KUMPULAN CERPEN - KARYA SITI MASRUROH - SEBENING KASIH
Hai Reader setia, kali ini saya akan memposting empat cerpen karya teman kuliahku yang bernama Siti Masruroh. Semoga dapat bermanfaat dan menghibur:
Because Zadiac
(St. Masruroh)
Siang ini panas begitu terik. Anisa dan rahma jalan beriringan pulang ke pondok. Tapi, terlihat kejanggalan di antara mereka berdua. Tak seperti biasanya yang bercanda tawa, tapi kali ini sikap mereka saling dingin. Entah apa yang sedang terjadi di antara mereka berdua.
“Tias...” Anisa memanggil Tias sembari melambaikan tangan.
“Hei, Nis. Aku kira kamu udah pulang.” Tias dan Anisa jalan beriringan sementara Rahma di belakang mereka.
“Tadi aku nyariin kamu, tapi kamu gak ada. Aku kira tadi kamu udah pulang duluan.
“O.. Tadi mungkin aku masih ada di perpus. Nyari-nyari buku.”
Semenjak Tias hadir di kehidupan mereka, Anisa mulai berubah. Padahal Anisa dan Rahma sudah bersahabat sejak kecil, sampai mondok pun di pondok yang sama, seakan-akan tak ingin di pisahkan. Tapi, Rahma tak pernah bertanya kenapa Anisa berubah seperti itu. Dia hanya bersikap dewasa, mungkin Tias bisa membuat Anisa lebih nyaman bersamanya dari pada bersama Rahma.
Tias juga bersikap baik dengan Rahma, tapi kalau Anisa dekat dengan Rahma, Tias seperti jealouse. Akhirnya Rahma yang tidak enak sendiri denganTias, dia mulai agak menjauh.
Suatu hari ketika Rahma lewat didepan kamar Tias, tak sengaja dia mendengar perbincangan Tias dan temennya Laila. Mereka menyebut nama Anisa, sontak dia berhenti. Tapi, Rahma sadar bahwa kalau kita mendengar atau menguping pembicaraan orang lain itu tidak boleh. Apalagi kalau yang di bicarakan itu keburukan orang lain sama saja dengan Ghibah[1].Lalu, Rahma memutuskan untuk pergi saja.
“Ma, aku kasihan deh sama Anisa.” Ucap Laila tiba-tiba saat di kantin sekolah.
“Kasihan kenapa, La?” Tanya Rahma sembari meneguk minumannya.
“Gimana ya ngomongnya.” Laila bingung.
“Maksud kamu apa sich, La? Bikin orang penasaran aja.” Kata Rahma Kepo. “Ngomong aja, dak usah sungkan atau gak enak kayak gitu juga, sama aku biasa aja!”
“Ehm, gini. Aku gak bisa lihat Anissa terus-terusan di manfaatin Tias, Ma. Memang Tias itu temen aku, tapi aku juga kasihan sama Anisa.”
“Aku sebenernya juga merasa gitu sich, La. Tapi, setiap aku mau ngomong atau deket sama Anisa, Tias sepertinya jealouse gituch. Ya... aKu nggak enak sendiri lah.” Jelas Rahma pada Laia.
Suasana jadi hening, mereka berdua saling berfikir bagaimana caranya agar Tias bisa jauh dari Anisa.
“Ya... udah, gini aja. Biar kita tunggu aja sampai Anisa bener-bener sadar.” Kata Laila memecahkan keheningan.
“Tapi, sampai kapan, La? Aku sebagai sahabatnya juga kasihan.” Ucap Rahma haru.
“Sebenarnya ada satu rahasia Tias, Mungkin ini bisa membuat Anisa menjauhi Tias.” Jawab Laila serius.
Lalu Laila menceritakan semuanya kepada Rahma tentang rahasia itu. Setelah mendengar semuanya, Rahma semakin menggebu-gebu ingin menjauhkan Tias dari sahabatnya. Dia benar-benar sudah naik pitam, dia gak akan maafin dirinya bila sahabatnya masih di perlakukan seperti itu, disakiti orang lain.
Anisa duduk menelungkup kepalanya ke kakinya di dekat almari kamar. Rahma dan Laila segera menghampirinya, duduk disamping Anisa.
“Nis, kamu kenapa?” Tanya Rahma dengan lembut sembari memegang pundak Anisa.
Anisa menangis dan semakin terisak-isak seperti menahan luka yang teramat perih. Tiba-tiba dia memeluk Rahma, menangis di pelukan Rahma.Berkali-kali Rahma bertanya kepada Anisa, ada apa dengannya tapi tak kunjung Ia jawab.
“Udah, Ma. Biar Anisa agak tenang dulu. Baru dia bisa ceritain sama kita.” Usul Laila.
“Tapi, aku gak bisa melihat Anisa menangis kayak gini, La. Dari dulu sampai sekarang aku gak pernah lihat dia nangis sampai kayak gini.” Suara Rahma semakin gusar.
Anisa melepaskan pelukannya. “Ma, ternyata kamu benar.” Suara Anisa terdengar parau. “Tias itu gak sebaik yang aku kira, aku udah gak tahan lagi sama dia, dia selalu ngatur-ngatur aku, dia ngatur semua orang di sekitarnya, dia ngatur aku, dia juga selalu ngelupain aku kalau dia udah sama temen-temennya.” Anisa menarik nafas dalam-dalam.
“Nis, aku gak melarang kamu untuk temenan sama siapa saja. Tapi, aku gak pingin kamu Cuma di kayak giniin. Apalagi Tias deketin kamu cuma untuk tujuan tertentu.” Rahma keceplosan.
“Rahma!” Ucap Laila sontak.
“Maksud kamu apa, Ma?” Tanya Laila tak mengerti.
“Gimana nich, La? Tadi aku keceplosan.” Bisik Rahma pada Laila.
“Mungkin, ini sudah saatnya dia tahu, Ma.”
“Tapi, nanti kalau Tias tahu, terus kamu dimarahin gimana?”
“Udah, kamu gak usah urusin itu, sekarang ngomong aja sama Anisa.”
“Kalian, bisik-bisik apa sich?” Tanya Anisa mengejutkan Rahma dan Laila.
“Ehm... gini, Nis. Sebenernya Tias deketin kamu cuma karena dia pingin.....” Tiba- tiba Rahma berhenti.
“Pingin apa?” Seru Anisa.
“Gini, lho nis. Tias deketin kamu bukan karena dia bener-bener pingin jadi temen atau sahabat kamu, tapi dia pingin buktiin kepada orang lain kalau Zodiak Scorpio itu bisa hidup bersama sama Zodiak Aquarius.”
“Maksudnya gimana sich, aku jadi bingung.” Anisa memandang kearah Rahma dan Laila.
“Jadi, dulu aku pernah ngomong sama dia. Waktu aku baca di internet tentang zodiak gituch. Bahwa scorpio itu gak bisa bersama atau menyatu sama aquarius. Walaupun bisa tetapi tetap ada halangan dan cobaan terus-menerus diantara mereka. Itu waktu dia deket sama kamu dan dia cari cowok pun yang zodiaknya scorpio.” Tegas Laila. Anisa tak percaya bahwa kepercayaan dan kasih sayangnya hanya untuk membuktikan hal sepele seperti itu. Ada rasa kesal dan penyesalan yang menyeruak pada diri Anisa.
“Terus?” Anisa ingin tahu semuanya.
“Terus Anisa juga putus sama cowoknya. Kamu itu cocoknya sama Taurus, Nis. Scorpio dan taurus itu pasangan yang cocok.”
“Iya, sich, La. Dulu waktu aku pertama sama Tias dia baik banget, perhatian, dengerin curhatku, ngasih solusi, dia selalu bisa nenangin aku. Tapi semakin berjalan kesini, dia semakin aneh sama aku. Aku ngerasa gak nyambung aja sama dia. Fikiran kita tuch udah gak sejalan lagi dan Rahma maafin aku ya.... Selama ini aku udah ngejauhin kamu, ngejauhin temen-temen sama dia.
“Iya, Nis. Aku juga minta maaf gak bisa jadi kayak Tias yang slalu bisa ngertiin kamu.”
“Gak. Kamu malah yang selalu bisa ngertiin aku. Buktinya kamu rela ngejauhin aku biar aku bisa deket sama Tias.” Anisa memeluk Rahma, mereka menangis terharu.
“Kalian memang pasangan zodiak yang cocok. Satu scorpio dan yang satu taurus. Jangan bertengkar lagi yaa...” Pinta Laila.
Lalu mereka bertiga berpelukan dan akhirnya mereka menjadi sahabat. Anisa juga tak marah kepada Tias, dia masih menganggap Tias sebagai temennya, walaupun dia telah di perlakukan seperti itu. Anisa tidak menceritakan soal kejadian ini sama Tias, cukup dia saja yang tahu. Tapi, dia bahagia bisa kembali lagi dengan sahabat kecilnya Rahma.
Bukan Dia tapi Aku
(St. Masruroh)
Pagi yang cerah, ku buka jendela kamarku. Udaranya begitu segar ditambah kicauan burung dan embun pagi masih menempel di dedaunan. Ah... benar-benar sempurna Tuha mengaturnya.
“Syela... udah siapbelum?” Icha menyadarkanku dari lamunanku.
“Ah... Icha, ganggu kamu, aku lagi nikmati udara pagi ini..” Jawabku agak kesal.
“Ayo... kita berangkat! Nanti kalau ketinggalan gimana?” Icha menarik tanganku.
“Iya... iya... Aku ambil tas dulu. Lagian gak mungkin lah kita ditinggal.” Ucapku santai.
Icha adalah sahabatku sejak kecil, rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Sifatnya yang grusak-grusuk kadang buat aku jengkel dan malu. Tapi, dia tetap sahabat baikku. Selain Icha ada satu sahabat lagi, Noval namanya. Dia baik, perhatian, pinterdan satu lagi ganteng. Tipe semua cewek lah pokoknya, cowok yang perfect deh pokoknya. Pagi ini aku dan temen-temen sekelasku lagi ngadain camping ke puncak. Icha semangat banget, sampai pagi-pagi udah ke rumahku. Ku pakai celana jeans dan kaos panjang berwa biru, syal ku kalungkan dan rambut tergerai panjang ku, ku ikat seadanya. Benar-benar simpel kan... berbeda dengan Icha, walaupun orangnya grusak-grusuk tapi penampilannya tetap yang utama. Banyak yang bilang kami seperti langit dan bumi.
Semua telah berkumpul, tapi rasanya ada yang kurang. Ku lihat kesana-kesini, ternyata benar aku tak melihat Noval diantara kami.
“Cha... Noval gak ikut, ya?” Tanyaku pada Icha.
“Eh... Iya, dari tadi aku juga gak lihat dia.” Icha melihat diantara gerombolan teman-teman.
“Dia, gak ngomong sama kamu, Cha?” Aku agak cemas.
“Nggak, Syel.. Lagian kamu kenapa sich, tanpa Noval kita juga tetep berangkat kan. Ha... kamu takut ya kalauNoval gak ikut. Cie... cie..” Goda Icha.
“Ih... Apaan sich, Cha. Ya nggak lah, cuma gak biasanya aja dia gak ikut. Dia kan aktif banget kalau ada kegiatan di sekolah.” Jawabku geragapan, tapi aku coba meyakinkan Icha kembali.
“Kalau dipikir-pikir, kamu bener juga sich, Syel. Kita tunggu aja dulu dech.”
Semua barang-barang telah masuk ke bagasi, sebagian siswa juga udah naik ke bis. Tapi masih ada yang di luar bis, termasuk aku dan Icha. Aku semakin gelisah, tapi ku sembunyikan kegelisahanku dari Icha. Mungkin Noval bener-bener gak ikut, akhirnya aku dan Icha memutuskan untuk naik ke bis.Dan tiba-tiba.. “Icha, Syela..” Noval berlari menghampiri kami.
“Noval, ki kira kamu nggak ikut, tadi macet di jalan.” Jawab Noval agak terengah-engah.
“Ow... ya, udah, masuk yuk!” Ajak Icha.
Icha dan aku duduk bersebelahan dan Noval duduk di kursi sampingku.Di dalam bis mereka ramai sekali, ada yang asyik cerita, ada yang makan, ada yang main hp, dan dibelakang ada juga yang lagi nyanyi-nyanyi sambil gitaran. Aku gak suka ramai, sebenarnya aku juga males ikut-ikut acara kayak gini. Aku ikut karena Icha yang maksa, ku pasang headsheet di telingaku sembari membaca buku yangku bawa. Benar-benar hal ku sukai, dari pada ramai atau cerita-cerita. Aku memang orang yang pendiam diantara teman-temanku dansuka banget bacabuku.
Akhirnya setelah seharian di dalam bis, sampai juga di puncak. Mentari masih sembunyi di balik kabut, angin berhembus dingin menemaninya. Huh... sungguh pemandangan yang membuat ku bersyukur kepada Tuhan. Meskipun dingin tak membuat kami tak ingin menikmatinya. Kami semua berbaur keluar, sementara Icha sibuk slfi-selfi, aku putuskan buat jalan-jalan dan melihat-lihat pemandangan di sekitar kebun teh.
“Mau kemana neng gelis, kok sendirian?” Tanya seorang pemetik teh.
“Eh... nggak kemana-mana buk, Cuma jalan-jalan aja. Saya gak sendirian, temen-temen saya di bawah.” Jawabku sembari melihat bagaimana cara memetik teh.
Gara-gara asyik mengobrol sama ibu itu, aku sampai lupa kalau aku belum mendirikan tenda. Tiba-tiba hpku bunyi, “Syel, kamu dimana? Temen-temen sudah selesai mendirikan tenda nich...” Pesan singkat dari Icha. Ah... rasanya masih pingin ngobrol-ngobrol lagi sama ibu itu, tapi tak apalah. Dari ibu itu, ku tahu bahwa didekat sini ada air terjun, ingin aku melihatnya. Tapi, aku tak ingin membuat Icha dan temen-temen khawatir, ku putuskan kembali dulu ke tenda. Ku ceritakan semua pada Icha, aku ingin mengajaknya ke tempat air terjun itu. Icha setuju banget.
Kini sang mentari telah bergeser ke barat mempersilahkan sang rembulan menggantikannya, menerangi bumi dari gelapnya malam.
“Hei, Syel... serius amat.” Noval mengejutkan ku dari belakang.
“Ah... kamu, Val. Bikin orang jantungan aja. Nggak... ini lagi nikmatin aja pemandangan malam ini. Keren ya? Pingin rasanya jadi bulan biar bisa menerangi bumi. Karena bulan buat aku kagum pada penciptanya.” Ku pandangi bulan tanpa rasa bosan.
“Oh.. so sweet.” Goda Noval buat aku jadi salting.
“Males dech, ngomong sama kamu. Orang ngomong serius kok, kamu malah gituch.” Ku palingkan wajahku ke langit.
“Ih... ngambek, masak dewi malam ngambek. Nanti cahayanya redup lho... terus gak bisa nyinari aku dech.” Gombal Noval.
“Apaan sich, Val. Siapa yang ngambek.” Noval benar-benar buat aku salah tingkah kalau di dekatnya.
Noval dipanggil Icha, dia menyuruh kami ikut gabung temen-temen di dekat api unggun. Tapi, aku lebih suka menyendiri menikmati rembulan malam ini. Kulihat Icha menggandeng tangan Noval dan duduk di sampingnya, mereka seperti sepasang kekasih. Entah mengapa Noval bisa begitu dekat dengan Icha, berbeda dengan diriku. Kadang sikap mereka berdua buat aku jealouse. Tapi, aku sembunyikan rasa itu.
Pagi ini tak secerah kemarin, setelah sarapan aku tetap ingin ke tempat air terjun itu. Ku lihat dari kejauhan Icha dan Noval jalan-jalan berdua, mereka bercanda tawa. Tak hanya itu mereka juga foto-foto bersama. Iri rasanya melihat kedekatan Noval dengan Icha, tapi aku bukan siapa-siapanya Noval, mungkin juga karena Icha lebih cantik dan dia hanya menganggap aku sahabatnya, ku sadari itu. Ku putuskan ke tempat air terjun tanpa Icha, aku tak ingin mengganggunya. Ku raih hp dan camera digitalku. Aku bergegas pergi, sengaja nggak pamitan dulu sama Icha dan Noval.
Ku menyusuri jalan di kebun teh yang terbentang luas. Tapi, belum juga ku temui tempat air terjun itu. Ku lanjutkan lagi langkahku. Aku mulai mendengarsuara gemericik air. Aku yakin kalau air terjun itu pasti gak jauh dari sini. “Wow... benar-benar sempurna, gak nyesel aku dari tadi jalan jauh banget, ditambah jalannya banyak batunya.” Kagumku melihat pemandangan di dekat air terjun itu. Tak ingin ku sia-siakan kesempatan ini, ku raih kamera digitalku, ku foto setiap sudut tempat itu, tak sabar rasanya nunjukkin semua ini sama Icha dan Noval.
Hari semakin mendung, segera ku kembali ke tenda. Tapi, karena aku terlalu terburu-buru, tak ku perhatikan setiap celah bebatuan di air terjun itu dan kaki ku tergelincir. Aku jatuh, ku coba teriak minta tolong tapi tak kudapati seorangpun di sekitar air terjun itu. Ku coba menghubungi Icha, tapi hpku lobet. Untung saja hpku masih bisa ku gunakan.
“Hallo... Cha, tolongin aku, Cha.”
“Syel, kamu kenapa? Kamu dimana sekarang?!” Tanya Icha khawatir.
“Cha, aku didekat air terjun, cepetan kesini!” Pinta ku.
“Oke... Oke... Sekarang kamu tunjukkin dimana tempat air terjun itu, kita akan segera kesana.”
“Tempatnya ada di...” Tiba-tiba hpku mati. Aku gak tahu harus gimana lagi. Aku sudah gak tahan lagi, kakiku gak bisa digerakkan sama sekali. Langit semakin mendung, tapi mereka tak kunjung datang. Aku pasrah. Gerimis pun mulai jatuh, ku lepas jaketku kugunakan untuk berteduh. Gerimis semakin deras, udara pun semakin dingin membuat tubuhku menggigil. Samar-samat ku lihat ada orang datang, mungkin itu temen-temenku fikirku.
“Syela... Ya Allah, Syel kamu gak papa?” Ica memelukku. Ku gelengkan kepalaku dan ku sandarkan tubuhku ke Icha. “Cha... Dingin...” Ku meringis kesakitan.
“Pakai ini, Syel.” Noval melepas jaketnya, kulihat ke arahnya, mata kami saling bertemu, tak kuasa ku melihat matanya yang memberiku keteduhan. Ku palingkan pandanganku ke sudut lain.
Icha mengajak kami ke tenda, tapi kakiku tak bisa di gerakkan sama sekali. Tiba-tiba Noval mendekatiku dan menggendong tubuhku, aku tak bisa menolaknya. Samar-samar ku lihat Noval, lalu semuanya menjadi gelap dan setelah itu aku gak tahu lagi apa yang terjadi.
Kepalaku terasa sakit dan aku sudah ada di tenda. Icha dan Noval duduk disampingku. “Syela... kamu sudah sadar?” Tanya Noval khawatir, lanjutnya “Syel, kenapa kamu gak ajak aku atau Icha?”
“Aku gak mau ganggu kalian.”
“Ganggu... maksud kamu apaan sich, Syel.” Tanya Icha tak mengerti.
“Waktu aku mau berangkat, ku lihat kalian masih asyik foto-foto, aku nggak mau ganggu dan bukankah kamu itu suka sama Noval?” Tanyaku ragu.
“Ya... Ampun, Syel. Jadi kamu cemburu, pantes kalau setiap aku deket sama Noval kamu gak pernah gabung.”
Ku lihat Noval tersenyum kecil, “Kalian serasi. Kamu cantik dan Noval ganteng. Kamu idola cowok-cowok di sekolah, begitu pula Noval.”
“Asal kamu tahu ya, Syel. Noval itu tadi khawatir banget sama kamu. Aku sama dia Cuma sahabat, kita sahabat. Kemarin malam waktu kamu sendirian di batu besar itu. Dia menghampiri kamu kan, dia pingin nemenin kamu, tapi karena aku ajak dia gabung ke temen-temen dia gak bisa nolak, karena dia gak enak sama anak-anak yang lain. Tapi, aku tahu kalau dia perhatiin kamu terus, iya kan Val?” Icha menjelaskan kepadaku.
“Iya, Syel. Semua yang diomongin Icha itu bener, terus aku juga nyuruh Icha buat maksa kamu ikut acara ini, Syel.”
“Kamu yang nyuruh Icha?” Aku semakin gak ngerti.
Tiba-tiba Icha keluar dan meninggalkan kami berdua di dalam tenda. Sejenak suasana menjadi hening. “Syel, mungkin ini sudah waktunya.” Ucap Noval tiba-tiba.
“Maksud kamu apa, Val?” Tanyaku.
Noval memegang tanganku “Syel... sebenernya dari dulu aku tuch.... ehm... sukasama kamu.”
“Suka sama aku?..... Tapi, bukannya kamu deket sama Icha. Terus kayaknya kamu juga cocok kok sama dia. Dia cantik dan kamu ganteng. Dia feminim, gak kayak aku.
“Syel, asal kamu tahu. Aku nggak suka sama cewek yang kayak gituch. Aku suka kamu apa adanya, kamu gak perlu jadi Icha biar bisa deket sama aku. Cukup jadi diri kamu sendiri. Cinta yang baik itu bukan saling menuntut dan merubah pasangannya. Tapi bagaimana mereka bisa saling melengkapi dan memperbaiki pasangan mereka. Nah, sekarang kamu ngerti kan.... kamu gak perlu jadi siapa-siapa. Cukup jadi Syela.” Noval mengelus rambutku dan ku anggukan kepalaku.
“Cie... cie.... ehm-ehm... ada yang lagi jadian nich...” Goda Icha tiba-tiba masuk ke tenda dan temen-temen yang lain yang ternyata juga ada di luar.
“Ah, jadi ngiri nich.” Kata temenku yang lain.
“Apaan sich, gak kok.” Aku ngeles.
“Kalau iya kenapa?” Ucapan Noval membuat aku jadi salting di depan temen-temen.
“Noval!” Ucapku ketus.
Tiba-tiba Noval merangkul pundakku.”Aku sayang kamu.” Bisiknya padaku.
“Cieeee.....” Mereka bersorak.
Semua seperti mimpi bagiku dan kini itu menjadi kenyataan terindah yang tak mungkin bisa ku lupakan.
Dibalik Rencana Tuhan
(St. Masruroh)
“Berapa kali kamu merokok?!” Tanya ustadz ketus.
Aku tak menjawab, kutundukkan kepalaku dalam. Tak sekalipun aku berani menatap ustadz.
“Zaki, jawab!” Ujar ustadz lagi tambah keras “Sudah berapa kali kamu melanggar aturan pondok?! Masih kurang ya... rupanya hukuman dari pengurus? Sebentar lagi orang tuamu akan kemari!”
Aku terbelalak, terkejut mendengar itu. “Apa?! Ku mohon ustadz jangan panggil orang tuaku.” Ku memohon pada ustadz, namun ia tak perduli.
Tak selang berapa lama terdengar ketukan pintu “Tok.. tok.. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam..”
Sementara itu ustadz mempersilahkan duduk, semakin ku tenggelamkan kepalaku dalam. Pikiranku kalang kabut. Entah siapa yang datang akupun tak berani melihatnya & orang itu duduk disampingku.
“Jadi begini... Pak, Zaki sudah berulang kali melanggar aturan pondok, mulai dari bolos sekolah, keluar tanpa izin, berkelahi, dengan temannya, mencuri & kali ini benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi, semalam dia merokok. Sudah berbagai macam hukuman kami berikan, tapi Zaki masih saja tidakjera. Jadi kami dari pihak pondok akan menyerahkan Zaki kembali pada bapak.” Kata ustadz pada bapak.
Bapak tidak lansung menjawab, kudengar hembusan napas yang menyesakkan dari bapak. Entah, apa yang bapak rasakan saat ini, sepertinya bapak menahan rasa sakit teramat di relung hatinya.
“Sebelumnya maaf ustadz, apakah benar-benar sudah tidak ada toleransi lagi untuk anak saya, Zaki. Sungguh saya sebagai bapaknya masih ingin dia dipondok. Saya masih ingin dia belajar ilmu agama lebih dalam lagi.” Suara bapak terdengar parau.
Aku benar-benar merasa bersalah pada bapak, suasana menjadi hening.
“Maaf pak, kami benar-benar tidak bisa...” Lanjut ustadz lagi. “Sebenarnya Zaki anak yang berprestasi walaupun dia bandel, dari kelas satu dia selalu tiga besar, di pondokpun sama. Namun, ini sudah konsekuensi dari pondok pak. Memang sayang sebenarnya anak seperti Zaki keluar dari pondok...” Kata ustadz kecewa.
“Sebenarnya tidak semua kesalahan Zaki ustadz...” Kata bapak tiba-tiba, sembari menarik napas dalam-dalam.
“Maksud bapak apa?” Ustadz mengernyitkan alisnya keheranan.Begitupula dengan diriku, aku tak mengerti dengan apa yang dimaksud bapak.
“Sebenarnya Zaki anak yang baik, saya baru sadar semenjak saya sibuk bekerja, saya jarang menjenguknya, jarang menasehatinya... karena, saya ingin mencukupi kebutuhan lahirnya. Hingga saya lupa kebutuhan batinnya.”
Kulihat bapak, kumenatap wajah keriputnya yang penuh goresan luka hidup. Ku lihat mata bapak berkaca-kaca, namun bapak mencoba menahan agar tidak tumpah.
“Saya... merasa Zaki mulai berubah semenjak ibunya sakit & saya sibuk dengan dengan pekerjaan saya, sibuk mengurusi ibu & adiknya. Sehingga saya melupakan Zaki...” Bapak tak mampu membendung air matanya lagi, suaranya menjadi terbata-bata. Airmata yang kutahan dipelupuk matakupun ikut jatuh, aku tank menyangka bapak ternyata masih memikirkan masa depanku, walau dia terlihat tidak perduli denganku.
“Jadi, maksud bapak Zaki berubah karena kurang kasih sayang?” Tanya ustadz.
“Ya...Ustadz, jadi saya mohon supaya Zaki diberi kesempatan lagi untuk tetap dipondok.” Pinta bapak dengan segala kerendahan hatinya didepan ustadz.
Ku lihat ustadz, dia tampak mempertimbangkan permintaan bapak kali ini. “Baik, saya akan beri kesempatan Zaki, tapi dia harus benar-benar bisa berubah!” Ustadz menatap kearahku, kutundukkan kepalaku. Aku malu dengan ustadz dan bapakku.
Kupegang tangan ustadz, kucium tangan kanannya, “Terimakasih, ustadz... Terimakasih banyak, Zaki janji Zaki akan berubah. Sekarang Zaki sudah sadar dan Zaki janji pada bapak, Zaki akan membuat bangga bapak.” Kulihat bapak menangis haru mendengar ucapanku, tiba-tiba bapak memelukku. Sebenarnya aku malu dengan ustadz, tapi aku juga tak bisa menolaknya. Akupun menangis dipelukan bapak, “Aku berjanji, pada diriku sendiri mulai sekarang dak ada Zaki yang bandel lagi. Tapi, Zaki yang berprestasi, Zaki janji pak. Zaki janji akan membuat bapak dan ibu bangga.” Gumamku.
Setelah kejadian ini gak ada lagi yang ku sia-siakan, apalagiSekarang aku sudah kelas tiga SMA. Waktu begitu berharga bagiku, tak ada lagi waktu untuk main-main. Waktu istirahatpun kugunakan untuk belajar malam juga kugunakan untuk belajar setelah kegiatan pondok selesai pukul 22:00 WIB – 23:30 WIB dan aku bangun pukul 02:30 WIB aku sengaja bangun lebih awal dari teman-temanku. Langsung kuambil wudhu dan sholat tahajud, kuselalu berdoa agar Allah segera menyembuhkan ibu dan melancarkan rizki bapak. Aku meminta kepada Allah agar diberi ilmu yang bermanfaat tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat nanti. Karena aku yakin dengan ilmulah kita dihormati orang, dan dengan ilmulah yang akan menyelamatkan akudan keluargaku di akhirat nanti.
Tak hanya itu aku juga sering puasa sunnah, ini kulakukan semata-mata hanya untuk mendapatkan pahala. Tapi juga untuk mengurangi pengeluaranku. Bapak mendapatkannya dengan susah payah, aku tak ingin membuangnya dengan sia-sia saja. Uang itu aku simpan sebagian, ingin kugunakan untuk berobat ibu dan aku ingin meringankan beban bapak yang semakin tua.
Hari ini adalah ujian sekolah yang pertama, kemarin bapak menjengukkun dengan adikku “Aisyah”. Bapak memberiku motivasi dan semangat dalam mengerjakan ujian. Aku janji dengan bapak tidak akan mengecewakannya lagi.
“Zaki... Bapak yakin kamu bisa mendapatkan nilai yang baik. Kamu anak bapak yang pintar, berikanlah hasil itu pada ibu. Mungkin ibu akan bahagia sekali, karena bapak sudah tidak bisa membahagiakan ibumu lagi nak.” Bapak sembari menyeka air matanya.
“Maksud bapak apa?” kulihat wajah bapak dan Aisyah tiba-tiba menjadi sedih
“Kemarin dokter bilang kalau ibu harus dioperasi, nak...”
“Apa?! Dioperasi,memang ibu sakit apa pak?”
“Ibumu...terkena Kanker otak, nak...dan bapak gak punya uang buat operasi ibumu.” Tegas bapak.
“kanker otak, pak? Astaghfirullah hal ‘adhim...” Aku terkejut, aku tak menyangkanya. “Ya Allah cobaan apalagi ini.. Ya Allah berilah kami kekuatan.” Do’aku dalam hati. Kupeluk Aisyah dan bapak untuk menguatkan mereka.
“Kalau ibumu tidak dioperasi, mungkin...” Tambah bapak lagi. “Mungkin gak akan tertolong lagi.”
“Aisyah gak mau ibu mati...Aisyah gak mau kehilangan ibu,mas.” Kata Aisyah dengan polos.
Aku tak tega melihatAisyah menangis seperti itu,aku tak ingin dia menjadi anak yatim. Dia masih terlalu, lalu kupeluk dia dan kucoba menenangkan dia. “Sudah jangan nangis Aisyah. Mas janji, mas akan cari uang buat operasi ibu dan kita gak akan kehilangan ibu. Nah...adik mas yang cantik gak boleh nangis lagi, sekarang yang pentig kamu harus bisa merawat ibu, ya Aisyah?” Kataku untuk menghibur Aisyah.
“Iya mas...Aisyah janji akan menjaga dan merawt ibu.” Ucapnya tulus.
“Zaki, kamu gak usah memikirkan soal biaya operasi ibu, yang penting kamu belajar yang bener.”
“Tapi, pak...” Kucoba menyakinkan bapak tapi, bapak masih kekeh dengan ucapannya tadi.
Ujia berlangsung dengan hikmat. Aku masih memikirkan keadaan Ibu. Pikiranku kalang kabut entah kemana, kucoba untuk memfokuskan fikiranku. Begitu berat rasanya hidup ini, tapi aku harus memberikan yang terbaik untuk bapak dan ibu.
Setelah selesai ujian kusempatkan untuk pulang kerumah walau hanya satu hari. Aku hanya ingin memastikan keadaan ibu, aku gak bisa juka hanya mendengar keadaan ibu dari bapak. Setelah seharian di perjalanan,kini aku sampai di kampungku di suka bumi. Rumah tampak sepi, pasti bapak lagi kerja dan aisyah sekolah. Aku langsung ke kamar ibu, kulihat dari ambang pintu ibu terbujur lemas diatas kasur dengan selimut seadanya. Kuberjalan kearah ibu. Ku berjalan kearah ibu, ku duduk disamping ibu yang masih tertidur. Aku tak kuat melihat keadaan ibu yang seperti ini, ibu terlihat kurus sekali. Ibu terbangun, segera kuseka air mataku. Ku salami dan ku cium tangan kanan ibu, ku cium lama sekali. Tiba-tiba tangan kiri ibu mengelus kepalaku, aku tak kuat lagi ku menangis sesegukan. Begitupula ibu, dia juga menitihkan air matanya.
“Zaki... Ibu nggak apa-apa, kamu gak usah khawatir. Ibu seneng sekarang kamu sudah berubah.” Ibu menyunggingkan senyuman walau di adalam keadaan sakit seperti itu.
“Iya... Bu, Zaki janji sama ibu Zaki akan bantu bapak cari uang buat operasi ibu. Zaki gak akan biarkan ibu terus bergelut dengan sakit ini. Zaki janji...” Yakin ku pada ibu. Ibu menangis tapi tergurat kebahagiaan diwajahnya.
Setelah bapak pulang, ku ajak bapak diteras ku serahkan uang simpananku. Walau tak seberapa ku harap ini dapat membantu bapak, bapak tak langsung mengambilnya. Dia memandangku sesaat,lalu memelukku dan menepu-bepuk pundakku. “Bapak bangga, nak sama kamu. Sekarang kamu sudah dewasa. Bapak bangga...” Sanjungnya untukku. Aku dan bapak kembali kedalam kusalami dan kupeluk ibu dan Aisyah, aku pamit kembali ke pondok. Dengan berat hati kutinggalkan ibu, bapak dan Aisyah mengantarku sampai depan pintu. Ku lambaikan tangan pada mereka.
Kini setiap pagi dan siang kugunakan untuk bekerja. Aku kerja serabutan di perumahan dekat pondok. Pekerjaan apapun kulakukan, demi mengumpulkan biaya operasi ibu. Kadang badan terasa amat lelah, ingin ku istirahat setelah bekerja. Tapi, aku ingat pesan bapak aku harus tetap belajar, itu yang harus diprioritaskan.
Tak sabar ku menunggu hasil pengumuman yang akan diumumkan dua hari lagi. Segera kutelfon bapak, memberi tahu kalau bapak harus mengambil hasil ujianku. Tapi, bapak tak bisa. Dia tak bisa meninggalkan ibu sendirian, bapak juga menyuruhku untuk segera pulang tiba-tiba. Ku bilang pada bapak bahwa aku tak bisa pulang sekarang. Aku akan pulang setelah hasil ujianku diumumkan.
Hari ini ku sangat bersemanga, ku kemasi barang-barangku tak luooa ku belikan oleh-oleh untuk Aisyah dan ibu. Ku ambil uang simpanan yang sudah ku kumpulkan selama ini ternyata lumayan juga, ku masukkan di dompet ku simpan di tas dengan baik. Lalu segera ku siap-siap ke sekolah. Ku menemui Pak Irsyad, kepala sekolah ku. Ku minta izin untuk mengambil pengumuman ujian sendiri, kuberikan alasannya. Ku buka amplom dengan perasaan berdebar-debar, teman-temanku ikut bergerombol ingin melihatnya, “Ayo... ki, buka amplopnya.” Usul temanku tak sabar. “Gimana... gimana, ku lulus gak?” Tanya salah satu temanku lagi.
“Yah... Kalau Zaki pasti lulus lah.” Kata sahabat karibku Ismail.
“Alhamdulillah...” segera ku sujud syukur, aku lulus. Kami bersorak-sorak gembira, segera kulihat nilai-nilai di papan pengumuman. Ku cari namaku, Muhammad Zaki Fadhilah. Dan.... tak kusangka aku berada diurutan nomor satu dari seratus lima puluh siswa. Semua teman-temanku memberi ucapan selamat padaku. Tak sabar rasanya ingin segera pulang, memberikan hasil ini pada ibu.
Ku gendong tas ranselku. Aku pamit dengan Ismail dan teman-teman sekamarku. Mungkin aku akan pulang untuk waktu yang lama atau mungkin tak kembali lagi. Berat rasanya meninggalkan mereka, apalagi sahabatku Ismail yang selalu membantuku selama ini. Menjadi tempat berkeluh kesahku, juga menjadi keluargaku sendiri.
Dari jalan kulihat banyak orang dirumahku, tambah lagi tertancap bendera kuning di depan rumah. Tiba-tiba saja ku teringat dengan ibu, ku percepat langkahku. Ku dengar banyak orang membaca surat Yasin dan ku dengar tangis Aisyah menderu. Aku berlari ke dalam rumah dan apa yang ku lihat “Innalillahiwa innailaihi roji’un...” Ku jatuhkan tas ku, kakiku terasa lemas aku duduk di dekat Aisyah yang menangis memeluk jasad ibu. Tak kuat ku membendung air mataku, ku buka kainnya dan ku lihat wajah ibu. “Ya... Allah, Ibu.. Ibu, Zaki pulang untuk memberi kejutan kepada ibu. Tapi, kenapa... kenapa ibu pergi tanpa pamit dengan Zaki, bu? Zaki bawa uang buat ibu dan Zaki dapat ranking satu, bu... Zaki berhasi bu... Ibu... “ Ku tunjukkan kertas pengumuman hasil ujian pada ibu dan kupeluk ibu, tapi semua hanya sia-sia. Bapak mendekatiku dan mengelus-elus pundakku. “Sabar... nak, sabar. Istighfar!” Bapak menguatkan aku.
Ku peluk bapak, ku tumpahkan semua tangis dan penyesalanku. Tapi, aku harus kuat dan mengikhlaskan semuanya, ini demi Aisyah dan bapak.
Seindah Pelangi Seusai Hujan Reda.
(St. Masruroh)
Senja menyapa di pantai selatan, matahari serasa mengambang diatasnya. Sinar cakrawala menyorot ke langit biru begitu indahnya. Memanjakan dua kornea mata, terasa tak ingin berpaling darinya. Begitulah yang dirasakan. Hanya dikala senja datang. Gadis cantik berjilbab itu tidak pernah melewatkan senja di pantai walau satu hari pun. Karena semua itulah yang membuat takjub kepada penciptanya. Waktu yang selalu digunakan untuk merenungkan akan segala yang Ia lakukan hari itu, membuatnya terasa semakin begitu dekat pada penciptanya.
“Mbak... Mbak Hanif Ayo pulang, dicariin ibu tuch...” Teriak seorang gadis cantik diseberang jalan membuyarkan lamunannya.
“Iya sebentar...” Jawab Hanif dengan suara keras pula.
“Ah, mbak selalu lupa semuanya kalau lagi di pantai.” Ucap gadis itu sembari menghampiri Hanif.
“Ya... yaaa... Shi... Ini mbak pulang.” Hanif berdiri mendekati gadis yang dipanggilnya Shi itu, sembari menggandeng tangannya.
Shi adalah nama panggilan untuk adiknya, sayangnya dia gak seperti Hanif kakaknya. Shi gak suka pakai jilbab, bikin gerah dan panas katanya. Shi selalu bertanya kepada Hanif “Kenapa dia selalu suka di pantai di waktu senja?” Tapi Hanif tak pernah memberi tahukan alasannya kepada Shi.
Semenjak ayah mereka meninggal enam bulan yang lalu, Hanif tak kembali lagi di pondok. Dia memilih membantu ibunya berjualan kue dan aneka makanan ringan di rumah dan ingin meringankan beban ibunya itu alasannya. Padahal, sebenarnya ia masih ingin kembali ke pondok.karena ada alasan lain yang membuatnya berfikir dua kali untuk kembali ke pondok. Hanif begitu menyayangi Shi, walau kadag Shi menjengkelkan. Kadang Hanif butuh teman untuk curhat,dia gadis yang pendiam. Di kala dia merasa kesepian dia rindu akan suasana dan teman-temannya di pondok, hingga membuat butir-butir aair matanya menetes, walau kadang di pondok juga membuatnya lelah akan semua kegiatan yang harus dilakukan, belum lagi jika ada masalah dengan teman-temannya. Tapi, selalu ada teman yang lain yang menghiburnya, walau sekedar hanya untuk cerita. Namun, itu semua bisa meringankan semua beban itu. Ah... Aungguh indah masa-masa itu. Ingin Hanif rasanya mengulangnya kembali. Tapi, kini semua itu hanya tinggal kenangan.hanif tak pernah bercerita kepada orang lain tentang semua masalahnya, karena dia tak ingin membebani orang lain. Walau kadang dia gak kuat harus memendam itu sendiri, kadang dia hanya cerita dengan sahabat di pondok yaitu Alvi dan dengan ayahnya. Dan kini ayahnya sudah tidak ada. Dia suka menulis semua masalah yang dialaminya di kertas lalu menaruhnya di botol dan di hanyutkan di laut bebas. Menurutnya itu sedikit mengurangi bebannya. Selain itu dia juga sering curhat dengan Allah dengan keheningan malam.
Di ruang tengah.
“Bu.... Shi boleh minta sesuatu gak?” Shi mendekati ibunya.
“Minta apa?” Tanya ibu sembari menyiapkan kue-kue yang akan di jual.
“Ehm, Shi pingin ngelurusin rambut, Bu. Boleh gak?” Ucapannya manja.
“Apa?!” Kata ibu dan Hanif serempak. “Maksud kamu, kamu mau boanding rambut gituch? Gak... gak boleh, Shi!” Lanjut Hanif ketus.
“Tapi, kan mbak... Shi malu punya rambut keriting. Gak ada cewek yang suka sama rambut keriting, Mbak.” Jawab Shi.
“Kalau kamu malu, ya.... pakai jilbab! Gampang kan, Shi?” Suara Hanif agak memelan.
“Apa? Pakai jilbab. Gak, Shi gak mau pakai jilbab, bikin gerah aja. Lagian kenapa sich, mbak sewot banget.” Ucap shi sebel.
“Udah... udah, ya... kapan-kapan aja Shi, kalau ibu udah punya uang. Yang penting kamu sekolah yang benar dulu!” Tegas ibu untuk mendamaikan mereka.
“Ibu.... Shi tuch udah gede’, jangan di manjain terus.” Pinta Hanif pada ibunya.
“Apaan sich mbak. Gak usah propokator dech. Kenapa sich sekarang mbak berubah, apa mbak sekarang gak sayang lagi sama Shi? Iya kan, Mbak.... Shi benci sama mbak, Shi gak suka di kekang!” Kata Shi ketus sembari berlari ke kamarnya.
Kata Shi barusan benar-benar membuat Hanif terkejut. Dia tak menyangka adik yang dia sayangi akan berkata seperti itu. Membuat hatinya terasa sakit.
“Hanif....” Panggil ibu menyadarkannya dari lamunannya. “Kamu gak papa?” Tanya ibu dan Hanif hanya menggelengkan kepalanya.
“Udahlah, Nif. Kita turuti saja kemauan Shi. Ibu tahu kamu gak pingin Shi kayak temen-temennya yang lain. Tapi anak-anak seusianya masih labil dan gak suka di atur-atur. Ibu cuma takut, dia ngelakuin suatu hal yang nekat. Kamu lihatkan tadi?” Ibu mencoba menenangkan Hanif.
“Iya, Buk. Tapi....” Ucap Hanif tiba-tiba berhenti.
“Sudahlah, kita berikan dia pengertian sedikit demi sedikit.” Suruh ibu kepada Hanif.
“Shi benci sama mbak.” Kata-kata itu selalu terngiang di fikirannya. Apakah perkataan Hanif benar-benar menyakiti Shi, sampai-sampai Shi berkata seperti itu kepada Hanif. Setelah peristiwa itu Shi jarang sekali berbicara dengan Hanif, setiap kali Hanif mencoba bertanya pada Shi, dia langsung menghindarinya. Sudah hampir satu minggu sikap Shi seperti itu kepada Hanif.
Seperti biasa dikala senja datang Hanif pergi ke pantai. Dia duduk diatas bebatuan. Di bawah pohon yang rindang menulis, segala apa masalahnya lalu memasukkannya kedalam botol dan melemparkan ke laut.
“Kenapa kamu sukamelempar botol berisi surat ke laut?” Tanya seorang laki-laki mengejutkan Hanif.
Dengan segera Hanif membalikkan badannya dan melihat siapa yang bertanya padanya. “Bukan urusan kamu.” Jawab Hanif dengan lugas dan kaku sembari melangkah pergi dari laki-laki itu. Tapi, laki-laki itu terus mengejarnya dan terus bertanya. Namun Hanif terus melangkahkan kakinya dan bersikap acuh kepada lelaki itu.
“Hei... Mbak. Saya selalu melihat mbak melakukan hal itu setiap sore. Kenapa sich mbak kok lakukan itu?” Tanya laki-laki itu.
“Sudah ku bilang. Bukan urusan kamu. Sudah jangan ikuti ak terus.” Ucap Hanif ketus.
“Tapi, mbak...” Tiba-tiba laki-laki itu berhenti.
“Shi.....” Hanif menghentikan langkahnya tiba-tiba, matanya membelalakmelihat apa yang Shi lakukan. Lalu, Hanif mempercepat langkahnya menuju ke tempat Shi berada dan laki-laki tadi hanya melihatnya dari kejauhan, tak ingin ikut campur.
“Shi, kamu ngapain sama cowok di pantai?” Tanya Hanif marah.
“Mbak... Em... Nggak ngapa-ngapain kok. Emang gak boleh ya Shi jalan sama cowok? Shi tuch udah gede’ mbak, ngapain sich masih ngurusin urusan Shi terus, sana urusin urusan mbak sendiri!” Jawab Shi sembari bangun dari tempat duduknya.
“Shi....” Tangan Hanif bersiap menampar Shi.
“Tampar mbak, tampar Shi! Shi benci sama mbak.” Shi menggandeng tangan cowok itu dan pergi meninggalkan Hanif begitu saja.
“Shi.... mbak gak bermaksud gituch. Mbak sayang sama Shi, mbak Cuma gak mau Shi kenapa-napa. Mbak cuma pingin kamu tahu pesan dari Ayah Shi, hanya itu....” Hanif tertelungkup di meja menangis terisak-isak.
“Mbak... mbak gak apa-apa?” Tanya laki-laki tadi mengejutkan Hanif, secepat mungkin dia menyeka air matanya.
“Kamu lagi ngapain sich, masih ngikutin aku terus. Sana pergi! Aku lagi pingin sendiri.”
“Maaf mbak, saya Fahri... Kalau boleh tahu perempuan tadi siapa mbak?”
“Sudah ku bilang, bukan urusan kamu. Tolonglah ngertiin aku!”
“Baiklah kalau begitu, saya akan pergi. Ini kartu nama saya, kalau mbak butuh temancerita mbak bisa hubungi saya atau mbak bisa menemui saya di dekat jembatan sana. Setiap sore saya juga suka ke sini.” Fahri meletakkan kartu namanya di atas meja dan enyah dari tempat itu, membiarkan Hanif sendiri dalam tangisnya.
Semakin hari sikap Shi semakin menjadi. Ibu dan Hanif sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Ibu menyesal selama ini selalu memanjakan Shi, tapi kini nasi sudah mendadi bubur.
Sore itu, Hanif tengah duduk memandang ke arah laut. Tampak sebuah kejanggalan dalam wajah cantiknya itu, tampak tengah bergumul hati yang gulana. Tiba-tiba seorang anak kecil menghampirinya sembari memberikannya setangkai mawar putih yang indah tanpa memperkenalkan diri dan memberi tahu dari siapa bunga itu, anak itu langsung pergi.
“Hay..... Assalamu’alaikum.” Salam seorang laki-laki di belakangnya.
“Wa’alaikumsalam... Kamu lagi!” Hanif menengok ke belakang dan ternyata laki-laki itu adalah Fahri.
“Ya... Aku. Bolehkah aku duduk? Kan aku kasih tahu siapa yang ngasih bunga itu.”
“Ehm... Baiklah.” Jawab Hanif ragu.
Sejenak hening diantar mereka, mereka memandang ombak yang berdebur-debur menerjang batu karang.
“Andai aku bisa jadi seperti batu-batu karang itu...” Ucah Hanif memecah keheningan diantara mereka.
“Kenapa harus jadi batu karang?” Tanya Fahri.
“Karena batu-batu sangat kuat menahan terjangan ombak. Sekeras apapun ombak itu datang dia tetap menyambutnya.” Jawab Hanif masih tetap dengan pandangannya.
“Kau wanita yang kuat dan misterius.” Kata Fahri lirih hampir tak terdengar karena terbawa semilir angin.
“Apa katamu?” Tanya Hanif memastikan.
“Oh, tidak apa-apa.” Fahri gugup namun dia berkilah.
Sejenak suasana hening kembali, mereka sibuk masing-masing memahami apa yang ada dan dikatakan oleh hati mereka.
Ulang Tahun Shi
Tepat malam ini adalah hari bahagia untuk Shi. Malam dimana dia nanti, malam yang akan mengiringinya ke dunia yang lebih dewasa. Shi terjaga dari tidurnya. Jam menunjukkan pukul 23.40, sementara seisi rumah masih terlelap. Dia bangun dan bergegas ke belakang, entah hal apa yang mendorongnya untuk mengambil air wudhu malam itu. Entah mengapa hatinya berkecamuk rasa yang aneh. Dalam sujudnya tiba-tiba air matanya luluh dan menetes membasahi pipinya, meski tanpa dia pinta. Perasaan apa ini? Shi bertanya pada dirinya sendiri. Tiba-tiba saja bayangan ayahnya melintas di benaknya, seperti berharap sesuatu padanya. Tapi apa? Shi juga tak mengerti. Terbayang kembali kesalahan-kesalahannya masa lalu. Air mata terus mengalir begitu derasnya bagai hujan bulan Desember tanpa bisa dia cegah.
Kemudian dia kembali berbaring menutup kedua matanya yang masih basah. Tak lama setelah terlelap lagi dia terhenyak dari tidurnya. Dia bermimpi bertemu dengan ayahnya. “Shi... Selamat ulang tahun ya, Nak.” Tiba-tiba ekspresi yang semula sangat ramah dan penuh dengan senyuman, mendung seketika wajah ayahnya berubah menjadi murung. “Shi jangan menyusahkan orang-orang di sekitarmu. Mereka sayang sama Shi. Shi saat ini bukan Shi yang ayah kenal dulu. Pinta ayah padamu ada di tangan kakakmu, jadi seperti kakakmu adalah harapan ayah, nak...” Tiba-tiba bayangan itu semakin memudar, transparan dan hilang. Shi mencoba memanggi. “Ayah.... Ayah... Shi sayangayah...” Sia terbangun seperti orang di kejar setan, dadanya tersenggal-senggal.
Keesokan harinyaternyata Hanif dan ibunya sudah menyiapkan kejutan untuk Shi. Shi menitihkan air mata haru. Ternyata kakaknya masih sayang padanya. Namun Hanif dan ibunya tak kalah kagetnya saat Shi keluar kamar dengan memakai seragam panjang dan berkerudung. Ibunya langsung menghampirinya, menitikan air mata bahagia, sembari memeluk Shi. Pagi yang indah untukHanif, semua berjalan seperti yang dia inginkan. Hanif yakin selalu ada rencana yang lebih baik dari Tuhan dari pada rencananya.
Satu minggu setelah ultah Shi kini berjalan seperti semula. Sepertinya Hanif mulai dekat dengan Fahri, mungkin benih-benih cinta telah tumbuh diantara mereka berdua. Namun, Hanif tak percaya dengan perasaannya itu. Karena dia tak mungkin secepat itu suka sama cowok yang baru dia kenal. Berbeda dengan Fahri, dia malah semakin yakin dengan perasaannya itu. Namun, dia belum terlalu memperlihatkannya kepada Hanif.
Mungkin karena Hanif sering tukar cerita dengan Fahri jadi membuat mereka semakin dekat. Shi yang sering melihat kakaknya berduaan dengan seorang laki-laki di pantai, membuatnya penasaran, siapakah laki-laki itu. Sehingga membuatnya cerita sama ibunya. Sesampainya di rumah Hanif langsung di panggil ibunya.
“Hanif, kemari! Ibu mau bicara.” Panggil ibu ketus.
“Ada apa, bu?” Tanya Hanif sembari berjalan ke arah ibunya.
“Hanif... Siapa cowok yang sering kamu temui di pantai? Apa kamu pacaran sama dia?”
“Laki-laki... bukan buk. Dia bukan pacar Hanif. Kita cuma teman, aku sama dia juga gak sengaja ketemu di pantai buk. “
“Tapi ibu dengar dari tetangga kamu sering berduaan di pantai sama dia. Dari pada membuat fitnah mending ibu nikahin saja kamu sama anak teman bapakmu yang sudah di jodohkan sama kamu waktu bapakmu masih hidup..” Ibu mengingat kembali kenangan-kenangan masa lalu.
“Apa bu? Nikah..... gak Hanif belum siap bu, hanif masih pingin ngebahagiain ibu dulu. Gak bu... Hanif gak mau nikah dulu.” Hanif terkejut terhadap apa yang dikatakan ibunya.
“Kalau kamu pingin ngebahagiain ibu, kamu harus nikah sama Rian. Dan mulai sekarang kamu gak boleh lagi ke pantai.”
“Tapi, bu... Ibu....” Hanif memegang tangan ibunya yang berkesiap pergi. Namun, segera di ibaskan oleh ibunya. Hanif menangis di lantai. Shi yang hanya melihat dari ambang pintu kamarnya hanya bisa melihat merasa iba pada kakaknya.
Semenjak itu, Hanif lebih sering mengurung diri di kamarnya. Rasa rindu pada Fahri tiba-tiba mengusik hatinya yang sedang kalang kabut. Dia memandang ke luar jendela setiap kali senja datang mengundangnya ke pantai. Terbayang saat-saat bersama Fahri disana. Entah perasaan apa yangsedang berkecamuk dihatinya, mencoba memungkiri perasaan itu, tapi malah semakin kuat rasa itu di hati Hanif. Ingin rasanya bertemu dan bercerita dengannya, tapi kini waktu telah berbeda. Hampir dua minggu Hanif tak bertemu dengan Fahri, rasa itu semakin menyiksa dirinya.
Senja kala itu, Hanif melihat pelangi seusai hujan lebat reda. Angan-angan terbayang entah kemana, membayangkan andai hujan itu adalah ujian untuknya saat ini dansemoga saja pelangi ituadalah akhir dari ujian ituyang berakhir bahagia itu adalah harapannya.
Tiga hari lagi pernikahan Hanif dengan Lelaki yang belum Ia tahu kan berlangsung. Demi kebahagiaan ibunya, hanif rela melakukannya meski semua tak sejalan dengan fikirannya. Hari yang tak diharapkan Hanif pun datang. Rumah
nya sudah ramai banyak orang. Sementara lima belas menit lagi pihak laki-laki akan datang. Hanif semakin gugup, ingin rasanya dia kabur dari rumahnya. Saat sang pihak laki-laki datang Hanif dan keluarganya menyambutnya dengan ramah dan bahagia. Namun, Hanif hanya bisa menunduk menyembunyikan air mata yang deras mengalir dari pelupuk matanya. Andai ayahnya masih hidup pastilah ini tak akan terjadi.
Hanif mencoba memberanikan diri untuk menatap laki-laki itu. Betapa terkejutnya Hanif siapa yang sekarang ada dihadapannya sekarang.Ternyata dia adalah Fahri, betapa terkejutnya dia. Hatinya berkecamuk, antara bahagia, sedih bercampur menjadi satu. Ah... Akhirnya semua seperti pelangi seusai hujan reda, bahagia datang seusai kesusahan yang dia lewati selama ini.
The solutin of the Rubik's Cube is not easy but it can be caclucated with an online program. Launch the cube solver program in your web browser to give it a try.
0 Response to "KUMPULAN CERPEN - KARYA SITI MASRUROH - SEBENING KASIH"
Posting Komentar