CERPEN - Mutiara Berkabut Pasir

MUTIARA BERKABUT PASIR


Manusia terlahir bagaikan kertas putih? Jika dibenakku hakikat tersebut adalah benar. Ya, pada dasarnya manusia terlahir bagaikan kertas putih dan hanya individu dari merekalah yang berhak menuliskan hal yang baik maupun yang buruk pada diri mereka masing – masing. Lain dari kebanyakan manusia, lain pula denganku. Aku hanyalah individu yang takut untuk menuliskan setetes tinta dibenakku sendiri. Aku selalu takut untuk berbuat, dan kalaupun aku banar ataupun salah aku hanya terdiam. Panggil aku Vita. Aku hanyalah seorang over introvert karena trauma masalaluku.
Kembali ke masa lalu. Dulu aku adalah seorang yang periang disaat orang tuaku masih ada. Aku menjadi introvert karena disaat aku berumur sepuluh tahun, aku telah menyaksikan pembunuhan orang tuaku dengan mata telanjang oleh para perampok. Pada saat itu aku disuruh ibu untuk bersembunyi disebuah peti kecil. Dan mulai saat itu aku menjadi terpuruk. Tetapi sejak aku diasuh oleh Tanteku yang kaya raya itu, aku mulai berusaha untuk melupakan luka lama, walaupun belum sembuh total. Kini aku terdidik oleh tanteku untuk acuh tak acuh kepada orang lain. Karena tanteku pernah mengatakan “ Saudara adalah saudara tetapi itu orangnya bukan uangnya “ tapi itu dalam dunianya bisnis, dan dalam duniaku kata-kata itu menjadi motivasi untuk tidak menghiraukan kondisi orang lain. Dan ada kata-kata lagi yang kini yang selalu memotivasiku sampai kapanpun. Kata-kata itu dari ibuku’’ Diamlah disana, dan tetaplah diam jangan melakukan apapun!’’ Dan mungkin kata-kata itulah yang memotivasiku sebagai seorang over introvert. Kata-kata yang dulu pernah dikatakannya saat ada perampok.
Dan kini aku sudah memasuki awal tahun ajaran baru dan memulai menginjakan kakiku di dunia pendidikan bertaraf menengah atas. Sekolahku bernama SMA Budi Luhur yang terkenal sebagai sekolah terfavorit. Dan singkat cerita aku kini berteman dengan Nadya. Nadya adalah seorang yang extrovert, dengan sifatnya yang periang, suka menolong, dan expresif. Dan disuatu saat mengajaku Nadya mengajariku untuk mengikuti extrakurikuler pramuka. Dan demi Nadya, aku mengikuti extra yang menurutku ‘’Sok Nasionalis’’ itu dengan terpaksa.
Semakin aku mendalami extra pramuka, semakin aku membenci orang-orang didalam organisasi ini. Kegiatannya memang menyenangkan tetapi orang-orang didalamnya sangat menyedihkan. Awalnya aku berusaha untuk saling mencintai sesame teman, tetapi mereka sendiri yang membuatku membenci mereka. Karena mereka selalu meremehkanku karena sifat pasifku. Terutama coordinator-lah yang sangat membenciku, dia adalah Rara. Dalam organisasi ini ada satu hal lagi yang aku benci, yaitu dalam organisasi masih membuat organisasi lagi, alias berkelompok. Missal kelompok yang aktif selalu berkelompok denganorang-orang yang aktif, dan ketua kelompok itu bernama Rara alias koordinator kami. Dan kelompok yang suka fashion dengan ketua kelompok itu bernama Nana. Serta yang terakhir adalah kelompok untuk orang-orang yang dianggap pecundang dan kelompok ini tidak memiliki ketua kelompok. Tetapi aku termasuk didalam kelompok yang pasif ini.
Pada suatu hari aku melakukan piket sanggar saat pulang sekolah, dan sialnya, aku satu jadwal dengan Rara dan genk’nya.
“Teman-teman ayo kita bersih-bersih…” kata Rara dengan suara keras.
Aku tetap pada tempatku dan tanpa sepatah katapun, aku tetap diam dan mengamati barang-barang yang ada disanggar serta menghafal apa saja yang ada disanggar dan tempat-tempatnya.
“Vita! Kamu nggak bersih-bersih! Enak sekali kamu. Jangan beranggapan karena kamu anak orang kaya kamu bias seenaknya. Heh Pemalas ! “
“ Buat apa diadakan sanksi, barang siapa yang membuang sampah disekitar sanggar akan didenda ? toh, sanggarnya masih bersih ! “
“ Kamu itu ya ! Manusia dengan hasil didikan orang tua yang rusak . “
PRYAK…KRICIK……
Dengan amarah aku membanting kompas yang aku bawa tadi.
“ jangan bawa – bawa orang tua ! Mengerti ! “ Kataku sinis, lalu mengambil tasku dan pergi meninggalkannya.
“ Tunggu. Ganti dulu kompas ini! Seenaknya saja! Dan…”
WUSH…
Sebelum Rara melanjutkan perkataan aku langsung menghamburkan uang seratus ribuan sebanyak sepuluh helai di depanya. Kemudian aku pergi.
Tak terasa sudah setengah semester aku berkecimpung didunia pramuka. Selama itu pula banyak orang-orang yang keluar dari organisasi ini. Tetapi entah mengapa aku malah bertahan walau pun aku membenci organisasi ini. Dan hari inilah hari yang dinantikan oleh teman-teman , yaitu “Pelantika Calon Tegak Bantara” (disingkat PCT) dihutan, untuk mendapatkan TKU alias Tanda Kecakapan Umum. Sebenarnya mendapatkan TKU itu tidak mudah, karena harus lulus uji SKU. SKU kepanjangan dari Syarat Kecakapan Umum. Saat acara inti yaitu pengambilan TKU, pada tengah malam dihutan, aku mulai senang dan semangat, akan tetapi ada hal yang membuatku lunglai dan tidak bergairah. Yaitu aku satu kelompok dengan Rara untuk mengambil TKU. Satu kelompok ada tiga anak, pada kelompokku, yaitu aku, Nana, dan Miss Sok Nasionalis alias Rara.
Pada saat giliran kelompokku untuk berangkat penjelajahan dari awal Rara-lah yang banyak mulut. Aaargh… Ocehan Rara membuat kepalaku jadi keram otak! Hingga akhirnya telah sampai ditengah perjalanan, dan yang membuat kami snewen adalah tidak ada tanda jejak lagi. Dan perasaanku akan tersesat dihutan mulai riil, saat kami bertiga tidak menemukan tanda jejak selama satu jam perjalanan. Hingga akhirnya kami memaksakan diri untuk tidur walaupun keadaan dihutan memang tidak aman, tetapi salah seorang dari kami akan tetap berjaga. Disaat Nana berjaga sedangkan aku dan Rara istirahat aku merasa akan ada sesuatu yang mengancam, sehingga tidurku tidak pulas. Saat ku terbangun aku mendapati Nana yang kakinya tengah dililit ular piton. Dengan sigap aku membangunkan Rara.
“Na, kenapa kamu nggak teriak? Dan kenapa kamu nggak bangunin kami?” tanyaku.
“Aaaah… cepat lepasin! Tulangku serasa patah!”
“Oke… lho!Rara kemana?” tanyaku lagi.
“Dia lari dan kabur. Cepet aku nggak berani megang!”
Dengan kedua tanganku dan menyebut nama Tuhan, aku memberanikan diri untuk melepaskan lilitan ular itu dari kaki Nana. Ternyata memang kuat lilitan ular itu, aku sampai kesulitan dan hamper dililit. Akhirnya, kaki Nana terbebas dari lilitan ular itu. Akupun meletakkan kepala ular yang matanya aku tutupi, ditempat yang jauh dari Nana. Lalu aku mengahampiri Nana kembali.
“Na, kamu nggak apa-apa?” tanyaku gugup.
“Sepertinya kakiku patah deh, Vit.” Tangisnya.
“Tenang aja. Kita pasti menemukan jalan pulang. Tetapi sayangnya kita kehilanagn satu teman kita”
“Si Rara? Biarin ah…salahnya aku tidak ditolong, eh malah kabur. Aku sumpahin di culik para germo!”
“Hush…Nana! Jangan gitu, sebenci-bencinya aku dengan Rara, aku tidak pernah menyumpahi dia. Karena dia juga teman kita. Dan kita satu tim.”
“Lha, trus gimana?”
“Kita cari dia, sembari mencari jalan pulang”
“Oke….” Kemudian aku berjalan sambil membopongnya.
Puji syukur terhadap Tuhan, dipagi hari ini aku dan Nana menemukan jalan raya. Setelah itu kami tetap terus berjalan menyusuri jalan raya yang sepi. Setelah dua jam perjalanan kami menemukan gubuk tua dipinggir jalan. Awalnya, kami bermaksud untuk meminta air minum. Akan tetapi setelah aku ketuk pintu itu, ada dua orang lelaki setengah baya berwajah sangar. Tak lain dan tak bukan adalah GERMO! Dengan sigap mereka menyekap kami” Tidak usah dicari, sudah dating sendiri” kata seorang dari mereka sambil ketawa terbahak. Sungguh aku menyesal ingin meminta air minum, dan sungguh Nana juga menyesal karena sudah menyumpahi Rara. Mulai dirinya sendiri yang termakan sumpahnya. Kemudian kami dibawa kesebuah kamar dan ternyata disana sudah ada Rara duduk manis disana. Dengan tangan bertali kami bertiga menyusun rencana untuk kabur.
Untuk menjalankan misi Rara yang aku suruh untuk berpura-pura ingin kencing, karena sudah jelas Nana tidak dapat berlari sebab kakinya patah. Jalan saja pincang apa lagi berlari” Ujarnya. Aku dan Nana telah melepaskan ikatan dari penjahat itu, tetapi kami berpura-pura masih terikat dengan menyembunyikan pergelangan tangah kami dipunggung.
“Om,… kebelet pipis” ujar Rara
“ Siapa ? “ Sambil membuka pintu yang terkunci
“ aku Om “ lalu Rara mendekat . Penjahat itu lalu melepaskan ikatan pada pergelangan Rara. Sebelum pintu ditutup, dengan lihai Rara mengambil ponsel penjahat itu dan kabu. Dan sipenjahat itupun langsung mengejar Rara sehingga lengah untuk mengunci kamar kembali. Aku dan Nana pun keluar mengendap –endap dan kudapati pintu kamar terbuka. Sertya penjahat yang satunya lagi masih minum kopi didepan. Kmai pun kabur dan bersembunyi di gua kecil pinggir hutan. Selang beberapa saat, aku melihat anak gadis sedang berlari kalang kabut. Saat si gadis itu berada disekitar gua aku langsung menariknya. Sesaat, ia terlihat terkejut akibat tarikanku, tetapi ia langsung memelukku menyadari yang menariknya adalah aku.
“ Vita…..” Rara memelukku erat.
“ Vit, mereka masih memngejar kita. Tetapi aku sudah dapat ponselnya “ ujar Rara lagi.
“ Segera kita telfon polisi “ sambut Nana gembira.
“ Tunggu, tangan kamu kenapa, Ra ? “ Tanya ku panic sembari menyentuh tangannya.
“ Aa….. jangan di pegang. Aku tadi tertembak oleh penjahat itu.”
“ Ya udah ayo telfon polisi “
Setelah kami hubungi polisi dan polisi akan menemukan kami, tetapi masih lima belas menit lagi. Akhirnya kami menunggu dengan cemas.
Di saat menunggu polisi kami saling bertukar cerita brau akli ini aku mau membagikan masalahku perihal kematian ibu dan ayahku. Dan kamipun bercerita banyak dari organisasi, sifat – sifatku, dan lain – lain. Hingga akhirnya Rara sadar dan minta maaf kepada ku akupun juga telah memaafkannya. Kata DAPATKAN KISAH LENGKAP + CERPEN LAINNYA PADA EBOOK

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CERPEN - Mutiara Berkabut Pasir"

Posting Komentar