CERPEN - Benang Pasti Berujung
Benang Pasti Berujung
(Tia Pratiwi)
Desiran angin mengibarkan jilbab Nadia dan membuatnya menari-nari seiring isi hati Nadia yang sebenarnya. Hati sebersih embun, paras secantik berlian itu hampir saja tertambat hatinya dengan seorang lelaki misterius. Wajah keturunan arab yang putih dan mulus itu kini mulai mengeluarkan mimik tenang setelah keluar dari mushola salah satuUniversitas Solo yang mengadakan lomba bertema BENGKEL KREATIVITAS.
“Assalamu’alaikum. Kamu pemenang lomba penulis puisi tadi, ya? Nama kamu siapa?” Tanya seorang lelaki misterius, sembari menggulung lengan kemejanya untuk segera berwudhu.
“Wa’alaikumsalam. Saya Nana.” Jawab Nadia sembari memalingkan pandangannya kebawah.
“Senangnya bisa berkenalan dengan perempuan berbakat seperti kamu. Oiya, kamu sudah sholat asar, belum? Kalau belum nanti saya menjadi imamnya.” Tanya lelaki pemenang lomba menulis cerpen itu.
“Alhamdulillah, saya sudah selesai.” Seraya menyimpulkan senyum yang amat manis dilihat. Kemudian Nadia membuka HP nya, lalu melayangkan ucapan perpisahan sebelum menanyakan nama lelaki itu. “ Oiya, saya duluan ya. Saya sudah di tunggu guru pembimbing saya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Seraya membalas senyum Nadia.
Putaran empat lingkaran yang menggelinding itu bergulir mengiringi sang surya menenggelamkan diri. Avansa gelap itu memuat empat orang yang luar biasa, salah satunya ialah Nadia. Di sebelah Nadia ada seorang sahabatnya yang bernama Annisa.
“Nduk, ini uang pembinaan untuk kamu. Dan pialanya biar Bu Ina yang bawa untuk diserahkan ke sekolah, besok pagi. Mendapat juara dua itu sudah bagus, nduk.” Kata salah seorang guru pembimbing, sembari menengokkan wajah ke belakang dan menyerahkan amplop itu. “Kalau amplom yang ini untuk Annisa. Selamat, ya. Besok kalau Annisa melanjutkan ke tingkat Nasional harus lebih giat latihan. Oke!” Lanjut Bu Ina.
“Iya, Bu. Terimakasih.” Jawab kedua gadis berhijab itu bersautan.
Tirai rumah Nadia mengayun tenang mengiringi suasana hati Nadia yang tengah beron line ria. Jemarinya menari-nari di atas keyboard untuk membagikan sedikit ilmu kepada pengunjung dunia maya. Hingga bayangan Izar lelaki yang tengah dekat dengan Nadia bersama lelaki misterius itu mulai mengganggu fikirannya, dan suasana hatinya tak kompak lagi dengan tirai rumahnya.
~DM dalam twitter~
@annisa_abidah à Assalamu’alaikum ukhty… J
@azkanadia à Wa’alaikumsalam, ada badai apa, nih? Tumben DM ane.
@annisa_abidah à Aku mau curhat soal Izar. Entah mengapa, hatiku acapkali bertalu ketika menyadari kehadirannya.
@azkanadia à Eeeaak…. Puitis2nya mulai timbul. Tapi, kamu beneran suka sama Izar?
@annisa_abidah à Sepertinya iya. Dia juga mulai mendekati aku.
@azkanadia à Jikalau, Izar telah dekat dengan perempuan lain dan perempuan itu juga menyukainya. Bagaimana perasaan kamu?
@annisa_abidah à Itu belum terjadi, misal itu terjadimasih belum ada bukti. Dan misal telah ada bukti insyaallah saya akan teguh terhadap keyakinan saya, untuk tetap mencintainya.
@azkanadia à Oke deh… Tapi keyakinan untuk selalu mencintai Allah jangan pernah luntur, ya. Ingat, Allah SWT yang telah memberimu cinta untuk mencintai Izar. J
@annisa_abidah à Oke sip.
Linangan air mata berlarian pada pipi Nadia yang kini mulai memerah karena menahan semua rasayang sungguh absurd untuk dirasakan. Nadia juga tak mengerti yang Ia rasakan akhir-akhir ini. Nadia membuka diarynya yang tersimpan dalam laci.
Jumat, 1 Juni
Saat pulang pramuka, aku ditinggal Tina yang mau aku tebengin. Akhirnya Izar diminta Rara utnuk boncengin aku. Tapi waktu diperjalanan, TOPI PRAMUKAKUJATOH… Padahal itu topi BARU BELI, huhu. Jatoh melayang begitu aja… Awalnya aku berusaha mengikhlaskan aja, ntar nabung untuk beli lagi. Akhirnya aku bilang sama Izar, kalau topiku jatoh di tengah jalan. Tiba-tiba Izar nyuruh aku turun di pinggir jalan. Ih, nyebelin, malah ditinggalin di tengah jalan. Tetapi, ternyata dia puterbalik untuk mengambil topi pramukaku di tengah jalan, padahal saat itu ada truk besar.. “Waah, anak yang baik” batinku. Lalu Ia datang dengan membawa topiku, specless aku tidak bisa ngomong sepatah katapun termasuk mengucapkan terimakasih… Nanti aja ah, setelah sampai rumah. Setelah sampai rumah aku baru mengucapkan terimakasih, dan salaman pramuka seperti biasa sebelum berpisah… Batinku “Hahaha, anak yang baik, topi baru beli, brooo.”
Jemari lentik Nadia mulai menghapus air matanya yang mulai menganak sungai setelah melihat lembaran yang Ia tulis setahun yang lalu saat Nadia masih belum mengerti sebuah kasih sayang dari lawan jenis, kemudian membuka lembaran lain. Lembaran yang mulai Ia rasakan kejanggalan dari sifat Izar yang membuat hatinya bergejolak.
Minggu, 7 Juli
Dikala sakit aku kebayang kegiatan kemah Glady Widya kemarin. Kemarin itu asik banget, aku yang awalnya sakit, rasa sakitnya malah nggak kerasa. Mana dapet pengalaman banyak lagi. Pengalaman jadi wanita perkasa tentunya, selain itu juga pengalaman tentang ilmu TTG, ilmu LKTI tenyata kalo mau buat LKTI referensinya nggak boleh banyak-banyak, dan makalahnya nggak boleh pakek border/frame. “Ilmu baru, mamen.” Awalnya aku dan Widya nggak nyangka banget kalo bakal menangin TTG, soalnya TTG dari kami sama seperti kontingen Toroh. Kalo yang LKTI aku juga nggak nyangka bakal menang, soalnya banyak kritikan. Kata juri, referensiku kebanyakan, ada border, gaya bahasa gaul dalam makalah, sama numpuknya nggak pas tgl 23 juni 2013 tapi malah tgl 28 juli 2013. Tetapi Allah berkata lain, Allah menakdirkanku untuk memenangkan lomba yang aku wakili, masing-masing juara 2 semua, ya walau belum juara 1 tetapi aku tetap bersyukur.
Kemarin aku sebenernya lagi ngambek sama Izar. Soalnya waktu buat tenda, dia kesannya nggak niat banget buat bantuin aku. Kayaknya ogah-ogah’an. Tetapi, saat aku lagi ngambek, malah Izar jahilin aku. Nyuri jepretlah, ngganggu saat latihan presentasi LKTIlah, yg buat aku tambah ngambek. Kemudian, saat lomba TTG, dan aku menunggu nomor urutku untuk di panggil. Eeh, Izar malah ngatain aku murni. Tetapi aku masih berat utk mendapat pujian itu, soalnya hatiku belum semurni air zamzam yg aku minum saat sahur di tenda. Sebenarnya, Murni adalah nama adek kelas Kwarran Kradenan. Izar bilang “Dek arti namamu murni” Sembari memandangku saat ngucap kata murni, aku tetep belum ngerti sama maksudnya yang absurd. Jadi aku diem aja, lagian aku juga masih ngambek sama dia. “Maksudnya, arti namamu itu mirip hatinya mbak yang duduk di sampingmu. Itu lho, mbak yang itu…” Sembari menunjuk ke arahku, nah kalo yang ini aku baru ngerti maksud Izar. Tetapi karena takut kepergok temen-temen aku pura-pura nggak tahu dan menghadap ke belakangku dan bilang “Mbak yang mana sih? Yang hatinya murni? Kok nggak ada mbak-mbak? Adanya mas-mas semua…” Dan saat itu Izar hanya diem saja, karena mungkin hampir nepok jidat karena ketidak pekaanku, padalah aku memang pura-pura tidak peka agar nggak diejek temen-temen.. Sampai pulangpun aku masih ngambek sama Izar soalnya dia nyemangati temenku Annisa melalui sms dari HPnya Widya. Sebenernya, aku juga dapet sms dari Widya saat lomba, tapi iya kalo dari Izar, bisa aja kaga. Tetapi wkt pulang aku tetep ngambek sama Izar hingga akhinya dia duduk di samping ku, dan disampingku masih ada Bu Dian (Pembina Pramukaku) Hehe, jd nggak ada setannya.
“Kamu udah buka puasa belum? Nih, makan semangka dulu.” Kata Izar.
“Udah.. Iya, makasih. Eh, kamu nggak nawarin Bu Dian dulu?” Kataku perlahan, seiring luluhnya hati yang keras ini.
“Iya, yang ini buat Bu Dian.” Katanya sembari memberikan buah semangka yang lain untuk Bu Dian. Hingga akhirnya kami berkicau kesana-kemari, dan akhirnya aku luluh dan aku minta tolong utk nganterin aku pulang.
Paras manis itu mulai berubah raut wajah, dan mulai menenangkan diri. Sekarang Nadiamulai bertekad untuk mementingkan pelajaran, karena sebentar lagi Ujian Nasional. Seakan ada kekuatan untuk belajar danada kesenangan hati untuk menerima rasa sakit hati itu. Nadia yakin itu pasti kekuatan dari Allah SWT. “Terimakasih Ya Allah. Alhamdulillah.” Ujarnya. Dan sebuah kekuatan yang luar biasa untuk tidak larut terus menerus menangisi Izar dikala Izar dibelokkan ke perempuan lain, walaupun sahabatnya sendiri.
Berusaha biasa saja dan menganggap Izar sebagai temen biasa, walau dalam batin Nadia bertentangan. Namun, Nadia juga harus kuat untuk kedepannya. Prinsip Nadia, jika memang Izar adalah jodohnya pastilah akan kembali kepadanya, dan jika belum jodohnya pastilah lambat laun Allah akan mengambil anugrah-Nya (Rasa untuk mencintai Izar) yang hanya dititipkan kepada Nadia. Allah maha membolak-mbalikkan perasaan manusia, jadi Nadia sebagai hamba yang mengaku mencintai-Nya juga harus menerima, siap, mensyukuri, serta menjaga hal yang dititipkan-Nya (Rasa cinta) agar tidak termakan oleh hawa nafsu dan godaan syaitan. Ditambah, pastilah untuk tidak berlebihan (Bergalau ria dan terlalu mencintai setengah mati kepada manusia) dalam melampiaskan perasaannya kepada seseorang yang di tunjuk-Nya yaitu Izar, karena rasa cinta yang paling utama ditujukan hanyalah untuk Allah SWT.
Matahari yang malu-malu mengintip dari celah-calah dedaunan, mengiringi langkah Nadia untuk mengawali hari. Detak jantungnya mengiringi langkahnya yang berayun untuk selalu berada di jalan Allah SWT. Setelah sampai di sekolah, Nadia mulai melupakan soal perasaannya. Nadia mencoba biasa saja.
“Eh, ada yang baru jadian. Kamu udah tahu apa belom…?” Celoteh Widya mengawali pembicaraan.
“Belom, siapa?” Tanyaku penasaran.
“Ituh…” Widya menoleh ke arah Annisa. Karena mendapat tatapan nakal dari Widya, Annisa langsung menyanggah. “Lupakanlah, Widya Cuma bercanda.” Sembari tersenyum.
“Ih, bohong… Lha, Maaaasss Izar itu mau dikemanain?” Tanya Lidya menggoda.
~Jreeepppp~ Sesaat dunia berhenti sesaat yang dirasa Nadia. Tetapi, Nadia mencoba untuk tetap stay cool.
“Eeeaakk…. Bakal dapet traktiran niihh… Yeee…” Ujar Nadia, sembari tersenyum girang. Walau, berbalik 180o didalam hatinya.
Kejanggalan demi kejanggalan sifat Nadia yang berubah menjauh mulai dirasakan Izar. Izar yang tak mengerti apa-apa kini mulai resah. Desiran nadi berdeyut yang digunakan untuk bertasbih, kini mulai terusik dengan sebuah nama yaitu Nadia.
~DM dalam twitter~
@izar_abqary à Assalamu’alaikum… Cieelahh… Tumben, kalau sedang bersama temen-temen, dan akunya ikut nimbrung, kamunya langsung pergi. Kayaknya ada yang ngambek, nih. Nggak baik lho, sesama umat muslim mendiamkan sesamanya.
@azkanadia à Wa’alaikumsalam. Maaf, kalau begitu. Tetapi, aku sedang tidak nyaman saja dengan kamu. Maaf, kalau aku terkesan mendiamkan kamu. J
@izar_abqary à Pasti ada apa-apa, di balik apa-apa. Hehe..
@azkanadia à Tidak ada apa-apa, J Tenang aja, je..
Waktu bergulir, berdetak, berganti hingga saat ini. Semenjak saat itu, Izar tak pernah menghubungi Nadia lagi, begitupun sebaliknya. Hingga usai Ujian Nasional, dan Nadia mendapat pekerjaan di Korea Selatan sebagai buruh pabrik pembuatan HP. Karena terbatas ekonomi, Nadia tak diizinkan ibunya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi, tekad Nadia tak berhenti begitu saja. Nadia berencana untuk melanjutkan sekolah lagi setelah mengumpulkan uang dari pekerjaannya itu.
Sebelum berangkat ke Korea Selatan, Nadia bermaksud untuk mengambil amandel yang bergelantungan pada tenggorokannya. Ibu Nadia masih cemas, jikalau Nadia bekerja jauh dan masih membawa penyakit yang sering kumat itu. Butiran hari Nadia kini Ia fokuskan untuk mengurusi kesehatannya. Dari mengurus BPJS, hingga menjalani serangkaian pengobatan pra-operasi.
Malam yang kelam meyelimuti suasanayang absurd. Rasa takut dan cemas yang tak menentu mengikuti langkah Nadia memasuki salah satu Rumah Sakit yang ternama di Purwodadi. Saat mengurus registrasi, Nadia bertemu dengan lelaki misterius saat bertemu dalam perlombaan bertema BENGKEL KREATIVITAS. KemudianNadia menempati kursi kosong disebelah lelaki itu.
“Assalamu’alaikum… Kamu pemenang lomba penulis puisi tadi, ya? Nama kamu siapa?” Tanya seorang lelaki misterius itu mengulangi percakapan saat itu untuk mengingatkan Nadia.
“Wa’alaikumsalam. Saya Nana.” Jawab Nadia sembari tersenyum geli.
“Senangnya bisa berkenalan dengan perempuan berbakat seperti kamu. Oiya, kamu sudah sholat asar, belum? Kalau belum nanti saya menjadi imamnya.” Lanjut lelaki itu, meneruskan bercandaannya.
“Alhamdulillah, saya sudah selesai. Hehe… Ngomong-ngomong, nama akhty siapa?”
“Nama saya Hanif Kurnia. Oh, iya saya sudah selesai registrasi. Saya duluan dulu.”
“Iya…”
Setelah mengurus registrasi langkah Nadia beriringan bersama ibunya menuju ruang UGD untuk diperiksa. Saat tubuh Nadia terbaring untuk diperiksa, tak sengaja tatapan mata perempuan berparas arab itu bertemu dengan Hanif. Yang ternyata, Hanif juga tengah diperiksa di pembaringan sebelah Nadia. Setelah mereka menyadari tatapan mereka bertemu, mereka langsung memalingkan wajah masing-masing dan salah tingkan.
“Dia sakit apa, ya?”, “Apakah dia baik-baik saja?”, “Apakah penyakitnya parah?” Bisikan demi bisakan mengerubuni fikiran Nadia. Seraya menyadari kejanggalan dirinya, Nadia langsung beristighfar dalam batinnya.
“Adek, mau diinfus sekarang atau saat mendekati operasi saja?” Tanya perawan cantik nan ramah.
“Nanti, saat mendekati operasi saja.” Kata Nadia lembut.
“Kalau begitu, adek silahkan tunggu di kursi itu. Nanti, adek akan dijemput perawat lain untuk ditunjukkan ruangan adek. Adek, memakai BPJS kelas satu kan?”
“Iya, mbak.” Semari melirik pembaringan sebelah Nadia, yang sudah kosong.
Setelah mendapatkan ruangan, Nadia disuruh ibunya untuk segera tidur dan berpuasa esok hari seperti saran perawat. Namun gumaman kata-kata dari pengunjung lain, dan alunan TV yang berkicau, serta wajah Hanif telah membuatnya susah untuk membuat matanya terpejam, hingga pada tengah malam dengan mendengarkan surat yasin dalam headsetnya barulah Nadia dapat terlelap.
Esok yang mendebarkan tiba bersamaan matahari yang nebarkan sinar-sinarnya. Hingga saat yang menggejolakkan hati Nadia datang. Dari serangkaian penyedotan dan penancapan yang menyakitkan, tak lain adalah proses yang menyakitkan itu meliputi.
1. Cek Laboraturium, dengan diambil darah segar dari nadi Nadia. Saat itu memang tak terasa begitu sakit. Karena, Nadia sudah terbiasa dengan cek lab dan donor darah.
2. Infus, nah ini yang supeer sakit…
Setelah menjalani rangkaian yang menyakitkan serta memakai baju yang aduh memalukan banget bagi Nadia. Guliran roda dari pembaringan Nadia mulai dilajukan menuju ruang operasi nan dingin. Entah, karena ruangan yang dingin atau memang Nadia yang takut, yang menimbulkan getaran pada bibirnya.
“Adek, maaf BHnya sudah dilonggarkan?”
“Sudah.”Jawab Nadia asal, karena tak mengerti maksud perawat yang semua laki-laki dan menyeramkan tapi tetep kece itu.
“Ini, belom dilonggarkan. Permisi, ya. Biar saya longgarkan.”
“I.. Iya..” Jawab Nadia yang tengah takut dan menahan malu.
Setelah pindah kepembaringan operasi, telunjuk Nadia di beri deteksi jantung yang mulai bernyanyi. Suara hentakan jantungnya sendiri, semakin membuatnya takut. Setelah itu sejumlah lampu besar mulai terlihat oleh Nadia. Setelah itu, tangan Nadia diikat dengan sebuah alat yang aneh. Kemudian Dokter Specialist THT mulai datang.
“Wah, dapet yang cakep, nih.” Tutur Dokter paruh baya itu.
“……” Nadia hanya menggetarkan mulutnya karena takut.
“Adek, lha cantik nggak?” Tanya Dokter itu lagi, yang sepertinya tahu kalau Nadia sedang dilanda ketakutan.
“Enggak…” Jawab Nadia singkat, padat, jelas.
“Kok, enggak?” Tanya Dokter itu lagi menggoda memulai bercandaan.
“Kan, nggak boleh sombong.” Kata Nadia dengan nada yang mulai ada vibranya alias gemetar karena takut.
“Kelas berapa, dek?” Tanya seorang perawat.
“Baru lulus.” Jawabku.
“Mau melanjutkan kemana?” Jawab salah seorang perawat lagi.
“Masih cari-cari.” Jawabku agak merahasiakan rencanaku pergi ke Korea Selatan.
“Lha pernah suka sama cowok, nggak?” Tanya Dokter, mulai mencoba akrab.
“Belum.” Jawab Nadia bohong, karena malu.
“Masak? Kalau belum, itu Mas Davis masih kosong. Hehehe..” Sambung perawat lain sembari menggoda perawat yang namanya Davis itu.
“Eh, sudah..” Tambah Nadia ketakutan.
“Sama siapa?” Tanya Dokter.
“Sama Allah dulu…” Jawab Nadia, sembari mengingat Allah.
“Wah, bagus… Saya suka cewek kayak adek. Ini di bius dulu, ya… Nanti memang agak nyeri…” Sembari menyuntikkan cairan dalam infuse.
Aliran demi aliran bius itu dirasakan Nadia sangat nyeri, nyei sekali hingga Nadia menghentak-hentakkan kakinya. Memang saat dibius, ketika jarum suntik menancap pada infuse tak terasa kesakitannya. Tetapi, saat cairan bius itu menggelitiki nadi demi nadi itulah yang membuat Nadia mengaduh kesakitan.
“Adek, ini masih terlihat?” Tanya Dokter sembari mendekatkan tangannya didepan wajah Nadia.
“Ma… Siiih..” Kata Nadia seraya tak sadarkan diri.
Setelah operasi berlalu, Nadia mulai sadar. Deraian air mata dirasakannya, yang Ia sendiri tak tahu mengapa dirinya menangis. “Ibumu diluar, Dek. Sudah jangan nangis.” Kata salah satu perawat yang menyadari Nadia telah sadar. Kemudian perawat itu memberikan oksigen, yang ditancapkan pada hidung Nadia. Tak lama, Nadia dibawa keluar ruangan operasi. Ibu dan sejumlah keluarga Nadia berhamburan diluar, seraya sesekali membelai wajah Nadia.
Setelah melakukan operasi, dan keluar dari rumah sakit, serta control sesekali. Keadaan Nadia berangsur membaik. Kini, hanya berfokus untuk berangkat kerja ke Korea Selatan. Baik wajah Izar maupun Hanif yang pernah mengisi hatinya, lambat laun mulai Ia lupakan. Demi, untuk ibunya dan melanjutkan pendidikan kembali membuatnya semangat untuk segera berangkat bekerja ke Korea Selatan.
Rangkaian demi rangkaian tahapan, dari tes, membuat paspor, serta RAP, dll telah dilalui Nadia. Hanya menunggu keberangkatan Nadia saja. Dikala usai sholat maghrib lantunan indah bacaan Al Quran membelai setiap orang yang mendengarya, telah keluar dari lisan gadis nan manis itu, dan tiba-tiba HP Nadia bordering. Sesaat memang tak digubris Nadia, karena memang tertinggallah urusan dunia saat itu, hanya urusannya dengan Allah yang Ia pentingkan saat itu. Setelah urusannya dengan Allah membuatnya tenang, Nadia membuka HPnya.
~SMS~
0877xxxx à Syalom. Saya Davis Adrian. Apakah, Adek Azka Nadia sudah selesai melakukan control? Bagaimana keadaan adek?
Nadia à Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, sy sudah selesai melakukan control. Kata Dr. Anton, sy sudah boleh makan yang keras2.
Mas Davis à Dek, Adek sudah punya pacar belum? Hehe…
Nadia à Belum, dan insyaallah jangan sampe’, mas.
Mas Davis à Kok jangan sampe’, memangnya kenapa?
Nadia à Dalam agama sy haram alias tidak boleh, mas.
Mas Davis à Bagus, kalau begitu. Aku juga sependapat dengan agama kamu.
Nadia àJ
Mas Davis à Lagi apa, dek?
Nadia à Lagi siap2, mas.
Mas Davis à Siap2 buat apa?
Nadia à Untuk mengemas baju ke koper, mas.
Mas Davis à Lho, emang mau kemana?
Kemudian Nadia memilih bungkam dari SMS itu. Takutnya tak hanya membongkar rahasianya, tetapi juga mendekati zina. Fikir Nadia, karena Mas Davis Kristenlebih baik Nadia mundur dua langkah sesegera mungkin, agar tidak ada asmara di antara mereka.
Alunan nada sopran dari suara ayam Jago Ibu Nadia telah menghancurkan senyapnya dalam pagi hari. Aktivitas rutin, telah dilalui dan Nadia mulai bergerak membantu ibunya untuk membungkus nasi pesanan pelanggan di dapur garung dengan lihainya.
“Nduk, lebih baik kamu jaga stamina kamu untuk diperjalanan nanti…” Suruh Ibu Nadia, agar Ia beristirahat.
“Udah…Nnggak apa-apa kok, Bu…” Jawab Nadia lembut.
“Selamat pagi…” Sapa seorang pemuda menyela pembicaraan Ibu dan anak itu yang telah berdiri di depan warung.
“Iya… Silahkan duduk, Mas. Mari, mau makan apa? Menunya ada nasi rames, pindang, asem-asem, dan sop. Pilih yang mana?” Tanya Ibu Nadia dengan cekatan segera menemui pemuda itu.
“Saya nasi sop aja dan jeruk hangat, Bu..”
“Oh, ya tunggu… ya…”
“Tunggu, Bu…”
“Iya, mau pesan apa lagi?”
“Nadianya ada, Bu?”
“Owalah… Itu Nadianya sedang bungkus nasi.” Kata Ibu Nadia sembari menunjuk Nadia. “Maaf, Mas ini siapa, ya? Kok, baru lihat sekarang?” Lanjut Ibu Nadia.
“Saya Davis, Bu. Temennya Nadia.”
“Tunggu sebentar, ya. Saya panggilkan, dulu.”
“Iya, Bu….” Jawab Mas Davis.
“Mas Davis, ya? Ada apa, mas?” Sapa Nadia sembari memberikan menu mas Davis, dan duduk disebelahnya.
“Saya hanya ingin berkunjung. Apakah alamat yang Adek tullis di formulir registrasi, benar atau tidak. Hehe…”
“Hehe, Mas Davis ada-ada saja. Ya, tentunya benarlah, Mas.”
“Oh, iya… Mas Davis masih penasaran soal kemaarin. Memang Adek, mau pergi kemana?”
“Owalah, ternyata Mas Davis tamunya. Maaf, ya Mas, saya kira pelanggan. Ayo masuk ke ruang tamu saja.” Ajak Ibu Nadia.
“Tidak usah, Bu. Disini saja, tidak apa-apa. Saya hanya, ingin mencoba lebih dekat dengan putri Ibu.” Ujar lelaki itu dengan agak tersipu.
“Waah,, Mas ini gimana toh? Lha, Nadianya aja mau berangkat ke Korea Selatan malah baru silahturahmi.” Terang Ibu Nadia seraya duduk sebelah Nadia.
“Bener, Dek? Buat apa?” Tanya Mas Davis.
“Bener, Mas. Saya kesana untuk bekerja agar saya dapat meringankan beban Ibu dan dapat melanjutkan kulias setelah itu.”
“Ehm, kalau dibatalkan. Bisa nggak, Dek? Nanti, biar saya saja yang membiayai kuliah dan biaya sehari-hari Adek dan Ibu Adek.”
“Maaf, kenapa Mas Davis, mau melakukan itu?” Tanya Ibu Nadia.
“Saya bermaksud untuk menjadikan istri anak Ibu setelah lulus kuliah nanti. Itupun, jikalau Ibu menyetujui.”
“Kalau, Ibu siih.. Tergantung Nadianya..” Ujar Ibu Nadia.
“Terimakasih atas tawaran Mas Davis. Tapi, maaf, Mas… Saya ingin kuliah dengan hasil keringat saya sendiri. Jadi saya tetap tidak akan membatalkan kontrak kerja saya. Jikalau masalah menikah, saya pun pasti memiliki persyaratan.”
“Apalah persyaratanmu, Dek?”
“Orang yang kelak menjadi imamku haruslah muslim, mengetahui agama, dapat membimbing saya ke jalan Allah SWT, serta tidak memadu saya selagi saya masih dapat melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri.”
“…..” Mas Davis terdiam seribu bahasa. “Jadi, Dek Nadia menolak saya?” Lanjut Mas Davis, setelah agak tenang.
“Maaf, Mas… Saya tidak menolak Mas Davis. Jikalau Mas Davis dapat memenuhi persyaratan itu. Saat ini pun, saya mau menerima lamaran mas Davis.”
“Baiklah, kalau begitu persyaratan Adek. Saya akan fikirkan lagi.” Sembari tersenyum manis. “Oh, iya. Total makan saya berapa, Bu?” Lanjut Mas Davis menyiapkan uang, walaupun tak secuilpun makanannya dimakan.
“Tidak usah, Mas. Mas Davis kan niatnya bertamu.” Kata Ibu Nadia menolak.
“Tidak apa-apa, Bu. Ini…” Sembari memberikan uang lima puluh ribu rupiah kemudian berjabat tangan kepada Ibu Nadia dan berlalu.
“Siapa, itu nduk?”
“Perawat yang mengoperasi Nadia dulu, Bu.”
“Owalah…”
Setelah mendapat tusukan duri karena penolakan Nadia, Mas Davis mencoba mempelajari islam, sedikit demi sedikit seiring dengan Nadia yang juga sedikit demi sedikit bekerja di Korea Selatan sembari melanjutkan kuliah disana dengan beasiswa.
Setalah empat tahun bekerja, masa kontrak kerja Nadia telah usai. Nadia menambah setengah tahun berdiam disana untuk menyelesaikan S1 nya. Tak terbersit cinta maupun seorang lelaki yang mengisi hatinya disana. Hanya Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang ada dalam hatinya. Hingga akhirnya Nadia pulang dari Korea beroleh-olehkan pengalaman dan ilmu tantang kebidanan.
Raung-raungan pesawat, serta riuh lantah suara orang-orang yang menjemput di Bandar Udara Achmad Yani, Semarang. mulai membisingi telinga Nadia yang telah sampai di Bandara itu. Karena, Nadia tidak ada yang menjemput, jadi Nadia langsung mencari taksi untuk menuju ke terminal bus.
“Dek Nadia…” Panggil seorang pemuda.
“Mas Davis?” Kata Nadia memastikan.
“Iya, kamu sudah pulang? Wah, tinggal fokus kuliah saja nih…”
“Alhamdulillah, saya sudah kuliah di Korea sekalian, Mas.” Sembari tersenyum haru.
“Subhanallah… Biasanya tak sedikit orang Indonesia kuliah di Korea selain kaya banget,kalo ndak ya mendapat beasiswa.” Ujar Mas Davis takjub.
“Alhamdulillah, saya mendapat kesempatan untuk kuliah di Korea dengan pilihan yang kedua, Mas.”
“Jurusan apa, dek?”
“Keperawatan, Mas. Hehe, biar kayak Mas Davis.”
“Pinter, kamu Dek. Tapi, aku sudah tidak jadi perawat lagi. Alhamdulillah, aku kuliah lagi ambil kedokteran. Sudah semester akhir.”
“Kalau boleh tahu, Mas Davis mengucap Alhamdulillah itu maksudnya apa, ya?”
“Alhamdulillah, aku sudah pindah agama islam, Dek. Oiya, aku mau pulang ke Purwodadi. Kamu bareng sama aku aja, naik kendaraanku.”
“Makasih. Kalau didalam mobil hanya kita berdua lebih baik tidak usah, Mas... ”
“Tidak, kok… Aku baru saja menjemput orang tua dan calon istriku pulang Haji.
“Waah… Mas Davis beruntungnya… Sudah, menjadi muslim yang sholeh mana sudah memiliki calon istri lagi.” Sahut Nadia sembari tersenyum, namun tak bisa disembunyikan kemurungannya. “Tapi, kenapa Mas Davis nggak ikut berangkat haji sekalian?” Tambah Nadia.
“Alhamdulillah, sudah tahun kemarin. Itu berkat kamu tahu… Tanpa Allah memberikan hidayah melalui kamu, aku sekeluarga tak mungkin mencapai ketenangan dan kebahagiaan batin yang hakiki seperti ini.” Ujar Mas Davis tersenyum tulus. Kemudian mengajak Nadia ke mobilnya.
Setelah sampai di Indonesia, Nadia langsung mengurus untuk segera mendaftarkan Ibu dan dirinya untuk berangkat haji. Nadi yang selalu mengucap asma Allah dalam diri Nadia selalu berdetak untuk melakukan ibadah dan bersyukur, meskipun hatinya terluka lagi karena Mas Davis yang dulu pernah melamarnya, kini akan menikah dengan perempuan lain.
Untuk memanfaatkan ilmunya, Nadia mencoba melamar pekerjaan pada beberapa Rumah Sakit di Purwodadi. Langkah demi langkah Ia tempuh untuk bolak-baloi tempat foto kopi dengan Rumah Sakit yang akan Ia lamar. Hingga akhirnya, Nadia mendapatkan pekerjaan pada Rumah sakit yang empat setengah tahun lalu menampunnya untuk operasi.
Hari pertama, hari ketiga, seminggu, telah Nadia lalui untuk bekerja dengan niatan Ibadah. Lorong-lorong yang ramai pengunjung dipenuhi hiruk-pikuk pengunjung untuk menjenguk. Telah sadar Nadia melalui sesosok yang pernah dikenalnya. Tak kuasa Nadia untuk menahan kepalanya agar tak menoleh. Sepatah kata untuk memanggil pemuda berjas putih itu, tak mampu terlontar, seakan beku.
“Dokter Izar… Ini ada undangan pernikahan dari Dokter Davis.” Kata Dini, Perawat senior yang telah menggunakan kaos biasa karena jam kerjanya sudah usai, bersama dengan genggaman sekumpulan undangan.
“Oh, Baik.” Jawab lelaki itu.
“Oh, iya… Suster Azka Nadia….” Panggil Dini. Sontak, Izar langsung menoleh kepada perempuan yang telah Ia lalui saat berjalan tadi. Dan hendak menyapa Nadia.
“Iya?” Jawab Nadia.
“Ini, ada undangan untuk kamu. Oiya, yang sabar, ya. Aku sudah dengar gossip dari orang-orang.” Kata Dini sembari memberikan undangan untuk Nadia.
“Gossip apa?” Tanya Nadia heran.
“Katanya kamu yang dilamar Dokter Davis dan telah kamu terima, tapi malah Ia menikahnya sama perempuan lain. Sabar, ya.” Tambah Dini menjelaskan. Mendengar penjelasan Dini, Izar mengurungkan niat untuk menyapa Nadia.
“Oh, itu cuma gossip. Sebenarnya, sejak awal saya tidak bermaksud untuk menerima lamaran Dokter Davis. Jadi, wajarlah jika Dokter Davis menikah dengan perempuan yang lebih layak untuknya.” Jelas Nadia sembari tersenyum lembut.
“Wah, namanya saja juga gossip… Hehe, maaf ya…” Kata Dini.
“Iya…” Kata Nadia mengakhiri percakapan.
Pada saat jam kerja Nadia telah usai. Nadia penasaran dengan ruang arsip mengenai data pasien empat tahun yang lalu. Lembaran nan berdebu tetpi tertata rapi itu telah mendorong Nadia untuk menyentuhnya.
“Suster Lika, bolehkah saya mencari data pasien empat tahun yang lalu. Saya membutuhkan informasi terhadap seseorang.”
“Siapa namanya? Tahun Berapa? Bulan apa?”
“Hanif Kurnia. Empat tahun lalu. Bulan Mei.”
“Tunggu sebentar, Ya.”
“Iya, namanya Hanif Kurnia. Dia telah meninggal dunia setelah melakukan operasi ginjal, tetapi nyawanya sudah tak tertolong lagi. Karena kesalahan mendapat transfuse darah.”
“Ehm… Baiklah. Teimakasih…” Jawab Nadia dengan mulut bergetar kemudian pergi dengan melangkah cepat.
Seiring langkah dan desiran lembut hatinya yang bergemuruh melewati jalan yang hiruk-pikuk penuh dengan kendaraan. Ingin sekali Nadia menangis karena kecewa. Tetapi, rasa cintanya kepada pencipta-Nya lagi-lagi telah menguatkannya. “Mungkin, belum jodoh.” Geming perempuan nan manis itu. Tetapi, tetap saja air mata memaksa keluar dari pelupuk matanya.
Tin.. tiin… Suara Klakson mobil mengagetkan tangisan Nadia. Seketika itu, Nadia langsung mengusap air matanya.
“Assalamu’alaikum… Dek Nadia…” Panggil seorang perempuan paruh baya dalam Daihatsu hitam itu.
“Wa’alaikumsalam…” Sembari mengingat wajah yang tak sing itu.“Oh, Tante…” Itu adalah tante Fida, langganan warung ibunya.
“Iya, ayo masuk. Dari pada jalan kali.” Ajak tante Fida.
“Ah, rumah saya dekat dari sini..”
“Dekat apanya, apakah Danyang itu dekat dari sini? Ayo masuk..”
“Baik, tante.” Sembari menaiki mobil hitam itu.
“Oh, Izar? Kamu?” Tanya Nadia yang bingung, karena ternyata yang menyupiri sedari tadi adalah Izar.
“Iye, je… Ane putranya Ibu Fida.”
“Oh…” Jawab Nadia.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tadi nangis-nangis dijalan? Itu nggak Nadia yang dulu tau..” Hibur Izar.
“Hehe, menangis bahagia.” Jawab Nadia asal.
“Apaan yang bahagia. Orang, sampe meler begitu…” Timpal tante Fida.
“Hehe…”
“Jangan-jangan masalah udangan pernikahan Dokter Davis tadi, ya?”
“Tidak, kok. Sebenarnya, sejak awal ane tidak bermaksud untuk menerima lamaran Dokter Davis, karena dia non muslim. Jadi, wajarlah jika Dokter Davis menikah dengan cewek laen, walau saat menikah dengan cewek laen dia udah muslim. Tapi, ya sempet agak nyesal, sih. Tapi, menyesal terus menerus tak baik.”
“Oh, begitu toh, cerita yang sebenarnya.” Jawab Izar sembari meluapkan kelegaan dalam hatinya.
“Nadia, berarti saa ini kamu tidak sedang dalam ikatan pertunangan dengan orang lain, kan?” Tanya tante Fida.
“Iya, tante. Memangnya kenapa?” Tanya Nadia.
“Ituh, siapa tahu berjodoh sama lelaki disebelah tante. Hehehe”
“Wah, kalau begitu saya jadi merasa tidak enak dengan Annisa, Tante.”
“”Memangnya kenapa?” Jawab Izar penasaran.
“Lho, bukannya waktu SMK dulu, kamu pacaran sama Annisa? Siapa tahu masih, sampai sekarang.”
“Nduk… Ndukkk… Izar itu nggak pernah pacaran. Kayak kamu.” Ujar Ibu Izar.
“Lhoh… Tante tau dari mana saya nggak pernah pacaran?” Tanya Nadia.
“Dari ibu kamulah, sama nih..” Sembari memandang Izar. “Semenjak masuk SMK dan mengenal kamu saat mendapat beasiswa, lalu mengenal kamu melalui ekstra Pramuka, Ia selau menceritakanmu kepada tante.” Lanjut tante Fida.
“”Noh, kan…. Apa ane bilang. Pasti ada apa-apa dibalik apa-apa, pada saat itu.” Timpal Izar mengingatkan percakapan di DM empat yahun lalu.
“Hehe…, Sudah sampai. Terimakasih atas tumpangannya. Assalamu’alaikum.” Kata Nadia sembari turun dari mobil.
“Iya, salam buat ibu kamu, ya Nad.” Kata Tante Fida.
Lembaran kalender tersobek satu per satu. Bulan telah bergulir menjadi tahun. Hingga saat ini kedekatan Nadia dengan Izar masih belum mencapai kata serius, walau sudah didahului
Mas Davis. “Hanya teman” Ujar masing-masing dari mereka. Hingga suatu hari yang menggejolakkan hati Nadia datang kembali,
Mas Davis. “Hanya teman” Ujar masing-masing dari mereka. Hingga suatu hari yang menggejolakkan hati Nadia datang kembali,
“Assalamu’alaikum… Maaf, ruang durian 1 A dimana, Sus? Kata salah seorang perawat, saya disuruh mengikuti Suster Nadia.” Tanya seorang lelaki dari belakan Nadia.
“Wa’alaikumsalam. Iya, saya Nadia. Mari ikut saya.” Ujar Nadia sembari menegok ke belakangnya.
“Nana?” Jawab seorang lelaki itu.
“Ha.. Hanif?” Jawab Nadia terkejut. “Bu…Bukannya, kamu telah meninggal dunia?” Lanjut Nadia heran.
“Kata siapa?” Kata Hanif bingung.
“Hanif Kurnia, kan?” Tanya Nadia masih memastikan.
“Hanif Akmal Kurnia, jika lebih lengkapnya.” Tambah Hanif menjelaskan.
Nadia tersenyum haru, “Alhamdulillah… Saya kira…”
“Dapat informasi dari mana kalau saya sudah meninggal?” Tanya Hanif cemberut.
“Dari arsip tahunan rumah sakit ini. Dan aku mencarinya hanya nama yang kamu kenalkan padaku, saat itu.” Jelas Nadia sejelas jelasnya.
“Hehe… Ternyata ada yang penasaran tentang aku, niih… Sampai mencari di arsip tahunan saja… Hehe” Hanif mulai menggoda Nadia.
“Ih, apa sih… Kan cuma mencari, belum berarti aku penasaran. Huuuuuh… Ayo, ikut aku.” Ujar nadia ngeles.
“Iya, neng yang suka mengalihkan pembicaraan.” Ujar Hanif sembari tertawa ringan.
“Mau menjenguk siapa?” Tanya Nadia sembari mengarungi lorong-lorong rumah sakit.
“Temenku saat kuliah.” Jawab Hanif.
“Siapa?”
“Ingin tahu banget, sih. Nanti kamu naksir lagi sama dia.” Ujar Hanif bercanda lagi.
“Insyaallah enggak. Hehe…” Kata Nadia.
“Dia Andi Bimantara. Sahabatku dulu saat kuliah.” Jelas Hanif.
“Andi Bimantara Lutfi, bukan? Anaknya Tante Yani. Rumahnya Godong daerah Bugel belakang pasar godong.”
“Iya, kamu kok tahu? Jangan-jangan….”
“Jangan buruk sangka dulu… Mas Andi itu, Anaknya Tanteku. Tante Yani adalah kakak dari ibuku. Sebentar, ada sms.”
~SMS~
Dek Aqila à Mbak, Mas Adi kemaren kecelakaan. Sekarang, katanya Mas Adi di rumah sakit tempat kakak bekerja. Di ruang durian 1 A.
Nadia à Iya, Mbak sudah tahu. Kamu cepat kesini, ya? Soalnya mbak masih ada jam kerja. Nanti kalau jam kerja mbak sudah habis, baru mbak jengung.
Dek Aqila à Oke, mbak.
“Saat kuliah dulu kamu ambil jurusan apa?” Tanya Nadia.
“Kamu bisa lihat sendiri dari pakaianku, kan.” Ujar hanif sembari membenahkan seragam PGRI nya.
“Kamu seorang guru? Wah, sebenarnya itu cita-citaku saat SMP dulu.”
“Guru Bahasa Indonesia lebih tepatnya.” Tambah Hanif.
“Nah, Ini ruang Durian 1 A. Aku masih ada kerjaan. Jadi aku akan menjenguk nanti. Salamkan untuk Mas Andik. Mari… Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Terimakasih.” Ujar Hanif. Dan dibalas Nadia dengan senyuman.
Pada suatu malam raungan mobil memberhentikan diri, dan mengeluarkan sekelompok orang yang berpakaian rapi dan sebagian memakai kebaya sembari membawa kotak kado. Sekelompok keluarga itu mulai mengiringi langkah putra pertama mereka untuk memasuki bangunan tembok nan sederhana tetapi begitu rapi dan tentram. Tak lain dan tak bukan mereka adalah keluarga Izar yang berniat untuk melamar Nadia.
“Ibu, Dek Aqila, sebenarnya….” Ujar Nadia lirih di kamar, agar tak terdengar Izar sekeluarga.
“Ada apa, mbak? Bukannya kamu dulu juga pernah menyukai Mas Izar. Apakah rasa itu telah menghilang?” Kata Aqila, adek perempuan Nadia yang terpaut 5 tahun.
“Bukan begitu… Nadia sekarang, Eem…Hanya saja lebih ragu untuk menerima lamaran itu.”
“Apa yang kamu ragukan, Nduk? Kamu telah jelas mengenalnya lama, bahkan kamu juga telah mengenal ibunya. Mereka dan kamu sama-sama tahu sifat dan latar belakang kita masing-masing. Apa lagi, di umur kamu sudah menginjak 25 tahun, sudah seharusnya untuk menikah. Pikirkan untuk Ibadah, Nad. Kamu menikah untuk Allah. Ya, kalau jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Ya sudah terserah kamu saja.” Nasehat Ibu Nadia yang tak ingin memaksakan anak pertamanya itu.
“Baiklah, Nadia terima, Bu. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk Allah Bu. Walau, sebenarnya hati Nadia saat ini tengah tergoda dengan lelaki lain.” Jelas Nadia berkata sebenarnya.
“Kalau begitu, siapa lelaki yang memenangkan hati kakakku yang cakep ini?” Ujar Aqila menggoda.
“Namanya Hanif Akmal Kurnia. Walau, aku juga belum mengerti latar belakangnya, namun aku yakin bahwa dialah tambatan hati Mbak Nadia, Dek.”
“Oh, yang sering kamu ceritakan itu. Tetapi, nduk… Itu masih kabur. Pilihlah yang pasti, pasti saja. Kamu bahkan belum tahu alamat, nama orang tua, bahkan kamu juga belum tahu saat ini dia tengah beristri atau belum. Iya, kalau belum. Kalau dia sudah beristri bagaimana?”
“Hehe… Iya, Bu.. Untuk Allah dan karena Allah. Bismillah Nadia menerima lamaran Izar.” Jawab Nadia Lugas.
“Baiklah, kalau begitu akan ibu sampaikan kepada mereka.” Kata Ibu Nadia sembari bergegas keluar kamar. Nadia dan Aqila berpelukan, entah berpelukan karena haru untuk bahagia atau bersedih.
“Mbak, selamat ya… Semoga Mas Izar adalah seorang imam untuk mbak Nadia yang sholeh. Dan dapat menuntun mbak untuk selalu berada di jalan Allah.”
“Amiiinn…” Derai air mata dari pelupuk mata Nadia mulai menari-nari. Leher Nadia serasa tercekik oleh air liur yang menggantung di tenggorokannya. Nadiapun melepaskan pelukan Adiknya, untuk menyeka air matanya dan bergegas keluar untuk menemui keluarga Izar dan memakai cincin pertunangan yang akan dipasangkan oleh ibunya.
Dikala matahari berdiri kokoh di atas ubun-ubun, saat bekerja Nadia dikejutkan dengan setangkai bunga yang dititipkan oleh Bapak Satpam. Dan tiba-tiba “Dooor…” Ujar lelaki dibelakang Nadia.
“Izar…” Jawab Nadia spontan, dan langsung menghadap ke belakang.
“Izar? Siapa itu” Kata Hanif mulai rancu.
“Mak.. Maksudku Haniif..”
“Jawab dulu pertanyaanku.” Jawab hanif mulai curiga.
“Izar adalah tunanganku. Aku kira kamu tunanganku. Apakah bunga ini dari kamu?” Tanya Nadia merasa bersalah.
“I..iya.” Jawab Hanif lunglai dan segera menghadapkan wajahnya ke bawah. “Ya, sudah. Kalau begitu kembalikan bunga itu lagi padaku.” Sambung Hanif tersenyum pilu.
“…..” Nadia masih bungkamsembari menatap bunga pemberian Hanif, dan tak segera mengembalikan bunga itu. Malah air mata yang Ia tunjukkan kepada Hanif.
“Ayolah… Aku tak ingin calon imammu salah paham dengan bunga itu. Dan ini salahku, karena tak mencari alamatmu dan mengkhitbahmu lebih dahulu. Maafkan aku.” Ujar Hanif menyesal.
“Tidak aku yang salah, karena tak sabar untuk menunggumu… Maafkan aku. Dan ini bunga pemberianmu. Terimakasih telah mengerti. Aku pergi dulu, assalamu’alaikum.” Nadia kemudian bergegas memberikan bunga itu, dan pergi manjauh.
“Wa’alaimkumsalam.” Ujar Hanif tertunduk lesu.
Tanggal yang telah disepakati kedua belah pihak kini telah datang. Hanya menunggu kata ‘sah’ maka leburlah cinta Nadia maupun Izar untuk lelaki maupun perempuan lain. Hanya ada Izar maupun Nadia yang ada dalam hati mereka masing-masing. Namun, pengantin pria tak kunjung datang di masjid Jaballul Khoir, Purwodadi. Tak hanya keluarga pemelai wanita, tetapi tamu undangan juga mulai resah.
“Bagaimana, Buk? Mas Izar kenapa belum kunjung datang.” Tanya Nadia yang mulai membiasakan untuk memanggil Izar dengan sebutan ‘Mas’.
“Sabar ya, Nduk. Mungkin sedang make up.”
“Kenapa make up sampai enam jam tak kunjung selesai?”
“Ya, Ibu ndak tahu..”
“Mbak Nadia…” Panggil Aqila, seraya memeluk kakaknya.
“Kenapa, mobil Mas Izar kecelakaan di perempatan Ngraji. Mbak Nadia yang sabar ya. Mereka semua berada di rumah sakit.” Kata Aqila panjang lebar, kemudian melepaskan pelukannya.
“Bagaimana dengan pernikahannya, Bu?”
“Sementara ditunda dulu. Kamu dan Aqila segera ke rumah sakit. Penundaan pernikahannya biar ibu yang urus.”
“Baik, bu.” Jawab Nadia dan Aqila bersautan.
Butiran air mata berjatuhan setiap orang yang menengok dua pengantin itu, keadaan Izar yang masih koma menjadikan harapan semu yang tak pasti. Rasa cinta Nadia untuk Izar yang Ia tanam lagi dan mulai tumbuh kini layu kembali. “Yang sabar, ya” Kata-kata itu silih berganti yang malah membuat Nadia tambah terpukul.
“Nduk, jika kamu ingin menerima lamaran lelaki lain tidak apa-apa.” Kata tante Fida. “Sudah tiga bulan Izar koma dan belum mendapat kepastian untuk sadar, Tante tak ingin Izar menjadi bebanmu.” Lanjut tante Fida.
“Tidak tante. Insyaallah, Nadia akan menunggu Mas Izar siuman.”
Bulan demi bulan belalu lalang. Matahari yang kini tergelincir ke peraduan menampakkan kepastian dari sebuah harapan.
“Nduk, terimakasih telah setia menunggu Izar. Kini sebuah kepastian telah datang.” Tutur Ayah Izar lembut.
“Bagaimana, Paman? Mas Izar sudah siuman.”
“Dia telah sehat lahir batin, Nduk. Dia telah sehat dalam pelukan Allah SWT dan kembali pada-Nya.” Tutur Ayah Izar sedikit mengeluarkan air mata.
“I… In” Ujar Nadia terbata-bata. “Innalillahi wa innalillahi roji’un” Tangis perempuan itu mulai keluar bagai butir-butir mutiara. Pelukan hangat sang Adik tercinta mencoba menguatkan kakaknya.
~SMS~
Hanif à Assalamu’alaikum. Nadia, insyaallah aku akan segera menyusulmu. J Besok pagi, hari Ahad saya akan melaksanakan ijab qobul. Datang ya… Dan, aku minta doanya ya. J
Terkadang berita duka suka datang secara bersamaan dan sering kali menguji hati kita untuk dapat menaikan level seberapa cinta kita terhadap Allah SWT, dan mengalahkan hawa nafsu kita. SMS demi SMS “ Nad, aku mau nikah. Dateng ya..” Kabar demi kabar pernikahan, sering mengganggu jiwa Nadia yang hingga umurnya menginjak 26 tahun masih belum menikah juga.
Disaat bulan purnama berada diantara bintang-bintang. Tante Yani, Mas Andi dan Istrinya datang berkunjung. Setelah menjamu dengan jamuan sebaik mungkin, kicauan percakapan dari kedua keluarga itu menghiasi malam yang dingin, sehingga menjadi hangat.
“Mas Andi sih enak menjadi anak tunggal. Jadi, kalau menikah nggak harus menunggu kakaknya menikah dulu.” Kata Aqila yang tak difikir dahulu. Memang, karena Nadia belum menikah, jadi pernikahan Aqila dengan Abid ditunda tak tahu kapan akan dilaksanakan.
“Huuussh, Aqila… Sejak kapan kamu mulai durhaka dengan kakakmu.” Kata Ibu Nadia memarahi Aqila. Nadiapun hanya tertunduk.
“Maaf ya, Mbak. Bukan maksud Aqila. Aqila cuma bercanda.” Tutur aqila menyesal.
“Eh, Azka. Kamu mau apa tidak dengan teman Mas Andi? Dia orangnya Sholeh banget, pinter, sekarang dia sudah jadi PNS.” Kata Andi yang memang terlanjur terbiasa memanggil Nadia dengan nama depannya Azka.
“Iyaa kalau orangnya mau sama saya, Mas. Kalau tidak?” Jawab Nadia tertunduk murung.
“Tenang aja, Azka kan kece bingit, laki-laki mana yang mau nolak? Kalau Azka mau secepatnya biar Mas Andi yang mengatur pertemuan antar 2 keluarga. Agar langsung lamaran” Jelas Andi.
“Baiklah. Demi Dek Aqila, Ibu, dan Allah. Semoga dia benar-benar jodoh Nadia, ya Mas.”
“Amiinn… Alhamdulillah, Kita kesini ada manfaatnya ya Mah…” Tutur Andi kepada Istri dan Ibunya.
Hari yang dinantikan datang menyapa. Menyapu kesedihan dan ketidak pastian hati, terutama hati Nadia. Pertunangan Nadia akan segera dilaksanakan, tanpa Nadia ketahui siapa calonnya. Nadia percaya seratus persen kepada Andi, bahwa calonnya benar-benar baik untuknya. Dan Entah angin dari mana, ada sebuah kekuatan untuk yakin bahwa kali ini adalah benar-benar jodohnya. Mungkin Mas Davis, Alm. Izar dan Hanif hanyalah cobaan dalam asmara Nadia, dan kali ini mungkin yang sebenarnya.
“Assalamu’alaikum, kalau boleh tahu yang nama Azka yang mana?” Tanya seorang lelaki yang mungkin, lelaki yang kan melamarnya.
“Wa’alaikumsalam, iya saya Azka Nadia, Mas.” Jawab Nadia sembari menoleh ke lelaki itu. “Hanif?” Nadia terkejut.
“Nana? Bukannya kamu telah menikah dengan Izar?” Hanif juga ikut terkejut.
“Bukannya, kamu juga telah menikah?” Kata Nadia juga heran. Setelah hening beberapa saat, mereka tertawa ringan bersamaan.
“Izar meninggal dunia setelah enam bulan koma dari kecelakaan saat menuju tempat pernikahan kami.” Lanjut Nadia.
“Innalillahi wa innalillahi roji’un. Kalu Indah calon istriku, dia malah kabur dengan lelaki pilihannya.”
“Hehe… Semoga Maaas Hanif adalah jodoh Nadia.” Ujar Nadia tersipu malu.
“Iya, semoga Nadia adalah jodoh Mas Hanif.” Ujar Hanif meneruskan.
“Lho, kalian sudah saling mengenal?” Tanya Ibu Hanif. Merekapun menunduk malu.
Bagaikan kegua merpati yang terbang beriringan, kedua pasangan serasi itu segera dinikahkan saat itu juga dengan mas kawin seadanya yaitu Al-Quran yang tengah Hanif bawa saat perjalanan. Karena memang belum ada persiapan, dan tidak pernah menyangka jika pernikahannya langsung dilaksanakan.
Desiran lembut pasir pantai tertiup angin maka terkuaklah sebuah kerang yang bersembunyi, dan kerang itu menyimpan mutiara yang mendamaikan hati. Begitu pula dengan takdir Allah AWT, tidak ada yang pernah menduga dan menyangkanya. Terkadang pasir yang delap menyimpan suatu yang berharga. Dan jikalau jodoh pastilah tak akan bertemu di pelaminan. J
Latar Belakang Pengarang
Hai, pembaca cerpen setiaku (hehe, ngarep). Perkenalkan, namaku Tia Pratiwi. Baru lulus dari SMK Negeri 1 Purwodadi.
Ngomong-ngomong soal cerpen yang aku tulis kali ini. Ini adalah narasi dari sebuah kisah cinta sederhana yang berasal dari pengalaman pribadiku, walau sebenarnya ada yang aku karang sedikit, sih.. Hehe, agar ada kesan dramanya gitu.. Ahihihi… Tapi sebagian besar itu asli dari kisahku. Soal nama-nama tokoh, itu ada yang Asli dan ada yang namanya aku samarin. Hehe… Terbuka sih terbuka, tapi privasi juga tetap harus di jaga.
By the way, aku juga punya hobby lhooo… Mau tahu nggak? Hobbyku termasuk bejibun, sih…
1. Menulis cerita, entah itu novel atau cerpen maupun puisi, yang penting nulis.
2. Membaca, kalo menulis tanpa membaca itu bagaikan sayur tanpa garam. Sekarang, bagaimana kita bisa menularkan ilmu dengan menulis jika kita nggak mencari ilmu denga membaca. Yang ada pasti ilmu asal-asalan, hehe..
3. Menyanyi, dulu aku suka menyanyi sejak kelas 2 SD. Saat aku lomba peragawati, dan menang, kemudian aku disuruh menyanyi. Eee, si embak-embak MC berkata kalo suaraku merdu. Dari itulah aku PD untuk bernyanyi. Walau, yang dimaksud merdu adalah merdu yang artinya merusak dunia. -,,-
4. Menari tarian modern, dulu waktu badanku masih langsing. Aku sering ngajarin temen-temen nari, walau dapet imbalan cuma goceng/orang yang aku latih. Tapi sekarang aku udah tobat kok.. hehe, masak udah tobat masih harus pencilakkan.
5. Akting, aku dulu sempet ikut teather dan aku menjadi anak tiri dari Bu. Agnes (Pembina Teatherku). Karena dulu aku di kasih tugas segunung. Membuat naskah sekaligus mentranslatekan ke bahasa Inggris, karena saat itu adalah teather yang mayoritas diikuti dari anak-anak kelas immercy. Setelah itu, bagian nyanyi, MC, pemeran utama dengan dua peran, yang terakhir adalah penata koreo, saat cerita yang kami mainkan bergenre operet.
Itulah hobbyku yang bejibun, simple, tapi bermakna. Walaupun bermakna bagi diriku sendiri sih. Heheh..
Mungkin itu saja dariku, oiya tetep setia untuk menunggu karyaku selanjutnya, ya…. Tangaaaan…..
0 Response to "CERPEN - Benang Pasti Berujung"
Posting Komentar