CERPEN - Kusahamkan Cintaku
Kusahamkan Cintaku
Decitan gerbang yang dibuka oleh penjaga kebun menyapa hari pertama kerjaku sebagai kasir kas besar dalam perusahaan bidang makanan ini, sebut saja namaku Cindy. Pandanganku menerawang mengelilingi isi kantor yang besarnya seperti Mall.... “Waaah...” Gemingku udik, ehe. Terpampang nyata tulisan “PT. Seger Lemu” pada atap perusahaan tersebut.
“Pagi-pagi banget neng...” Sapa penjaga kebun sembari menekan tombol open pada ruang kecil di sudut kantor. Sapaan lelaki paruh baya itu menggerakkan kakiku untuk menghampirinya.
“Pasti dong, banyak yang harus saya pelajari hai ini.” Kataku sembari menebar senyum optimis.
“Dibetah-betahin ya neng, hehe..” Nasihat lelaki itu memancing rasa penasaanku. ‘Emang ada hal yang membuat karyawan disini nggak betah?’ Batingku penasaran.
“Siap pak...” Sahutku menutupi rasa penasaranku.
“Et... Kok panggil pak sih... Semua karyawan disini kalu memanggil saya dengan sebutan gaul kekinian, tahu!” Bantah lelaki pauh baya itu yang membuatku garuk-garuk rambutku yang tidak gatal. Aku memandangi penampilannya, dari ujung kaki sampai ujung ubannya. Ehm, hampir tidak ada yang kekinian.
“Panggil saja saya dengan sebutan ‘GAES’, do you understand?” Sergap penjaga kebun itu yang membuatku sedikit tersentak kaget.
“E.. hap.. anu.. ndesten pak Gaes...” Sahutku yang masih gelagapan karena terkejut.
“No.. No.. No...” Kata pak Gaes itu dengan nada sok barat.
“Lah” Pekikku heran.
“Jangan pakek ‘pak’. Cukup ‘Gaes’, ndesten?” Tanya beliau sekali lagi.
“Ndesten, Ges... Sepertinya saya harus segera absen Gaes, duluan ya..” Kataku sembari melirik jam yang menunjukkan pukul 07.15, meski masuk masih jam 08.30, setidaknya aku harus menunjukkan kesan awal yang baik dong ya...
“Lah... Ngelindur nih bocah... baru juga jam tujuh. Bay the way, namanya siapa neng?” Tanya Gaes menghalang langkahku.
“Cindy, pak..” Sahutku melupakan peraturan pak Gaes.
“Eh anu,, Gaes.” Sergapku gesit untuk segera merevisi sapaanku kepadanya sembari memperlihatkan ID cardku.
“Oh,, ok Cin.” Sahut Gaes.
“Sin, Gaes... Nggak Cin.” Sahutku protes.
“Mulut, mulut sapa? Lagian saya orang betawi tulen, bukan orang barat.” Bantah lelaki paruh baya itu yang kini mulai menyebalkan dengan seribu omelannya. ‘Err... Sabar, sabar...’ Batinku sambil mengelus dada.
“Oke deh, terserah Gaes..” Sahutku berlalu sembari ngedumel dalam luasnya perjalanan menuju pintu utama kantor, ‘Untung tua, kalo anak kecil udah aku sentil tu uban idup.’
Tumpukan berkas dan nota, lampu uv untuk menyinar uang, serta tumpukan cek, giro dan RK (Rekening koran) telah menyapa pagiku yang sepertinya akan sibuk. Mataku yang setereo mengelilingi ruangan dengan tatapan takjub, terlebih ada name tag di atas meja yang bertuliskan; "Cindy - Kasir Kas Besar.
“Waahh.. Kereen...” Gemingku takjub.
“Jangan senang dulu. Untuk singgah dibangku itu, kamu harus melalui trining bersamaku terlebih dahulu selama satu minggu.” Kata seorang wanita dari ujung pintu ruanganku. Aku menoleh terkejut pada sumber suara. Kutemukan seorang berpakaian rok panjang, baju panjang hingga menutupi lutut, berhijab panjang menutupi perut, dan semua itu berwarna ‘putih’.
“Waaaaaaaaaaaaaaaa.....” Teriakku terkejut kemudian segera aku tutup mulutku untuk menormalkan keterkejutanku menyadari bahwa itu manusia beneran.
“Waa.. Wah.. Senang bertemu ibu. Hehe...” Tambahku ngeles. ”Anu yang tadi, nggak sengaja, maksudku, ehm anu... Gedobroh... Aduuh.” Kataku gelagapan ngeles namun malah keceplosan, aku memejamkan mata dan hanya pasrah ‘game overlah lah riwayatku’ maksudnya, ‘tamatlah riwayatku.’ Segera aku membuka mataku untuk kembali pada kenyataan, tatapan ibu itu tajam kearahku yang seakan ingin memakanku hidup-hidup. Sesekali aku menelan ludah untuk menenangkan hati, namun itu ehm, percuma.
“Saya Bu Sukma Lidya, CFO perusahaan Seger Lemu ini. Panggil saja Bu Lidya.” Sapa bu Lidya dengan tatapan garang.
“Yah.. Mustahil sih, mental tempe kayak kamu bertahan di posisi ini. Semoga kamu betah. Inget ya, yang sat set-sat set, jangan klemar-klemer, saya nggak suka orang yang klemar-klemer kayak kamu.” Kata bu Lidya yang telah mengskak mat aku hidup-hidup.
“Tunggu apa lagi, ayooo duduk.... Pegang tu yang sebelah kanan kamu” Bentak bu Lidya dengan garang, sumpeh deh bisa mati bediri kalau kayak gini.
“He?” Tanyaku yang maklum agak nggak konsen akibat bentakkannya yang menggelegar.
“Ha, he, ha, he... Bisa kerja nggak sih, kalau nggak bisa, aku bisa panggil para pelamar yang lain, kalau cuma mecat kamu mah gampang. Presdir disini tuh keponakanku, dan CEO disini adik aku.” Bentak bu Suk, maksudnya bu Sukma Lidya dengan angkuhnya.
Hampir setengah hari aku berada di neraka bersama itu iblis. Setelah mataku mengiringi kepergian Bu Suk yang istiraat makan siang, kepalaku rasanya beruap semua. Sebenarnya kepalaku hampir meledak bukan karena pekerjaan yang menurutku yaaah, keciilll. Namun karena gelegar perintah bu Suk yang memekakan telinga, hingga ruangan sebelah aja bisa sampai dengar.
“Permisi.... Are you okay?” Kata seorang wanita muda dengan berhati-hati setelah mengetuk pintu ruanganku yang masih terbuka.
“Ehm... Sepeti kelihatannya...” Jawabku lemas pada perempuan itu.
“Ini proposal pengajuan dana untuk kas kecil divisi baverage.” Kata perempuan itu sembari meletakkan proposal diatas mejaku dengan hati-hati.
“Ehm, kamu mengerjakannya setelah istirahat aja. Aku nggak buru-buru kok.” Tambah perempuan itu menatapku dengan iba.
“Atau kamu mungkin perlu asupan, gimana kalau kita ke kantin bersama?” Tawar perempuan itu yang masih mendapatiku bengong mendinginkan kepala.
“Tentu, ayok...” Sahutku yang kemudian beranjak dari tempat dudukku kemudian mengiringi jalannya perempuan itu.
Hiruk pikuk manusia yang kelaparan berjajar rapi mengantri memilih makanan yang disediakan secara prasmanan. Aroma daging, sayur, dan teh teraduk jadi satu dalam rongga pernafasanku.
“Kalau mau makan, tinggal tempelkan ID card pada scanner tempat orang mengantri itu. Disini kurang lebih ada sepuluh mesin scanner dan sepuluh tempat makanan dengan menu yang sama, jadi nggak usah khawatir antrian bakal panjang. Jika sudah ambil makanan langsung duduk aja, pada bangku kosong utara tempat prasmanan itu.” Sahut perempuan itu dengan fasih.
“Memang selalu ramai begini yah?” Tanyaku heran bercampur ndeso.
“Iya, dong. Karena kantinnya orang kantor dijadikan satu dengan orang-orang pabrik.” Jelas Kirana sembari mengantri dibelakang ibu-ibu yang sepertinya bekerja di pabrik sebelah.
“Wah, pantes kayak aula raksasa begini.” Gemingku pelan yang semoga nggak didengar oleh Kirana yang kini telah scan ID cardnya.
“Hey, nama kamu siapa? Biasanya kamu kesini sendiri, yak?” Tanyaku heran, karena perempuan secantik dia bisa-bisanya hanya mengajak aku, malah tidak dengan teman-teman yang sudah lama disini.
“Aku Kiana, yo’i... Biasanya aku kesini sendiri.” Sahutnya sembari duduk pada bangku kosong untuk kami bedua.
“Aku nggak bisa asal mengenal orang disini, terlebih setiap hari aku berhubungan dengan uang kas kecil, jika aku dekat dengan orang marketing atau divisi lain, bisa bahaya.” Jelasnya yang membuatku agak nggak setuju, karena sebelum aku bekerja disini aku juga berurusan dengan uang, dan aku nggak pilih-pilih teman.
“Kok gitu?” Tanyaku yang nggak puas dengan pernyataannya.
“Nanti kamu bakal tahu sendiri kak Cindy.” Sahutnya menggodaku.
“Okay, setidaknya aku dipanggil kakak, aku hargai itu.” Gemingku dengan muka masam, sembari menghela nafas panjang. Aku menyadari dia memang lebih muda dariku setelah melirik ID cardnya saat Ia tempelkan pada mesin scanner tadi.
“Bay the way, tuh bu Lidya orangnya kalau sama kamu galak nggak” Tanyaku penasaran saat perjalanan melalui lorong menuju ruang kerjaku.
“Ssttt... Jangan bahas dia di kantor, hati-hati kaki tangannya banyak.” Bisik Kirana dengan suara lirih.
“Pulang kerja nanti kamu ada acara nggak?” Tanyaku penasaran.
“Sorry, aku ada janji sama pacarku, kebetulan hari ini ultahnya pacarku.” Sahut Kirana sembari beranjak untuk kembali ke ruangannya.
“Ehm, okay.. Inikan tepat 1 September.” Sahutku murung sembari menerawang setelah kirana berlalu. Terlihat langkah bu Lidya berdetak menghampiriku dari kejauhan. “Huft, dan kembalilah pada kenyataan.” Gemingku lirih.
Setiap hari suasana hebat dan menakjubkan menyapaku dengan gemuruhnya. Ya, inilah yang sekian lama aku tunggu, yaitu tantangan. Kurasa aku kini telah bangkit dari keterpurukan, setelah tiga tahun menganggur. Dibantu dengan sahabat baikku Kirana, yang memang sudah hampir tiga bulan ini membimbingku dan menemaniku mencari cem-ceman baru. Aku tipikal orang yang mudah suka dengan orang saat pandangan pertama, namun tidak untuk dilanjutkan pada jenjang yang seius.
Bebeda dengan Kirana yang aku akui, meski dia masih labil untuk pacaran, namun dia cukup setia dan serius dengan pasangannya. Meski beribu rintangan, aku selalu memberi nasihat baik demi kelangsungan hubungan Kirana dengan kekasihnya. Kirana sempat bilang, jika dia sering menceritkan aku kepada pacarnya, namun selalu aku tepis untuk memberikan identitasku atupun berkenalan dengan pacarnya. Bukan hanya aku cantik dan takut si pacar Kirana bakal nempel ke akuh, hehe... Namun, karena aku yakin jika berbuat kebaikan jangan sampai diketahui oleh banyak orang, karena itu sama saja tiak ‘Tulus’, bukan penyanyi lho ya.
“Hari Minggu gini, tumben nggak pulang kampung.” Goda Kirana dengan mata nakal. “Sepertinya ada yang nyari cem-ceman nih.” Sahut Kirana lagi.
“Yo’i, dong... Hehe..” Sahutku dengan tatapan nakal sembari menyerutup coklat panasku dalam sebuah caffe.
“Bay the way, banyak lho yang pingin jadi paca kamu setelah tida bulan kamu disini. Banyak anak divisi lain yang kepo soal kamu.” Terang Kirana. “Kamu sih.. Sok jual mahal.” Ledeknya sembari mengaduk-aduk kopinya.
“Lelaki itu semua sama saja, manis diluar padahal ada maksud terselubung didalam. Kalau udah dapet apa yang dia mau ya... Pasti ditinggalin.” Jelasku.
“Kecuali pacarku tentunya.” Kata Kirana sembari menatapku jutek. “Emang kamu penah digituin?” Tanya Kiana sembari stereo memandang lelaki meja sebelah kami.
“Kaga pernah sih... Tapi kan namanya juga jaga-jaga...” Sahutku sembari ikut memandangi lelaki berparas manis meja sebelah.
“Yeee. Itu mah pikianmu aja yang busuk.” Ledek Kirana. “Udah tiga tahun jomblo apa nggak takut apah? Apa lagi usia kamu tuh ya udah nggak muda lagi.” Nasehat Kiana yang itu, lagi-lagi membuatku suram mendengarnya.
“Jujur sih, emakku di kampung omelannya sama kayak kamu.” Kataku sembari terdiam menghayati omelan emak. ‘Kamu tuh ya! Pilih-pilih, jangan sok kecakepan kamu! Pokoknya mama nggak mau kamu jadi perawan tua. Inget udah 27 tahun bangkotan gituh masih betah aja ngejomblo.’
“Makanya, cepetan seriusin tuh si Andi, atau Dodi, atau orang design, katanya orang design itu ngefans sama kamu semenjak kamu menginjakkan kaki di Seger Lemu ini.” Cerocos Kirana seperti kereta api yang maju terus pantang mundur.
“Kirana.... Aku tuh Cuma perlu waktu untuk terbiasa dengan mereka, nggak secpat itu.” Jelasku sembari melirik lelaki di meja sebelah yang selalu mengawasi kami.
“Helo,, udah tiga bulan berturut-turut, selalu itu alesan kamu untuk menolak cinta mereka. Nggak kreatif.” Celutuk Kirana sembari menahan tawanya, yang aku sambut denga muka cemberut lalu berlalu ke kamar mandi yang tak lain untuk melarikan diri dari desakan Kirana untuk nyeriusin Andy, Dody atau saipalah itu.
Terlihat bayanganku didepan cermin dengan wajah yang pucat, ternyata kulitku sudah menua. Bener apa mama dan Kirana, seperinya aku harus mencari pengganti Rendi. Sayup-sayup terdengar tawa Rendi saat mengajariku main permainan yang identik dengan hero Miya tersebut dalam android.
“Haha, nggak papa. Kamu pasti bisa.” Support Rendi saat itu.
“Ah, tuh Cindy nobb.” Ledek kak Frans, satu-satunya saudara kandungku di bumi ini yang tidak dapat aku banggakan. Meskipun berkat kak Frans, aku bisa berkenalan dengan teman kuliahnya Rendi, yang kini telah menjadi tunanganku.
“Permisi...” Sapa seseorang dari belakang sembari mengusap lenganku perlahan.
“Eh, iya?” Sahutku terkejut sembari menepis banyangan masa lalu itu.
“Sepertinya kamu membutuhkan ini.” lelaki itu sembari mengulukan sapu tangannya.
“Anu sebenarnya anda nggak perlu, anu saya nggak menangis kok.” Sahutku gelagapan menyadari ternyata pipiku ada air matanya... ‘Tidaakkk...’ Cindy Claudia nggak mungkin menangis karena lelaki.
“Sebenarnya aku mengerti dengan apa yang kamu rasakan.” Kata lelaki sedikit sungkan untuk menahan tawanya.
“Sepertnya kamu lelaki yang duduk di debelah meja saya, ya,” Kataku sembari terdiam dan mengingat lelaki yang mengamatiku sedari tadi saat didalam caffe.
“Kamu nguping, ya? Kyaaa... Dasar lelaki tidak bermoral... jkshfao..” Tanyaku beserta sumpah serapah yang telah terlanju keluar dari mulutku.
“Cindy?” Panggil Kirana dengan tatapan terkejut dan pucat bagaikan mayat hidup yang kaku pada tempatnya berdiri. Kirana yang terdiam melihat tanganku yang hampir memukul lelaki itu dengan tasku.
“Plis, jangan drama. Ayo bantu gebukin penguntit ini.” Sergapku yang kemudian tanganku dihalau oleh perkataan Kirana yang seperti geledek di siang bolong.
“Beliau itu CEO perusahaan kita.” Timpal Kirana dengan cengiran kuda yang dipaksakan kepada kami,dan tanpa aba-aba segera melarikan diri menjauh dari kami.
Tanganku yang lemas lunglai tertahan untuk memukulnya, kini segera aku kerahkan untuk menepuk-nepuk jas hitamnya dengan cengiran lebar aku lemparkan kearah tatapan lelaki itu. Tatapan yang kini mulai ada kilatnya, nafasnya yang dihelanya bagaikan belerang. ‘Ampun.. Pait.. Pait...’ Batinku sembari menelan ludah.
“Besok aku tunggu diruanganku jam sepuluh tepat.” Katanya sembari berlalu meninggalkanku bersama sapu tangannya.
Lorong sempit yang berujung pada ruangan CEO muda itu berbisik-bisik seolah menghinaku. ‘Siap-siaplah kau di PHK’, bahkan selalu berulang-ulang dinding kanan kiriku berbisik seperti itu. Derapan langkahku mengiringi jantungku yang berdetak tak menentu, tanganku yang memegang surat pengunduan diri kini bergetar hingga berkeringat dingin. Semoga aku siap untuk mobilku ditarik oleh depcollector yang baru aku cicil selama dua bulan itu.
Tok... Tok... Tok... Pintu besar itu berdecit mengeluarkan suara setelah aku mengetuknya.
“Permisi...” Sapaku.
“Masuk.” Kata lelaki itu. Tak lama setelah mempersilahkanku masuk, kini dia menyuruhku untuk duduk dihadapannya, tepat didepan meja yang memiliki name tag CEO Park Jung Min.
Setelah beberapa saat yang hening, aku mengulurkan sapu tangannya yang kemarin, namun malah dilemparnya berkas pada meja dihadapanku. Aku meletakkan sapu tangan itu, kemudian beralih mengambil berkas yang dilemparkan oleh pak Park Jung Min.
“Apa ini, pak?” Tanyaku sedikit gugup. Pasti deh, game over sudah riwayatku, bye bye mobil yang belum kulunasi Huaaaaa......
“Bisa baca kan?” Tanya lelaki itu dengan wajah masam. Aku menatapnya sebentar kemudian menunduk. ‘Jangan menangis, jangan menangis..’ Batinku untuk menguatkan diri sendiri. Dengan sedikit gemetar aku meraih berkas itu, yang kubaca perlahan.
“Kontrak Penikaan?” Tanyaku berhati-hati kepadanya, setelah katam membaca kontrak itu dengan seksama.
“Mungkin agar kamu mengeti, kamu perlu membaca ini juga.” Katanya sembari mengulurkan tablet yang berisi surat kabarbahwa CEO perusahaan S***R L**U dikabarkan memiliki penyakit seksual ‘HOMO’. Tak lama pak Park memutar laptopnya yang berisi tabel saham perusahaan yang menurun drastis tak lama setelah surat kaba itu terbit.
“Saya mengerti, saya kesini juga unuk meminta maaf atas ketidak sopanan saya DAPATKAN KISAH LENGKAP + CERPEN LAINNYA PADA EBOOK
“Pagi-pagi banget neng...” Sapa penjaga kebun sembari menekan tombol open pada ruang kecil di sudut kantor. Sapaan lelaki paruh baya itu menggerakkan kakiku untuk menghampirinya.
“Pasti dong, banyak yang harus saya pelajari hai ini.” Kataku sembari menebar senyum optimis.
“Dibetah-betahin ya neng, hehe..” Nasihat lelaki itu memancing rasa penasaanku. ‘Emang ada hal yang membuat karyawan disini nggak betah?’ Batingku penasaran.
“Siap pak...” Sahutku menutupi rasa penasaranku.
“Et... Kok panggil pak sih... Semua karyawan disini kalu memanggil saya dengan sebutan gaul kekinian, tahu!” Bantah lelaki pauh baya itu yang membuatku garuk-garuk rambutku yang tidak gatal. Aku memandangi penampilannya, dari ujung kaki sampai ujung ubannya. Ehm, hampir tidak ada yang kekinian.
“Panggil saja saya dengan sebutan ‘GAES’, do you understand?” Sergap penjaga kebun itu yang membuatku sedikit tersentak kaget.
“E.. hap.. anu.. ndesten pak Gaes...” Sahutku yang masih gelagapan karena terkejut.
“No.. No.. No...” Kata pak Gaes itu dengan nada sok barat.
“Lah” Pekikku heran.
“Jangan pakek ‘pak’. Cukup ‘Gaes’, ndesten?” Tanya beliau sekali lagi.
“Ndesten, Ges... Sepertinya saya harus segera absen Gaes, duluan ya..” Kataku sembari melirik jam yang menunjukkan pukul 07.15, meski masuk masih jam 08.30, setidaknya aku harus menunjukkan kesan awal yang baik dong ya...
“Lah... Ngelindur nih bocah... baru juga jam tujuh. Bay the way, namanya siapa neng?” Tanya Gaes menghalang langkahku.
“Cindy, pak..” Sahutku melupakan peraturan pak Gaes.
“Eh anu,, Gaes.” Sergapku gesit untuk segera merevisi sapaanku kepadanya sembari memperlihatkan ID cardku.
“Oh,, ok Cin.” Sahut Gaes.
“Sin, Gaes... Nggak Cin.” Sahutku protes.
“Mulut, mulut sapa? Lagian saya orang betawi tulen, bukan orang barat.” Bantah lelaki paruh baya itu yang kini mulai menyebalkan dengan seribu omelannya. ‘Err... Sabar, sabar...’ Batinku sambil mengelus dada.
“Oke deh, terserah Gaes..” Sahutku berlalu sembari ngedumel dalam luasnya perjalanan menuju pintu utama kantor, ‘Untung tua, kalo anak kecil udah aku sentil tu uban idup.’
Tumpukan berkas dan nota, lampu uv untuk menyinar uang, serta tumpukan cek, giro dan RK (Rekening koran) telah menyapa pagiku yang sepertinya akan sibuk. Mataku yang setereo mengelilingi ruangan dengan tatapan takjub, terlebih ada name tag di atas meja yang bertuliskan; "Cindy - Kasir Kas Besar.
“Waahh.. Kereen...” Gemingku takjub.
“Jangan senang dulu. Untuk singgah dibangku itu, kamu harus melalui trining bersamaku terlebih dahulu selama satu minggu.” Kata seorang wanita dari ujung pintu ruanganku. Aku menoleh terkejut pada sumber suara. Kutemukan seorang berpakaian rok panjang, baju panjang hingga menutupi lutut, berhijab panjang menutupi perut, dan semua itu berwarna ‘putih’.
“Waaaaaaaaaaaaaaaa.....” Teriakku terkejut kemudian segera aku tutup mulutku untuk menormalkan keterkejutanku menyadari bahwa itu manusia beneran.
“Waa.. Wah.. Senang bertemu ibu. Hehe...” Tambahku ngeles. ”Anu yang tadi, nggak sengaja, maksudku, ehm anu... Gedobroh... Aduuh.” Kataku gelagapan ngeles namun malah keceplosan, aku memejamkan mata dan hanya pasrah ‘game overlah lah riwayatku’ maksudnya, ‘tamatlah riwayatku.’ Segera aku membuka mataku untuk kembali pada kenyataan, tatapan ibu itu tajam kearahku yang seakan ingin memakanku hidup-hidup. Sesekali aku menelan ludah untuk menenangkan hati, namun itu ehm, percuma.
“Saya Bu Sukma Lidya, CFO perusahaan Seger Lemu ini. Panggil saja Bu Lidya.” Sapa bu Lidya dengan tatapan garang.
“Yah.. Mustahil sih, mental tempe kayak kamu bertahan di posisi ini. Semoga kamu betah. Inget ya, yang sat set-sat set, jangan klemar-klemer, saya nggak suka orang yang klemar-klemer kayak kamu.” Kata bu Lidya yang telah mengskak mat aku hidup-hidup.
“Tunggu apa lagi, ayooo duduk.... Pegang tu yang sebelah kanan kamu” Bentak bu Lidya dengan garang, sumpeh deh bisa mati bediri kalau kayak gini.
“He?” Tanyaku yang maklum agak nggak konsen akibat bentakkannya yang menggelegar.
“Ha, he, ha, he... Bisa kerja nggak sih, kalau nggak bisa, aku bisa panggil para pelamar yang lain, kalau cuma mecat kamu mah gampang. Presdir disini tuh keponakanku, dan CEO disini adik aku.” Bentak bu Suk, maksudnya bu Sukma Lidya dengan angkuhnya.
Hampir setengah hari aku berada di neraka bersama itu iblis. Setelah mataku mengiringi kepergian Bu Suk yang istiraat makan siang, kepalaku rasanya beruap semua. Sebenarnya kepalaku hampir meledak bukan karena pekerjaan yang menurutku yaaah, keciilll. Namun karena gelegar perintah bu Suk yang memekakan telinga, hingga ruangan sebelah aja bisa sampai dengar.
“Permisi.... Are you okay?” Kata seorang wanita muda dengan berhati-hati setelah mengetuk pintu ruanganku yang masih terbuka.
“Ehm... Sepeti kelihatannya...” Jawabku lemas pada perempuan itu.
“Ini proposal pengajuan dana untuk kas kecil divisi baverage.” Kata perempuan itu sembari meletakkan proposal diatas mejaku dengan hati-hati.
“Ehm, kamu mengerjakannya setelah istirahat aja. Aku nggak buru-buru kok.” Tambah perempuan itu menatapku dengan iba.
“Atau kamu mungkin perlu asupan, gimana kalau kita ke kantin bersama?” Tawar perempuan itu yang masih mendapatiku bengong mendinginkan kepala.
“Tentu, ayok...” Sahutku yang kemudian beranjak dari tempat dudukku kemudian mengiringi jalannya perempuan itu.
Hiruk pikuk manusia yang kelaparan berjajar rapi mengantri memilih makanan yang disediakan secara prasmanan. Aroma daging, sayur, dan teh teraduk jadi satu dalam rongga pernafasanku.
“Kalau mau makan, tinggal tempelkan ID card pada scanner tempat orang mengantri itu. Disini kurang lebih ada sepuluh mesin scanner dan sepuluh tempat makanan dengan menu yang sama, jadi nggak usah khawatir antrian bakal panjang. Jika sudah ambil makanan langsung duduk aja, pada bangku kosong utara tempat prasmanan itu.” Sahut perempuan itu dengan fasih.
“Memang selalu ramai begini yah?” Tanyaku heran bercampur ndeso.
“Iya, dong. Karena kantinnya orang kantor dijadikan satu dengan orang-orang pabrik.” Jelas Kirana sembari mengantri dibelakang ibu-ibu yang sepertinya bekerja di pabrik sebelah.
“Wah, pantes kayak aula raksasa begini.” Gemingku pelan yang semoga nggak didengar oleh Kirana yang kini telah scan ID cardnya.
“Hey, nama kamu siapa? Biasanya kamu kesini sendiri, yak?” Tanyaku heran, karena perempuan secantik dia bisa-bisanya hanya mengajak aku, malah tidak dengan teman-teman yang sudah lama disini.
“Aku Kiana, yo’i... Biasanya aku kesini sendiri.” Sahutnya sembari duduk pada bangku kosong untuk kami bedua.
“Aku nggak bisa asal mengenal orang disini, terlebih setiap hari aku berhubungan dengan uang kas kecil, jika aku dekat dengan orang marketing atau divisi lain, bisa bahaya.” Jelasnya yang membuatku agak nggak setuju, karena sebelum aku bekerja disini aku juga berurusan dengan uang, dan aku nggak pilih-pilih teman.
“Kok gitu?” Tanyaku yang nggak puas dengan pernyataannya.
“Nanti kamu bakal tahu sendiri kak Cindy.” Sahutnya menggodaku.
“Okay, setidaknya aku dipanggil kakak, aku hargai itu.” Gemingku dengan muka masam, sembari menghela nafas panjang. Aku menyadari dia memang lebih muda dariku setelah melirik ID cardnya saat Ia tempelkan pada mesin scanner tadi.
“Bay the way, tuh bu Lidya orangnya kalau sama kamu galak nggak” Tanyaku penasaran saat perjalanan melalui lorong menuju ruang kerjaku.
“Ssttt... Jangan bahas dia di kantor, hati-hati kaki tangannya banyak.” Bisik Kirana dengan suara lirih.
“Pulang kerja nanti kamu ada acara nggak?” Tanyaku penasaran.
“Sorry, aku ada janji sama pacarku, kebetulan hari ini ultahnya pacarku.” Sahut Kirana sembari beranjak untuk kembali ke ruangannya.
“Ehm, okay.. Inikan tepat 1 September.” Sahutku murung sembari menerawang setelah kirana berlalu. Terlihat langkah bu Lidya berdetak menghampiriku dari kejauhan. “Huft, dan kembalilah pada kenyataan.” Gemingku lirih.
Setiap hari suasana hebat dan menakjubkan menyapaku dengan gemuruhnya. Ya, inilah yang sekian lama aku tunggu, yaitu tantangan. Kurasa aku kini telah bangkit dari keterpurukan, setelah tiga tahun menganggur. Dibantu dengan sahabat baikku Kirana, yang memang sudah hampir tiga bulan ini membimbingku dan menemaniku mencari cem-ceman baru. Aku tipikal orang yang mudah suka dengan orang saat pandangan pertama, namun tidak untuk dilanjutkan pada jenjang yang seius.
Bebeda dengan Kirana yang aku akui, meski dia masih labil untuk pacaran, namun dia cukup setia dan serius dengan pasangannya. Meski beribu rintangan, aku selalu memberi nasihat baik demi kelangsungan hubungan Kirana dengan kekasihnya. Kirana sempat bilang, jika dia sering menceritkan aku kepada pacarnya, namun selalu aku tepis untuk memberikan identitasku atupun berkenalan dengan pacarnya. Bukan hanya aku cantik dan takut si pacar Kirana bakal nempel ke akuh, hehe... Namun, karena aku yakin jika berbuat kebaikan jangan sampai diketahui oleh banyak orang, karena itu sama saja tiak ‘Tulus’, bukan penyanyi lho ya.
“Hari Minggu gini, tumben nggak pulang kampung.” Goda Kirana dengan mata nakal. “Sepertinya ada yang nyari cem-ceman nih.” Sahut Kirana lagi.
“Yo’i, dong... Hehe..” Sahutku dengan tatapan nakal sembari menyerutup coklat panasku dalam sebuah caffe.
“Bay the way, banyak lho yang pingin jadi paca kamu setelah tida bulan kamu disini. Banyak anak divisi lain yang kepo soal kamu.” Terang Kirana. “Kamu sih.. Sok jual mahal.” Ledeknya sembari mengaduk-aduk kopinya.
“Lelaki itu semua sama saja, manis diluar padahal ada maksud terselubung didalam. Kalau udah dapet apa yang dia mau ya... Pasti ditinggalin.” Jelasku.
“Kecuali pacarku tentunya.” Kata Kirana sembari menatapku jutek. “Emang kamu penah digituin?” Tanya Kiana sembari stereo memandang lelaki meja sebelah kami.
“Kaga pernah sih... Tapi kan namanya juga jaga-jaga...” Sahutku sembari ikut memandangi lelaki berparas manis meja sebelah.
“Yeee. Itu mah pikianmu aja yang busuk.” Ledek Kirana. “Udah tiga tahun jomblo apa nggak takut apah? Apa lagi usia kamu tuh ya udah nggak muda lagi.” Nasehat Kiana yang itu, lagi-lagi membuatku suram mendengarnya.
“Jujur sih, emakku di kampung omelannya sama kayak kamu.” Kataku sembari terdiam menghayati omelan emak. ‘Kamu tuh ya! Pilih-pilih, jangan sok kecakepan kamu! Pokoknya mama nggak mau kamu jadi perawan tua. Inget udah 27 tahun bangkotan gituh masih betah aja ngejomblo.’
“Makanya, cepetan seriusin tuh si Andi, atau Dodi, atau orang design, katanya orang design itu ngefans sama kamu semenjak kamu menginjakkan kaki di Seger Lemu ini.” Cerocos Kirana seperti kereta api yang maju terus pantang mundur.
“Kirana.... Aku tuh Cuma perlu waktu untuk terbiasa dengan mereka, nggak secpat itu.” Jelasku sembari melirik lelaki di meja sebelah yang selalu mengawasi kami.
“Helo,, udah tiga bulan berturut-turut, selalu itu alesan kamu untuk menolak cinta mereka. Nggak kreatif.” Celutuk Kirana sembari menahan tawanya, yang aku sambut denga muka cemberut lalu berlalu ke kamar mandi yang tak lain untuk melarikan diri dari desakan Kirana untuk nyeriusin Andy, Dody atau saipalah itu.
Terlihat bayanganku didepan cermin dengan wajah yang pucat, ternyata kulitku sudah menua. Bener apa mama dan Kirana, seperinya aku harus mencari pengganti Rendi. Sayup-sayup terdengar tawa Rendi saat mengajariku main permainan yang identik dengan hero Miya tersebut dalam android.
“Haha, nggak papa. Kamu pasti bisa.” Support Rendi saat itu.
“Ah, tuh Cindy nobb.” Ledek kak Frans, satu-satunya saudara kandungku di bumi ini yang tidak dapat aku banggakan. Meskipun berkat kak Frans, aku bisa berkenalan dengan teman kuliahnya Rendi, yang kini telah menjadi tunanganku.
“Permisi...” Sapa seseorang dari belakang sembari mengusap lenganku perlahan.
“Eh, iya?” Sahutku terkejut sembari menepis banyangan masa lalu itu.
“Sepertinya kamu membutuhkan ini.” lelaki itu sembari mengulukan sapu tangannya.
“Anu sebenarnya anda nggak perlu, anu saya nggak menangis kok.” Sahutku gelagapan menyadari ternyata pipiku ada air matanya... ‘Tidaakkk...’ Cindy Claudia nggak mungkin menangis karena lelaki.
“Sebenarnya aku mengerti dengan apa yang kamu rasakan.” Kata lelaki sedikit sungkan untuk menahan tawanya.
“Sepertnya kamu lelaki yang duduk di debelah meja saya, ya,” Kataku sembari terdiam dan mengingat lelaki yang mengamatiku sedari tadi saat didalam caffe.
“Kamu nguping, ya? Kyaaa... Dasar lelaki tidak bermoral... jkshfao..” Tanyaku beserta sumpah serapah yang telah terlanju keluar dari mulutku.
“Cindy?” Panggil Kirana dengan tatapan terkejut dan pucat bagaikan mayat hidup yang kaku pada tempatnya berdiri. Kirana yang terdiam melihat tanganku yang hampir memukul lelaki itu dengan tasku.
“Plis, jangan drama. Ayo bantu gebukin penguntit ini.” Sergapku yang kemudian tanganku dihalau oleh perkataan Kirana yang seperti geledek di siang bolong.
“Beliau itu CEO perusahaan kita.” Timpal Kirana dengan cengiran kuda yang dipaksakan kepada kami,dan tanpa aba-aba segera melarikan diri menjauh dari kami.
Tanganku yang lemas lunglai tertahan untuk memukulnya, kini segera aku kerahkan untuk menepuk-nepuk jas hitamnya dengan cengiran lebar aku lemparkan kearah tatapan lelaki itu. Tatapan yang kini mulai ada kilatnya, nafasnya yang dihelanya bagaikan belerang. ‘Ampun.. Pait.. Pait...’ Batinku sembari menelan ludah.
“Besok aku tunggu diruanganku jam sepuluh tepat.” Katanya sembari berlalu meninggalkanku bersama sapu tangannya.
Lorong sempit yang berujung pada ruangan CEO muda itu berbisik-bisik seolah menghinaku. ‘Siap-siaplah kau di PHK’, bahkan selalu berulang-ulang dinding kanan kiriku berbisik seperti itu. Derapan langkahku mengiringi jantungku yang berdetak tak menentu, tanganku yang memegang surat pengunduan diri kini bergetar hingga berkeringat dingin. Semoga aku siap untuk mobilku ditarik oleh depcollector yang baru aku cicil selama dua bulan itu.
Tok... Tok... Tok... Pintu besar itu berdecit mengeluarkan suara setelah aku mengetuknya.
“Permisi...” Sapaku.
“Masuk.” Kata lelaki itu. Tak lama setelah mempersilahkanku masuk, kini dia menyuruhku untuk duduk dihadapannya, tepat didepan meja yang memiliki name tag CEO Park Jung Min.
Setelah beberapa saat yang hening, aku mengulurkan sapu tangannya yang kemarin, namun malah dilemparnya berkas pada meja dihadapanku. Aku meletakkan sapu tangan itu, kemudian beralih mengambil berkas yang dilemparkan oleh pak Park Jung Min.
“Apa ini, pak?” Tanyaku sedikit gugup. Pasti deh, game over sudah riwayatku, bye bye mobil yang belum kulunasi Huaaaaa......
“Bisa baca kan?” Tanya lelaki itu dengan wajah masam. Aku menatapnya sebentar kemudian menunduk. ‘Jangan menangis, jangan menangis..’ Batinku untuk menguatkan diri sendiri. Dengan sedikit gemetar aku meraih berkas itu, yang kubaca perlahan.
“Kontrak Penikaan?” Tanyaku berhati-hati kepadanya, setelah katam membaca kontrak itu dengan seksama.
“Mungkin agar kamu mengeti, kamu perlu membaca ini juga.” Katanya sembari mengulurkan tablet yang berisi surat kabarbahwa CEO perusahaan S***R L**U dikabarkan memiliki penyakit seksual ‘HOMO’. Tak lama pak Park memutar laptopnya yang berisi tabel saham perusahaan yang menurun drastis tak lama setelah surat kaba itu terbit.
“Saya mengerti, saya kesini juga unuk meminta maaf atas ketidak sopanan saya DAPATKAN KISAH LENGKAP + CERPEN LAINNYA PADA EBOOK
0 Response to "CERPEN - Kusahamkan Cintaku"
Posting Komentar