CERPEN - Arloji Penghenti

Arloji Penghenti
(Tia Pratiwi)
Angin malam berhembus lembut membelai tubuh. Tubuhku yang tidak begitu gendut maupun kurus. Aku hanyalah gadis yang serba pas, dan aku merasa datar-datar saja untuk menghadapi kehidupan. Kenalin namaku Faya Valenthea, panggil saja Faya.
Malam ini aku menikmati sunyinya malam berteman bintang, pada balkon kamarku. Tetapi, suatu suara nyaring memanggilku… Ternyata panggilan telefon dari ayahku.
“Ayah? Ada apa?”
“Ya, Ibu meninggal dunia, sekarang ayah sedang perjalanan pulang bersama jenazah ibumu. Lebih baik kamu bergegas menyiapkan semua perlengkapan utnuk upacara pemakaman Ibumu besok. Karena prediksi ayah, ayah akan sampai disana tengah malam.”
“Iya, Yah” Sahutku datar.
Jujur saja, aku tidak merasa terlalu sedih sedikitpun. Karena, dari kecil Ibu selalu kerja di luar kota dan selalu sibuk, sehingga tidak pernah memiliki waktu untukku. Sama halnya dengan Ayah, aku juga tidak terlalu akrab dengan Ayah. Jadi, selama hidup tidak ada suatu hal yang mendurutku “WAW”, baik dari segi menyenangkan maupun menyedihkan.
Didalam sekolahku aku juga belum merasakan suatu yang “WAW”. Mungkin karena sejak kecil aku selalu mendapatkan peringkat terbaik dan selalu disegani sehingga aku merasakan semua ini biasa saja, dan mudah didapat. Dari sebagian teman-temanku, mereka menganggapku sempurna dan ingin sekali menjadi diriku, dan menurutku itu manusiawi. Tetapi, jika dari sudut pandangku, aku malah ingin terlepas dari semua ini. Aku tidak ingin selalu menjalani kehidupan yang datar, serba kecukupan dan serba mendapatkan apa yang aku inginkan.
Esok pagi telah menyinggahi hari. Mataharipun kini keluar dari persembunyiannya. Seharian ini aku disibukkan dengan upacara pemakaman Ibuku. Setelah semua selesai, Pengacara dari Alm. Ibuku menyuruh Ayah, Kakak perempuanku (Kak Naya), Aku, serta Bibi (pembantuku) untuk berkumpul. Sebuah wasiatpun terucap sepatah demi sepatah kata yang tertuai sedikit keharuan. Sebagai anak terakhir, aku malah mendapatkan wasiat yang sungguh menakjubkan. Dan aku baru kali ini mengatakan “Waw”.
Wasiat itu di wariskan kepadaku karena kata Ibu saat masih hidup bahwa akulah salah satu anaknya yang mewarisi bakat supranatural seperti Alm. Nenekku. Aku sendiri heran, bakat dari mana? Membaca bocoran soal UN aja aku tidak bisa. Kembali pada warisan yang diwasiatkan Ibu padaku adalah sebuah Arloji Penghenti. Aku sungguh tidak mengerti terhadap maksud Ibu, kenapa harus aku? Cara memakainya saja aku tidak mengerti.
Sehari setelah kematian Ibu, aku tetap berangkat sekolah. Seperti yang aku ceritakan, bahwa aku selalu merasa datar, cepat bosan, serta moody. Ngomongin masalah asmara, aku belum punya target seroang-pun karena belum ada yang “Waw” dan membuat jantungku bergetar secara up-normal. Menurutku sih, kalau mencintai seseorang itu harus yang benar-benar ngena dihati dan tidak hanya main-main. Kalau hanya faktor ketampanan, atau ketajiran banyak laki-laki yang nyatain cinta kepada ku tetapi belum ada satupun yang ngeh, jadi lain kali aja deh kalo masalah asmara.
“Fay…” Sapa temenku
“Iya, ada apa Ren?”
“Happy Birthday..” Sembari mengeluarkan bunga yang tersembunyi di punggungnya.
“Makasih, Rendra…” Kulemparkan senyuman untuk menghargai pemberiannya.
“Iya, nanti malem nonton yuk?”
“Ehm, Sorry… Kelihatannya asik tuh, tapi nanti malam aku ada acara.”
“Ya udah deh kapan-kapan, aku duluan ya…”
“Iya..”
Belum lama berjalan menyusuri koridor, teman-temanku yang lain sudah mengerubuniku untuk memberikan hadiahnya untukku. Aku tetap pada kebiasaanku dengan melemparkan senyum untuk menghargai mereka, karena bukan hanya di hari ulang tahunku saja mereka seperti ini. Aku bersyukur bisa menjadi seorang yang almost perfect dan banyak sahabat-sahabatku yang ingin menjadi sepertiku, tetapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang kurang.
Disunyinya malam, aku memutar-mutar arloji pemberian Ibu. Aku bingung bagaimana cara kerjanya. Setalah hampir satu setengah jam aku amati ternyata ada pintu pembukanya, ada jarum bidik, dan ada penentu waktunya. Kemudian aku fikir-fikir kembali, apa fungsi dari arloji ini. Sebuah pembidik? Untuk apa? Setelah lelah memikirkan semua tentang arloji ini, tidur menjadi pelarian utamaku.
Saat jam istirahat di sekolah, aku mencoba arloji itu lagi. Aku mengusahakan duduk di tempat yang sepi dan tidak diikuti oleh teman-teman yang selalu ingin bersamaku. Setelah sampai di belakang ruang guru, aku duduk dan memperhatikan arloji ini. Pertama-tama aku mencoba memutar waktu kedepan akan tetapi tidak bisa, pemutarnya sangat berat untuk memutarkan waktu kedepan. Akhirnya aku memutar waktu kebelakang sekitar 5 menit yang lalu.
Lalu aku buka pintu arloji itu, setelah itu aku mencoba membidik seekor kucing yang sedang menjilat-jilat tubuhnya di dekat pasir. Setelah terbidik aku melihat sepeda motor yg lewat menjadi terhenti, musik yang dilantunkan selama jam istirahat juga terhenti, orang-orang disekitar juga berhenti bahkan berkedip saja tidak, kulihat jam dinding di sekolah juga ikut berhenti. Dan yang tidak berhenti hanya aku, kucing itu, serta arlojiku yang berdetik menuju ke 5 menit kedepan (waktu semula saat aku membidiknya). Dan kulihat kucing itu baru ingin melakukan BAB, tetapi karena menyadari aku ingin menghampirinya dia malah lari. 5 menit pun sudah berlalu, dan kucing yang menjilat-jilat tubuhnya sudah tidah ada. Yaaah, kasian. Gara-gara aku si kucing tidak jadi BAB, semoga segera dapet toilet pasir baru deeh…
Ehm, dapat aku simpulkan dan aku dapat mengerti cara kerja arloji ini. Seletah pulang sekolah aku diundang Sepupuku (Kak Nila) menghadiri pesta pernikahannya, untuk menjadi pengiringnya saat berjalan. Dan akhirnya aku mengiyakan permintaan Sepupuku itu. Sehingga besok pagi aku harus izin berangkat sekolah untuk menghadiri pesta.
Esok pagi-pagi sekali aku diharuskan Kak Nila untuk segera datang kerumahnya yang berjarak 5 meter dari pintu rumahku, karena akan dirias terlebih dahulu. Setelah samapai di rumah sang pemelai perempuan aku langsung dirias oleh orang-orang dari Kudus dimana dari Salon ternama dari kota si pemelai laki-laki. Setelah di make up aku mengambil HPku yang aku charg di kamar tamu. Tetapi saat aku buka ada seorang laki-laki yang lagi ngaca, sempet tatapan dikit tapi perasaan kayaknya pernah kenal deh.. Siapa ya, aku inget-inget sembari melepaskan charger dari HPku lalu kuambil HPku dan pergi meninggalkan laki-laki itu.
Saat menuju ruang resepsi yang masih sepi, aku bertemu dengan adik kelasku di ekstra musik, namanya Dek Rizka. Ku melihat Ia melambaikan tangan padaku. Aku berjalan dengan tenang seperti biasa untuk mendekatinya.
“Hai… Kak Faya, apa kabar?”
“Dek Rizka? Kabarku baik kok, kamu juga baik?”
“Aku juga baik kak… Sepupu kakak sama sepupuku ternyata akan menikah. Hihi… nggak nyangka saudaraan sama bintang sekolah…”
“Ih, adek bisa aja..”
“Siapa yang nggak seneng coba, kakak mana pinter, cantik, tenar, modeling, baik, dan nggak sombong lagi.”
“Hihi, makasih. Setiap orang pasti memiliki kelebihan masing-masing. Kamu pasti juga memiliki kelebihanmu, tetapi kamu belum mengetahuinya.”
“Ah, kakak bisa aja ngelesnya. Kak aku di panggil kakak ku, aku ke sana dulu ya…”
“Eh, tunggu… Emang nama kakak kamu itu siapa?” Sambil menengok orang yang memanggil dek Rizka itu, alias laki-laki yang baru aku temui tadi di kamar tamu.
“Oh, nama kakakku itu kak Edo. Naksir ya? Ehm ralat, kayaknya seorang kak Faya nggak mungkin deh naksir cowok kayak kakakku.” Aku hanya dapat membalasnya dengan senyum saja. Lalu mereka pergi berlalu.
Kini event ijab khobul dimuali, dengan santainya aku dan dek Rizka tiduran di kamar tamu yang hanya kami berdua yang lagi cekikikan tanpa memperdulikan konde segede wajan hihi. Kalau turun kebawah untuk melihat ijab khobul takutnya malah make upnya luntur, karena lantai bawah nggak ada ACnya. Aku melihat dek Rizka lagi asik main Ipadnya, dan aku lagi ngetik tugasku melalui Notebookku yang aku bawa tadi. Sembari mengerjakan tugas aku mengingat-ingat sosok Edo. Ehm, kayaknya nggak asing. Oiya, aku inget dia adalah teman masa kecilku.
Kembali ke masa kecilku disaat aku kelas 1 SD. Dulu aku satu kelas dengan Edo, bahkan satu bangku. Aku sering berebut sesuatu dan berantem dengan Edo, tapi entah kenapa aku dan Edo malah jadi sahabatan. Dulu dia sering narik kursi yang ingin aku duduki, sehingga aku jatoh dan akhirnya dia dimarahi oleh Bu Iin (Guruku waktu kelas 1 SD). Dan tentunya aku juga tidak mau kalah, aku juga sering jahilin dia dengan menaruh bola bekel dengan seperangakat perbekelan pada tempat duduknya. Hihihi, akhirnya aku juga dimarahi oleh Bu Iin. Di saat bell jam istirahat berbunyi, aku dan Edo langsung menyopot sepatu dan bermain gunung meletus, dengan menyusun sepatu seperti gunung, terus nanti yang kalah jaga itu gunung agar nggak meletus (sepatunya berhamburan karena lemparan sepatu daari pemain yang nggak jaga).
Kembali kemasa sekarang, kayaknya aku ada getaaran sama Edo deh, yang belum pernah aku rasain sebelumnya. Sembari mengingat wajah Edo yang kini sudah dewasa dan semakin rupawan itu.
“Kak…”
“Woi… Kak Faya….”
“Ya…” Sembari terkaget dari lamunanku.
“Kakak ngelamunin siapa, sih… Cia…. Senyum-senyum gitu…”
“Nggak siapa-siapa kok…”
“Bo’ong, pasti lagi ngalamunin cowok, iya kan?”
“Iya, tapi cowok itu umur 6 tahun. Hihihi…”
“Yeey, masak kakak pedofil, sih…”
“Ijab khobulnya sudah selesai tuh, kebawah yuk….”
“Ngapain kak…”
“Pakek, tanya… Ya makan lah. Setelah makan nanti langsung jadi pengiring pengantin saat upacara adat. Terus nanti bisa santai sepuasnya di kamar tamu, oke…”
“Oke kak….”
Likuan tangga kami turuni dan kami langsung diberi instruksi oleh tante Rini (Ibu dari kak Nila) Kemudian kami mengikuti upacara adat pernikahan dengan khidmat. Setelah tugas terlaksanakan, kami nggak langsung ke kamar untuk bersantai kembali, karena tadi belum sempet makan udah di panggil untuk latihan jadi pengiring pengantin. Jadi kami menyempatkan untuk menyerbu makanan yang berada pada angkringan yang bertuliskan BAKSO. Setelah puas menyantap bakso, kami langsung menyerbu angkringan ES KRISTAL. Heheh, Yumie banget…Sembari membawa es kristal, aku dan dek Rizka mencari tempat duduk khusus untuk keluarga tentunya, yang berada pada meja lingkaran berkain putih yang tak jauh dari panggung.
Sembari meminum es kristal, kami mendengarkan lagunya Christina berjudul A Thousand Years, walaupun bukan dinyanyikan oleh penyanyi aslinya tetapi tetep keren. Saat lagu itu dinyanyikan, serasa waktu telah berhenti untukku, padahal aku tak menyentuh arlojiku. Saat aku melihat sekeliling, aku memergoki Edo menatapku lalu tersenyum padaku. Apakah ini yang dinamakan cinta? Berkhayal aneh, seakan di dunia ini yang hidup hanya aku dan orang yang aku cintai.
Tak percaya aku mengamati sekitarku lagi, dan meninggalkan tatapan Edo. Entah mengapa aku melihat orang-orang berhenti bergerak, bahkan air yg mengalir yang di tuangkan ke cangkirku oleh waitrees juga ikut berhenti. Ada apa ini? Aku berdiri meninggalkan dek Rizka dan waitrees itu. Aku melihat semua orang tampak diam tak bergerak.
Aneh, aku padahal tidak menggunakan arloji pemberian Ibu, kenapa bisa seperti ini. Lalu aku menatap Edo lagi masih di meja sebelah, dan ternyata dialah satu-satunya orang yang bergerak, lalu aku menghampirinya.
“Ehm, hai…?” Sapaku malu-malu, dengan jantung yang berdegup tak karuan.
“Hai?” Jawab Edo terkejut dan gugup, mengetahui aku menghapirinya.
“Kok orang-orang, berhenti bergerak?” Tanyaku heran.
“Ehm, nggak tahu. Hehe, ya mungkin ini halusinasi kita yang merasa dunia seakan kita miliki berdua.” Kata Edo yang penjelasannya mirip dengan prediksiku diawal tadi. Hihi, jodoh mungkin.
“Hihi, kamu ngaco.” Aku tersipu malu.
“Tapi bener juga, kok aneh ya? Seakan waktu terhenti untuk kita. Kamu ngerasa nggak?”
“Ngerasa apa?”
“Kayak gini.” Sembari mengangkat tanganku dan di letakkan ke dada kirinya dan kurasakan detak jantungnya juga berdebar kencang seperti yang ku alami saat ini. Kemudian aku mengangguk malu.
“Ehm, Kamu masih inget sama aku?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan karena mukaku yang sudah seperti udang rebus.
“Emang kita pernah kenal sebelumnya?”
“Ehm…” Belum sempat aku menjawab, arloji pemberian ibu berdetik kencang dan keras.
“Bunyi apa itu?” Tanya Edo dengan wajah curiga.
“Ehm, apa ya. Mungkin halusinasimu kamu.” Kataku untuk menyembunyikan arloji ajaib ibu, yang harus aku rahasiakan dari orang lain.
Setelah arloji ibu berhenti berdetik kencang, kini suasana menjadi normal kembali. Aku yang kini tiba-tiba telah berada di tempat dudukku semula, memberanikan diri untuk melihat kearah Edo, aku melihatnya Ia menoleh kanan-kiri dan tampak kebingungan, mungkin Ia mengira hanya halusinasi. Ataukah, aku yang berhalusinasi? Atau, arloji ibu sedang error? Entahlah, masih rancu.
Sesaat aku melihatnya lagi, dia menatapku. Kini seolah dia berkata “Akulah orang yang kau ajak bicara saat orang lain tak bergerak.” Entah bisikan dari mana, aku merasakan dia berkata sepeti itu. Kemudian aku membalasnya dengan senyuman, seolah menjawab perkataan dari tatapannya, dengan berkata dalam hati “Maaf, aku tidak tahu apa-apa.” Aku pura-pura tidak mengerti saja ah, agar Edo tidak curiga. Aku mulai panik saat Ia mendekat padaku. Aku takut dia mencurigai arlojiku.
“Hai…” Sapa Edo ramah.
“Hai..” Jawabku yang kini gantian aku yang terkejut dan sangat gugup.
“Kamu cewek yang tadi ya?” Kata Edo yang ternyata masih ingat. Aduuuh, mampus.
“Emh, yang mana ya? Dari tadi aku di sini.” Kataku menenangkan diri, walau sebenarnya masih gugup tingkat dewa.
“Tapi, tadi kamu menuju ke mejaku?” Kata Edo kekeh pada pendiriannya.
“Enggak kok kak, dari tadi kak Faya duduk di depanku. Halusinasi kakak mungkin, karena nggak pernah lihat cewek cakep kayak kak Faya. Hihi, sekali lihat kak Faya langsung keder deh..” Kata dek Rizka menggoda.
“Ah, kamu itu, bisa ajajahilin kakak.” Sembari mengacak-acak rambut dek Rizka. “Well, aku duduk sini ya..” Lanjut Edo sembari menunjuk kursi pada sebelahku.
“Silahkan.” Jawabku sok ramah, dan pasang senyum semanis mungkin. Baru saja Edo duduk di sebelahku, tiba-tiba aku di SMS Ayah untuk pulang.
“Permisi, kayaknya aku harus pulang sebentar, nanti aku kesini lagi.”
“Iya, kak…” Jawab dek Rizka antusias, dan Edo hanya menjawab dengan senyuman terpaksa dan kecewa.
Saat pulang ternyata aku hanya disuruh memasakkan Ayahmie instan, ckckck…. Semua laki-laki ternyata pemalas. Nggak apa-apa deh, itung-itung bahagiain bokap. Kasihan Ayah, beliau masih berkabung dan aku malah enak-enakan di resepsi pernikahannya sepupuku. Tetapi, kesedihan kan nggak baik berlarut-larut. Setelah masakin Ayah mie instan dan teh hangat, aku langsung kembali ke rumah kak Nila.
Setelah sampai ke rumah kak Nila lagi, tenyata sudah pada acara pelemparan bunga. Dari pada ngerebutin hal sepele, mendingan ngapelin tante-tente yang jaga angkringan ES JUS, hehe… Mumpung kagak ada antrean, Hihihi…
~ Kricik ~ Yaah…. belum aku minum, itu bunga pengantin sialan, melambung terjun bebas di es jus ku. (=,=)” huuh, lalu aku pelempar itu bunga kebelakang entah bakal kena siapa, bodo amat… Sembari mengusap gaunku yang terkena percikan es jus, lalu aku kembali memesan es jus lagi.
“Ehem-ehem.” Suara yang sepertinya bernaada marah itu membelai telingaku yang tertutup dengan bunyi kricikan es juus segaar~ dan aku nggak terlalu nggubris suara itu, aku tetap membersihkan gaunku sembari menyrutup es jus yang baru aku pesan tadi.
“Eheeeeeem…” Kata suara marah itu panjang bene,dah. Barulah aku tolehkan wajahku, yang memasang tampang datar dan pastilah jelek banget, dihadapan Edo, hah “Edo!”.
“Hihi.. Kamu… Kenapa? Kok, rambutmu basah? Kamu kok juga dapet bunga pengantin? Selamat, ya. Hi - Hi - Hi.”Aku mulai takut dan pura-pura nggak tahu, karena itu kayaknya akibat ulahku deh.
“Terimakasih lho atas bunganya. Mana basah lagi, pasti habis disiram ya? Dan terimakasih lho atas itu, rambutku jadi dapet kreambath gratis hari ini.”
“Hi-hi-hi… Maaf. Nih..” Aku langsung memberikan jus yang aku pesan tadi kepada Edo sebagai permintaan maaf.
“Nggak usah.Minum kamu saja, toh juga udah kamu minum. Aku hanya perlu itu.” Sembari menunjuk tissue yang aku gunakan tadi yang aku pergunakan untuk membersihkan gaunku.
“Nih, maaf ya” Kusodorkan sepotong tissue yang baru kuambil. Tiba-tiba, Edo menarik tanganku dan mengusap-usapkan tanganku pada rambutnya yang basah. Lalu, ia melepaskan tanganku. Tetapi, entah dorongan dari mana aku tetap berusaha membersihkan es jus pada rambutnya.
“Maaf, ya..” Sembari mengelap ramputnya dengan lebut.
“Nggak apa-apa kok. Gimana kalau kita ngobrol sambil duduk saja?” Lalu menarik tanganku untuk mengikutinya. Dan nggak lupa, aku tetep membawa es jus ku dan es jus baru untuk Edo. Setelah sampai di meja yang tadi aku duduki, eeeh malah Edo meninggalkanku.
“Tunggu, kamu mau kemana? Aku sudah bawa es jus dua, terus kamu ajak aku duduk di sini, terus dengan santainya kamu tinggalin aku gitu aja?”
“Tunggu saja di sini… Aku memiliki sesuatu untukmu” Lalu ia pergi berlalu dengan rambutnya yang masih basah. Sempat aku melihatnya meminta MC untuk bernegosiasi entah apa aku tak tahu. Tiba-tiba, aku mendengar suara Edo pada pengeras suara diiringi oleh musik syahdu, lagu yang dinyayikan berjudul “LAGU RINDU”.
Setelah Edo menyanyikan lagu itu, ia menuju padaku sembari melemparkan senyuman termanisnya untukku. Aku juga membalas senyumannya dengan sebuah senyuman yang mengatakan “Terimakasih, suaramu sangat indah. Aku bangga padamu.” Batinku.
“Gimana? Apakah aku masih terlihat belum memaafkanmu?” Tanya Edo.
“Suaramu bagus juga..” Jawabku slenco karena mulai leleh bagaikan keju lumer yang dipanaskan.
“Terimakasih, well… Nama kamu siapa?” Tanya Edo.
“Namaku Faya, kalau nama kamu pasti Edo?”
“Kok tahu, dukun yaaa…..” Edo menyolek hidung gemas.
“Ih, ngaco… Aku kan sudah tanya sama adek kamu.” Kataku dengan agak memonyongkan mulutku.
“Heeem, ketahuan deh kalo kamu naksir aku.”
“Ih, PD banget sih jadi orang.” Sembari menjulurkan lidahku keluar.
“Kayaknya, bener kata kamu waktu di khayalanku tadi. Kita kayaknya pernah kenal sebelumnya. Ngerasa gitu, nggak?” Tanya Edo menyelidik.
“Iya, aku pernah kenal sama kamu. Apa kamu nggak inget? Coba deh inget-inget lagi.” Kataku sembari terheran dan mulai serius.
“Masalahnya dulu aku pernah kecelakaan dan sempet gagar otak, jadi susah..” Jawab Edo.
“Oh gitu. Pantesaan kamu nggak inget masa diwaktu kita masih kecil.” Kataku menjelaskan.
“Oiya, kamu bisa kasih tahu aku sedikit nggak tentang masa lalu kita?”
“Dulu kita itu sahabatan waktu SD kelas 1. Tetapi sejak kelas 2 kamu pindah nggak tahu kemana.” Cerocosku menjelaskan lagi.
“Kalau pindah aku pernah inget, soalnya aku di tunjukin foto rumah lamaku dan ada gambarku diasana.” Sembari melirik kekanan untuk mengingat-ingat lagi.
“Ehm…” Aku manggut-manggut. Pantesan kagak inget. Tapi kok rasa yang dulu, nggak kayak sekarang ya? Dulu pinginnya selalu jailin dia terus, tapi sekarang kepingin deket-deket dia terus. Hihihi.
“Hai, anak-anak sini kumpul. Acaranya hampir selesai, sini foto keluarga dulu” Ajak Ibu kak Nila.
“Baik, Tan. Ohiya… Ayah masih di rumah. Katanya Ayah mau datang ntar malem.”
“Ya sudah nggak apa-apa, yang muda-muda aja yang difoto bersama pengantinnya.”
Kemudian aku melangkah ke atas panggung tempat pelaminan berdiri. Disana kutemui kak Nila tersenyum padaku, aku senyum balik ke dia. Dia tampak cantik dan lebih bahagia. Aku melihat kakakku Naya baru datang dan langsung heboh dan ikut nimbrung ikutan foto. Kami yaitu aku, kak Naya, Kak Nila + Suaminya, Edo dan Dek Rizka langsung beraction secara formal dengan anggun dan rapi. Setelah foto-foto aku pulang.
Semalam aku mimpi misterius, dimana ada teriakan ambulan yang nyaring ditelingaku. Lalu aku mendengar suara rintihan Nenek tua yang memanggilku. Dia berkata jauhi orang yang juga membawa arloji penghenti. Karena nanti aku akan terperangkap di arloji penghenti milik orang itu selamanya. Jika arloji itu berdekatan maka cara kerjanya tak menentu sehingga kami(pemilik arloji) tak dapat mengatur arloji itu, tetapi malah jadi kami yang akan diatur oleh arloji itu. Kata nenek itu, kemungkinan terburuk yaitu aku akan terperangkap dalam arloji milik orang itu, karena arloji itu membeci pemilik arlojiku (aku). Dan pemilik arloji itu akan terperangkap pada arlojiku yang juga membenci pemilik dari arloji penghenti lain (masih sebuah misteri).
Aku bingung dengan mimpi semalam dan mulai menyelidik, siapa yang memiliki arloji itu selain aku dalam pesta kemarin? Lalu, aku harus menjahui siapa?Tanyaku dalam hati. Sebentar…. Arlojiku warnanya putih, dan Nenek itu menuntutku untuk menjauhi orang yang memiliki arloji selain yang aku miliki. Kata pengacara ibu, di dunia ini hanya ada 1 pasang arloji, yaitu hitam dan putih. Berarti aku harus menjauhi orang yang memiliki arloji hitam. Berarti orang yang memiliki pasti laki-laki, karena kata pengacara ibu, arloji hitam akan diturunkan kepadaa anak laki-laki. Ehm, masak Edo? Kan hanya dia yang tidak bergerak saat arlojiku error. Tapi, masak sih? Dia aja malah nggak tahu apa-apa. Apa mungkin Ayah? Atau, mungkin…. Ah, entahlah… Yang pasti aku tak sanggup untuk meninggalkan mereka berdua.
~KRING~ tone HP ku menyadarkan lamunanku.
“Selamat Pagi.. Faya Valenthea disini?” Jawabku seperti yang di ajarai guruku.
“Tidak usah terlalu formal kali…” Jawab seseorang lelaki disebrang.
“Edo?” Nada suaraku mendadak gembira, sampai terbangun dari tempat tidurku.
“Iya, laah..” Kata Edo.
“Eh, tunggu. Kamu depet nomor HP ku dari mana? Ini kan nomor pribadiku yang tahu hanya keluargaku.” Kataku bingung. Karena selama ini aku menyediakan HP dua. Yang satu untuk teman-teman dan khalayak umum dan yang lainnya khusus untuk keluarga.
“Aku Tanya kak Nila” sahutnya.
“Hihi, kenapa nggak minta sama aku aja?” Kataku menggoda.
“Takut nggak kamu kasih.” Jawabnya polos.
“Well… Aku ingin tanya sesuatu nih, tapi kalau di telephone nggak enak. Aku ingin membicarakan sesuatu sama kamu, penting.” Kataku mulai serius.
“Gimana kalau aku jemput kamu setelah pulang sekolah, nanti kamu bisa tanyain apa aja di caffe terdekat.” Kata Edo.
“Ide bagus…” Jawabku girang.
“Ya udah, sana buruan mandi… Baunya sampai sini… Setelah itu ganti baju terus sarapan langsung ke sekolah jangan kemana-mana.” Cerocos Edo seperti emak ku aja.
“Oke, sekarang aku dapet ibu baru, nih…” Celotehku dengan wajah datar “ See u…” Sambungku.
“See u too my sweet dear…” Setelah aku menutup telephonenya aku jingkrak-jingkrak tak karuan di tempat tidurku. Tadi Edo bilang my sweet dear….??? Aaaaaaa tidak kuat….
Setelah pulang sekolah aku menunggu Edo di deket halte bus. Lalu aku melihat Toyota Avansa berhenti tepat berada di depanku. Kemudian Si pemilik mobil alias Edo menarik tanganku menuju bagasi mobilnya, dan ternyata dalam bagasi mobilnya terdapat sepeda gunung, lalu Ia keluarkan sepeda itu.
“Ayo naik…” Ajaknya.
“Sepeda ini?” Sembari pasang muka pilon.
“Kenapa? Nggak terbiasa naik sepeda? Atau malu untuk aku goncengin naik sepeda?”
“Enggak, aku nggak malu, aku seneng. Tapi nggak tahu cara naikinnya. Dari samping kanan atau kiri?” Tanyaku yang mulai bingung.
“Yaelah, cara mbonceng aja kaga tahu, ya dari kiri lah..” Kata Edo mengejek.
“Owh, oke-oke….” Jawabku tetap tabah walau udah diejek.
Lalu aku membonceng dengan berpegangan pada jas coklatnya. Sekali-kali aku menyembunyikan mukaku pada punggungnya karena takut, habisnya dia naikinnya kenceng bener.
“Edo, jangan ke caffe.”
“Lho kok nggak jadi? Kenapa?”
“Aku pingin sepeda-sepedaan aja di sekitar sawah, nanti kita duduk di pinggiran sawah aja, sore-sore kan adem kalo disana. Sekaligus untuk nanyain pertanyaanku tadi pagi…”
“Oke, good idea… I know the place where you want..” Kata Edo sok pinter Bahasa Inggris aja, padahal dulu dia pernah dapet tiga sewaktu ulangan Bahasa Inggris.
“Ngaku aja kalau kamu juga ingin kesana, sembari sepeda-sepedaan.” Jawabku.
“Iye, sih…” Lalu sepeda ini menyusuri jalan pedesaan dan melintasi sawah-sawah. Derai tawa kami silih berganti di sekitar indahnya sawah pada sore hari…
Sore hari yang sangat indah, sesekali aku menempelkan wajahku pada punggung Edo, saat Ia mengayuh sepeda.. Setelah lelah sepeda-sepedaan, kami turun dan duduk di pinggir sawah.
“Nih, buat kamu” Aku melihat Edo memberiku sebuah rumput teki.
“Hihi, makasih…” Aku tersipu malu.
“Well, kamu mau tanya apa?”
“Sebelum tanya masalah itu. Aku mau tanya kenapa kamu nggak sekolah?” Tanyaku yang penasaran sedari tadi karena melihatnya memakain jas coklat.
“Aku sudah kuliah dan di waktu sela aku mengelola bisnis keluargaku. Dulu aku ikut SMP akselerasi dan SMA juga akselerasi, sehingga wajahku terlalu muda untuk menjadi mahasiswa, kan?” Kata Edo yang mulai PD.
“Hihi, nggak juga. Terkadang kamu sama tua nya seperti ibuku saat kamu ceramahin aku. Kayak di telfon, pagi tadi. Hihi..” Kamipun tertawa bersama. “Oiya, Kamu memiliki arloji seperti ini, nggak” Tambahku sembari munjukkan arlojiku padanya.
“Iya, tetapi milikku warnanya hitam.”
“Tahu, nggak… Kemarin sebenernya kamu itu nggak menghayal. Itu beneran aku, dan saat itu Arlojiku error karena berdekatan dengan orang yang memiliki arloji penghenti waktu hitam alias kamu”
“Baguslah, kalau begitu.” Tiba-tiba wajah Edo menjadi murung.
“Maksud kamu bagus? Bukankah buruk jika kita tetap berdekatan.” Kataku agak marah.
“Aku tahu hal itu. Arloji kita memang saling bermusuhan. Tetapi, setiap orang yang memiliki arloji ini adalah sepasang kekasih yang telah dijodohkan.” Jawab Edo menjelaskan lagi.
“Aku masih belum mengerti, mengapa jika seseorang yang memakai arloji ini adalah sepasang kekasih, tetapi ayahmu dan ibukku tidak pernah menikah?” Bantahku mulai bingung.
“Para pendahulu kita, mereka selalu menikahi orang-orang yang tidak mereka cintai, padahal cinta sejati mereka itu sudah pasti yang memiliki arloji putih dan hitam. Dan jika salah seorang akan meninggal, pasti pada detik, menit, jam dan tanggal yang sama mereka akan meninggal di waktu yang sama walaupun pada tempat yang berbeda. Tapi, satu yang di sayangkan. Mereka tidak berani terperangkap untuk cinta sejatinya, maka dari itu mereka saling menjauh.” Jelas Edo lagi.
“Oh, jadi begitu.” Gemingku. “Tunngu, berarti kamu baru saja kehilangan Ayah kamu?” Tanyaku.
“Iya… Kamu pasti juga baru saja kehilangan ibumu.” Jawabnya, dan aku melihat raut wajahnya sedih.
“Aku turut berbela sungkawa…”
“Aku juga. Tapi, jika pertemuan kita dilanjutkan selama lima kali pertemuan lagi dalam kurun waktu satu bulan, relakah kamu terperangkap dalam arlojiku, dan aku juga akan terperangkap pada arlojimu?”
“Jadi, semenjak kita memiliki arloji ini. Dari awal kita bertemu itu sudah di hitung? Dan kita memiliki tujuh kali pertemuan dari awal kita bertemu. Karena kita telah bertemu dua kali. Seklainya dihitung sehari? Benarkah?”
“Benar, jadi maukah kamu tetap menemuiku dan berada di sisiku, walau akhirnya kita sama-sama akan terperangkap?”
~Kring~ Kring~ Hp ku tiba-tiba berdering.
“Selamat siang, Yah. Ada apa?”
“Cepat pulang, Nak. Ayah membutuhkanmu. Kakakmu masih kuliah, jadi tolong masakkan sesuatu untuk ayah. Tetaplah, disisi ayah, Nak. Jangan sering pulang terlambat lagi. Karena ibumu sudah tidak di sisi ayah lagi.”
“Ehm, baiklah, Yah.”
Perhatianku terfokus kepada Edo lagi, dia menatapku penuh harapan. Sembari menunggu-nunggu jawabanku.
“Maaf, Edo. Aku tidak bisa bertemu denganmu setelah ini… Aku harus menjaga ayah, yang kini baru saja kehilangan ibuku. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian jika aku terperangkap.” Kataku sungguh menyesal.
Perubahan ekspresiku yang semula hangat terhadapnya, kini menjadi dingin. “Edo, aku belum rela mati untukmu. Kita bertemu saja baru kemarin. Bisakah cinta itu tumbuh begitu cepat? Bahkan aku juga belum mengerti makna cinta sebenarnya. Aku tidak bisa seperti ini. Menyia-nyiakan hidupku begitu cepat demi orang yang belum tahu aku cintai atau tidak? Sekarang pergilah, dan jangan temui aku lagi.” Kataku pura-pura tidak pernah mencintainya.
“Baiklah aku mengerti. Sebaiknya janji yang ku ingat, tidak akan ku ingat lagi” Kemudian Edo pergi dengan sepedanya.
Percakapan kemarin sungguh sangat-sangat gila. Hampir saja, aku mengira semua ini hanya mimpi. Waktu berputar begitu lambat saat Edo tidak di sisiku lagi. Ada apa dengan aku ini? Sebelum bertemu dengan Edo, aku baik-baik saja. Kenapa sekarang berbeda. Lupakanlah… Ini benar-benar sebuah kegilaan.
Bagaikan lumpuh sebuah perasaanku, aku tidak dapat menyukai laki-laki lain selain Edo. Aku berusaha melupakannya, tetapi tidak bisa. Satu hari setelah kami berpisa, aku masih kuat untuk berbohong kepada diriku bahwa aku tidak mencinntainya. Seminggu setelah kami berpisah, aku tidak dapat mengakui bahwa aku merindukannya. Sebulan telah berlalu, tiba-tiba teringat sesuatu olehku. ‘Baiklah aku mengerti. Sebaiknya janji yang ku ingat, tidak akan ku ingat lagi.’ Kata-kata Edo itu mengingatkanku pada suatu kejadian. Flashback berlalu-lalang menari dalam ingatanku.
“Janji, ya… Kita akan selalu bersama.” Kata Edo saat masih kecil dulu.
“Iya. Kita kan sahabat sejati. Kita akan bersatu walau maut datang menimpa kita” Kataku sewaktu kecil dengan penuh keyakinan. Bodohnya aku….. Kenapa dulu aku memintanya untuk menjauh. Aku kan sudah janji untuk selalu bersama. Apakah aku sudah mengingkari janjiku? Ahaa… Aku punya ide.
Sepulang sekolah aku menuju sebuah rumah terpencil yang di kelilingi oleh kebun rempah-rempah. Sebagian jahe yang telah dipanen aromanya begitu menggelitik hidungku. Tujuanku kesini untuk konsultasi dengan orang pinter yang terkenal top cer sihirnya, hehe. Inilah ideku kemarin.
“Ada perlu apa anak semuda kamu datang ke mari?” Tanya nenek itu.
“Aku ingin menanyakan sesuatu tentang arloji ini, Nek.” Kemudian aku menunjukkan arloji yang ku pakai.
“Ehm, aku tahu benda itu. Lalu, memangnya kenapa?” Suara parau dari nenek itu sempat membuatku merinding. Tapi, aku tetap memberanikan diriku.
“Bagaimana aku bisa bertemu dengan orang yang memiliki arloji hitam. Tanpa kami saling terperangkap?”
“Dalam trawanganku. Tampaknya kamu terlanjur jatuh terlalu dalam. Luka hatimu seperti, bunga yang baru saja mekar tetapi layu dalam sekejab oleh badai angin. Kebimbangan dalam hatimu, dan kebohonganmu pada lelaki itu semakin menyakitimu sendiri.” Katanya sambil menerawang.
“Aku memiliki segel untuk hal semacam itu, ini…” Nenek melanjutkan perkataannya lalu menunjukkan kepadaku sebuah kotak kaca. “Ini untuk menyegel arlojimu untuk selamanya, sehingga arloji ini tidak akan membuat kekasihmu terperangkap didalamnya. Tetapi, aku tidak dapat menghentikan arloji hitam milik kekasihmu.”
“Memangnya kenapa?” Kataku sedikit berteriak.
“Karena aku hanya memiliki satu kotak kaca untuk menyegel arloji itu.”
“Sayang sekali.. Tetapi, setidaknya jika aku menyegel arlojiku maka kekasihku tidak akan terperangkap, tapi hanya aku yang terperangkap dalam arlojinya?”
“Iya.”
“Baiklah, aku akan mengambil kotak itu.”
Keputusanku sudah bulat untuk terperangkap dalam arloji Edo setelah bertemu dengannya sebanyak lima kali kedepan. Keputusanku memang gila, dan kurasa aku juga telah gila karenanya. Jikalau, setelah aku terperangkap dan Edo mencintai wanita lain, aku tidak akan menyesal. Aku hanya ingin dia tetap mengingatku dan memakai arlojinya, yang didalamnya terdapat seseorang yang sangat mencintainya, yaitu aku.
~TUT~TUT~TUT~
“Pagi? Ada yang bisa saya bantu?” Jawab Edo dalam sebrang.
“Hihi, Edo.. Ini aku Faya. Aku ingin bertemu kamu.” Kataku pura-pura bahagia untuk Edo.
“Bukankah kamu tidak menginginkan kita bertemu?” Kata Edo ketus.
“Aku sangat sangat sangat merindukanmu.” Jawabku lirih dan perlahan.
“Bukankah kamu belum dapat membedakan apakah kamu menyukaiku atau tidak?” Jawab Edo masih ketus.
“Maksudku, aku aku ingin kamu menemuiku lima kali lagi.” Jawabku setelah buyar dari melting.
“Tetapi kamu tidak siap untuk terperangkap pada arlojiku, jadi lebih baik jangan temui aku.” Kata Edo tenang tapi masih dingin terhadapku.
“Sebenarnya, aku takut jika kita bertemu secara tak sengaja hingga lima kali lagi, dan membuatku terperangkap pada arlojimu. Akhirnya, aku pergi ke orang pinter dan membeli kotak kaca yang hanya ada satu. Aku membeli kotak kaca untuk memperkuat arlojiku, saat aku menaruh arlojiku kedalam kotak itu maka yang akan terperangkap kedalam arlojiku adalah kamu. Dan arlojimu akan hancur karena tidak dapat membuatku terperangkap, katena arlojiku yang telah memiliki kekuatan maka akupun juga akan ikut memiliki kekuatan. Sekarang adalah saat untuk membuktikan apakah kamu benar-benar menyukaiku dan siap untuk terperangkap pada arlojiku atau tidak.” Kataku berbohong lagi, hanya untuk melinduninya.
“Sekarang kamu dimana? Aku akan menemuimu, dan akan menemuimu sebanyak lima kali lagi. Aku tidak takut! Karena aku benar-benar merasa aku telah gila, dan tersihir dengan semua ini. Asal kamu tahu itu.” Kata Edo lirih tapi tegas.
“Aku di gubuk deket sawah, saat kita berpisah dulu.” Kataku nada gembira, walau yang sebenarnya aku lelehan air mata membasahi pipiku.
“Tunggu aku. Tetaplah disitu.” Kata Edo.
Kini aku melihatnya lebih seperti anak muda. Langkahnyabagaikan dentuman drum yang bersemangat untuk menghampiriku. Mata elang itu terus mengawasiku dengan tatapan yang serius.
“Sudah ku bilang, aku tidak takut untuk menemuimu lagi.” Kata Edo menegaskan.
“Baiklah, aku akan untuk menyegel oops, masksudku menambah kekuatan arlojiku.” Kataku yang hampir keceplosan.
“Silahkan, aku tidak takut. Tetapi, sebagai gantinya, anggap saja pertemuan empat kali kedepan tidak bertujuan untuk berpisah. Anggap saja arloji terkutuk itu tidak pernah kita miliki. Aku ingin sikapmu masih seperti sebelum mengetahui jika aku memiliki arloji hitam ini.” Jelasnya dengan tegas.
“Baiklah. Tapi kamu janji untuk tidak melarikan diri dariku karena itu tidak akan berpengaruh apa-apa untukmu.” Kataku dengna wajah datar.
“Seperti yang kamu ketahui. Aku bukanlah pengecut.” Jawab Edo. Tanpa kusadari wajahku berubah menjadi sedih sembari menyegel arloji ku dalam kotak kaca. Sembari berkata dalam hati ‘Saat kau di sisiku, aku tidak dapat memperlakukanmu dengan baik. Tapi aku bangga karena dapat melindungimu dari arlojiku. Meskipun kamu tidak mengetahui itu. Mekipun aku berbohong untuk ini. Tapi ini adalah satu-satunya cara agar kita dapat bertemu, tanpa harus melihatmu terperangkap oleh arlojiku.’
Setelah aku menyegel arlojiku, Edo mengajakku untuk ke perpustakaan daerah. Aku fikir ke perpustakaan adalah suatu keputusan yang buruk untuk berkencan, belum ada semenit aja aku pasti sudah molor. Huft, menyebalkan. Tetapi setelah sampai di perpustakaan, tidak begitu membosankan.Edo menemukan buku-buku yang menakjubkan dan menceritakan isi buku itu kepadaku. Sesaat, kami sempat ditegur oleh penjaga perpustakaan katera berisik. Tetapi, kini kami mulai terganggu setelah memperingatkan kami dengan melempar salah satu popcorn yang di makannya kea rah kami. Sungguh menurut kami perbuatan itu tidak sopan, hingga akhirnya Edo memiliki ide cemerlang.
“Aaaaaah… Petugas..” Teriakku. Kemudian penjaga itu menghampiriku.
“Ada apa lagi?” Tanyanya judes.
“Itu ada kecoak.” Sembari menunjuk kearah rak-rak buku. Tanpa petugas itu ketahui, Edo mengambil popcorn dari toples si penjaga, dan menaruhnya ke kantong plastik yang Edo bawa. Sedangkan untuk menukarnya, Edo menaruh kaus kakinya ke mangkuk popcornnya. Kemudian dia memberiku sinyal untuk segera pergi.
“Petugas, aku lebih baik pergi saja. Aku merasa tidak nyaman di sini.” Kemudian aku mempercepat langkahku dan segera menemui Edo yang telah melahab popcorn dengan tenang. Hihi… Kemudian kami pergi ke restoran yang menjual makanan cina.
Setelah keluar dari restoran, tak kusadari semula matahari yang bersinar jingga kini telah menjadi hitam dan telah di gantikan oleh sang rembulan untuk ganti shift dengan sang matahari, untu melakukan ronda malam bersama bintang-bintang yang menemani sang rembulan. Dan merekapun menemani kami berjalan-jalan ke Pasar Malam. Aku sangat sangat sangat senang di sini, di sisi Edo. Melihat tawanya yang sangat manis. Akankah aku dapat melihatnya setelah aku terperangkap. Akankah ada wanita lain yang dapat membuatnya tertawa seperti ini.
“Fay, ada penjual cincin. Kita beli untuk couple-lan yuk. Kamu, nggak keberatan kan kubelikan cincin dengan harga murah.”
‘Aku mau, karena setelah ini hanya akan menjadi empat pertemuan lagi, selanjutnya tiga, dua, dan pertemuan terakhir. Aku mau kamu belikan cincin apa saja. Asalkan kamu ihklas dan tetap mengingatku saat kau terkurung dalam arloji itu.’ Batinku dalam hati. Tak terasa mataku telah basah karena mendung di pelupuk mataku tetapi tidak sampai hujan.
“Hey, kok malah bengong?” Tanya Edo heran.
“Tunggu... aku memiliki tantangan. Kita beli cincin itu, setelah kita mencoba seluruh permainan di sini. Kamu berani?” Tantangku dengan pura-pura ceria sembari menahan air mataku.
“Siapa takut. Seharusnya, aku yang berkata ‘kamu berani?’ Haha, kamu tadi bilangnya kan ‘kita’ jadi nggak hanya aku dong.. week..” Sembari menjulurkan lidahnya.
“Siapa takut…” Jawabku sok yakin. Padahal aku paling takut banget jika masuk ke ‘Rumah Hantu’. Hiiii….
Pertama-tama kami menaiki ‘Ombak Air’, kemudian ‘Mini Kora-Kora’, ‘Rumah Hantu’, ‘Lomba Catur’, ‘Melempar bola air ke wajah Edo’, ‘Menembak Kaleng’.
Saat menaiki Ombak Air, Edo sangat takut. Dia sangat takut jika jatuh. Kemudian, tanpa pikir panjang tanganku kulingkarkan pada tubuh Edo, kemudian aku menyandarkan kepalaku pada bahunya. “Apakah masih takut jatuh? jika aku memegangimu seperti ini?” Kataku lirih. Kulihat dia tersenyum dan menggeleng, walau masih terlihat dalam raut wajahnya bahwa Ia masih takut.
Permainan demi permainan kami singgahi. Hingga saat memasuki Rumah Hantu aku berkeringat dingin karena saking takutnya untuk memasuki permainan itu, tak terasa tanganku mulai kukepalkan untuk menahan takut, kurapatkan bibirku rapat-rapat untuk menahan sakitnya mata ini jikalau melihat orang-orang yang memakai kistum itu.
Janji Edo pun menari-nari di telingaku bahwa akan menyembunyikan mataku didadanya dari hantu jadi-jadian yang menggoda pada sisi kanan-kiri ku. Hingga akhirnya, aku tak melihat satu hantu jadi-jadianpun sampai keluar. Yeeeyy… Setelah itu, kami bermain yang menurutku sangat seru. Kami bermain tembak kaleng dalam keadaan mata tertutup, kami sudah mencoba berpuluh-puluhkali tembakan tapi gagal terus. Hingga akhirnya si pemilik permainan itu kasihan kepada kami, kemudian kami di beri sepasang cincin couple-lan dari monel yang awalnya ingin kami beli, saat pertama tiba di Pasar Malam ini.
Akhir penjelajahan kami di Pasar Malam, kami menaiki Bianglala/Sangkar Burung. Saat-saat menaiki bianglala yang aku tunggu akan segera muncul. Saat-saat ketika aku dapat ikut melihat dan merasakan senang-sedihnya masyarakat di kota ini yang diwakili oleh gemerlap sinar rumah mereka. Saat bianglala mulai rising dan kami berada di sangkar yang tertinggi, tiba-tiba Edo menggenggam tanganku.
“Fay, aku mencintaimu. Maukah kau menjadi pacarku, dan berada di sisiku? Walau hanya untuk empat kali pertemuan ke depan.” Pintanya. Sesaat kulihat matanya yang merah basah.
‘Aku mau, Do. Aku sangat sangat mencintaimu’ Jawabku dengan tangis bahagia tetapi juga tangis berduka yang masih tertahan dalam hatiku.
“Aku mau, tetapi hanya untuk membuatmu senang sebelum kamu pergi” Kataku pada Edo dengan tangis penyesalan atas kata-kataku yang selalu membohonginya itu. Kemudian kurasakan dia memasangkan cincin couple hasil belas kasihan om-om pemilik permainan itu dipasangkan ke jari manisku, lalu aku memasangkan cincin itu ke jari manisnya.Tangisku tak terbendung lagi, hingga akhirnya Edo menyembunyikan wajahku yang banjir dengan air mata kedalam pelukannya.
Setelah seharian aku menjalani susah, senang, jahil, tangis bersama Edo. Aku sangat bahagia saat aku berada dalam sisinya. Tapi, kenapa Edo rela mengorbankan dirinya untuk terkurung ya? Apakah Edo benar-benar mencintaiku? Aku tak percaya, cinta kami secepat ini untuk bersemi, dan sekilat ini untuk gugur. Tapi, tidak apa-apa. Aku rela jika aku terperangkap, dengan aku terperangkap, keturunan Edo dari arloji hitam kelak tidak akan diteror dengan kisah cinta yang menyedihkan seperti ini. Karena jika aku telah terperangkap pada arloji Edo, maka arloji itu tidak akan aktif lagi selamanya, dan arlojiku akan tetap tersegel dan tidak mampu untuk membuat Edo terperangkap didalamnya.
Hari ini aku punya janji dengan Edo, kini tinggal tiga pertemuan lagi setelah aku bertemu dengan Edo untuk kali ini. Setelah pulang sekolah aku berjalan-jalan di sawah dengan Edo. Setelah itu Edo mengajakku untuk menonton bioskop. Setelah malam tiba, kami duduk pada kursi di taman.
“Edo..” Panggilku lirih
“Ya?” Jawab Edo yang masih memandangi kakinya mempermainkan kerikil.
“Mengapa kamu mau mengorbankan dirimu untukku?” Tanyaku penasaran.
“Karena…” Tiba-tiba wajah Edo jadi murung. “Karena hanya itu satu-satunya cara agar kamu tetap berada di sisiku walau hanya sebentar, itulah satu-satunya cara agar arloji itu hancur sehingga aku tetap dapat melindungimu, dan keturunanmu kelak. Lebih baik satu yang dikorbankan daripada kita semua.” Jelas Edo murung.
“Hanya itu?” Kataku untuk mengetesnya. Karena, setahuku cinta sejati tidak akan dapat menjelaskan alasannya karena apa dan untuk apa dia mengorbankan jiwanya.
“Masih banyak.” Jawab Edo singkat.
“Apa?” Tanyaku menyelidik.
“Banyak sekali, hingga tidak dapat ku jelaskan.” Kata Edo yang jawabannya mulai mendekati harapanku.
“Apa, aku ingin tahu.” Kataku medesak.
“Karena ada seribu kata cinta dari lubuk hatiku yang tidak dapat kujelaskan semuanya.” Jawab Edo yang kini berhenti memainkan kerikil. Sungguh, jawaban yang benar-benar aku harapkan.
“Ehm, sebenarnya… Aku yang akan terperangkap dalam arlojimu, Do. Dan kamu yang akan selamat. Karena aku telah menyegel arlojiku, bukan menambah kekuatan arlojiku.” Kataku sambil menunduk dan menyembunyikan mukaku yang mulai dilinangi air mata dan menari-nari mengikuti suara tangisan biola dalam hatiku.
“Apa maksudmu? Tahu begini aku tidak akan menemuimu, Fay!” Kata Edo tersentak. ”Mengapa Fay?”
“Karna ada seribu kata cinta dari lubuk hatiku yang tidak dapat kejelaskan semuanya.” Kataku dengan mengulang apa yang dikatakannya tadi. “Maafkan aku, Do. Hanya ini satu-satunya cara untuk menon-aktifkan arloji ini. Setelah aku terperangkap dalam arlojimu, maka arlojimu menjadi arloji biasa. Dan arlojiku akan tetap ku segel, karena hanya aku yang dapat membuka segelnya.” Sembari mengeluarkan arlojiku yang tersegel.
“Kamu!” Kulihat Edo kehilangan kesabarannya sehingga tak dapatmelantunkan kata-katanya.
“Maafkan aku, Do.” Tangisku membasahi pipiku. “Tolong jangan menyesal dengan keputusanku.” Isakku melai menjadi.
“Kamu tidak adil.” Kata Edo dengan bibir yang gemetar menahan tangis. “Baiklah, jika kamu dapat menentukan keputusan, maka aku juga harus dapat menentukan keputusan. Aku ingin kamu membuka segel itu!”
“Tidak! Tidak akan.” Kataku tegas.
“Aku mohon Fay… Biarkan aku terperangkap pada arlojimu.”
“Tidak! Aku ingin kamu hidup!” Kataku perlahan dan sesenggukan karena tangisku. “Aku mohon, buatlah pertemuan kita indah selama aku masih belum terperangkap. Kita masih punya dua pertemuan lagi selah ini. Aku mohon. Bukankah kamu sudah janji?”
“Baiklah.” Kata Edo menyesal.
Twit-twit-twit… Suara burung telah membangunkanku hari ini. Haaooooh… Masih ngantuk. Oiya, ini adalah hari minggu. Lebih baik aku bertemu dengan Edo.
~Kring~Kring~
“Hallo… Edo?” Sapaku ceria.
“He’em. Aku dibawah jendelamu.” Katanya dalam Hp, kemudian kutengok dia melalui balkon rumahku. Kulihat Edo melambaikan tangan kepadaku
“Hihi.. Masuk aja. Didalam ada ayahku kok. Aku matikan teleponnya, ya. Aku mau mandi.”
“Sip.”
Setelah membersihkan diri, aku bergegas ke bawah. Kulihat ayah dan Edo sedang bercakap-cakap, mereka terlihat akrab dan seperti telah saling mengenal.
“Selamat, pagi..” Sapaku dengan senyum terhangat.
“Faya… Kamu itu anak nakal. Kamu memiliki pacar sesopan Edo tidak kamu kenalkan kepada ayah.” Kata ayah dengan senyum bahagia. “Oiya, cepat masak untuk sarapan kita bertiga.”
“Baik ayah.”
Sungguh menyenangkan ayah menerima seseorang yang aku cintai dengan senang hati. Hihi… Entah, bagaimana nanti nasib ayah jika aku harus terperangkap. Lupakanlah…. Aku nggak ingin bersedih untuk hari ini.
“Kali ini gantian kamu yang ke rumahku, ya.” Ajak Edo, saat berada dalam Toyota Avansanya.
“Ehm, aku agak takut.” Kataku yang agak grogi jika bertemu dengan orang tua apalagi belum kenal.
“Tenang aja, mamaku baik kok.” Hibur Edo.
“Bagaimana jika kita ke Mall aja. Terus kita main di timezone, setelah itu kita beli sesuatu. Masalah ke rumahmu, kita kesana saat dinner aja.” Jelasku kepada Edo untuk jadwal hari ini yang sebelumnya sudah aku rencanakan semalam.
“Baiklah, tapi kamu di Mall mau beli apa?” Tanya Edo.
“Kesukaan mamamu apa?” Tanyaku balik.
“Ehm, mamaku nggak suka di sogok dengan barang. Tapi dengan orangnya. Haha..” Kata Edo menggoda.
“Hihi, itu mah kamu. Aku cuma ingin memberikan sesuatu aja.” Jelasku.
“Mama suka hal-hal yang berbau Korea.” Kata Edo.
“Owh, kalau itu aku nggak perlu beli.” Kataku, sembari merencanakanuntuk nanti malam.
“Ha? Maksud kamu apa?” Tanya Edo penasaran.
“Lihat aja nanti.” Jawabku sembari menaikkan alis kananku.
Setelah sampai di Mall, kami main time zone sepuasnya. Setelah itu kami ke salon dalam Mall untuk perawatan kuku dan masker rambut. Ternyata Edo juga doyan ke salon, hihi.. Setelah membahagiakan kuku dan rambutku, aku dan Edo menuju ke tempat pembelanjaan.
“Mau ngapain kamu ke sini?” Tanya Edo.
“Mamamu biasanya sempet masak?” Tanyaku balik.
“Nggak, biasanya kalo ada tamu beli makanannya dari luar.”
“Owh, nanti beri kejutan ke mamamu ya. Aku nanti masak untuk mamamu. Tenang aja, masakanku enak kok. Dan tugasmu yaitu mendesign ruangan agar terkesan nuansa korea.”
“Siap boss… Baiklah, kamu belanja bahan makanan, aku belanja bahan untuk mendesign ruangan. Nanti kita bertemu lagi di tempat parkir. Oke.” Kata Edo sembari mengepalkan tangannya member semangat.
“Baiklah.” Sembari ku sunggingkan senyum penuh semangat .
Setelah membeli ini-itu, aku menyusuri tempat parkir dan menemui Edo yang tengah menelfon seseorang. Kemudian aku mendekat.
“Ehem…, tadi nelfon siapa?” Kataku agak curiga, namun tetap cool agar Edo tidak ke ge’eran.
“Nelfon cewe.” Kata Edo menggoda sembari mematikan telfonnya.
“Ooh, kirain siapa. Aku biasa aja kok, lanjutin aja nelfonnya.” Kataku agak masih stay cool, walaupun agak sebel.
“Hihi, emang semua cewe itu masih muda? Tenang aja, tadi aku menelfon mama. Aku meminta tolong untuk mengambilkan cucianku di tempat laondry. Agar mama pulangnya agak telat, dan kita bisa menyiapkan semua. Oke.”
“Oke… Bang Edo pinter...”
“Kok Bang?” Kata Edo protes.
“Lha apa, masak Mas? Mau berapa karat? Haha..” Ejekku.
“Juga jangan Mas. Panggil aku sayang.” Kata Edo sembari melemparkan tatapan manja.
“Iya deh… sayaaang. Haha..” Jawabku dan kamipun tertawa beriringan.
Setelah kami menari kesana-kemari untuk menyelesaikan tugas kami. Saat yang ditunggu pun tiba. Mama Edo telah datang dan membuka pintu. Setelah itu aku menyambutnya dengan nyayian salah satu penyanyi solo Korea. Hihi… Kulihat mama Edo terkejut dan menyunggingkan senyum bangga kepada Edo yang tengah duduk dalam bangku pada ruang makan yang didesign indah.
“Happy birthday, Mom.” Ucap Edo setelah aku menyayi dan menari beberapa tarian tradisional Korea bersama mamanya.
‘Happy birthday?’ ujarku dalam hati. Tanpa banyak tanya, aku menebak mama Edo mungkin tengah ulang tahun, pantas saja Edo tadi pagi mengajakku kerumahnya.
“Ma, kenalkan ini pacar Edo. Namanya Faya.” Kata Edo sembari merangkul bahuku.
“Faya” Kataku sembari berjabat tangan dengan mama Edo. “Selamat ulang tahun, tante.” Tambahku, kemudian ku sunggingkan senyum termanisku.
Kemudian kami mengobrol seputar pernikahan. Yang benar aja, aku masih SMA! Tapi aku mencoba mengikuti arah pembicaraan mama Edo. Ternyata mama Edo baik, dan enak di ajak ngobrol. Sertaaa………. Aku dengan mama Edo memiliki kegemaran yang sama, yaitu budaya orang korea. Hihi… Meskipun Edo sangat membenci itu, tapi kini dia mengalah untuk kami. Setelah dinner, Edo mengantarkanku pulang.
Waktu telah bergulir kian cepat, hari demi hari telah berlalu. Kini tinggal tersisa dua pertemuan lagi. Aku berusaha untuk menjaga komunikasiku dengan Edo, karena aku takut Edo melarikan diri agar aku tetap hidup. Langkahku yang perlahan menuju tasku untuk melihat arlojiku yang tersegel.
“Haah… Mampus… Arlojiku kemana?” Teriakku lirih. Kemudian aku teringat saat Edo mengambilkan HP di tasku. Apa jangan-jangan, diambil Edo?
~TUT~TUT~TUT
“Edo… Arlojiku nggak ada. Apakah kamu yang bawa?” Tanyaku memastikan.
“Iya. Tolong temui aku di sawah tempat kita memulai perjanjian.” Kata Edo tegas dan serius.
“Emang mau ngapain?” Tanyaku cemas jikalau Edo berbuat yang nggak aku harapkan, apalagi setelah ini adalah kali terakhir aku bertemu dengannya.
“Nanti kamu tahu sendiri. Yang pasti aku ingin kamu kesini dulu.” Kata Edo.
“Oke, oke.. Tunggu aku. Tapi, aku belum punya rencana untuk menghabiskanhari terakhir kita.” Kataku.
“Ini belum tentu yang terakhir. Maknya, lebih baik kamu segera kesini.” Jelas Edo yang membuatku penasaran.
Hamparan padi yang menguning memberikan hiasan warna yang padu dengan indahnya matahari yang tergelincir menuju keperaduan. Kulihat tambatatan hatiku duduk gagahpada pematang sawah yang telungkup berjejer.
“Aku harap kamu tidak melakukan hal yang tidak aku inginkan, SAYANG!” Kataku sembari menekan kata ‘sayang’ untuk mengingatkan janji Edo untuk tidak kabur atau menukar kotak kaca itu pada arlojinya.
“Oh, tidak kok.” Jawab Edo seraya menoleh kearahku, seraya aku duduk disampingnnya. “Aku harap kamu juga dapat menghargai keputusan aku juga. Nggak hanya keputusan kamu.” Tambah Edo yang semakin mencurigakan.
“Apa maksud kamu?” Tanyaku yang kini mulai mengeluarkan vibrasi dalam suaaraku yang mulai parau.
“Kamu tidak ingin menerima keputusanku untuk sama-sama terperangkap, karena kamu bingung akan memilih aku atau ayahmu dan kamu membuat keputusan untuk tidak bertemu denganku selamanya. Giliran kamu bisa memilih ayahmu dan tetap dapat menemuiku walau korbannya aku, ternyata kamu malah bohong karena korbannya adalah kamu demi untuk menjagaku, dan itu atas keputusan kamu juga. Jadi, aku sangat mohon biarkan aku juga ikut membuat keputusan. Karena ini bukan hanya tanggung jawab atau masalah kamu saja. Ini adalah masalah kita berdua, Fayaaa…” Katanya dengan lembut.
“Baiklah, apa keputusan kamu?” Tanyaku sembari mengusap isak tangisku sembari mengingat sifatku yang ternyata selama ini akulah yang egois.
“Kamu hanya mendengar dari nenek itu kalau kotak itu hanya satu. Iya kan?” Tanya Edo memastikan, yang tambah membuatku bingung.
“Iya, lalu?” Tanyaku penasaran.
“Ya, ampun Faayaa… Kotak ini boleh hanya satu, tetapi apakah mungkin kotak ini hanya dapat menyegel satu arloji saja?” Kata Edo menjelaskan sesuatu yang kini aku mulai mengerti.
“Maksud kamu, kotak ini dapat menyegel arloji kita berdua. Jadi kita bisa sama-sama hidup dan bersama. Dan tidak ada salah seorang dari kita yang harus dikorbankan?” Sambutku gembira dengan keputusan Edo.
“Yaa, aku belum tahu hasilnya seperti apa. Tetapi, tak ada salahnya kita mencoba. Lagi pula, apapun resikonya tidak hanya kamu ataupun aku yang nanggung, tetapi kita berdua, Fay.” Kata Edo sembari memegang pundakku dan meyakinkanku akan keputusannya.
“Tetapi, resiko terburuk dari kotak itu adalah, jika kotak itu tak kuat untuk menyegel dua arloji sekaligus malah kita berdua yang akan terkurung.” Tanyaku memikirkan matang-matang.
“Tidak apa-apa. Yakinlah, jodoh itu tak hanya bertemu di dunia saja.” Kata Edo sekejap menyeukkan hatiku yang layu menjadi mekar dan yakin kembali akan kekuatan cinta.
“Baiklah, apakah kamu iklhas untuk resiko terburuk?” Tanyaku pada Edo agar semua adil dan atas keputusan bersama.
“Kenapa kamu masih nanya? Bukankah kamu pernah membohongiku soal hal ini. Dan aku yakin, aku siap apapun resikonya.” Jawab Edo mantap. “Bagaimana denganmu, Fay?” Tambah Edo.
“Kenapa kamu masih nanya?” Jawabku sembari tersenyum menggoda Edo agar tersenyum dan tidak terlalu tegang.
Penutup kotak kacapenyegel mulai menyuarakan ‘klik’ setelah kuucapkan kode sandi. Deruman jantung bergetar kencang ketika perlahan Edo melepaskan arlojinya dan meletakkannya berdampingan dengan arlojiku. Setelah kututup dan kusegel kembali tak lama memang tidak bereksi apa-apa hingga aku mengubur arloji beserta kotak segel itu didekat pohon. Kemudian Edo mengantarku sampai rumah, dan sungguh keberuntunganku tak terjadi apa-apa.
Kerlap-kerlip bintang menghantarku untuk tidur dan memanjakan tubuhku untuk direbahkan dan beristirahat atas semua ini. Belum sempat aku terlelap, tiba-tiba tubuhku serasa kaku. Aku tidak dapat mengontrol diriku sendiri, sehingga diriku sendiri menyeretku ke suatu tempat pada tengah malam gelap ini. Kulihat kerumunan padi menyapaku. Terlihat suatu bayangan berdiri dibawah pohon tepat pada tempat aku mengubur arloji yang tersegel itu. Sungguh suaraku susah untuk terlantun. Aku tak dapat berteriak atau mengendalikan diriku sendiri walau dalam keadaan sadar. Dan yang paling menyakitkan disaat ini aliran darahku berlari cepat dan serasa duri menusuk seluruh tubuhku.
‘Edo?’ Kata dalam hatiku sembari melihat bayangan itu yang semakin aku dekati. Yang kurasakan saat ini seperti orang sekarat, dan aku yakin Edo yang kini dihadapanku juga merrasakan yang sama karena Edo juga menggeliat-menggeliat seperti aku. Tiba-tiba tanah yang telah tapi tertutup, kini terbuka lagi. Muncullah kotak segel melayang diantara kami yang kini kotak itu telah terbuka sedikit, yang mungkin tak kuat menyegel dua arloji sekaligus.
Aku tidak ingin dipermainkan dengan benda, manusia yang menciptakan benda. Seharusnya manusialah yang dapat menguasainya. Aku berusaha melawan semua rasa sakit yang mengendalikan diriku. Aku berusaha melawan rasa sakit tak tertahan, untuk menutup kotak itu. Tak kusangka aku berhasil memegang kotak itu dan berusaha menutupnya.
“Ak-ak-aku… meny-menyegel kem-ba-li kha-kalian ar-lo-ji, deng-dengan san-sandi aw-akh-awal cin-ta men-men-ja-di ak-ak aku me-cin-ta-i em-em-mu.” Kataku sembari menatap Edo dengan linangan air mata yang telah menganak sungai dipipiku. Aku berusaha untuk mencoba segala kemungkinan agar aku dan Edo tetap bersama, walau sedikit kemungkinan segel itu tertutup kembali meski diganti kata sandi sekalipun. Kulihat Edo juga berusaha memegang tanganku seraya berkata.
“Me-menikah-lah de-dengan-ku.” Sabung Edo untuk berusaha menambahi kata sandi baru.
“Yes, aa.. i-dd-do.” Tambahku dengan susah paya.Ternyata tak ada perubahan sama sekali.
“Te-ter-bu-ka-lah sehg-seg-gel, ji-ji-ka-lau ku-cec-cer-rai kha-ka-mu.” Sambung Edo, yang semakin tertaik kedalam arlojiku yang menarik Edo melalui celah yang tak mampu aku tutupi, karena akupun juga terseret oleh arloji Edo. Kali ini aku pasrah akan terjadi apa, dan aku mulai melepaskan kotak segel itu yang akan terbuka. “Akh-aku sess-se-pa-kat.” Kata-kata terakhir dapat aku berikan untuk kata sandi itu dan semua gelap.
Dentuman keramaian orang yang berbincang bernyannyi lirih mengiringi langkah kelopak mataku untuk terbuka.
“Faya,..” Panggil sosok yang aku kenal yang masih terlihat kabur dalam mataku. Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk membuat mataku pulih dan jelas. Setelah mengenali situasi seperti ini aku terperanjat kaget.
“Waarrgghh…” Jeritku sembari bangun dari tempat tidur dan menggeleng-gelengkan kepalaku kagi agar lebih jelas. “A..Ayah…” Katakutak percaya seraya memeluknya erat-erat.
“Ayah, aku harap semua ini hanya mimpi.” Isakku dalam pelukan ayah, dan melanjutkan kata-kataku. “Ayah aku takut… Aku harap ibu masih hidup, aku harap aku tak mendapat arloji itu, aku harap semua itu tak terjadi.” Isakku ketakutan.
“Iya, sayang. Ibu masih hidup.” Kata ayah lembut.
“Kamu pasti terlalu merindukannya.” Tambah kakakku.
“Iya, Ibumu masih hidup, sayang.” Kata ayah meyakinkanku. “Tetapi, dihatimu dan dihati kita semua.” Lanjut ayah yang membuatku yakin bahwa arloji itu ada.
“Enggak… Nggak mungkin.” Kataku lirih. “Lalu, kenapa aku masuk rumah sakit?” Tanyaku yang masih shock dan bingung.
“Mungkin kamu terlalu merindukan ibu, Fay. Karena disaat jam tiga pagi kakak melihat pintu kamarmu yang tidak terkunci dan lampu yang masih menyala. Lalu kakak menemukanmu tidur di tempat tidurmu sembari memeluk arloji ini.” Jelas kakak sembari memperlihatkan arloji putih itu. Lalu kakak melanjutkan, “Tetapi, saat kakak bangunkan kamu tidak kunjung sadar. Hingga akhirnya kami membawamu ke rumah sakit. Dan kata dokter, kamu hanya kecapekan saja ditambah anemia.” Kata kakak.
“Oh, mungkin aku hanya mimpi panjang selama ini. Fyuuuh..” Kataku lega, karena kakak memenukanku di kamar bukan di bawah pohon saat aku merasa sekarat dan hendak menyegel arloji itu.
“Apa maksud kamu, Fay?” Tanya ayah bingung.
“”Nggak apa-apa. Semalam aku mimpi aneh, dan ceritanya panjang bener.” Jelasku. Kemudian dokter datang, dan mengatakan bahwa nanti siang aku sudah boleh pulang.
Desiran angin dari balkon rumahku sore ini mengiringi tatapanku pada arloji itu. Aku duduk termenung mengingat mimpi panjang semalam. ‘Apakah arloji ini benar-benar ajaib?’, ‘Apakah setelah ini Kak Nila menikah dan mengajakku menjadi pengiringnya, seperti dimimpi itu.’ Belum sempat aku menemukan jawaban atas pertanyaanku, ada sebuat kejadian di mimpi itu yang memberiku ide.
Perlahan namun pasti ku putar jarum jam mundur, lalu kubidikkan kepada salah seorang yang lewat depan rumahku. Aku melihat tak ada pergerakan yang aneh dari pada orang itu dan semua benda di sekitarku juga masih beraktivitas normal. Yeeey…. Semua ini hanya mimpi.
~Kring~Kring~ HPku memanggil-manggilku, kumendekat dan melihat siapa yang menelfonku dengan perlahan. “Mama Edo!” Gemingku. “Jadi, semua ini tidak mimpi.” Tamabahku lagi, lalu aku mengangkat telfon itu.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” Sapaku ramah.
“Fay, gimana ini. Sudah tiga hari ini Edo nggak pulang. Tante telfon tapi, HPnya malah dikamar. Kalaupun kerja atau kuliah, biasanya dia pakai kendaraan, sedangkan kendaraannya masih dirumah. Apakah Edo ke rumahmu?” Tanya Mama Edo panik.
“Saya belum tahu tante, soalnya saya baru pulang dari rumah sakit. Ya, coba saya tanyakan sama ayah dulu. Siapa tahu, sedang bertemu dengan ayah.” Kataku menenangkan.
“Oh, baik. Nanti hubungi tante lagi, ya.” Jawab Mama Edo.
“Siap tante.”
Kuturuni tangga untuk mengungkap semua ini. Aku sungguh resah, takut dan cemas. Aku harap Edo sedang bersama ayah. Aku sudah cukup takut karena semua ini tidak mimpi panjangku saja. Aku tidak ingin ditakutkan dengan hilangnya Edo, semoga saja Edo tidak terperangkap dalam arlojiku. Semoga arlojiku yang non-aktif tidak ada Edo didalamnya. Aku mohon… Aku mohon… Aku mohon…
“Ayah… Ayah…” Panggilku mencari ayah dengan resah.
“Ada apa Faya?” Jawab ayah dari dapur.
“Ayah, masak sendiri? Kenapa nggak nyuruh Faya aja?” Kataku heran.
“Nggak usah. Sudah tiga hari ini ayah terbiasa masak sendiri.” Sembari tersenyum bangga.
“Oh iya.. Ayah, Edo pernah main ke rumah menemui ayah tiga hari ini?” Tanyaku.
“Tidak, tidak sama sekali. Bahkan saat kamu masih belum sadarkan diri di rumah sakit, dia tidak datang atau menghubungi ayah.” Jawab ayah.
“Oh, begitu.” Jawabku sedih.
“Tapi, kan sudah ada ayah dan kakakmu. Kami akan selalu ada untuk kamu, Fay..” Kata ayah menghiburku.
“Bukan begitu, Ayah. Edo hilang! Sudah tiga hari dia tidak pulang tanpa membawa HP maupun kendaraannya. Aku tadi ditelfon mamanya.” Jawabku.
“Kok, bisa?” Tanya ayah. “Bagaimana jika menyarankan Mamanya untuk melapor ke polisi. Bisa jadi ini kasus pembunuhan.” Kata ayah serius dan menyelidik.
“Baiklah, tapi haruskah lapor polisi? Bukankah itu terlalu berlebihan?” Kataku resah karena bisa saja ini bukan kasus pembunuhan, tetapi karena ulah arlojiku. Dan bisa jadi aku yang tertangkap, Gila!
“Semua keputusan ada ditangan Mamanya Edo. Kita kan hanya menyarankan.” Lanjut ayah.
“Oh, Baik.” Jawabku dengan menerka semua kejadian ini. Semua ini gara-gara arloji terkutuk ini! Mengapa ibu tega sekali mewariskan aku benda terkutuk ini. Ah, tak ada gunanya kesal dan meminta pertanggung jawaban dengan orang yang sudah tidak ada.
~Tuut~Tuut~
“Fay? Bagaimana Edo?” Jawab tante langsung menyambung dari sebrang.
“Edo tidak ada, Tan.” Kataku menyesal.
“Oh, begitu.” Jawab Mama Edo kecewa.
“Tu, tunggu tante... Ayah menyarankan, agar tante me melapor ke polisi.” Kataku agak gagap dan cemas karena entah harus mengatakan itu atau tidak.
“Oh, baiklah. Terimakasih atas sarannya, akan tante coba. Terimakasih ya, Fay” Kata Mama Edo.
“Iya, tante.” Ujarkku.
Hari-hariku yang kini diselimuti ketakutan akan polisi, kesedihan atas hilangnya Edo, dan rasa bersalah karena telah membiarkan Edo untuk melakukan keputusan gilanya itu, serta rasa trauma akan rasa sakit karena hampir terkurung pada arloji Edo. Buyarlah lamunanku ketika kata Ayah aku dipanggil polisi untuk diperiksa. Saat dikantor polisi aku ditanyai tentang Edo, karena polisi mengetahui deti-detik sebelum Edo menghilang bahwa Edo bersamaku. Bukti sms dan rekaman telefon dari operator telefon menyudutkanku untuk menjadi seorang tersangka.
Andai saja aku dapat menceritakan yang sebenarnya kepada polisi, tetapi nanti aku akan disangka gila. Aku juga tidak ingin ayah tahu, kalau aku pernah berniat meninggalkannya untuk terperangkap di arloji Edo, demi Edo. Sehingga yang keluar dari mulutku ‘Aku tak bersalah. Aku tak membunuh, melukainya ataupun menyembunyikan Edo. Bebaskan, aku! Aku harus segera ke sekolah, hari ini aku ada pengumuman kelulusan. Bebaskan aku!’ Tetapi tetap saja polisi itu mengurungku, dan tak seorangpun yang percaya kepadaku lagi termasuk ayahku.
“Tante… Percaya sama aku tante! Aku tidak bersalah… Tante…” Teriakku pada Mama Edo, dari dalam jeruji besi dengan aliran air mata yang luluh di pipiku. Tatapan kecewa dan menyesal nan lembut itu dilemparkan kearahku, tanpa mengucapkan sepatah katapun kemudian berlalu.
Kini hotel prodeo telah menyelimutiku dengan jeruji besi. Lumuran air mata pembelaan diri tidak meluluhkan polisi itu bahwa aku tidak bersalah.
“Faya, maafkan tante. Kamu bebas, sayang. Tante cabut tuntutan untukmu.” Kata Mama Edo lembut.
“Beneran tante?” Tanyaku untuk memastikan apa yang aku dengar.
“Andai saja kamu menceritakan yang sebenarnya, maka kamu tidak akan seperti ini. Maafkan, Tante sayang.” Kata Mama Edo.
“Ta, tapi tante tahu dari mana?”
“Eeehm, dari buku diary kamu. Disana tertulis jelas, maafkan tante dan kakakmu karena telah masuk kamarmu tanpa sepengetahuanmu. Kami mencari bukti-bukti lain, karena tante tahu kamu bukanlah gadis pembunuh.” Jelas Mama Edo. “Lagipula, tante tidak ingin menghalang-halangi kakakmu menikah. Karena kakakmu tidak ingin menikah tunangannya sebelum kamu bebas.” Tambah Mama Edo.
“Terimakasih tante… Terimakasih telah percaya denganku. Maafkan Faya tante telah membiarkan Edo terperangkap dalam arloji Faya. Karena saat yang sama Faya juga akan terserap pada arloji Edo.” Kataku menyesal.
“Tidak apa-apa sayang. Semua sudah terjadi, tak ada yang perlu disesali. Ayo, kita pulang dan mempersiapkan pernikahan kakakmu.”
“Baik, tante.” Sambutku gembira.
Guliran empat roda yang dikendarai Mama Edo tidak menuju ke rumahku, tapi malah ke salon. Dengan memberanikan diri aku bertanya,dan kata Mama Edo ternyata hari pernikahan kakakku adalah hari ini. Oh, pantes saja Mama Edo kayak gini. Setelah disirami hiasan untuk mempercantik diri sudah tertempel, kami langsung pulang. Setelah sampai di ambang pintu rumahku yang cantik dengan pernak-pernik pernikahan, aku melihat sosok yang berseri-seri di pelaminan.
“Edoo?” Gemingku. Air mata bahagia tak terbendung lagi dan mengiringi langkahku untuk berlari berhamburan kepada pelukannya.
“Wait… Jangan nangis… Nanti, make upnya luntur padahal acara pernikahan kita akan segera dimulai.” Kata Edo yang masih memelukku.
“Kamu kemana aja?” Isakku dalam kebahagiaan yang mulai melepaskan pelukanku.
“Aku disisimu. Hehe… Sebenarnya, setelah arloji non-aktif dan tersegel selamanya aku pingsan dengan masih membawa arloji ini di bawah pohon. Kemudian aku dibawa penduduk setempat dan dirawat sampai aku fit. Kemudian aku pulang, dan aku tahu mamah salah paham. Kemudian aku berencara untuk memberimu kejutan ini.” Jelas Edo panjang lebar.
“Lalu, bagaimana dengan kakakku. Dia tidak jadi menikah?” Tanyaku lagi dengan muka murung.
“Siapa bilang..” Timpal kakakku yang mulai mendekat dengan seorang lelaki yang juga telah berias. “Kita akan menikah bersama, hari ini juga. Makanya cepetan hapus itu air mata.” Tambah kakakku sembari menyolek hidungku, kemudian aku memeluknya.
“Aku mencintaimu, kak. Kamulah pengganti ibu yang terbaik.” Kataku dalam pelukannya. Kemudian ayah mendekat dan memeluk kami bersama-sama.
Pernikahanmu berlangsung dengan khidmad. Hal yang aku anggap mustahil dan hanya ada dalam angananku kini terwujud. Meskipun aku menikah muda, dan baru saja lulus SMA, tetapi aku tak malu. Karena aku bangga telah menikah dengan pangeran impianku. Setelah menikah nanti aku akan mendaftar ke universitas tempat suamiku kuliah. Aku yakin rumah tanggaku akan bahagia, dan pangeranku akan selalu menjagaku. Aku bangga memiliki seorang suami yang merelakan mati hanya untukku.
“The End”
Latar Belakang Pengarang
Assalamu’alaikum pembaca… Semoga cerita fiksi yang saya tulis dapat menghibur pembaca yang selalu dirahmati oleh lindungan Allah SWT. Cerita ini hanya fiksi, dan ada yang hal tidak patut untuk dicontoh. Terutama bagi yang memeluk agama muslim, kitatidak boleh mencintai makhluk Allah melebihi cinta kita terhadap Allah SWT, tetapi kita juga tidak boleh menolak karunia-Nya (rasa cinta). Apalagi percaya kepada sihir dan mendatangi dukun atau orang pinter, itu sama saja menyekutukan Allah SWT, serta percaya pada benda goib (arloji penghenti dan kotak kaca penyegel), sekali lagi saya tekankan bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka.
Kembali kepada history saya. Saya hanyalah orang sederhana yang baru belajar menjajaki dunia menulis. Nama saya Tia Pratiwi, saya dilahirkan ke dunia melalui rahim ibu saya pada tanggal 13 Mei 1995. Saya tumbuh berkembang pada keluarga saya yang sederhana namun nyaman yaitu di Purwodadi. Mungkin pembaca sekalian sebagian ada yang tidak mengetahui lokasi kota kecil nan permai itu. Namun tidak apa-apa, karena saya bangga telah dibesarkan dalam kota yang telah mengayomi saya semenjak saya melihat dunia yang fana ini.
Saya sangat berharap agar pembaca yang dirahmati oleh Allah SWT dapat terhibur. Beribu hujaman kata terimakasi saya sampaikan karena pembaca masih bersedia meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya yang masih banyak kekurangan ini. Saya mohon maaf jika tulisan ini membuat pembaca tersinggung.
Terimakasih. Wassalamu’alaikum… J.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CERPEN - Arloji Penghenti"

Posting Komentar