pada pipi adiknya.
“Kok kakak bela kak Hiya sih! Ryu itu sudah ngehamilin aku, Kak…. Setelah dia ketemu kak Hiya, dia nggak bisa aku hubungi sama sekali. Bahkan dia mengancamku akan merebut kak Hiya dari kakak, jika aku meminta pertanggung jawabannya,” Jelasnya sembari melelehkan air matanya.
“Yang bener kamu? Mana Ryu? Kamu tahu alamatnya?” Tanya bang Masa dengan tegas kepada adiknya.“Ayo kita menemui Ryu!” Tambah bang Masa yang kembali berapi-api dan langsung menarik tangan Kara, sedang aku mengikuti mereka dari belakang.
Setelah berhenti pada Narita International Airport, Japan, pada pukul tiga pagi. Kemudian kami segera mengemudikan mobil utuk menemui Ryu. Roda mobil yang semula berputar cepat kini berhenti pada sebuah hunian, yang katanya itu dalah rumahnya Ryu. Dengan suara yang serak dan menakutkan, bang Masa berteriak memanggil Ryu sembari mengetuk rumah dengan kerasnya.
“Maaf, ada apa rebut-ribut pagi buta begini?” Kata seorang yang telah membukakan pintu rumahnya.
“Mana Ryu… Ryu…!” Teriak bang Masa yang sudah kalap.
“Maaf, apakah bapak belum tahu?” Tanya seorang wanita paruh baya itu.
“Maaf, Bu… Jika kehadiran kami membuat keributan dirumah Ibu. Maafkan atas ketidak sopanan kami. Kami ingin bertemu dengan Ryu, Bu. Dia telah menghamili adik saya.” Jawabku sesopan mungkin kepada ibu itu.
“Maksud saya, apakah kalian belum tahu bahwa Ryu telah meninggal dunia karena kecelakaan. Jika kalian ingin melawat, makamnya ada di dekat gereja sebrang jalan.”
“Me-maksud Ibu apa, Bu… Nggak mungkin!” Jawab Kara yang mulai menangis dan kalap. Segera kutenangkan Kara sedangkan bang Masa berpamitan dengan Ibu itu. Kurasakan tangisan yang begitu mendalam, meraung, memohon, merintih, kudekap dalam pelukanku untuk menenangkan Kara. Jika aku menjadi Kara, pastilah aku melakukan hal yang sama. Jika saja Kara tidak hamil, patilah Kara tidak akan sesedih ini.
Mungkin hikmah yang kita petik adalah setiap perempuan harus dapat menjaga kehormatannya, dengan siapa saja. Dengan tunanganpun juga harus dijaga, meski udah jelas-jelas akan dinikahi, namun jika umur berkata lain? Siapa yang dapat memastikan jika orang itu akan menikahinya.
Fajar yang merengkuh tubuh kami sungguh membuat tubuh ini kedinginan, meskipun sudah sampai di rumah bang Masa yang di Jepang tapi hawa dingin ini sungguh menusuk. Kurebahkan tubuh Kara, dan menemaninya tidur. Tak selang lama, segera ku ambil air whudu dan menunaikan sholat subuh bersama suamiku.
Setelah shalat subuh kulihat Kara terlelap bagaikan malaikat mungil, lalu aku meninggalkannya dengan perlahan. Pada ruang tamu, kulihat bang Masa tengah berbicara dengan seseorang yang penting, kemudian menutup telfonnya.
“Hiya, tadi aku mendapat call dari kepolisian Indonesia. Kamu dinyatakan tidak seks aktif, malah kamu masih virgin.”Jelas bang Masa yang menyadari kehadiranku. Tanpa membalas dengan kata-katalagi, langsung kulingkarkan tanganku dan memeluk suamiku dari belakang. Kurapatkan erat-erat tubuhkuke punggungny sembari memejamkan mataku untuk melepaskan beban yang kini telah terselesaikan.
Hiya, maafkan aku ya.” Kemudian bang Masa berbalik memutar tubuhnya dan memelukku erat.
“Iya, aku juga ngerti perasaan kamu saat itu. Itu artinya kamu mencintaiku.” Ujarku yang masih dalam pelukannya.
“Hari ini aku sudah mengizinkan kamu melalui email ke sekolah, akupun juga tadi sudah izin sama Mr. Fujiyama.” Ujar bang Masa.
“Naahh… Kalau begitu kamu sekarang lebih baik tidur dulu. Pasti semalaman kamu belum tidur.” Kataku yang mulai melepaskan pelukannya dan menyunggingkan senyum manisku sembari membelai wajahnya.
Tidaklah langkah menjauh dariku dan segera tidur yang aku temukan, malah bang Masadengan senyum nakalnya mengecup bibirku perlahan. Nyanyian biola mengikutinikmatnya kalbu yang tertahan sejak lama. Perlahan kami berciuman sembari berjalan menuju sofa pada ruang tamu dengan iringan detak jantung yang bergemuruh, kami jatuhkan diri bersama pada sofa yang berlumur madu yang sangat manis. Hingga mataharipun menyapa dengan kehangatannya pada kami berdua.
“Kakak….” Panggil Kara didalam kamar yang masih aku kunci tadi.
“Tunggu, sebentar ya…” Kata bang Masa sembari memakai pakaiannya kembali, kemudian membukakan pintu pada Kara.
“Aku mau minta maaf sama kak Hiya. Kak Hiya, Maafin aku yaa…” Kata Kara sembari menundukkan kepalanya dan tidak berani melihatku.
“Hei… Cantiknya mana? Jangan sedih gitu doong… Kakak udah memaafkan kamu kok.” Kataku menghiburnya.
“Kak Hiya nggak marah sama aku?” Tanyanya dengan wajah polos.
“Enggak? Buat apa? Semuanya kan sudah jelas. Kalau bukan karena kamu, mungkin hubungan kak Hiya dengan kakakmu nggak bakalan berwarna seperti ini. Coba kalau hubungannya datar-datar aja, pasti pernikahan kami rasanya hambar.” Jelasku sembari tersenyum pada bang Masa.
Iya, bener kara kak Hiya, Key.” Jawab bang Masa.
Kalo gitu kalian siap-siap dan mandi yang bersih, aku akan siapkan sarapan untuk kalian. Oke…” Kataku.
“Okee…” Jawab mereka dengan kompak.
Pagi hari di Indonesia yang terik kini kembali sibuk menyapaku dengan senyum gembira oleh sang mentari. Hangatnya terik yang mengawali hari ini mengiringi kepergianku untuk menemani muridku yang mengikuti lomba ke luar kota dan menginap tiga hari tanpa suamiku. Hingga limpahan kelancaran dan kesuksesan mengguyurku bersama muridku yang lanjut babak final dihari terakhir kami menginap.
Pada suatu malam yang sunyi kudengar pintu kamarku yang terketuk memanggilku untuk segera membukakan pintu. Kusapa seseorang yang berdiri didepan ambang pintuku.Tak kusangkakan seorang itu menarikku dan menjatuhkanku keranjang. Wajah bingungku diiringi tangan lelaki itu membuka bajunya untuk meniduriku.
Isao?” Teriak lelaki yangkucintai datang pada saat yang tepat. Pukulan demi pukulan mendarat pada pelipis dan perut Mr. Isao, yang aku fikir Mr. Isao tengah mabuk.
“Apa-apaan ini? Jadi kalian itu ada hubungan dibelakangku? Jadi begini alasanmu untuk menemui Isao? Pura-pura menemani anak lomba segala.” Amarah bang Masa kembali membara yang kini mengalih kepadaku.
Bang Masa! Nggak mungkin! Aku juga nggak tahu kenapa Isao bisa sampai sini!” Jelasku dengan nada yang kesal namun masih bingung.
Heh, Masato!Dia tuh Makweku! Faham!” Jawab bang Mr. Isao seketika yang semakin memperkeruh keadaan. Makwe artinya pacar perempuan.
Mr. Isao!” Bentakku. “Awak dah gile! Kita tak de hubungan ape-ape!” Jawabku dengan nada keras dan marah kepada Isao.
“Udah deh, basi! Lanjutin sana!” Jawab bang Masa langsung pergi meninggalkanku dengan Isao.
Isao! Pakai otak kamu!” Sembari menunjuk kepalaku dan segera pergi mengejar bang Masa. Namun stelah ribuan langkah kuajukan untuk mengejar bang Masa, bang Masa tetap tidak mau berhenti dan segera masuk dalam mobil lalu melajukan mobilnya.
Mentari yang tak kembali bersinar kini ikut larut bersama suasana hatiku, yang tak tahu harus bahagia atau berduka. Disisi lain aku menyaksikan muridku memenangkan juara satu lomba menulis dan presentasi novel, namun berbalik arah dengan bahteraku yang mulai berguncang kembali.
Kupejamkan mataku sejenak setelah letih menyusuri perjalanan dari Jakarta menuju kediamanku di Bandung. Tak kulihat suamiku dirumah, sungguh keruhnya hatiku yang tak tahu harus bagaimana lagi, ditambah aku tak memiliki bukti apapun bahwa Isao itu bohong. Belum sempat kupejamkan mataku dalam pembaringan, HPku berdering memanggilku.
“Hallo… Ada perlu ape, Kak Hamnidah?” Tanyaku dengan suara yang telah lelah untuk mengucap.Kak Hamnidah adalah gadis Melayu tulen, pacar Isao sejak saat aku masih bekerja satu pabrik dengan mereka. Setelah mengetahui pernikahanku dengan bang Masa, akhirnya aku mengenal baik Mr. Isao dan pacarnya alias Kak Nidah.
Hari ni aku nak mempertanyakan perkawannan kita, Hiya? Apa maksud awakyang menyembunyikan Isaodekat bilik hotelmu!” Tanya Kak Nidah dengan intonasi yang tak rendah namun sinis.
“Sungguh, Kak! Aku tak tahu ape-ape masalah yang terjadi siang ni!” Jawabku.
“Halah tak usah berkilah! Suami awak sendiri yang cerite!” Jawab Kak Nidah yang kini ikut-ikutan memojokkanku.
Akak! Dengar baik-baik! Aku tak mungkin macem tu! Terserah akaknak percaye atau tak! Yang jelas aku tak tahu ape-ape!” Jelasku yang ikutan berapi-api.
“Halaaah, tak usah belagak bodoh! Muak I dengar suara awak sok polos! Bye!” Sahut Kak Nidah.
“Tunggu, Kak! Aku nak kamu percayekan aku, Kak.. Kak… Hallo… Halloo” Kataku yang terburu-buru yang ternyata telah terputus panggilan dari Kak Nidah.
“Arrrgghhh…” Geramku kesal sembari membanting HPku.
Kudengar dentuman langkah dua orang melewati kamarku dan menuju ke kamar bang Masa. Kudengar suaracanda tawa yang seakan sedang menertawakanku. Kususuri jalan kedua orang tadi dengan penuh berapi-api yang belum padam.
bang Masa!” Teriakku sembari membuka pintu kamarnya. Kulihat bang Masa yang tengah bercumbu dengan perempuan yang cantik dan membuatku semakin minder. Butiran air dalam mataku tak tahan untuk segera membanjiri pipi ini.
“Puas kamu! Puas sudah menuduhku? Puas kamu membuat pertemananku dengan kak Midah hancur. Dan puas kamu membawa pulang perempuan jalang itu?” Kataku sembari menunjuk muka suamiku sendiri. Dan tiba-tiba kurasakan tamparan yang tidak begitu sakit diwajahku, namun begitu sakit dihatiku.
“Cukup! Dia ini pacar aku!” Jawab bang Masa dengan santainya.
“Dia siapa sih, sayang?” Tanya perempuan itu dengan belagak manja.
“Tenang aja, sayang. Dia cuma pembantuku kok.” Ujar Kevin yang bagaikan telah menusuk dan mengoyak hatiku.
“Dia bohong! Aku ini isterinya!” Bentakku pada wanita itu.
“Oh, pantes suami kamu selingkuh. Orang istrinya jelek begini.” Jawab perempuan itu diiringi gelak tawa Kevin yang tak berperasaan.
“Terserah! Terserah pernikahan kita mau kamu bawa kemana, terserah! Aku nggak perduli lagi!” Jawabku kemudian berlalu.
Rumah idamanku kini jauh seperti yang kuharapkan lagi, rumah yang damai dan hangat dihiasi kebersamaanku dengan bang Masa serta anak-anak kami kelak. Namun, rumah ini telah ternodai oleh dinginnya kami berdua setiap kami berpapasan. Kami tak lagi tegur sapa, bahkan kami membawa pulang pacar kami masing-masihng kini tak menjadi masalah.
Memang remuk redam pernikahan kami berdua. Untuk berdamai, bagaikan mencari jerami ditumpukan jarum, yang akan terluka jika kami mencari jerami tersebut. Hati kami terlanjur sama-sama dingin, ditambah kini aku telah memiliki pacar pura-pura yaitu Wafid yang selalu menghiburku dengan leluconnya, meskipun kami hanya pura-pura untuk balas dendam kepada bang Masa.
Dekorasi ruangan yang memenuhi ruangan sungguh menakjubkan mata. Sungguh bahagianya Takashi sahabat bang Masa, yang tengah menjadi Raja bersama Ratunya dalam balutan sakral pernikahan. Mata yang mengitari seluruh isi ruangan ini, tak sengaja menemukan bang Masa bersama pacarnya Rena. Kurapatkan gandenganku bersama Wafid dan segera menyalami sang pengantin yang duduk bersanding di pelaminan, sempat aku dan bang Masa berpapasan namun hati yang terlanjur dingin ini enggan untuk melihatnya dengan tatapan hangat dan memilih untuk memalingkan mukaku.
Kak Hiya kok nggak sama kak Masato?” Tanya Kara.
“Ehm, kenalin. Ini pacar kakak.” Jawabku sembari memperkenalkan Wafid.
“Apa maksud kakak?” Tanya Kara dengan intonasi meninggi, yang memekakan telinga pada gedung yang dihadiri oleh seluruh orang Jepang itu, hanya aku, Wafid dan Rena saja turisnya.
“Tanya saja dengan kakak kamu.” Kataku sembari pergi dan segera menemui Takashi seraaya menyalaminya atas pernikahannya lalu bercakap-cakap sebentar, dan akhirnya beranjak pulang dengan Wafid.
Aku dan Wafid pulang, namun saat disamping Wafid tak dapat kubendung linangan air mata pada pipiku.
“Kamu nggak bisa terus seperti ini.” Ujar Wafid dalam mobilnya untuk menuju ke Narita.
“Memangnya kenapa?” Tanyaku dengan sinis yang masih mengeluarkan air mata.
“Menurutmu aku ini apa? Aku juga ingin memiliki pacar yang asli.” Jelasnya jengkel.
“Memang aku nggak asli?” Tanyaku.
“Gila! Kamu itu masih status suami orang! Kamu toh masih mencintainya. Kamu menerima aku cuma untuk pelarian! Anehnya, meskipun aku tahu, aku hanya bisa diem. Puas kamu menjadikanku sebagai pelarianmu saja.” Jelas Wafid dengan marah. Namun, setidaknya aku juga mengerti perasaannya.
“Ya sudah, kalo gitu kita putus dahi pacar pura-pura ini.” Katakutegas dan tak memahami perasaannya.
“Nggak bisa gitu, kamu udah melibatkan aku dalam rumah tangga kalian! Kalau begitu ikut aku!” Katanya menghentikan kendalinya pada mobilnya dan segera keluar dari mobil kemudian menarikku keluar. Kulihat gerak-gerik Wafid yang mencurigakan yang mulai memagangku dengan kasar dan menjatuhkanku ke tanah.
Kutegakkan badanku dan segera menyemprotkan deodorantku ke matanya. Kuberlari sesegera mungkin dari kejaran Wafid, berlari dan terus berlari sejauh mungkin dengan penuh rasa takut hingga aku menggigil.
Aku berlari hingga ke sebrang jalan dan tak sengaja aku menabrak seorang lelaki dengan minuman kalengnya yang jatuh. Tak sempat kumelihat lelaki yang ku tabrak, terdengar suara “Braaak”. Kutolehkan pandanganku ke sumber suara, kudapati Wafid yang tengah mengejarku tertabrak mobil.
Lelaki yang kutabrak tadi menarikku dan membawaku kedalam kegelapan kulihat mobil lelaki yang menarikku tadi yang tengah parkir, dia membawaku dekat mobilnya dan tak memerdulikan Wafid yang tengah sekarat.
Pelukan hangat menyelimuti tubuhku yang menggigil ketakutan. Aku merasakan hangatnya tubuh itu menenangkanku. Kulihat sosok bang Masa dengan menggigil, dia memelukku erat. Kurasakan nikmat dunia telah merasuki sluruh tubuhku kembali. Gelapnya malam, membuat bulan mengintip malu.
Masato!” Teriak Rena yang mengetahui kami berpelukan memelototkan matanya. Kutepis pelukan bang Masa dan berlalu tanpa sepatah katapun sembari membenahi bajuku kembali. Cukup kecewa dia menuduhku berselingkuh dengan bang Niki, dan sekarang cukup sakit dia membalasku perbuatan menyayat hati. Tak lama berselang kupergi aku segera menumpangi taksi yang telah aku berhentikan untuk segera ke Narita dan kembali ke Indonesia.
Biolaku kini tak bernyanyi hingga sama sekali, kini hanyalah tangisan biolaku yang menghiasi lembaran-lembaran hidupku. Jeritan tawa balik kisah masa laluku kini hanya menjadi impian yang sulit untuk ku genggam. Hingga himpunan duka tertulis kembali disaat kedua orang tua kami mengetahui remuk redamnya bahterah rumah tanggaku bersama bang Masa yang kini tersisa puing-puing yang mengambang dilaut lepas.
“Kenapa kamu ngga cerai saja? Orang seperti Masato dipertahanin? Kayak nggak ada laki-laki lain aja? Ini ibu udah siapin syarat-syarat perceraiannya.” Kata ibu kepadaku, saat kuberkunjung kerumah ibu dan kakakku di Jogja.
“Sulit, Bu. Meski kami bagaikan air dan api, tapi entah mengapa untuk menggugat cerai bang Masa masih ada rasa yang menahan.” Jelasku.
“Kalau bukan kamu yang menggugat cerainya, kalau begitu biar ibu saja! Sebenarnya ibu sudah mengumpulkan data dan persyaratan, tinggal ibu kirim saja ke pengadilan.Soal pengacara? Ibu punya temen pengacara. Biar dia yang urus.” Jelas Ibu.
“Ya sudah kalau itu memang kemauan ibu. Mungkin itu yang terbaik. Oke ini Hiya bawa syarat-syaratnya, Bu. Lina pergi dulu. Masalah pengacara, ibu aja yang calling ya..” Jawabku dan kemudian pergi untuk menyerahkan syarat-syarat perceraian ke Pengadilan Agama.
“Ya, hati-hati.”
Matahari yang akan kembali ke peraduan mengejarku untuk segera menyerahkan syarat-syarat ke pengadilan, sebelum pengadilan itu tutup. Segera kubuka pintu mobilku dan berlangkah cepat menyusuri zebracross dengan headset yang masih tertancap pada telingaku. Hingga kulihat truck bermuatan puluhan motor menlaju kencang kearahku dalam keadaan slowmotion, dan kulihat arah lain, pada lampu yang ternyata yang menyala merah bukanlah lampu untuk pengendara tetapi untuk penyebrang, kulihat tikungan lain yang ternyata ada sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang lebih dulu menyeretku hingga jatuh ke pinggir jalan. Akhir kejadian kutemukan diriku duduk dengan luka-luka ringan di trotoar, dan lelaki yang tadi terpental dari motornya telah hancur karena terlindas truck.
Linangan air mata dan shock berat melanda hatiku yang bingung harus berbuat apa. Rasa jijik, ngeri, dan sedih disaat menemukan lelaki pengendara motor itu. Dan rasa haru akan rasa syukur yang tak terkira, karena lewat sedetik saja aku tak terseret motor itu, mungkin aku memiliki nasib yang sama seperti lelaki pengendara itu.
Puluhan orang, polisi, dan mobil ambulan berdatangan mengerubuni kami. Kicauan pertanyaan, dan rasa kasihan dan heran mencuat padan lisan mereka. Hingga polisi memintaku untuk memberikan keterangan atas kejadian ini. Dan syukurlah aku menjadi saksi, bukanlah tersangka. Karena, saat aku menyeberang, aku telah di pinggir sebracross. Walau sebenarnya aku juga bersalah karena juga tak mengindahkan lampu merah karena tak focus pada rambu-rambu. Namun sebenarnya aku sangat berterimakasih pada seorang yang jugamelanggarlampu merah yaitu si pengendara motor tadi. Berkat dia, sepeda motornya menyeretkuke trotoar, malah dia sendiri masuk dalam roda truck itu.
Aku segera mengingat semua kejadian dalam lembaran hidupku dan intropeksi diri. Benar kata ibu, aku memang muslim namun semenjak pertengkaranku dengan bang Masa dan Isao di hotel, sejak itu aku tak mengindahkan perintah dan larangan Allah.
Mungkin saja dengan kejadian kecelakaan ini, Allah yang selalu menyayangiku ingin memberiku peringatan dengan sentilan kasihnya yang masih memberkatiku dengan kehidupan kedua untuk memperbaiki diri. Hingga satu keputusan termuat dalam otakku untuk ambil cuti panjang dari profesiku dan pergi ke pesantren agar mendalami agamaku sendiri untuk menenangkan diri tanpa satu orangpun yang tahu.
Ilmu agama serta kucuran tuturan dari ustadzah Fida telah menampar sanubariku untuk membuka nurani agar kembali kepada jalan Allah SWT. Aku menyesal telah melupakan rahmat yang telah diberikan oleh Sang Pemegang hidup dan mati seseorang. Sedikit demi sedikit, dari nol aku menapaki jalan untuk kembali. Tak kuhiraukan sms, telfon ataupun email yang tertuai dari beberapa kerabatku. Hingga aku telah merasa tenang, akupun kembali ke Jogja. Rumah saat aku masih dalam dekapan ibuku hingga tumbuh dewasa bersama mas Kiki.
Bukan maksud melarikan diri dari masalah yang menimpa bahteraku namun hingga setengah tahun ini. Namun aku hanya ingin mempelajari apa yang harus kulakukan sebagai Abdullah. Meskipun aku harus diberhentikan dari SMK yang pernah aku geluti selama bertahun-tahun itu, namun aku masih beruntung karena pemerintah tidak mencabutku dari PNS.
Hingga tanpa kusadari, Allah SWT membukakan pintu jalan keluar untukku. Kak Hamnidah yang tiba-tiba mendatangi rumah ibuku, setelah aku kembali dari pesantren.
Hiya, minta maaf banyak-banyak perihalaku dan Isao, ye…” Kata kak Nidah sembari memegang tanganku.
“Maksud Akak? Maaf, yang soal salah faham Mr. Isaosaat datang kehotelku saat itu?” Tanyaku dengan sedikit merasa lega.
“Iya, fakte nya yaitu Isao itu salah masuk hotel. Seharusnya Isao masuk hotel yang berada pada sebelah hotel awak untuk menemuiku. Namun karene nomor bilik hotelku yang kebetulan sama dengan bilik awak, hingga Isao salah masuk bilik dan mengira awak tu adalah aku, Hiya. Dan saat itu Isao dalam keadaan mabuk.” Jelas kak Midah.
Mulanye aku tak mempercayaiIsao, hingga akhirnya tukang parkir yang salah memberikan petunjuk kepadanya menjadi saksi. Akhir cerite aku tetap menjadimakwenya, dan saat kamu ke pesantren aku menikah dengan Isao dekat Malay. Maafkan aku yaa…” Jelas kak Midah.
“Oh, lalu bang Masa sudah mengetahui hal ini?” Tanyaku.
“Sudah, tapi sayangnya dia telah terlanjur ehmm,,, dia terlanjurmebuatmakwenya mengandung. Make dari tu,Rena menuntut pertanggung jawaban Masa untuk cepat talak kamu dan menikahi Masato.” Jelas kak Midah agak terbata yang mungkin takut menjelaskan itu kepadaku.
“Oh begitu…” Jawabku yang mencoba tenang meskipun gemuruh dalam dada seakan ingin meledak-ledak. Kata-kata dari Kak Nidah memang bagaikan sayatan petir yang memakakan telingaku.
“Kamu takape-ape, kan?” Tanya Kak Nidah.
“Aku… Aku juga mengandungKakTak mungkin aku menuntut cerai kepadanye saat aku mengandung.” Jelasku.
“Apa? Mengandung? Mana ade? Kapan terakhir awak buat? Awak keburu buat sih..” Jelas kak Nidah yang memang agak sableng.
“Ya sudahlah, sekarang tolong anter aku ke rumahku ya.” Pintaku.
Awak gile, ya? Awaknak masuk ke kandang harimau? Disana pasti ademakwe Masato.” Jelasnya.
“Tapi mereka belum menikah, kan? Jadi aku yang lebih berhak masuk rumah itu. Karena aku istri Masato yang sah.” Jelasku.
“I.. Iya, sih..” Jawab kak Nidah.
Kubuka pintu rumahku dengan mata berkeliaran mencari sesosok Masato. Nita yang tak memiliki nyali untuk menemaniku, hanya menungguku dimobilnya. Kulihat sosok Kara yang duduk membaca bukunya.
“Kara, kakak sudah mendengar semua tentang kakak kamu. Dan InsyaAllah kakak akan menggugat cerai kakak kamu secepatnya. Jadi nanti tolong sampaikan kakak kamu agar tak perlu mencemaskanku, tanpa disuruh Rena untuk menceraikanku, maka aku akan menceraikannya sendiri. Sehingga kakak kamu akan lebih mudah menikahi Rena.” Kataku kepada Kara yang bangkit dari duduk dan menahan perutnya yang kini kian membuncit.
“Kakak, tunggu!” Ujar Kara sembari menahan tanganku yang akan pergi.
“Kak, percaya sama aku. Kak Rena itu jahat. Dia nggak ada baik-baiknya sama aku. Aku cuma ingin kak hiya aja yang jadi kakak ipar aku.” Kata Kara memohon yang kurasa itu tulus.
“Tapi, kakak sudah tak kuat lagi menjadi pendamping kakak kamu. Key! Cukup semua ini. Sudah cukup!” Kataku perlahan dan menepis tangan Kara.
“Kakak please…” PintaKara.
“Cukup, Key!” Kutepis tangan Kara sekali lagi, tak kusangka akibat perbuatanku, aku telah membuat Kara tersungkur. Darah yang keluar dari rahimnya keluar menganak sungai. Dengan panik aku dan kak Nidah segera membawanya kerumah sakit.
Kulihat keluarga bang Masa berdatangan dan menanyakan keadaan Kara, namun tak kulihat bang Masa bersama Rena bertandang menemui adiknya. Sungguh, bang Masa begitu keterlaluan! Secepat itukah bang Masa berubah hanya karena wanita itu. Astagfirullah! Aku nggak boleh berprasangka buruk seperti ini.
“Key? Gimana kabar kamu, sayang? Sakit nggak?” Tanya Papa kepada Kara.
“Baik, Pa. Cuma nyeri sedikit.” Jawab Kara.
“Tapi, kenapa kamu sampai seperti ini?” Tanya Mama dengan cemas.
Begini, Ma.. Ta..” Belum sempat aku jelaskan Kara sudah menyela pembicaraanku.
“Tadi aku memanjat rak buku untuk mengambil buku yang berada pada rak buku paling atas, saat aku loncat eh aku malah jatuh. Dan untunglah, Kak Hiya datang pada saat yang tepat, dan Kak Hiya segera menolongku.” Jawab Kara dengan penuh kebohongan demi membelaku. Aku yang kaget mendengar penjelasan Kara, mendapat senyuman tulus dari Kara.
Hiya, terimakasih ya… Andai saja Rena itu nggak hamil dari benih Masa, sudah Mama tendang dari rumah. Sungguh bodohnya Masa yang menukar emas dengan tembaga.” Kata Mama dengan berapi-api yang semakin membuatku merasa bersalah kepada Kara.
“Beeuuuhh, boro-boro tembaga. Kak Rena itu mah cuma pasir yang ada pup kucingnya. Hihihi” Celoteh Kara yang masih sempat-sempatnya tertawa. Mereka menertawakan Rena pada saat Rena berada di tengah-tengah mereka. Karena Rena orang Indonesia asli, jelas Rena nggak mengerti dari bahasa Jepang yang terlontar dari mulut kami.
“Kara… Maafkan kakak, ya.” Kataku.
“Maaf untuk apa, kak?” Tanya Kara pura-pura tak mengetahui maksudku untuk meminta maaf soal kekasaranku yang telah membuatnya pendarahan.
“Yang ada itu kami yang meminta maaf pada kamu, Hiya.” Jawab Mama.
“Kami gagal untuk mendidik Masa sehingga Masa menjadi tergila-gila pada wanita yang jahat seperti Rena dan mencampakan kamu.” Lanjut Mama.
“Nggak apa-apa, kok Ma.” Jawabku dengan tersenyum kepada Kara yang menatapku dengan penuh kasih sayang.
Setelah keluar dari ruangan Kara, kulihat bang Masa yang tengah bertengkar dengan Rena. Tanpa fikir panjang aku segera sembunyi dan entah mengapa aku terfikir untuk merekam suara mereka.
“Aku nggak peduli!” Kata bang Masa yang sebelumnya aku belum mengetahui percakapannya. “Kamu cewek gila! Murahan!” Hina bang Masa kepada Rena.
“Memangnya kenapa? Kamu takut harta kamu terkuras.Tenang ajalah… Mungkin setelah aku mengambil semua assetmu, aku akan berbesar hati memberimu yaa sedikit uang.” Kata Rena dengan nada pelan.
“Licik kamu, Ren! Aku bahkan tak pernah sedikitpun menyentuh kamu!Bisa-bisanya kamu menfitnahkutelah menghamilimu dihadapan banyak orang terutama keluargaku dan memintaku menikahimu, supaya aku menyerahkan assetku. Sekali-kali tidak untukmu! Camkan itu!” Bentak Kevin frustasi.
“Mas, mas… Memang aku hamil buakan dari benih kamu. Tapi aku mau tanya deh sama kamu, kamu itu pura-pura bego atau bego beneran? Ya nggak mungkin lah aku meninggalkan sumber uang tanpa menguras habis uang itu. Lagian, salah sendiri menyewa aku untuk pura-pura menjadi pacarmu, mana bayarannya sedikit lagi. Makanya cari pelacur tuh ya, yang bego banget, jadi kamu yang udah bego nggak bakalan lagi bisa dibego’in.” Hina perempuan itu. “Udahlah, mas. Mending kamu segera mempersiapkan pernikahan kita dan surat perceraian kita. Bye.” Lanjut wanita itu diiringi kepergiannya.
Kuberjalan mendekati bang Masa yang tengahmenundukkan kepalanya. Aku meraih tangannya dan segera mencium tangannya. bang Masa yang terkejut melihatku segera mendekap etat tubuhku dan kurasakan air matanya menetes pada pundakku yang kini mulai basah.
Hiya, maafkan aku… Semua ini salah paham, dan wanita jalang itu telah menfitnahku, tolong percalah denganku!” Ujar bang Masa dengan sesenggukan.
“Aku telah maafkan kamu, Bang. Tenang saja, tidak akan yang akan menfitnahmu lagi selagi aku memiliki record dari pembicaraan kalian tadi. Kita akan melapor untuk masalah penipuan dan pemerasan uang.” Kataku menenangkan bang Masa.
“Jadi, ternyata kamu sedari tadi telah merekam semuanya?” Tanya bang Masasembari melepaskan pelukannya dan sudah mulai reda.
“Nggak semua sih, tapi aku merekam kata-kata yang penting.” Kataku dengan senyuman termanisku. Kulihat senyuman bang Masa yang selama ini tak pernah kulihat telah terbuka untukku dan menyibak semua kesedihan.Kak Nidah yang menunggu di mobil sedaritadi, telah ku bebaskan untuk pulang terlebih dulu, karena malam ini aku akan pulang bersama suamiku untuk ke kantor polisi dulu.
Kicauan burung mengiringi redupnya mata hari pada hari yang panjang ini, dari melapor ke polisi, sidang, dan hingga semua diputuskan bahwa Rena dinyatakan sebagai tersangka penipuan dan pemerasan. Langkah kami ayunkan dengan penuh perasaan senang dan lega.
Rumah tanggaku yang kembali rukun seperti semula setelah berbulan-bulan mengalami kecacatan kini telah terjalin indah kembali.
“Bang, aku hamil.” Jelasku pada Bang Masato.
“Sama siapa?” Ejeknya.
“Ya, sama suaminya lah. Masak iya sama orang lain.” Jelasku.
“Olo, olo.... Cuma macam tu dah merajuk.” Katanya sembari mengelus-elus pipiku.
“Tebak sudah berapa bulan?” Tanyaku.
“Ehhmm... Kita terakhir melakukan sebelum ada Isao yang salah masuk hotelmu. Itu sekitar hampir satu tahun yang lalu? Lalu kok, proses hamilnya lama bener? Seharusnya ya udah lahir.” Jelas Bang Masa.
“Ih, Kamu lupa ya!! Terakhir kali kan saat kamu menarikku dalam kegelapan dekatmobilmu dan kamu memelukku. Huh.” Balasku dengan cemberut.
“Oh, iya. Lupa sayang. Berarti sekitar enam bulanan ya?” Tanyanya.
“Betul...” Jawabku sembari mengacungkan jempolku.
“Wah, kok nggak kelihatan gede? Kamu sih, ke selalu pakai hijab syar’i depan suamimu sendiri jadi nggak kelihatan hamilnya.” Jelasnya. “Sanah, ganti sama yang seksi.” Celetuknya.
“Ih, dasar” Sembari ku timbuk bang Masa dengan bantal dan perang bantalpun tak terelakkan. Setelah lelah bermain, aku memeluk suamiku dengan lemas. Kuraih wajahnya dan ku kecup bibirnya.
“Terimakasih...” Kata bang Masa.
“Untuk apa?” Tanyaku.
“Masih mau mempertahankanku sebagai suamimu. Maafkan aku.” Katanya.
“Nggak apa-apa. Yang penting kini kita telah bersatu bersama calon baby kita.” Jawabku sembari mengelus perutku yang kian buncit.
“Iya, makasih masih mau melayaniku.” Katanya lagi.
“Hihi, kamu itu aneh, deh. Kalo soal itu sih, aku juga butuh. Nggak cuma kamu yang merasa terlayani namun akupun juga.” Jelasku.
“Tapi, aku kira akan sulit untukmu, setelah beberapa kejadian yang membuat kita pisah.” Jelasnya.
“Nggak, kok. Aku nggak akan menyerahkan suamiku kepada siapapun. Eh, kalau di ingat-ingat. Kita baru ngelakuin itu tiga kali ini ya? Padahal kita menikah sudah bertahun-tahun.” Kataku heran.
“Apa perlu selepas kerja, aku langsung pulang ke Indo agar kita bisa melakukannya tiap malem. Hihi...” Jawabnya sembari tertawa nakal.
“Nggak perlu kok. Jawabku, aku akan meninggalkan pekerjaanku. Aku akan ikutkamu ke Malay. Lagipula nggak baik suami istri berpisah jarak, meski setiap minggu pulang.” Jelasku.
“Yang bener? Kamu mau pindah ke Malay?” Tanyanya.
“Ya bener. Tapi... Aku nggak mau pindah kewaarganegaraan lagi. Walau tiap tahun harus perbaharui paspor juga nggak papa. Malah lebih hemat. Karenakamu nggak akan pulang balik melalui pesawat tiap minggu.” Jelasku.
“Baiklah, kalau itu mau kamu.” Jawabnya.
Bisingnya pesawat yang leading terasa gaduh dalam telinga kami, seakan mengiringi langkah kami. Setelah segala urusan telah teratasi, kami segera merebahkan diri untuk mempersiapkan hari Senin besok yang telah sibuk. Berkat promosi suamiku, aku bekerja di pabrik tempat dulu aku menjadi buruh, namun sekarang perbedaannya aku memakai seragam hijau seperti suamiku. Bisa ditebak, kini aku menjadi manager. Suatu hal yang tidak pernah aku sangka saat aku dulu bekerja disini menjadi operator.
Sebelum mulai bekerja sebagai manager HRD, aku dipersilahkan Mr. Fujiyama untuk memperkenalkan diri dihadapan semua manager yang tengah berkumpul pada ruang manager tersebut. Seluruh mata tertuju padaku. Lisanku dengan lancar menggunakan bahasa Jepang untuk memperkenalkan diri.
Tak sedikit dari manager disana yang aku kenal, mulai dari Mr. Akihiro, Mr. Hiroyuki, Mr. Rudolf, Mr Isao, hinggaMr. Cakradhar. Mereka memang sudah nggak terkejut lagi, karena mereka adalah teman-teman suamiku yang sudah tahu tentang pernikahan kami sejak lama.
Pada perjalanan ke ruang kerjaku yang baru, saat dijalan aku sempat berpapasan dengan Kak Sita. Kak sita yang dulu pimpinanku, kini malah berbalik. Aku sapa dia dengan penuh tatapan rindu yang ku coba untuk ku tahan.
“Akak?” Sapaku lembut dengan tetap menjaga kewibawaanku. Kak Sita membalasku dengan senyum lalu menunduk. Kurasa kak Sita, belum menyadari bahwa ini aku seorang Hiya. Entahlah, segera aku berlalu. Biar berlanjut nanti setelah aku pulang saja untuk melepas kerinduan, agar aku dapat menjaga perangaiku yang cuwawakan untuk tetap tenang.
Setelah aku mempelajari dan berkenalan dengan pekerjaanku, kini aku sudah agak mengerti dan dapat mengurus segalanya secara mandiri. Saat bell rehat menyapa, Hpku berdering dan kulihat pesan dari suamiku yang mengajakku untuk makan diluar bersamanya. Baiklah aku menuju ke parkiran untuk menemui suamiku.
Saat menuju ke parkiran, kulihat langkah Emak alias leader tertuaku dulu. Semakin mendekat kepadaku, kulemparkan senyum padanya. Sesaat dia tengah berfikir, namun akhirnya dia membalas senyumanku. Sepertinya Emak tahu aku yang sebenarnya.
“MasyaAllah... Benar ke ni ape yang Mak pandang.” Ujarnya menggodaku.
“Benar, Mak.” Sahutku tetap menjaga kewibawaan namun tetap sopan.
“Allah... Hiya, kan ni?” Tanyanya tak percaya.
“Iye, Mak.” Jawabku sembari menyunggingkan senyum. “Mak, saye nak rehat dulu. Sudah di tunggu abang saye.” Jawabku genit.
“Wah, ye ye... Bye” Sapanya.
“Bye.” Jawabku. Lalu segera ku singgahi mobil suamiku.
Kusapa wajah nanrupawan itu, ku kecup tangan kanannya. Terikknya siang mengiringi kemudi mobil suamiku yang berhenti pada suatu masjid.
“Lhoh, katanya tadi mau cari makan?” Tanyaku.
“Setelah sholat dhuhur.” Kata suamiku sembari menyunggingkan senyum dengan gigi kelincinya.
“Sip.” Jawabku seraya mengedipkan mataku.
“Haduuuuh, senyumnya itu lho... Jadi pingin cepet-cepet pulang.” Celetuk suamiku menahan rasa nggak tahan sembari mengelap muka dengan telapa tangannya.
“Ih, gombal.” Kataku seraya menyubit perutnya yang kekar sehingga sulit untuk aku cubit.
Langkah kami yang menyusuri masjid dengan seksama untuk bersyukur dan bertobat atas yang telah terjadi dengan sholat. Raka’at demi raka’at kujalani dengan hikmat, hingga tak terdengar suara bising jalan raya. Yang mengalir merdu dalam telingaku hanya asma Allah yang terlantun pada lisan Imam masjid saat itu.
“Kamu mau makan apa?” Tanya suamiku sembari melangkahkan kaki kirinya untuk keluar masjid.
“Uhm, sambel terong.” Kataku dengan semangat yang berniat untuk memberi candaan kepadanya.
“Yey, mana ada sayang.” Katanya sembari menyubit pipiku.
“Ya udah, terserah abang. Yang penting halal.” Jawabku.
“Okelah, kita ngaffe aja ya.” Jelasnya.
“Siap, captaint.” Kataku.
Alunan suara merdu musik pada caffe itu menghiasi canda tawa antara aku dengan suamiku tercinta. Gigi kelinci suamiku menambah rupawan wajah suamiku yang penuh kharisma. Dari hal yang lucu hingga rayuan gombal menghiasi siangku saat itu. Bak anak ABG baru pacaran kami saling ejek dihiasi dengan cumbuan mesra.
“Sudah masuk, nih. Balik ke kilang yuk” Ajak suamiku. Kilang itu adalah bahasa Malayu dari pabrik.
“Jom...” Jawabku meng-ayo kan.
Setelah sampai kilang aku segera masuk pada ruang manager terlebih dahulu jikalau ada info atau pengumuman. Benar firasatku berkata, aku mendapat panggilan dari Mr. Fujiyama untuk dipindah tugaskan. Padahal baru saja sehari ini belajar tentang pekerjaanku pada bagian HRD, namun kini kau di pindah sebagai manager proses dimana saat aku masih menjadi operator. Aaarrrgghhh... Disana kan masih ada teman-temanku dulu yang selalu memperpanjang kontrak. Aku takut jika malah mereka tidak menghargaiku, karena dulu aku pernah dekat dengan mereka.
Bagaimanapun juga tugas tetap tugas, aku harus menurut pada Mr. Fujiyama selaku ketua dari semua manager. Serta proses yang akumanageri selalu bersentuhan dengan alat-alat elektronik, yang aku belum pernah berdekatan dengan yang namanya mecanika. Dulu saat menjadi operator pun aku hanya menyentuh komputer dan microscop.
“Assalamu’alaikum, kawan-kawan. Mulai sejak ni. Saye yang memegang proses kawan-kawan. Perkenalkan nama saya Ibu Fahiya. Terimakasih.” Jelasku pada meeting siang itu. Sekilas ku dengar bisik-bisikan dari rekan-rekanku dulu “Macem kenal je.”, “Macem Hiya, bukan sih?”, “Kalo Hiya kok sudah isi?”, dll. Namun aku pura-pura tak mendengar untuk menjaga kewibawaanku.
Di hari pertamaku bekerja ini, mengiringi perpindahanku dari manager HRD menjadi manager prosesku sendiri, saat aku masih jadi buruh dulu. Namun, baru saja belajar mengenai managerial, aku sudah di panggil untuk memperbaiki mesin yang problem oleh para lelaki mecanic yang menyerah untuk memperbaiki mesin itu. Jika mereka saja tidak bisa? Apalagi ane? Haduh.... Aku kan awam soal mesih. Aarrrggghhh Mr. Fujiyamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.................... Ingin kuteriakkan itu, namun yasudahlah.
Kutemui mesin yang problem itu, tak kutampakkan ekspresi bingung untuk menjada image. Berusaha sesantai mungkin, namun tetap berfikir. Terlintas suamiku melewatiku, dia mendekatiku seakan asing denganku.
“Maaf, akak. Sebenarnya itu termasuk tugas saye. Mungkin akak boleh melihat dulu.” Kata suamiku sok asing denganku, yang jelas-jelas suamiku juga sudah tahu jika aku pindah tugas.
“Oh, oke. Sebenarnye saya juga manager dekat sini. Tapi, saye masih baru lagi.” Jelasku yang akhirnya mengikuti permainan suamiku.
“Oh, macam tu. Mari-mari saya repair mesin sama-sama dengan saye. Sape tahu jika saye bantu dapat cepat selesai.” Tanya suamiku.
“Okelah, mari.” Jawabku sembari tersenyum karena mengetahu taktik suamiku untuk mengajariku merepair mesin tanpa harus menjatuhkan harga diriku didepan para lelaki mecanic yang juga bawahanku.
“Tolong ambilkan wayer nya.” Pinta suamiku.
“Ini, Ser.” Kataku sembari mengulurkan tanganku. Ditengah situasi macam ini, ku dijekutkan tangan suamiku malah memegang tanganku bukan wayernya. Cukup lama dia memandangku sembari memegang tanganku.
“Ehem.” Seketika aku berdehem karena malu dengan para mecanic yang juga belajar repair mesin sedari tadi.
“Oh, maaf.” Jawabnya sambil tersenyum nakal kepadaku. Hinga step demi step diajarkan oleh suamiku. Singkat cerita aku menjadi mengerti cara-cara repair mesin berkat suamiku dan mesin itu kini kembali berjalan.
Setibanya dirumah, kami disambut oleh pembantu baru di rumah kami. Kulihat ibu-ibu paruh baya itu, macam muka Indon saja. Ya, nggak salah lagi itu orang Indonesia. Suamiku yang mengangkatnya sebangai ART kami, agar aku tak terlalu capek. Aduuuh, baiknya suamiku.
“Hihi, abang genit deh!” Ledekku sembari membuka pintu kamar.
“Yang genit-genit itu greget tau.” Ujar suamiku sembari masuk kamar bersamaku.
“Hiya, sebenarnya mereka itu tahu kalau kamu manager baru.” Jelas suamiku.
“Mereka siapa?” Tanyaku sembari membukakan dasi suamiku.
“Ya, para lelaci mecanic itu. Mereka aja yang ganjen, biar kamu dekat mereka, padahal soal mesin kan bisa panggil aku apalagi saat itu aku lagi nggak ada kerjaan. Dirimu yang jelas-jelas masih sibuk dengan file-file perpindahan tugas malah dimintai bantuan.” Jelasnya.
“Oh, macam tu.” Lirikku genit sembari mengulurkan jus sayuran yang ku ambil dari dari frezzer. “Bukannya cemburu, ya?” Tambahku lagi.
“Kalo itu sih nggak perlu di tanya.” Jawab suamiku genit setelah meminum jusnya. Kemudian dia menarikku dalam pangkuannya sembari mengelus janin yang kukandung.
“Masak iya, seorang ibu-ibu hamil macam ini pesonanya masih bisa menarik laki-laki?” Tanyanya berbisik pada telingaku.
“Hihi, termasuk kamu.” Ujarku sembari menyolek hidung suamiku.
“Ih, kamu itu ya. Bikin greget. Abang nggak tahan. Sini abang gelitikin.” Katanya gemas sembari gelitikin daerah sekitar pegununganku.
“Ih, abang. Geli tahu.” Ujarku kegelian dan segera bangkit dari pangkuannya den berlari kecil agar dia mengejarku.
“Awas, ya kalau ketangkap.” Kata suamiku diiringi langkahnya untuk mengejarku. Kamipun saling kejar-kerajran bak anak balita sedang bermain.
Setelah lelah berlarian, akhir ceriata aku berhasil ditakhlukkan suamiku, hingga kini aku dalam pelukannya. Indahnya bulan purnama, mengiringi siluet kami yang kian mendekatkan bibir satu sama lain. Sebuah ciuman lembut didaratkan oleh suamiku.
Dinginnya malam ini mengiringi keringat kami yang bercucuran akibat kenakalan kami malam ini. Dijatuhkannya aku pada pembaringan oleh suamiku, hingga guyuran manis madu memandikanku malam itu. Ranjang yang basah oleh sang madu menjadi saksi cinta kami yang membakar dinginnya malam.
Kini hari-hari, aku bekerja sesuai yang diajarkan oleh suamiku, dari mulai ekspresi mimik muka seorang manager hingga merepair mesin telah kuserap dengan baik pelajaran yang diajarkan oleh suamiku sendiri. Hingga tak terasa aku sudah bekerja disini selama sebulan.
Pagi hari ini kumulai untuk menuju ruang meeting, namun tiba-tiba aku bertemu dengan seorang memakai kacamata. Sepertinya aku kenal? Setelah meliriknya, aku pura-pura tidak menghiraukannya lagi. Hingga tak ku sangka dia berani memanggilku, yang kini menjadi pimpinannya. Aku tolehkan wajahku kepadanya dengan wajah pura-pura aku buat sok nggak kenal dan sok sibuk.
“Fahiya, kan?” Tanyanya sembari melihat perutku yang membuncit.
“Maaf, saye sedang banyak urusan hari ni.” Kemudian aku segera beranjak dari lelaki yang dulu sempat memata-mataiku saat aku masih menjadi seorang operator.
Haduh... Kenapa pertemuan dengan customernya di ruang meeting, padahal disana banyak orang-orang yang mengenalku. Jika mereka kepo gimana? Dan kenapa harusbertemu dengan orang tadi, yang dulu fans beratku, walau aku nggak mengenalnya.
Apesnya lagi, ternyata customer dari korea itu adalah seorang yang pernah menggodaku dulu. Dulu saat aku masih menjadi buruh, aku pernah mengantarkan produk ke ruangan yang berdekatan dengan ruang meeting. Hingga ku temui orang korea itu keluar dari ruang meeting seraya berdehem kepadaku dan menyapa “Morning.” Yang membuatku ngibrit, karena dulu masih takut dengan yang namanya manager. Namun dulu aku sempat tertarik dengannya yang memili wajah nan rupawan bak Yesung (Super Junior), namun itu dulu.
Pagi hari ini telah membuka pintu pertemuanku kembali dengan orang korea itu yang kini tengah menjadi customerku. Dia telah melayangkan bukti hitam di atas putih seraya melayangkan claim pada produk kami, niat awal pertemuan kami sih begitu.
Setelah kubuka pintu ruang meeting, kulihat dia dengan wajah rupawannya melihatku hingga tak berkedip, begitupun aku yang sebelumnya tidak tahu bahwa dialah manager yang aku tinggal ngibrit saat dia sapa dulu. Malah kini giliran aku yang terlebih dulu menyapanya.
“Good Morning?” Sapaku dengan wajah masih terpesona dengannya.
“Morning.” Jawabnya sembari mengajakku bersalaman. Lalu aku menjabar tangan orang korea itu.
“I’m Kang Dong Min. Marketing Manager from banch factory in Korea.” Dia mengawali dengan masih melihatku dengan tatapan tak percaya akanyang dia lihat.
“I’m Fahiya Abidah. Manager who manage process which you claim. I’m so sorry for our false.”Balasku, sehingga kami berbincang mengenai perbisnisan kami hingga akhirnya menemukan jalan pemecahan atas kesepakatan bersama.
Setelah meeting, langkahku mengiringinya untuk mengantarnya keluar dari pabrik. Saat tubuh kami beradu dan berhadapan di depan pabrik, dia menepuk-nepuk pundakku.
“God job.” Pujinya sembari melayangkan senyum. Akupun membalas senyumnya. Hingga kami terlibat dalam percakapan informal. Dia menanyakan kabarku, mengapa aku menjadi seorang manager, hingga kini telah mengetahui kehamilanku yang disebabkan oleh suamiku.
Tak ragu dan tak malu aku membelai kandunganku., dan menceritakan sifat baik suamiku yang juga bekerja satu pabrik denganku pada Mr. Kang. Hingga dia pun ingin berjumpa suamiku yang telah berhasil menaklukkanku yang selalu lari saat disapa Mr. Kang dulu. Karena baginya aku susah didapatkan, bagi Mr. Kang. Mr. Kang pun juga menceritakan kesinggelannya tanpa malu. Hingga kami pun berpisah dan saling melambaikan tangan. Sungguh, aku kira pertemuanku dengan Mr. Kang tidak akan semulus yang telah terjadi seprti ini.
Dering bell peringatan untuk pulang telah memekakan telangaku di sore ini, aku bersegera ke tempat parkir untuk pulang bersama suamiku yang tadi sangat jarang aku bertemu dengannya karena kesibukan kami.
“Assalamu’alaikum, bang.” Sapaku di seberangnya nya yang berdiri sebelah mobilnya untuk membuka pintu mobil. Belum sempat seamiku membalas salamku, tiba-tiba suara panggilan terlontar.
“Fahiya....” Teriak lelaki berkacamata itu dari kejauhan.
“Bang... Bukannya dia anak mecanic bawahanmu ya? Siapa sih dia?” Tanyaku sebelum lelaki berkacamata itu mendekat, sedang aku hampir saja masuk dalam mobil.
“Seharusnya aku tang tanya kekamu, dia itu siapa? Kok bisa tahu nama kamu.” Tanya suamiku balik yang telah masuk dalam mobil.
“Dia fansku saat dulu aku masih jadi operator.” Jawabku singkat sembari menundukkan setengah badanku kedalam mobil.
“Oh, namanya Asri.” Jelas suamiku singkat karena telah menyadari Asri telah hampir dekat dengan kami yang tengah membicarakannya.
“Fahiya, kan?” Jawabnya tanpa menaruh rasa hormat kepadaku sedikitpun.
“Benar, anda ini siapa?” Tanyaku bingung dikarenakan tingkah sok kenalnya kepadaku.
“Mr. Masato” Sapa Ari kepada suamiku sembari membungkuk tanda hormatnya, yang baru menyadari keberadaan suamiku setelah suamiku keluar dari mobilnya.
“Maaf, sa-saye...” Kata Asri yang mulai terbata karena mungkin baru sadar apa yang telah dia hadapinya saat ini.
“Fa-Fahiya, maksud saya Miss. Fahiya. Sa-saye cuma nak memastikan je.” Tambahnya terbata.
“Saye lupa nak kenalkan manager baru pada awak, Asri. Kemarin awak cuti. Pantaslah, awak tak perasan.” Jelas suamiku. “Kenalkan, manager baru nya tu istri saye, Fahiya. Dia orangjuga pernah kerja dekat sini, pantaslah kalau kalian pernah bertemu.” Jelas suamiku lagi tegas namun tetap sopan.
“Oh, macem tu. Minta maaf banyak-bayak atas perangai saye! Sebab saya belum tahu.” Jelas Asri.
“Yelah, saye faham.” Kara suamiku diiringi kepergian Asri. Kemudian kami kembali masuk dalam mobil.
“Untung tadi kamu ikut keluar.” Kataku dengan senyum.
“Masak iya aku membiarkan istri macam kamu di sapa oleh laki-laki yang hingga kini masih ngefans sama kamu. Ya, jelas jealouse lah.” Terang suamiku. “ Istri macam kamu itu bahaya tau.” Tambah suamiku sembari menyubit pipiku saat mengemudi.
“Bahayanya gimana?” Tanyaku sok imut.
“Ya, nggak usah tebar pesona udah pada terpesona laki-laki yang dekat kamu.” Jelasnya.
“Uhm, kalo gitu aku mau tebar pesona sama abang terus ah.” Kataku bersemangat.
Setibanya dirumah kami langkah kami yang berkejar-kejaran menaiki anak tangga demi anak tangga, dengan iringan renyah tawa kami. Kurasakan lantai anak tangga yang licin membuatku merasa seakan seisi rumah berputar. Hingga tergelinding sampai pada lantai dasar. Rasa sakit pada janinku yang tak tertahankan.
“Aaaarrrggghh...” Jeritku saat kutemui suamiku menghambur padaku yang tengah tersengkur. Hingga seluruh dunia gelap gulita.
Setelah ku buka dua buah matakau perlahan, terangnya dunia mulai kulihat. Suara seorang yang ku cintai memanggil-manggil namaku merdu. Kutemukan perutku yang kempis kembali. Dimana bayiku? Apakah dia telah lahir?
“Sayang...” Panggilku kepada suamiku yang kini penampilannya tak terurus dengan kedua matanya yang lebam dan sembab, ku coba untuk bangun dan duduk pada pembaringan rumah sakit.
“Akhirnya kamu sudah sadar.” Kata suamiku sembari mendekapku lembut.
“Dimana bayi kita, bang?” Tanyaku sembari melepaskan pelukannya.
“Dia sudah di sisi Tuhan kita.” Jawabnya diiringi senyum yang dipaksakannya hanya untuk menenangkanku.
“Ta-tapi, bang? Kenapa?” Tanyaku yang diiringi basahnya pipiku karena melelehnya air mataku.
“Saat kamu terjatuh dalam posisi telungkup, sehingga membuat kepala bayi kita terkena benturan keras.” Jelasnya. “Sudah, biarkan dia tenang. Nanti jika memang kamu menginginkan seorang anak, maka kita bisa adopsi bayi kapanpun yang kamu mau.” Jelas suamiku lagi.
“Apa maksud kamu, bang? Aku masih bisa mengandung kan, bang?” Tanyaku diiringi dengan harapan yang membuncah. Namun suamiku menggeleng dan tak berani menatap mataku yang meleleh.
“Rahim ka-kamu telah diangkat, Hiya. Hari ini kamu sadar itu sudah anugrah bagiku, Hiya. Setelah selama dua bulan kamu koma.” Jelas suamiku yang mulai mengeluarkan air matanya, hingga menambah masam penampilan suamiku yang berantakan.
“Maafkan, abang. Yang tidak bisa menjagamu baik-baik.” Ujar suamiku.
“Seharusnya aku yang minta maaf bang. Seandainya saja dulu aku tidak memintamu untuk mengejarku. Maka mungkin bayi dan rahimku baik-baik saja. Dan tidak seperti sekarang, menjadi seorang wanita yang tidak sempurna” Jelasku sembari menangis sesegukan.
“Tidak apa-apa. Aku akan tetap mencintaimu, dan selalu mencintaimu. Baik dirimu dulu maupun sekarang, kamu tetap sempurna dimataku.” Kata suamiku menenagkanku.
“Aku mencintaimu dan semua yangada padamu termasuk takdir untuk hidup bersamamu, aku mencintai semuanya. Asal kamu tetap disisiku.” Tambah suamiku lagi sembari memelukku erat.
“Bang, ini jam berapa?” Tanyaku masih dalam dekapannya.
“Jam satu siang.” Jawab suamiku sembari melepaskan pelukannya.
“Sholat dhuhur yuk... Sudah lama banget ya, aku belum sholat.” Jelasku.
“Tapi kamu masih belum boleh berjalan dulu.” Jelas suamiku.
“Ya, aku sholat sambil duduk aja. Kamu sudah sholat belum?” Tanyaku.
“Belum, tadi aku baru tebus obat yang diinfuskan ke kamu, sebelum kamu sadar.” Jawab suamiku.
“Sholat bareng yuk.” Ajakku dan ku sempatkan tersenyum kepada suamiku diatas gemuruhnya hatiku.
Setelah ku tolehkan kanan kiri mengucap salam, kini aku mengamini doa dari yang dilontarkan suamiku. Setelah selesai aku berdoa sendiri untuk memanjatkan rasa syukur, karena masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Meski hal yang terpentingku telah tercabut, namun aku harus tetap bersyukur karena pasti ada hikmah diatas semua ini.
Hari-hari aku selalu memanjatkan doa agar diberikan keajaiban untuk dapat mengandung dan melahirkan anakku sendiri. Aku yakin Allah SWT maha pendegar doa, pengabul doa, pengganti doa dengan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat. Aku yakin kekuasaan Tuhan dan kebesaran Tuhan melebihi yang kita bayangkan.
Deringan bell yang memekakan telinga menyambut pada hari pertamaku bekerja lagi. Banyak dari rekan kerja yang berbela sungkawa atas musibah yang terjadi padaku.
“Miss Hiya, bagaimane keadaan awak sekarang? Masih lemas ke?” Tanya Kak Sita yang tiba-tiba mampir pada meja kerjaku.
“Alhamdulillah sudah baik.” Jawabku kuiringi senyum ramah kepada Kak Sita yang dulu belum mengenalku saat kusapa.
“Alhamdulillah, kalau macem tu biasanya tak di kenakan angkat yang berat-berat dulu.” Jelasnya sembari menghitung data-data produknya yang akan di serahkan ke manager bagian lain, yaitu pada rekanku Mr. Akihiro, yang dulu pernah mengejar-ngejarku dan memberi surat bergambar hati padaku.
“Oh ya?” Tanyaku meyakinkan.
“Iye.” Katanya, sembari menaruhkan data pada meja kerja Mr Akihiro .
“Okelah, terimakaseh.” Balasku.
“Same, saye balik dulu ye.” Katanya dan beranjak pergi.
Tak lama selang Kak Sita pergi, Mr. Akihiro baru berangkat dan perjalanan menuju mejanya.
“Mr. Tadi Kak Sita memberikan berkas itu.” Jelasku sembari melirik kumpulan dokumen diatas mejanya menggunakan bahasa Jepang.
“Thang you aa...” Jawabnya sembari tersenyum, kubalas dengan senyum.
“Dengar-dengar, janin kamu keguguran ya?” Tanya Mr Akihiro.
“Iya.” Sembari menganggukkan kepala.
“Jangan sedih! Tetang semangat. Gan-ba-te!” Katanya sembari mengejakannya agar aku senyum lagi.
“Terimakasih.” Jawabku.
“Mari ke ruang manager.” Sapanya yang terlebih dulu ke ruang manager. Lalu kususul dari melakang.
Saat dalam perjalanan ke ruang manager, sempat aku melewati budak-budak baru yang melihat kagum terhadapku, suamiku, Mr. Akihiro, dan Mr. Fujiyama. Mmungkin yang difikiran mereka sama seperti yang aku fikirkan dulu.
Setelah sampai di ruang meeting aku mendapati suamiku ditugaskan ke kantor pusat yaitu di Jepang untuk sementara waktu. Pasti bakal jarang ketemu, huh. Dengan ikhlas kami menerima keputusan dari Mr. Fujiyama itu. Lagi pula, sebelumnya malah kami dulu hanya bertemu seminggu sekali saat aku masih di Indonesia dulu.
Pada hari sabtu aku segera membereskan berkas-berkas suamiku yang mungkin dibutuuhkan. Kemuadian kami segera ke KLIA. Aku yang turut ikut ke Jepang sekalian. Setelah sampai di pesawat, kami duduk berdampingan. Untuk memicu adrenalin, saat pesawat mulai take off wajah kita saling beradu. Leburan ombak semakin mengguncang jantungku setelah kutemui kecupan suamiku pada bibir ini. Tak perduli dengan penumpang lain, dan itulah adrenalin mulai muncul.
Setelah sampai pada Narita, kami segera ke rumah bang Masa. Hingga pepohonan sakura menyapa kami dan menarikan tarian selamat datang kepada kami diiringi lantunan angin yang syahdu pada pagi yang sejuk ini. Aroma sakura dari luar tercium hingga kedalam rumah, dinginnya pagi menusuk tulang.
Segera kusiapkan air untuk mandi, kumasukan aroma lavender pada bedtub yang telah terisi air panas untuk menghangatkan diri dengan berendam disana bersama bang Masa dengan bercanda dan sesekali bercanda hal lucu yang membuat tawa kami beriringan.
Belum merasa puas dengan candaan kami di bak, membuatku segera memakai pakaian yang super seksi serta memakai lipstik merah merona. Kulihat suamiku yang masih memakai handuk mendekatiku dengan mata yang tak berkedip sedikitpun.
“Bang Masato.” Panggilku sembari memakan buah chery didekatku hingga cairannya belpotan pada bibirku. Setelah suamiku mendekat, dia menyeka bibirku yang belepotan. Lalu kusuapkan sebuah ceri untuknya. Tak berkedip suamiku melihat dari ujung kaki hingga rambutku, aku raih wajahnya yang masih terhipnotis akan surprice yang ku hidangkan untuknya sembari ku sunggingkan senyum nakal.
Suamiku yang masih terpaku tak berdaya, ku dorong dan ku jatuhkan di pembaringan. Saat suamiku masih masih di atas pembaringan, segera ku ambil kelopak bunga mawar merah dengan tetap menyuguhkan senyuman nakalku, kutaburi tubuh suamiku dengan serpihan kelopak bunga mawar itu. Lalu aku terjun dalam dekapannya.
Kubasahi seluruh tubuhku dengan sebelumnya mengucap niat mandi besar. Tak lama aku segera mengambil whudu untuk sholat dhuha agar diberi rezeki yaitu seorang keturunan dari rahimku sendiri, meski telah jelas aku tak memiliki rahim, namun aku tak putus asa untuk terus berdoa.
“Sakit banget perutku, bang! Arg... Ayo kerumah sakit sekarang. Ak-Aku nggak tahan.” Jelasku yang kini mulai mengeluarkan keringat dingin dan segera melepaskan mukenaku. Kami segera ke rumah sakit dekat rumah suamiku yang berada di Jepang. Hingga aku diberi obat penenang yang menghilangkan rasa sakitku dan hilanglah kesadaranku.
“Umi, sudah sadar?” Tanya suamiku setelah aku siuman.
“Kok abang, panggil aku seperti itu?” Tanyaku yang agak marah, karena merasa tersinggung. Jelas-jelas aku sudah nggak punya rahim, kok malah dipanggil bunda. Nyindir banget!
“Umi jangan ngambek dulu. Nih, lihat hasil USG nya.” Jelas suamiku. “Atas kuasa Allah, bunda dikaruniai rahim lagi.” Tambah suamiku berkaca-kaca.
“Alhamdulillah Ya Allah.” Rasa syukur terucap hingga mataku berkaca-kaca. Alhamdulillah, ternyata Allah mengabulkan doaku. AllahuAkbar.
“Jadi jangan panggil aku ‘Bang’ lagi.” Jelasnya sembari mencubit hidungku.
“Lalu apa? Kakek? Hihihi..” Celetukku membuatnya menggelitikiku.
“Kalau chichi gimana?” Katanya. Chichi adalah sebutan ayah dalam bahasa Jepang.
“Ih, kok feminim banget sih. Jangan, gimana kalau umi-abi aja. Kita kan muslim.” Terangku agar adil.
“Okelah, Mi” Jawabnya sembari mengecup keningku. “Mi, nanti buat lagi yuk. Biar cepat jadi.” Lanjutnya sembari membantuku turun dari ranjang rumah sakit.
“Siap boss.” Ujarku sembari mengangkat tangan sikap hormat grak.
Suami yang sementara waktu bekerja pada kantor jepang membuatku sedikit khawatir pada lelaki yang dulu sempat mengagumiku malah akan melunjak.
Saat bekerja aku berpapasan dengan Mr. Hiroyuki, orang yang sempat ngajak aku diner. Kulihat tatapannya menakutkan, Ya Allah seandainya ada suamiku disini. Aku sangat rindu, rindu, rindu setengah mati. Ku lihat Mr. Hiroyuki menatapku dari ujung kaki hingga semakin keatas.
“Excusme?” Tanyaku heran dan agak risih akan tatapan dari orang yang terkenal ganteng itu (katanya).
“How about dinner with me, tonight.” Bisiknya padaku. Segera aku mendorongnya dan menatap heran serta rendah dirinya, berani-beraninya mengajak jalan istri orang.
“Sorry.” Jawabku kemudian berpaling.
Setelah tibah sampai mejaku, bagaikan keluar dari mulut singa dan masuk mulut buaya. Aku disambut Mr. Akihiro di sebelah mejaku. Kebetulan atau memang lagi apes, diruangan itu hanya ada kami berdua.
Kulihat Mr. Akihiro mendekat dan duduk pada mejaku untuk dapat beradu pandangan padaku. Dia belai kepalaku, yang sekeetika aku tepis.
“Sorry.” Jawabku kemudian beranjak untuk melakukan pekerjaan lain. Mungkin berjalan-jalan mengawasi operator akan lebih aman, karena lebih ramai. Hingga aku tak berani mendekati mereka berdua sampai bell pulang berdering.
Aku ayunkan langkah kakiku dengan gontai menuju mobilku untuk segera pulang. Fikiranku masih tak henti-hentinya memikirkan Mr. Hiroyuki yang berani-beraninya mengajakku dinner, serta Mr. Akihiro yang membelai kepalaku. “Seandainya kamu disini, Abi.” Kataku lirih sembari menghidupkan mesin mobilku.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku pada suamiku melalui vedeo call.
“Wa’alaikum salam.” Jawab suamiku dari sebrang.
“Abi, tadi umi diajak dinner sama Hiroyuki, dan tadi si Akihiro membelai kepala umi. Umi takut, abi segera selesaikan tugas yaa. Biar bisa satu kilang sama umi lagi. Umi takut.” Jelasku .
“Umi tenang saja, abi akan segera pulang untuk umi. Setelah pulang akan abi hajar mereka.” Jelas suamiku yang kini mimik mukanya geram.
“Abi cepet selesaikan tugasnya. Bahkan besok umi masih takut untuk masuk kerja.” Keluhku pada suamiku.
“Iya, abi akan segera selesaikan.” Jawabnya.
“Janji.” Sahutku sembari mengeluarkan nada seperti anak kecil.
“Janji, umi sayang. Muuuuaaah...” Jawab suamiku.
“Ya udah, kalau begitu umi tidur dulu ya. Muaaah..” Sahutku. “Assalamu’alaikum.” Tambahku.
“Wa’alaikumsalam.” Jawabnya.
Kulihat kabut putih memenuhi taman bunga pagi ini. Hamparan hijaunya rumput bertabur bunga mengiringi langkahku suasana pagi itu. Matahari yang mengintip malu menyinari kulit putihku yang tak berhijab, geraian rambut lurusku berkilau menari seiring lembutnya angin.
Sosok kekar menghampiri ku dengan wajah penuh cahaya, dia membawa setangkai mawar untukku. Kuterima mawar itu, seiring menipisnya kabut. Kulihat wajahnya yang rupawan itu mengajakku berdansa. Alunan musik mengiringi langkah kami yang berayun mengikuti irama.
~Kriiiiiiing~
Terdengar deringan alarm jam beker pada meja dekat pembaringanku. Kududukkan diriku sembari mengingat mimpi yang aneh.”Yang tadi bukannya Hiroyuki?” Gemingku. “Astagfirullah....” Sembari meludah kekiri tiga kali kemudian berdoa semoga tidak akan terjadi apa-apa. Tak lama selang deringan alarmku, lantunan adzan menyapa agar ku segera menunaikan kewajibanku. Segera aku mengambil air whudu dan sholat subuh.
Sesampainya di kilang, aku tersenyum kepada setiap orang yang menyapaku. Hingga langkahku terhenti oleh seorang lelaki tinggi.
“Miss Fahiya, maafkansaya.” Kata Akihiro dengan bahasa Jepangnya seraya membungkukkan diri.
“Maaf sebab apa?” Tanyaku.
“Sebab kemarin, tak seharusnya aku bersikap tidak sopan terhadap istri kawanku sendiri, disaat kawanku tidak ada.” Terangnya.
“Oh, asal jangan diulang kembali, tidak masalah bagiku.” Balasku.
“Terimakasih.” Jawabnya seraya menegapkan tubuhnya kembali.
“Sama-sama. Ayo ke ruang manager.” Ajakku.
“Mari..” Jawabnya seraya membututku dari belakang. Sembari berjalan aku mengirim pesan kepada suamiku.
Fahiyaà Sayang, si Akihiro hari ini meminta maaf padaku.
Masato à Ya baguslah, sayang.
Fahiya à Baiklah, aku mau kerja dulu. Doakan kelancaranku ya. Muuach...
MasatoàIya sayang. Muacchhh.... Love you.
Fahiyaà Love you too
Hiruk pikuknya pekerjaanku memang melelahkan, dari membuat laporan, keluhan mecanic yang meminta bantuan untuk merepair, hingga marahan dari atasan atas kekeliruan kecil yang aku lakukan.
“Kamu tadi kena marah Mr. Fujiyama, ya?” Tanya Akihiro sembari mengetik sebuah proposal.
“Iya, padahal hanya keliru sedikit.” Jawabku dengan pembelaan diri sembari menggambar pola mesin yang hendak ku repair.
“Kamu juga, sih. Walau keliru sedikit itu akan berdampak fatal.” Jelasnya. “Nah, akhirnya jadi juga.” Tambah Akihiro seraya mengampil hasil print proposalnya.
“Iya sih... Jadi kehilangan mood untuk hari ini, nih.” Keluhku.
“Bagaimana kalau nanti siang kamu joint sama aku dan kawan-kawan ke Restauran steamboat, selepas rehat.” Ajaknya. “Nah, selama kamu kerja disini kan selalu menghabiskan rehat dengan suami kamu, kini giliran dengan kami, bisa kan?” Bujuknya.
“Aku izin suamiku dulu ya.” Kataku.
“Silahkan.” jawabnya.
Kutarikan jariku untuk mengetik pesan kepada suamiku untuk izin akan rehat dengan kawan-kawan. Awalnya dia tidak setuju karena mengkhawatirkan waktu sholatku, namun setelah aku jawab bahwa aku sedang periode alias menstruasi, akhirnya suamiku mengizinkan.
“Mr. Akihiro, suamiku mengizinkanku.” Kataku dengan wajah berbinar.
“Okelah, aku message kawan-kawan bahwa ada anggota baru yang joint. Pasti mereka senang.” Jawabnya.
“Thank’s ajakannya ya...” Ucapku.
“Iya, santai saja. Kita kan kawan.” Ucapnya seraya tersenyum.
Kulangkahkan kaki pada restaurant tempat mobilku berhenti, kusapa para manager yang juga termasuk rombongan kami. Sebagian ada yang tidak aku kenal.
“Akihiro, memang siapa aja gank kamu kalo makan?” Tanyaku.
“Seperti yang kamu lihat, ada Mr. Fujiyama yang marahin kamu tadi, suamimu sebelum menikah dengan kamu, Isao, Hiroyuki, Funatsu, dan Seiji.” Jelasnya.
“Hah? Aku wanita sendiri dong?” Tanyaku kecewa.
“Tenang aja, bagi kami wanita lelaki sama aja kalau kumpul tetep asik.” Jelasnya. “Ditambah, kamu bisa mengakrabkan diri dengan Mr. Fujiyama setelah kena marah tadi.” Lanjutnya sembari berbisik.
“Makasih lho ya.” Jawabku dengan ekspresi bad mood karena telah mempertemukanku dengan oran yang sedang ingin ku jauhi, yaitu Mr. Fujiyama dan Hiroyuki.
“Ayo, buruan masuk.” Ajaknya.
Kududukkan diriku pada kursi sebelah Akihiro pada meja melingkar dihadapanku. Kupesan makanan laut yang sudah pasti tanpa alkohol dan halal. Kemudian kami bercakap-cakap. Benar kata Akihiro, mereka meyenangkan dan asik.
“Hiya, kamu tidak ke Masjid.” Tanya Mr. Fujiyama ramah.
“Saya sedang periode Mr.” Jawabku.
“Sorry soal tadi, ya.” Pinta Mr. Fujiyama sembari menyuapkan makanan pada mulutnya.
“Oh, no problem Mr.” Jawabku sembari melirik Hiroyuki yang sedari tadi menatapku. Entah mengapa aku merasa jantungku mulai berdesir setiap kali ku meliat Hiroyuku.
“Isao, bagaimana hubunganmu dengan kak Hamnidah?” Tanyaku pada Isao.
“Seperti biasanya, namun kamai belum memiliki anak meski telah rajin melakukan setiap malam.” Tuturnya.
“Wah, kamu kurang top cer.” Celetuk Funatsu.
“Coba ke dokter dan tanyakan masalah kalian.” Saran Mr. Fujiyama.
“Iya bener, tuh..” Sahutku.
“Lalu bagaimana denganmu?” Tanya Seiji padaku, terlihat Akihiro melotot pada Seiji.
“Seiji, rahim Hiya sudah diangkat. Mungkin Hiya akan mengadosi bayi. Ya, kan?” Jelas Isao meredam ketegangan suasana.
“Benar kata Isao, tapi kemarin saat aku di Jepang, aku merasa sakit perut hingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit oleh suamiku. Dan kata dokter, di perutku ada rahim lagi.” Jelasku.
“Puji Tuhan.” Jawab Funatsu menggeleng-gelengkan kepala.
“Wah, hebat kamu!” Puji Seiji.
“Nah, sekarang giliran kalian nih yang masih single kapan punya pasangan?” Tanyaku melirik Akihiro, Seiji, dan Hiroyuki.
“Yah, kamu juga boleh.” Celetuk Seiji.
“Hush... Nanti Mr. Masato marah tau rasa!” Ejek Akihiro sembari tertawa kecil. Kulihat Hiroyuki yang sedari tadi tidak angkat bicara.
“Yang penting jangan anakku. Dia masih gadis mungil.” Celetuk Funatsu
“Nah, sama anak Mr. Fujiyama saja yang sudah masih kuliah.” Saranku sembari cengingisan.
“Parah kamu.. Masak iya kami dicomblangin dengan Makoto.” Keluh Seiji.
“Iya, tuh.. Makoto kan laki-laki.” Kata Akihiro tak terima.
“Jadi Hiroyuki mau jadi menantuku?” Celletuk Mr. Fujiyama kepada Hiroyuki yang sedari tadi membisu.
“Oh, tidak terimakasih.” Katanya sembari tersenyum kepada Mr. Fujiyama dan sesekali melirikku. Tak terasa waktu rehat telah habis dan mendorong kami kembali ke kilang.
Roda mobilku berjalan menyusuri jalan raya, tanpa sadar sedari tadi aku memikirkan Hiroyuki. Ada apa denganku? Astagfirullah. Seketika mobilku ku kubanting pada pembatas jalan saat tersadar dari lamunanku dan kusadari aku telah menyerempet mobil orang lain.
“Sorry, saye tadi tak sengaje. Biar saye yang tanggung jawab atas mobil Encik.” Kataku sembari mengetuk kaca mobil orang itu.
“Tak pe. Cuma lecet sikit.” Jelasnya sembari keluar dari mobil.
“Bang Niki?” Kataku heran.
“Fahiya?” Balasnya juga heran. “Ka-kamu Fahiya kan?” Tanyanya tak percaya.
“Iya, aku Fahiya. Bang Niki kan?” Tanyaku balik.
“Iya, ini abang. Awak sekarang ke Malay lagi?” Tanyanya sembari berjalan menepi ke arahku.
“Iya, Bang. Sekarang abang sudah bekerja? Dekat mana?” Tanyaku balik.
“Dekat Sri Damansara. Awak juga kerja dekat mana? Kok seragam kamu macem manageeer je.” Tanyanya.
“Iya, bang. Manager kilang dekat Kepong.” Sahutku.
“Wuiih, kilang tempat kita kerja dulu ye?” Tanyanya.
“Iya, bang. Abang dekat sana pasti juga jadi bigbos.” Sahutku.
“Iye, sesuai ape yang abang kate dulu saat kita pisah.” Jelasya.
“Wah, abang hebat. Oh, iya aku harus segera masuk kerja lagi bang.” Kataku sembari menyiapkan kontak mobilku.
“Tunggu.” Sahut bang Niki. “Minta number headsetnya boleh?” Tanyanya.
“Kosong tujuh belas tiga empat satu dua lima delapan sembilan.” Sahutku terburu-tubu dan segera melajukan mobilku.
Setelah sampai kilang tempat parkirku dipakai oleh mobil orang lain sehingga aku harus memarkirkan mundur mobilku pada tempat lain. Huh, aku kan nggak bisa parkir mundur. Kulihat Hiroyuki keluar dari kilang kemudian mendekat pada mobilku.
“Kamu tidak segera masuk?” Tanya Hiroyuki dari balik kaca mobilku.
“Oh, aku tidak bisa parkir mundur.” Jelasku kemudian membuka kaca mobilku.
“Mungkin bisa aku bantu.” Jawabnya.
“Iya boleh.” Jawabku kemudian bergeser pada jok sebelahku seraya Hiroyuki membuka pintu mobilku, hingga dia memarkirkan mobilku dengan baik.
“Thank you aa.” Ucapku sembari menyuguhkan seyum ramah.
“Sama-sama. Mari masuk ke ruang manager bersama.” Ajaknya.
“Oke.” Jawabku seraya mengikutinya.
Kurasakan deburan ombak kurasa dalam hatiku, fikiranku tak henti memikirkannya, seorang Hiroyuki bukan suamiku. Astagfirullah. Istri macam apa aku ini. Tidak! Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus segera menjauh darinya.
“Mr. Hiroyuki.” Panggilku seraya dia menoleh.
“Uhm, aku mau ke toilet dulu, kamu duluan saja.” Lanjutku.
“Oh, oke.” Sahutnya seraya meninggalkanku.
Kulangkahkan kakiku ke tandas alias toilet untuk menelfon suamiku, aku takut dengan Hiroyuki, takut sekali. Aku khawatir dan takut bukan karena benci dengan rayuannya, namun aku takut diriki sendiri yang mulai tertarik padanya. Tidak aku nggak takut! Aku nggak khawatir! Lebih baik jangan telfon suamiku dulu, hingga kuayunkan langkahku untuk keluar toilet dan segera ke ruang manager.
“Kamu kemana saja?” Tanya Seiji.
“Tadi aku ke toilet.” Jelasku.
“Wajah kamu kenapa?” Tanyanya sembari merapihkan file untuk meeting nanti.
“Hah? Kenapa? Aduh, jangan buat aku nggak PD dong.” Jawabku.
“Merah banget. Kamu nggak lagi demam kan?” Tanyanya.
“Merah?” Tanyaku memastikan seraya berkata. “Oh, mungkin efek matahari siang tadi.” Lanjutku yang bohong. Apakah wajahku merona karena Hiroyuki? Aaaaarrrrrhgg.... Mustahil.
“Ssttt... Mr. Fujiyama sudah datang.” Sahut Seiji sembari merapikan membenahi kerahnya.
Dinginnya malam mengiringi Hpku yang berdiring, ku tolehkan wajahku pada Hpku. Hah? Nomor asing? Siapa nih? Sempat aku ingat, bahwa tadi sempat kuberikan nomor Hpku pada bang Niki, yang membuatku berani untuk mengangkatnya
“Hallo?” Sapaku.
“Benar Fahiya ke tak ni?” Tanyanya memastikan.
“Benar.” Jawabku.
“Fahiya, ini bang Niki.” Ujarnya. “Awak buat pe sekarang?” Lanjutnya.
“Lagi chatingan sama suami.” Jawabku.
“Wah, awak dah punya suami dah?” Tanyanya. “Sape, Ya? Abang kenal tak?” Tambahnya.
“Abang kenal Masato? Oiya mobil abang macem mana? Saya kena charge tak?” Tanyaku.
“Tak pe lah. Lupakan je. Soal Masato, abang kenallah, tapi dia sudah punya istrilah tu.” Jawabnya.
“Dulu aku menikah setelah dia bercerai dengan istrinya.” Jelasku.
“Oh, macemtu.” Gemingnya.
“Abang sudah kawin ke belum?” Tanyaku.
“Belumlah, abang masih ngejar karir. Memang suami awak dekat mana? Kok masih chattingan.” Tanyanya.
“Tugas dekat Jepun untuk beberapa bulan.” Jawabku.
“LDR nih... ckckck... Kesian... Ya sudah, lain kali dating yuk. Abang nak dengar cerite kamu dengan suami awak. Dan abang nak cerite banyak dekat awak.” Jelasnya.
“Okelah. Jom tidor.” Sahutku yang telah ngantuk
“Jom. Good night.” Sapanya.
“Night.” Balasku.
Gemerisik ranting pohon mengetuk jendelaku fajar ini, alunan adzan membangkitkanku dari tempat tidur untuk segera mengambil wudhu dan sholat subuh. Tung-ting... Kubuka pesan dari BBM ku.
Hiroyuki à Ping!
Fahiya à Ya?
Hiroyuki àUdara pagi ini sangat segar, olahraga ke taman layang-layang yuk.
Fahiya à Sama siapa aja?
Hiroyuki à Funatsu, dan Isao.
Fahiya à Akihiro dan Seiji tidak ikut?
Hiroyuki à Mereka ke Jepang.
Fahiya à Oh, aku izin suamiku dulu ya.
Hiroyuki à Oke
Seraya aku segera call suamiku pada pagi nan dingin ini, ~Tut...Tut...~ Huh, kenapa nggak di angkat sih. Kubanting HP pada pembaringan, tiba-tiba Hpku berbunyi.
Masato à Sayang maaf, minggu ini Abi nggak bisa pulang. Maaf, sebelum tugas Abi selesai jangan hubungi Abi dulu ya.
Fahiya à Baik,Abi. Tapi hari ini Umi mau ke taman layang-layang bersama gank Abi dulu, boleh nggak?”
Masato à Boleh, Umi boleh kemana saja Umi mau. Karena Abi percaya sama Umi.
Fahiya àBaiklah, makasih. Love you.
Masato àLove you too.
Lampu hijau telah menyala dari suamiku, entah aku harus senang atau khawatir terlebih aku tidak boleh menghubunginya. Akan ada apa lagi? Nggak! Aku harus percaya sama suamiku, karena dia juga telah percaya padaku. Maka aku juga harus menjaga kepercayaannya.
Fahiya à Aku joint.
Hiroyuki à Aku tunggu depan rumah kamu.
Fahiya à Aku naik mobil sendiri saja.
Hiroyuki à Ayolah, kami semua naik mobilku.
Fahiya à Baiklah kalau begitu.
Segera ku ambil air untuk mandi dan memakai pakaian olahraga. Hingga kudapati suara klakson mobil berdering depan rumahku. Kulangkahkan kakiku menuruni tangga. Kubuka pintu rumahku, terlihat sebuah mobil gagah berdiri depan rumahku.
“What’s up bro...” Sapa Isao yang telah berada didalam mobil.
“Nice day... Lets go..” Jawabku seraya membuka pintu mobil dan segera duduk.
“Hi, Kak Nidaaaah.....” Sapaku berbinar.
“Hi, Fahiya. Long time no see.” Sahut Kak Nidah sembari cipika cipiki.
“Lho, kan ketemu terus.” Jawabku seiring mobil mulai melaju.
“Iya, tapi nggak seperti dulu yang cuwawakan. Sekarang jika ketemu harus jaga profesionalisme. Karena kamu harus jaga wibawa kamu.” Jawab Kak Nidah.
“Iya, juga sih.” Sahutku.
“Udah deh, hari cuti itu dibuat enjoy aja, jangan fikir pekerjaan lagi.” Sahut Hiroyuki.
“Siap bos.” Jawab kami.
Setelah sampai pada hamparan taman dihiasi dengan danau yang terpampar sekitar taman. Terlihat ada penyewaan sepeda yang menarik kami untuk segera menyewanya.
“Wah... Pas banget. Aku boncengan sama Hamnidah.” Sahut Isao.
“Aku sama Istriku.” Sahut Funatsu.
“Kamu aku boncengin ya, Hiya.” Ajak Hiroyuki.
“Nggak, ah. Aku naik sepeda sendiri aja.” Sahutku
“Kenapa, aku kan temen kamu. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu kok.” Jawabnya. Haduh, gimana aku harus jelasin jika aku takut dekat dengannya, aku takut jatuh cinta padanya.
“Hihi... Hiroyuki percaya diri banget. Aku kan juga pingin ngerasain mengayuh sepeda sendiri. Weeek...” Jawabku.
“Oh, begitu.” Jawabnya seraya menyewa sepeda. Setelah semua menaiki sepedanya masing-masing, kami berdiri pada garis start.
“Bersedia...” Ujar Funatsu.
“Siaap...” Sahut Hiroyuki.
“Mulai...” Jawab kami seraya mengayuh sepeda dengan girangnya. Kami saling salip-menyalip.
“Isao, Kak Hamnidah... Weeek....” Ejekku sembari menyalip mereka.
“Awas kamu...” Sahut Isao.
“Hiya, minggir...” Ujar Funatsu dan istrinya dari belakang.
“Hiroyuki.... Ayo...” Ajakku pada Hiroyuki yang masih tertinggal. Kulihat tatapan mata Hiroyuki seakan terpana pada senyum ajakanku. Sungguh hatiku berdesir hebat.
Tiba-tiba ~bruk~ Aku terjatuh seketika dari sepeda yang kukendarai, terlihat rantai sepedaku yang lepas. Kulihat teman-teman hanya melaluiku dengan ejekannya, hinnga Hiroyuki datang menghampiriku.
“Kamu tidak apa-apa kan?” Tanya Hiroyuki. “Mungkin bisa aku perbaiki.” Tambahku.
“Daripada kamu ketinggalan sama kawan-kawan, lebih baik kamu duluan aja.” Jelasku.
“Yasudah, tinggal saja sepedanya. Mari bonceng dibelakangku.” Ajaknya. Haduh, bagaimana cara menolaknya? Aku harus berbuat apa? Ya Allah... Astagfirullah.
“Baiklah.” Ucapku sembari berdiri membonceng dibelakangnya seraya sepeda diayuhkanoleh Hiroyuki.
“Aaaaa.... Jangan terlalu laju. Aku berdiri nih. Takut.” Seruku yang masih memegangi pundak Hiroyuki erat-erat.
“Apa? Pingin laju?” Celetuk Hiroyuki seraya menambah kecepatannya, hingga ku lingkarkan pelukanku dari belakang pada lehernya. Degup jantungku semakin tak beraturan, entah akibat kayuhan sepeda yang terlalu kencang atau memang karena Hiroyuki.
“Hih... Jahil banget sih.” Sahutku masih memeluknya.
“Hihi... Siap-siap ada tanjakan.” Sahutnya yang membuat pelukanku tambah erat dan semakin mengibarkan jilbabku.
“Hih, pelan-pelan.” Ujarkku.
“Sebentar lagi kita menyusul Funatsu dan Airi tau.” Jelasnya.
“Hih, nggak perduli. Pelan-pelan aja.” Sahutku ngambek.
“Oke-oke.” Sahutnya yang kemudian menurunkan kecepatannya seraya kulepaskan pelukanku lalu ku memegangi bahunya.
“Eh, minum teh hangat enak kayaknya.” Lanjut Hiroyuki.
“Iya setuju.” Balasku.
“Ke mobil dulu yuk. Aku tadi bawa satu termos kecil teh.” Ajaknya.
“Boleh juga.” Jawabku lalu Hiroyuki menuju mobil untuk mengambil termos kecilnya.
Setelah sampai pada mobilnya dan mengambi si termos kecilnya, di seduhkan secangkir teh kepadaku, lalu Hiroyuki menyeduh untuknya sendiri. Harumnya teh pada suasana pagi yang ceria ini menambah syahdu suasana antara kami berdua. Kami dudukkan diri di sebelah sebeda yang terparkir depan danau.
“Indah ya?” Sahutku.
“Iya.” Jawabnya singkat yang masih menikmati pemandangan.
~Kring~ Suara Hpku berbunyi. Terlihat vedeocall dari line. Kuangkat panggilan dari bang Niki.
“Hi, Fahiya? Ape kabar?” Panggilnya dari sebrang seraya melambaikan tangannya.
“Baik, Bang.” Jawabku.
“Buat ape sekarang?” Tanyanya.
“Weekend dekat taman layang-layang.” Jawabku.
“Wah.. Kebetulan abang juga dekat situ. Awak disebelah mane?” Tanyanya sembari menoleh kanan kiri.
“Aku dekat pintu keluarsebelah utara.” Ujarku.
“Jika abang kesane, ganggu ke tak?” Tanyanya.
“Tak pelah. Joint dekat sini je.” Jelasku.
“Oke.” Jawabnya mengakhiri percakapan. Kulihat Hiroyuki yang mengawasiku sedari tadi yang tak mengerti sama sekali dengan bahasaku dan bang Niki yang kami pakai.
“Hiroyuki, ada temanku mau joint. Boleh kan?” Tanyaku.
“Boleh-boleh. Siapa?” Tanyaya.
“Bang Niki.” Jawabku sembari tersenyum girang.
“Niki anak Office Export dulu?” Tanya Hiroyuki memastikan.
“Iya.” Jawabku.
“Kok, kamu bisa berhubungan lagi?” Tanyaya.
“Kemarin aku menyerempet mobilnya.” Jelasku.
“Fahiya..” Panggil bang Niki dari belakang seraya kutolehkan wajahku.
“Cie, dating sama suamilah tu.” Godanya seraya mendekat, lalu Hiroyukipun ikut menolehkan kepalanya.
“Morning.” Sapaku pada bang Niki.
“Lho, dia kan Mr. Hiroyuki? Bukan suami awak.” Katanya bingung.
“Iya, dia temanku. Kami jalan-jalan berenam kok, yang lain asik sepedaan. Jom minum teh.”Ajakku.
“Seronoklah tu..” Ujar bang Niki kemudian duduk disampingku. Terlihata Hiroyuki hanya senyum-senyum karena tidak faham dengan bahasa antara aku dengan bang Niki.
“Suami awak masih kerje dekat Jepun? Tak balik ke?” Tanya bang Niki.
“Tak, dia orang busy.” Jawabku tak lama keempat temanku menghampiri kami.
“Teman-Teman, kenalkan ini bang Niki.” Ujarku dengan bahasa Jepang.
“Oh, What’s up bro?” Kata Isao sembari mengulurkan tangannya.
“Sekarang kerja dekat mane? Atau masih study?” TanyaKak Nidah.
“Kilang dekat Sri Damansara.” Jawabnya.
“Oh, macam tu. Jabat ape dekat sane?” Tanya Isao.
“Marketing Manager.” Jawabnya sembari meminum teh yang aku suguhkan padanya.
“Bro, aku mau ambil sepedaku dulu ya?” Izinku seraya pergi dan membawa sepeda sewaanku yang rantainya masih menjuntai mengenaskan.
Hari demi hari berlalu begitu cepatnya menghiasi canda tawa serta ketegangan antara persahabatan kami. Kami begitu santai namun tetap formal ketika bekerja, seiring dengan hal itu seiring dengan menjauhnya suamiku untuk ku hubungi. Sesibuk itukah dia?
“Hiroyuki mari makan.” Ajakku ketika aku dinner berdua dengan Hiroyuki.
“Mari.” Sahutnya.
~Tung ting~
Niki Hong Liong à Awak dekat mane? Saye dah sampai rumah kau. Dekat sini saye sudah disuruh masuk oleh asisten awak.
Fahiya à Maaf, bang. Saye sekarang ade meeting manager dekat restorankita makan biasenya.
Niki Hong Liong à Okelah. Saye balik je. Maaf banyak-banyak dah ganggu.
Fahiya à Oke.
Segera kumasukkan Hpku dan memandang paras nan rupawan itu, sunggu mempesonakanku. Dari rambutnya, alisnya, matanya, hidungnya, mulutnya, giginya, telinganya, tubuhnya sungguh sempurna, tidak ada kecacatan sedikkitpun.
“BBM dari siapa?” Tanya Hiroyuki.
“Dari eehmm,,, nggak terlalu penting juga.” Sahutku.
“Jangan sampai ada orang yang mengganggu waktu kita berdua, baby.” Ucapnya seraya memegang tanganku. Bibir Hiroyuki semakin mendekat pada hadapanku.
“Fahiya!” Teriak seorang lelaki dari ambang pintu dan sontak kupalingkan wajah ku dari bibir Hiroyuki lalu menoleh pada sumber suara tersebut.
“Awak dah pelet same tu orang Jepun!” Seraya bang Niki meraikku untuk masuk dalam mobilnya. Namun tiba-tiba Hiroyuki memukul pelipis bang Niki.
“What’s your problem, ha?” Bentak Hiroyuki.
“She is Mataro’s wife! Dont disturb their relation whit your witch craft!” Bentak bang Niki mengejutkanku seraya menarikku kempali. Setelah aku dijatuhkan pada jok mobilnya seraya bang Niki melajukan mobilnya kencang.
“Saye tak habis fikir dengan perangai bodoh yang awak lakukan!” Sahut bang Niki marah.
“Saye cintakan Hiroyuki.” Sahutku sesenggukan.
“Cinta awak tu palsu. Awak dah kena gune-gune oleh Hiroyuki. Jika awak tak percaye. Kita tengok saje lepas ni.” Jelasnya.
Langkah kami begitu cepat menyusuri tangga rumahku, terlihat bang Niki masih marah tak terbendung.
“Mule-mule, maaf banyak-banyak sebelum balik tadi saye tengok-tengok foto kau dengan suami kau. Tapi lepas itu aku tengok bawah katil kau.” Sembari membuka selimut yang menutupi katil alias pembaringanku.
“Tengok tu!” Suruhnya. Kulihat ada beberapa benda magis bersama fotoku dan foto Hiroyuki pada bawah kasurku. “Saran saye, jauhi Hiroyuki! Dan segera buang benda-benda macam ni! Ingat, Hiya! Awak tu dah punya suami.” Ujarnya dengan nada tinggi pada hadapanku seraya aku menangis sesenggukan.
“Me-ma-maaf.” Sahutku terbata.
“Minta maaf saje sama suami kau!” Bentaknya.
“Jujur saje! Saye juga cemburu, saye juga marah, karena saya masih cintakan awak. Tapi yang lebih pantas macem tu hanyalah suami kau.” Tambah bang Niki.
Astagfirullah... Hampir saja aku terjerumus pada zina dan perselingkuhan. Orang yang sebelumnya ku anggap kurang penting seperti bang Niki malah dia yang perduli dengan rumah tanggaku. Seorang yang mencintaiku malah lebih memperdulikan hubunganku dengan lelaki lain. Sungguh besar hatimu bang Niki. Maafkan aku.
“Ibu, Fahiya. Ada telfon dari Jepun.” panggil ART ku.
“Iya, bentar, Bi.” Sahutku seraya keluar kamar bersama Niki.
“Halo?” Sapaku dengan bahasa jepang pada telfon.
“Fahiya, suami kamu kecelakaan saat perjalanan ke bandara, Nak.” Jelas mama mertuaku.
“Oh, baik. Hiya segera ke sana.” Jelasku.
“Kami tunggu di rumah sakit. Nanti rumah sakit dan ruannya mama message saja.” Kata mama.
“Baik, Ma.” Sahutku seraya meletakkan gangang telefon.
“Kenape?” Tanya bang Niki.
“Suamiku kemalangan.” Sahutku lemas.
“Firasat lah tu.” Sindirnya yang masih marah. “Okelah, saye hantar sekali ke KLIA, jom.” Tawarnya.
“Thank you aa.” Ucapku.
“Santai je.” Ujarnya lalu kami segera ke bandara KLIA untuk terbang ke Narita.
Kulihat seluruh tubuh suamiku yang dibalut perban, alunan mesin medis mengiringi air mataku yang berlinang. Sungguh istri macam apa aku ini? Bodoh! Ku belai sesekali wajah suamiku yang dibalut perban.
Hari demi hari aku merawat suamiku yang masih dalam tidur panjangnya. Sesekali ku basuh tubuhnya, membersihkan pispotnya, dan membelai wajahnya. Seraya aku selalu bertobat pada Allah atas dosa-dosaku, dan mendoakan akan kesembuhan suamiku.
Bulan berganti bulan menyapa hariku yang penuh penantian panjang akan kesembuhan suamiku. Sempat teman-temanku menjenguk dan melontarkan kata motivasi untuku, bahkan Mr. Fujiyama menjanjikan akan memindahka tugas suamiku ke Malay lagi jikalau suamiku sadar.
Tak henti-hentinya aku sholat dhuha dan tahajut untuk kesembuhan suamiku, kujalankan puasa sunnah hanya untuk meraih hati Allah kembali dan memohon kesembuhan suamiku.
Siang yang terik menyinari relung hatiku yang hampa, wajah suamiku yang kini telah lepas dari perban menyapaku. Wajahnya saat tidur yang polos, yang sesekali kuciumi dengan penuh kasih sayang.
“Abi... Bangun... Tadi umi tidak enak badan. Setelah umi cek ke dokter, katanya umi hamil tiga bulan. Abi bangun abi..” Kataku seranya menggenggam tangannya. Kurasakan genggaman tangannya membalas genggamanku.
“Ya Allah... Abi? Abi sadar.” Sahutku lirih seranya menekan tombol untuk memanggil dokter agar memeriksa kemajuan kondisi suamiku. Hingga dokter datang dan memeriksa suamiku yang telah membukakan matanya.
“Ibu, suami ibu sudah siuman. Beliau boleh pulang besok pagi. Namun setiap minggu harus mengikuti terapi untuk melenturkan syarafnya kembalii.” Ucap dokter seraya meninggalkanku.
“Terimakasih, Dok.” Ucapkku.
“Sama-sama” Kata dokter seraya berlalu.
“Sayang.” Hamburku pada suamiku dengan mata berbinar kemudian kami cerita dari A samapai Z soal keseharian kami selama berpisah. Sempat suamiku ingin menghajar Hiroyuki, namun segera aku tenangkan hatinya kembali.
Pagi hari yang terik mengiringi senyum matahari yang bersinar terang pagi ini. Kulangkahkan kaki pada pintu untuk membukanya, ku dapati bang Niki bertandang kerumahku bersama seorang perempuan.
“Selamat pagi, Hiya.” Sapa bang Niki.
“Pagi, bang. Cie... Sape ni?” Tanyaku seraya menyalami perempuanitu dan cipika cipiki.
“Wanita lawak ni makwe ku namanya Yixiang, minggu depan nan tunang dah. Nah, awak nak saye bagi ini undangan untuk datang ke acara tunang kami.” Ujar bang Niki.
“Wah, baguslah. Jom masuk dulu.” Ajakku.
“Tak usahlah.” Tolak bang Niki.
“Jom masuk, je lah. Suamiku nak bertemu kau.” Ujarku pada bang Niki.
“Wah, dah sembuh dah abang kau?” Tanyanya seraya aku mengangguk.
“Okelah, jom masuk Xian.” Ajak bang Niki pada Yixiang lalu mereka menyusuri rumahku dan duduk pada ruang tamuku.
“Bi, tolong buatkan minum empat ya.” Suruhku pada ART ku.
“Bang Niki, Yixiang.. Saya panggil suami saya dulu ya.” Kataku seraya undur diri. Kutemukan suamiku yang terduduk pada kursi rodanya.
Kututup kedua matanya dari belakang, seraya mendaratkan kecupan lembut pada lehernya.
“Sayang..” Katanya sembari memegangi tanganku yang masih menutupi matanya.
“Yak, seratus. Abi, didepan ada bang Niki dan Yixiang makwenya.” Ujarku.
“Oh, syukurlah. Ayo antarkan aku padanya.” Kata suamiku diiringi tanganku yang memulai mendorong kursi rodanya.
“Niki.” Sapa suamiku seraya menyalaminya.
“Mr. Masato.” Balas bang Niki sembari tersenyum.
“Niki saye mengucapkan banyak-banyak terimakasih atas keperdulian awak terhadap kami.” Ucap suamiku sembari memandangku.
“Oh, santai je. Wajarlah, seorang kawan yang menolong kawannya.” Jelas bang Niki yang menutupi bahwa pernah ada rasa cintanya untukku saat itu.
“Iye, saya faham. Terimakasih ye.” Sahut suamiku lagi.
“Same-same.” Ujar bang Niki. “Oh, iya nah. Ini undangan kami berdua.” Tambah bang Niki seraya mengulurkan secari undangn kepada suamiku.
“Iye, makasih ye undangannya. InsyaAllah, kami berdua pasti datang.” Ujar suamiku.
“Silahkan diminum.” Sahut ARTku seraya mengulurkan segelas jus jeruk kepada kami.
“Terimakasih.” Sahut kami serentak.
“Oh, iya. Niki, ternyata benar katamu kepada istriku saat itu. Dulu Bibi mengaku pernah membukakan pintu kepada Hiroyuki dan masuk bilik istriku tanpa izin. Namun Bibi tak berani mengadu pada istriku.” Jelas suamiku.
“Oh, macam tu. Sebernarnya saye juga nak minta maaf soal itu. Saya dulu sempat masuk kamar istri awak, sebab nak tengok foto pernikahan kalian. Namun saat itu ditemani oleh Bibi. Sehingga kami saling bercakap soal pernikahan kalian yang so sweet tu hingga akhirn cerite ku temukan benda aneh bawah katil istri awak.” Jelas bang Niki.
“Haha.. tenang je. Pasal tu Bibi dah cerita dah.” Ujar suamiku diiringi tawa.
“Ya sudah. Kami nak balik dulu. Masih banyak undangan yang belum kami kasih.” Ucap bang Niki.
“Iya.” Ujar kami seraya ikut berdiri mengiringi kepergian sepasang kekasih itu.
Sudah selama sebulan suamiku menjalani terapi hingga kini dia dapat melangkahkan kakinya kembali dan siap untuk bekerja bersamaku. Hari pertama untukku dan untuk suamiku mengawali bekerja setelah cuti panjang.
“Morning...” Sapaku pada Akihiro di ambang pintu ruangan kami.
“Morning, Hiya.” Sapanya.
“Wah, wajahmu terlihat berbinar hari ini.” Tambah Rudolf yang juga seruangan denganku.
“Yes, right.” Jawabku sembari tersenyum riang,
“Pasti ada kabar gembira nih.” Ujar Isao yang mejanya berada di depanku.
“Yup. Ayo ke ruang manager. Nanati kalian akan menemukan seseorang yang membuatku ceria.” Ujarku.
“Pasti Hiroyuki ya?” Ledek Rudolf yang dulu sempat mengetahui kedekatanku pada Hiroyuki.
“Hussh...” Sahut Isao kepada Rudolf yang mengetahui aku telah diperistri orang.
“Ya sudah, ayoo.” Jawab mereka serentak
Setelah sampai di ruang manager suara teegur sapa hingga ucapan selamat berkeliling disekitarku, hingga kutemukan suamiku telah duduk pada bangkunya.
“Ehem.” Aku melaluinya sembari berdehem meliriknya dia balas lirikanku dengan senyum manisnya sungguh melelehkan hati.
“Kawan-kawan, Mr. Hiroyuki tepat hari ini menyatakan resign pada perusahaan kita. Sayangnya dia hari ini tidak dapat berangkat untuk perpisahan dengan kita dikarenakan sudah berangkat ke Amerika dan mengurusi perpindahannya.” Jelas Mr. Fujiyama pada meeting saat itu. “Alhamdulillah...” Gemingku penuh syukur.
“Ih, kamu itu ya. Temen sendiri resign malah ucap syukur.” Sahut Seiji sembari berbisik yang mengetahui gemingan lirihku saat itu, yang akhirnyamembuatkku menjulurkan lidah untuk mengejeknya.
“Untuk kesembuhan Masato, rehat nanti ke Resto tempat nongkrong, yuk.” Ajak Funatsu.
“Kami ke masjid dulu, lepas itu akan kami susul.” Kata suamiku mengiyakan dan aku mengikuti apa kata suamiku saja. Hingga akhirnya kami lunch bersama kawan-kawan kami, canda tawa kami mengalun seiring teriknya matahari yang bersinar.
Setelah sembilan bulan ku mengandung hasil perbuatan suamiku, lahirlah seorang bayi mungil yang akan menghiasi hari-hari kami berdua. Sikecil yang tampan itu kami beri nama Kevin Verda Abqari yang artinya bintang jatuh yang pendiam dan rajin beribadah, nama itu atas usulan mas Kiki kakaku dan ibuku. Nama yang indah dan penuh makna dengan doa.
Rasa bahagia tak hentinya menyelimuti syahdunya bahtera rumah tangga kami berdua, hingga disusul bang Niki dan Yixiang, Akihiro dengan Amanda, dan Seiji dengan Iciko. Persahabatan kami yang indah bersama dilengkapi oleh orang yang dituakan yaitu Mr. Fujiyama dengan istrinya, Funatsu dengan Airi, serta Isao dengan Kak Nidah.
Sungguh kehidupan takkan pernah indah jika kita tidak menyertakan cinta dan ketulusan. Cinta untuk Allah dan Rosulullah yang utama kemudian kepada orang-orang disekeliling kita. Tanpa cinta tidak akan ada ketulusan, jika tercipta ketulusan maka pengorbanan tidak dianggap lagi sebuah pengorbanan, namun sebuah ketulusan yang diberikan kepada orang tersebut. Itulah cinta, karunia Sang Kuasa kepada manusia. Bersyukurlah, selagi kita masih merasakan rasa mencintai atau dicintai. Meskkipun kehidupan rumah tangga berada diujung tanduk jika memang cinta tlah berkata maka akan utuh kembali. Itulah cinta.
Latar Belakang Pengarang
Hai, pembaca cerpen setiaku (hehe, ngarep). Perkenalkan, namaku Tia Pratiwi. Baru lulus dari SMK Negeri 1 Purwodadi.
Ngomong-ngomong soal cerpen yang aku tulis kali ini. Ini adalah narasi dari sebuah kisah cinta sederhana yang berasal dari pengalaman pribadiku, walau sebenarnya ada yang aku karang sedikit, sih.. Hehe, agar ada kesan dramanya gitu.. Ahihihi… Tapi sebagian besar itu asli dari kisahku. Soal nama-nama tokoh, itu ada yang Asli dan ada yang namanya aku samarin. Hehe… Terbuka sih terbuka, tapi privasi juga tetap harus di jaga.
By the way, aku juga punya hobby lhooo… Mau tahu nggak? Hobbyku termasuk bejibun, sih…
1. Menulis cerita, entah itu novel atau cerpen maupun puisi, yang penting nulis.
2. Membaca, kalo menulis tanpa membaca itu bagaikan sayur tanpa garam. Sekarang, bagaimana kita bisa menularkan ilmu dengan menulis jika kita nggak mencari ilmu denga membaca. Yang ada pasti ilmu asal-asalan, hehe..
3. Menyanyi, dulu aku suka menyanyi sejak kelas 2 SD. Saat aku lomba peragawati, dan menang, kemudian aku disuruh menyanyi. Eee, si embak-embak MC berkata kalo suaraku merdu. Dari itulah aku PD untuk bernyanyi. Walau, yang dimaksud merdu adalah merdu yang artinya merusak dunia. -,,-
4. Menari tarian modern, dulu waktu badanku masih langsing. Aku sering ngajarin temen-temen nari, walau dapet imbalan cuma goceng/orang yang aku latih. Tapi sekarang aku udah tobat kok.. hehe, masak udah tobat masih harus pencilakkan.
5. Akting, aku dulu sempet ikut teather dan aku menjadi anak tiri dari Bu. Agnes (Pembina Teatherku). Karena dulu aku di kasih tugas segunung. Membuat naskah sekaligus mentranslatekan ke bahasa Inggris, karena saat itu adalah teather yang mayoritas diikuti dari anak-anak kelas immercy. Setelah itu, bagian nyanyi, MC, pemeran utama dengan dua peran, yang terakhir adalah penata koreo, saat cerita yang kami mainkan bergenre operet.
Itulah hobbyku yang bejibun, simple, tapi bermakna. Walaupun bermakna bagi diriku sendiri sih. Heheh..
Mungkin itu saja dariku, oiya tetep setia untuk menunggu karyaku selanjutnya, ya…. Tangaaaan…..Jangan dada! Ups.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "NOVEL - CINTAKU DIUJUNG JARUM"

Posting Komentar